Hai semuanya….
Lagi coba bikin cerita baru nih di forum ini sambil latihan nulis-nulis cantik, hehe. Cerita ini murni fiksi dan jika ada kesamaan peristiwa atau tokoh, well... seperti kata
@Shishunki, please deh, hidup lo sinetron banget, hahaha.
Karena masih belajar nulis, bakal seneng banget kalau ada yang komen terus kasih kritik dan saran. Okay guys, this is my story, I hope you'll enjoy it!
---Chapter 01: Stay the Night---
Kuningan, Jakarta, 09:35 p.m.
Bagi sebagian orang, malam adalah waktu untuk beristirahat setelah seharian bekerja keras di tengah problematika kota Jakarta terutama kemacetannya. Namun bagi sebagian orang yang lain, datangnya malam adalah pertanda dimulainya kehidupan yang lebih hidup, seru dan menggairahkan.
Seperti malam ini, seorang pemuda berusia 23 tahun, berjalan menyusuri lorong sebuah apartemen mewah. Matanya yang coklat dan jernih mencari-cari studio yang dituju. And… here we are, Nomor 37, this is the place.
Setelah mengetuk pintu tiga kali, si empunya studio muncul dan kelihatan bersemangat.
“Dito, ya? Dari Business One Magazine?” Seorang pria berusia sekitar 30-an, hanya mengenakan handuk berkata setelah membuka pintu.
Dito mengangguk, kedua tangannya meremas tali ranselnya, mencoba mengendalikan diri karena pemandangan di depannya begitu… well, so tempting.
“Yap benar, ini Mas Arby dari Savana Investment ya?” Dito berusaha untuk tidak menatap perut sixpack dengan bulu-bulu halus di bawah pusar itu. “Mmmm… is it a bad time?”
“No, no, please, come inside. Sorry tadi soalnya baru mau mandi. Aku pikir karena hujan jadi kamu agak telat datengnya.”
Dito melangkah dengan ragu-ragu. Dan seperti yang ia bayangkan, apartemen orang yang akan diwawancarainya ini memang seperti yang sering ditampilkan di televisi dan dipromosikan oleh tante-tante yang terkenal dengan caranya menyebut suatu lokasi strategis sebagai “Kepala Naga.”
Arby, masih dengan handuk melilit di tubuhnya, duduk di sofa putih di hadapan Dito, yang sedang mencoba menenangkan gemuruh di dadanya.
“Okey, langsung aja kamu mau tanya apa. Aku pake handuk aja nggak apa-apa kan? Males pake lagi, hehe,” Arby menampilkan senyum simpulnya dan mata tajam yang selalu jadi andalannya. “Padahal kalau mau, kamu nggak perlu kesini malem-malem, karena besok toh kita ada press conference.”
“Ya, tapi kan saya harus selesaikan profil mas Arby dulu dan saya takut besok setelah press conference tidak akan cukup waktu karena mas harus segera berangkat ke Bali kan?”
“Well, okay. Langsung aja deh. Tadi sampai mana pertanyaannya pas kamu lagi telpon terus tiba-tiba mati itu?”
“Iya, itu kayak pertanyaan tambahan aja sih mas, jadi gimana pendapat mas soal banjir yang melanda Jakarta, bagaimana dampaknya terhadap sektor bisnis tertentu?”
“Waduh, pertanyaannya berat banget, padahal aku pikir kamu kesini mau tanya tentang hobi atau film kesukaan aku.”
“Mmm kan udah banyak dibahas media lain kalau itu sih mas…”
“Hahaha. Bisa aja kamu. Okay. Jadi memang banjir tahun ini merendam 17,7 % area Jakarta, sedikit lebih buruk dari tahun lalu di mana area yang terendam sebesar 17,4%. Kemudian soal sector bisnis tentunya ada beberapa yang akan mengalami peningkatan, mulai makanan, obat-obatan dan juga supermarket yang dekat dengan permukiman warga….”
Arby menghela nafas, dan menatap Dito dalam-dalam. “Ngomong-ngomong, kamu tadi gak kena banjir kan pas ke sini?”
“Untungnya nggak mas,” Dito menunduk, melihat sekilas sepatunya yang basah karena genangan air. Dan ketika ia menatap ke depan, Arby sudah menepuk pundaknya.
“Ah, bohong kamu, ini baju kamu agak basah gini.”
Dito terpaku. Ia tidak tahu harus bagaimana. Suasana seperti semakin aneh, dan intens…
“Why are you here?”
“Hah?”
“Kamu kan bisa telpon aja, aku nggak apa-apa kok di interview lewat telpon.”
“Tadi kan… telpon aku mati.”
“Kenapa nggak telpon dari kantor aja?”
“Kan mas Arby… yang suruh saya ke sini.”
Arby tersenyum. “Kamu kan bisa bikin excuses. Bilang banjir lah, udah malem lah. Kecuali kalau kamu…”
Arby tidak melanjutkan kata-katanya. Begitu mata mereka sudah beradu hanya dalam jarak 5 cm, getaran itu sudah tidak bisa diabaikan lagi.
Dito mencoba menahan tubuh Arby yang sudah sangat dekat. “Mas… ngapain?”
