It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
btw,, ini cerita nya bagus,, imajinasinya itu lhoo yang bikin gua salut,,, mention kalau lanjut yah
THANX.
Sebel ni kl update dikit2 mulu, banyakin dong. Penasaran bgt sm lanjutannya. *ngelunjak.
Terserah mau cerita mana yg mau duluan diposting. Yg penting updatenya panjang2. Oce mas bro.
pi gpp klo ga bisa jodoh di dunia mimpi moga2 jodoh di dunia nyata..
aminnnn..
ditunggu TS cerita selanjutnya
**
Lewat isya kami tiba di rumah Bunda di Sindangkerta, Bunda nampak kaget melihat kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan, biasanya aku akan menelfonnya dan memberitahu beliau jika aku mau pulang dan dia tanpa di minta pasti akan menyiapkan segala sesuatu keperluanku di rumah.
Dengan alasan ingin memberi kejutan padanya akhirnya Bunda mengerti. Dia lalu menyiapkan kamar buat Nemo dan memasak untuk makan malam bagi kami.
Saat makan malam lagi-lagi ku lihat keanehan pada diri Bunda, beliau selalu mencuri lihat pada Nemo seakan ada sesuatu yang belum terjawab pada dirinya tentang kekasihku itu, dan entah kenapa aku semakin khawatir, namun fokusku malam ini lebih ke diri Bunda, aku tak melihat malam ini Bunda memakai liontin seperti di foto itu, mungkinkah dia menyimpannya atau jangan-jangan malah sudah di jualnya. Ah semoga saja liontin itu masih ada, harapku.
Usai makan Nemo memilih masuk ke kamar beristirahat, sedang aku menemani Bunda membereskan meja makan dari piring-piring kotor, sambil aku mencari kesempatan untuk bicara padanya, menanyakan tentang liontin itu.
"Ada apa Anakku? Ada apa sebenarnya kamu pulang tiba-tiba?" Tiba-tiba Bunda bertanya padaku sambil melanjutkan pekerjaannya mencuci piring di bak cuci piring, sedang aku saat itu hanya memperhatikannya duduk di sebuah bale-bale kecil yang sengaja di buat di dapur, hatiku berkecamuk mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan Bunda.
Aku tidak tahu kenapa Bunda bertanya seperti itu mungkinkah Bunda mendapat firasat pada apa yang sedang ku pikirkan atau entah mungkin karena Bunda mengetahui sikapku yang tampak gelisah saat itu.
"Bukankah aku sudah mengatakannya pada Bunda, aku hanya kangen sama Bunda dan ingin membuat sedikit kejutan" jawabku agak kikuk
"Firasat seorang Ibu itu kadang tak pernah salah.." Ujar Bunda sambil menyimpan piring terakhir yang di cucinya
"Maksud Bunda?" Tanyaku agak terkejut, aku jadi deg-degan
"Tanya hati terdalam mu, mungkin kamu akan menemukan jawabannya.." Bukannya menjawab Bunda malah membalikan jawabannya padaku, aku jadi semakin bingung dan sedikit takut
"Ohya besok Bunda ingin nyekar ke makam Ayahmu, kau ikut Bunda yah, ajak pula kawanmu itu.." Ujar Bunda lagi, aku mengangguk takjim
"Baik Bunda.."
"....."
"Ohya Bun, boleh aku menanyakan sesuatu?" Tanyaku hati-hati, Bunda menoleh dengan tatapan yang tak ku mengerti, aku sedikit kikuk namun ku beranikan diri untuk bertanya, aku harus secepatnya mengetahui tentang liontin itu
"Aku ingin tahu soal ini Bun, liontin yang Bunda pakai di foto ini.." Ujapku sambil menunjukan foto Bunda yang sedang memakai sebuah liontin dengan mata batu berwarna orange kemerahan, Bunda nampak terkejut saat aku menanyakan itu, aku lihat Bunda menjadi gelisah dan wajahnya penuh misteri yang tak bisa ku uraikan, beliau lalu datang menghampiriku
"Apakah ini alasan kepulanganmu? Kenapa tiba-tiba kau tanyakan tentang liontin itu?" Tanyanya penuh keheranan, aku jadi semakin canggung dan gelisah
"Tidak Bun.. Aku hanya tertarik saja ingin mengetahuinya, karena sepertinya aku belum pernah melihat liontin indah ini sebelumnya.." Jawabku beralasan dengan harap-harap cemas, mata Bunda bergerak-gerak namun terlihat seakan menerawang, entah apa yang Bunda pikirkan saat ini, lalu beliau menghela nafas panjang, memandangku lekat.
"Liontin itu sudah tak ada lagi.." Ucap Bunda lembut, aku menjadi sangat terkejut, kekecewaan serta merta mendera dadaku.
"Maksud Bunda?"
"Liontin itu hadiah pernikahan dari Ayahmu untuk Bunda, tapi untuk suatu keperluan Ayahmu membawanya, mungkin telah di jualnya.."
"Apakah Bunda tahu dimana Ayah menjualnya? Dan jika boleh tahu apa nama batu liontin itu?"
"Bunda tidak tahu kemana Ayahmu membawanya, Bunda juga tidak tahu nama batu itu, yang Bunda tahu Ayahmu memberikan perhiasan itu saat melamar Bunda, sebenarnya Bunda ingin sekali memiliki barang itu selamanya karena itu hadiah terindah yang Ayahmu berikan. Tapi seperti kita tahu di dunia ini tidak ada hal yang abadi Nak, seperti saat Bunda harus ikhlas kehilangan liontin itu pada akhirnya Bunda juga harus juga harus ikhlas kehilangan orang yang sangat Bunda cintai, yaitu Ayahmu, jadikan itu pelajaran bagimu bahwa tak ada gunanya mengumbar nafsu demi sesuatu yang ada di dunia fana ini karena pada akhirnya kamu akan kehilangannya, tak ada yang kekal.."
"....."
"Terkadang manusia itu selalu lupa bahwa langkah kita sedang merintis tujuan akhir, namun mereka terus saja berjalan semau mereka dan tak ingin berhenti, bahkan saat mereka tersesatpun mereka masih tak peduli untuk berhenti, tak ingin memilih jalan yang lurus, itu karena hawa nafsu membutakan mata mereka saat sedang menentukan arah mereka..."
"Aku tidak mengerti Bun.."
"Suatu hari kamu akan mengerti Nak, sudahlah sebaiknya kamu segera tidur, ini sudah malam, Bunda pun sudah sangat mengantuk.."
"Kalau begitu Imam pergi tidur dulu, selamat malam Bunda terimakasih untuk semua nasihatnya"
"Selamat malam anak ku, tidurlah yang nyenyak walau jiwa mu menolak untuk terlelap.." Sesaat ku peluk Bunda, lalu melangkah gontai menuju kamarku, hatiku berkecamuk malam ini, aku benar-benar tak mengerti kenapa Bunda mengatakan semua itu, mungkinkah dia telah mengetahui jalan yang selama ini ku tempuh, mungkinkah dia tahu jika saat ini aku sedang tersesat namun aku menikmati kesesatan ini.
Tiba-tiba saja malam ini aku begitu merasa takut, semalaman aku menangis untuk sesuatu yang tak ku mengerti.
***
Esok harinya usai sarapan bersama kami bertiga menuju sebuah pemakaman yang berada di ujung kampung, pemakaman itu menjadi tempat akhir jasad ayahku bersemayam dengan tenang.
Dengan bantuan seorang ulama kampung setempat kami mengiringinya memanjatkan do'a-do'a tulus teruntuk Ayah yang telah bahagia di syurga.
Bunda tampak meneteskan air mata, menangis di tengah do'anya yang tak henti terpanjat dari celah bibir dan hati sanubarinya, aku yakin Bunda masih merasa kehilangan sepeninggal Ayah dan Bunda sangat merindukan Ayah, seperti diriku yang terkadang sangat merindukan sosok Ayah hadir kembali dalam hidupku. Di dera oleh rasa haru aku ikut meneteskan air mata, hati ini begitu pilu dan rindu.
Sebuah sentuhan terasa di punggungku lembut, telapak tangan Nemo, sepertinya dia menyadari saat ini aku sedang menangis, dia mencoba memberiku kekuatan lewat sentuhan tangannya. Aku meliriknya di saat dia juga sedang melirikku, Nemo tersenyum dan mengangguk lembut padaku, lewat sorot matanya yang teduh dia memintaku agar aku tabah dan tegar, ku balas senyuman itu dan lewat sorot mataku pula aku berterimakasih untuk perhatiannya. Mata kami senantiasa berbicara walau bibir kami merapat.
***
Pulang dari pusara Ayah aku meminta ijin kepada Bunda untuk berjalan-jalan sebentar, aku ingin menunaikan janjiku kepada Nemo, mengajaknya jalan-jalan ke pantai Sindangkerta. Hanya beberapa menit waktu yang di tempuh untuk kami tiba di sana, beruntung gelombang sedang surut saat ini jadi kami bisa berjalan-jalan di batu karang dan melihat keindahan Taman Lengsar yang di penuhi aneka macam ikan laut yang unik dan lucu. Nemo tampak senang berada di sana.
"Dulu sekali aku sering main ke pantai ini, bermain dengan teman-temanku, dan Bunda selalu marah saat tahu aku bermain terlalu jauh dari lautan apalagi hingga ke ujung daratan.." Nemo tampak menerawang, aku melihat kerinduan di matanya, rindu kepada Bundany dan juga pada kawan-kawannya di dasar lautan sana.
Aku terkejut rupanya dia pernah kesini, aku lupa jika dia seekor duyung dengan kerajaan tempat tinggalnya di wilayah laut selatan, sudah pasti dia pernah bermain kesini, aku merasa kecewa karena tak berhasil memberi kejutan kepadanya.
Saat ini kami sedang duduk di sebuah batu karang di temani deburan gelombang di bawah kami.
"Tapi aku sangat bahagia bisa kesini lagi bersamamu orang yang sangat ku cintai sayangku.." Ucapnya lagi seakan tahu isi hatiku, dia merangkul bahuku dan lalu mengecup kepalaku. Aku akhirnya bisa tersenyum sedikit, aku bahagia kala dia bahagia.
Namun kembali wajahku di terpa mendung kala ku ingat tentang liontin itu, Nemo pasti kecewa jika dia tahu liontin itu sudah tak ada lagi pada Bunda.
"Liontin itu sudah tidak ada pada Bunda sayang, entah kini ada dimana, Ayah telah menjualnya dan saat ku tanyakan pada Bunda beliau juga tidak tahu nama liontin itu.." Ucapku sedikit tercekat saat memberitahukan kenyataan itu padanya, aku tahu Nemo terkejut saat mendengarnya namun dengan tenang akhirnya dia tersenyum padaku, merangkul lebih erat tubuhku, tapi tak sepatah kata terucap dari bibirnya, aku tahu dia kecewa.
"......"
"Sepertinya kita salah, itu bukan Batu Mirah Segara yang kita cari, karena jika itu batu bertuah dan berharga Ayah tidak mungkin menjualnya.." Ucapku getas
"Ini takdir sayang, seperti yang pernah kau katakan waktu itu.. Kita tidak bisa menolak takdir, mungkin kita memang di takdirkan untuk berpisah walau hati kita tidak bisa menerima takdir ini.." Bisik Nemo lembut
"Aku belum siap untuk itu.." Desahku
"Aku juga, tapi bisakah kita merubah takdir? Sebentar lagi purnama akan muncul dan pada saat itu genap sudah 100 hari aku jadi manusia, pada saat purnama itu muncul aku harus menunaikan janjiku kepada Ibunda untuk kembali ke kerajaan dasar laut.." Suara Nemo terdengar pilu, sepilu hatiku yang mendengarnya
"Aku ingin disini bersamamu, merasakan kebahagiaan dengan kekasihku tercinta, jadi ku harap kita tak membahas itu saat ini, karena itu akan membuat kita selalu berduka, lebih baik kita nikmati kebersamaan ini sayang, lupakan semua masalah yang sedang kita hadapi.." Dia berkata lagi lembut, di sentuhnya kedua pipiku dengan tangannya yang halus, lalu mencium bibirku lembut, aku memejamkan mata merasakan desir itu merasuki hati, hangat dan indah.
Ku peluk erat tubuhnya, aku tak ingin selamanya melepaskan kebahagiaan ini, aku terlalu mencintai Nemo.
Aku tak sanggup berpisah darinya, bahkan walau sekedar memikirkannya, air mataku kembali meleleh tak kuasa ku tahan.
***
@maret elan
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@mustaja84465148
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@ularuskasurius
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@rendifebrian
@Beepe
@dota
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@sasadara
@Agova
@angga_rafael2
Hehe makasih ya udah baca bos..
Hehe .. Pasti udah baca juga ya.. Tp yg skrang udah d revisi dan ada lanjutannya yg blum d posting dimanapun loh..