“Sssst….” Arby menempelkan jari telunjuknya di bibir Dito. “You don’t have to say anything. I’ll answer all your questions after this…”
Bibir mereka bertemu. Basah. Hangat. Di antara gerimis yang kembali membelai jendela.
“Mas… boleh nggak interview ini terus berjalan?” tanya Dito di tengah cumbuan. “I really like how you explain that… business analysis. It really turns me on.”
“Hahaha, you’re so cute and funny. Boleh saja,” Arby menjilati telinga Dito lembut, membuatnya mendesahkan gairah. “But in one condition. You must call me Arby.”
###
Comments
Dito mengamati wajah Jakarta yang baru diguyur hujan dari jendela taksi yang ia tumpangi. Gedung-gedung kokoh yang selalu memancarkan cahaya terang, dan udara yang semakin dingin. Sesungguhnya ia masih ingin menikmati hangatnya tubuh itu, lembutnya belaian itu, mata yang tajam dan nakal itu…
“I don’t care whatever you think about what we’re doing. And even if you don’t want things to be complicated, I’ll keep it simple. Hati-hati di jalan ya. What a disappointment knowing that you don’t stay here tonight. And I’m dying to spend another night with you.”
Ia membaca ulang pesan di handphonenya itu -- dari Arby, konsultan yang membuatnya mandi dua kali malam itu, sebelum menghapusnya. Ada perasaan menyesal, sedih, tapi ia tidak ingin memikirkannya. Tangannya memencet tombol handphone-nya, mencari-cari pesan yang lain.
“Kakak jadi pulang bulan depan kan?
Pak Hendri nanyain terus nih. Apalagi Santi udah sering banget main ke rumah, dan akrab banget sama adik kamu. Kakak pasti kaget liat dia, beda banget sama zaman SMP dulu. Cantik banget lho.
Cepetan pesan tiket, mama udah bikin rendang kapau kesukaan kakak.”
This is gonna be more complicated. Kembali ia mengklik tanda ‘delete’. I should call my angel right now, bisiknya dalam hati.
Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana, namun berkesan klasik dengan gaya minimalis dan warna putih yang dominan. Dito berlari kecil menghindari gerimis dan seseorang sudah menunggunya di depan pintu.
“Hai, aku bawain Martabak Bangka nih,” Dito menyeringai lebar.
“Wah kebetulan lagi laper banget, gara-gara abis ngegym tadi,” pemuda di depannya tersenyum sambil mengelus kacamatanya.
“Wihh Pak Rangga, dosen idola para binan kampus Bhinneka nge-gym? Makin bisa dibelokin nih,” seloroh Dito sambil melangkah masuk.
“Eeee kampret! Kalau nggak dicerewetin Marsya aku nggak bakal mau ke tempat nongkrong banci-banci asuhanmu itu.”
Rangga langsung melahap martabak kesukaannya.
Dito tertawa kecil, ia senang melihat wajah sahabatnya lagi, apalagi sekarang dia sudah mencukur habis brewoknya. Rangga sadar Dito pasti ingin membicarakan sesuatu dengan datang ke rumahnya tengah malam.
“So, how is he? The hottie consultant?”
“Well, sebenarnya bukan dia yang mau aku omongin malem ini.”
“Oh… jadi… soal rencana perjodohan itu ya?”
“Yap, kamu tau aja, hehe.”
“Aku udah kenal kamu 5 tahun, aku bahkan udah tahu sebelum kamu ngomong.”
“Tapi selama lima tahun, aku belum pernah liat kamu telanjang.”
“Please deh, udah lewat tengah malem masih aja mesum.”
“Please, aku lagi galau nih, masak sebagai sahabat nggak mau bantu? Minimal itu baju dibuka lah, pengen liat hasil nge-gymnya.”
Rangga menatap sahabatnya ini tenang, sama seperti saat ia mendengar pengakuan Dito dua tahun lalu, bahwa ia mendekati pacarnya, Marsya, hanya untuk bisa berkenalan dengan Rangga. Dan Rangga-lah yang mempertemukan Dito dengan seseorang yang sampai detik ini sulit untuk ia lupakan….
“Apa perlu aku bikin kamu mabok, kayak waktu tahun baru itu?”
“What? Katanya kamu cuma liat bagian atas aja? Jawab jujur kamu ngapain aja! Memanfaatkan sahabat yang muka ama badan kayak Ryan Gosling ini? Bitch banget kamu!”
“Idih, baru ngebuka baju kamu aja udah males! Tuh perut bleber kemana-mana. Mendingan juga badan si…. Eh gedein volume tipi-nya dong! My favorite song nih!” Dito beranjak mendekati tv di ruang tengah.
“Lagu apa sih?” Rangga memencet tombol volume di remote control. Tampak di layar Hayley Williams sedang bergoyang diiringi music piano dan disko yang menghentak.
I know that we are upside down
So hold your tongue and hear me out
I know that we were made to break
So what? I don't mind
You kill the lights, I'll draw the blinds
Don't dull the sparkle in your eyes
I know that we were made to break
So what? I don't mind
Are you gonna stay the night?
Are you gonna stay the night?
Oh oh oh, are you gonna stay the night?
###
Pagi mulai menjelang, namun lantai dansa semakin ramai oleh goyangan para jalang. Di suatu sudut di kelab malam yang cukup populer itu, dua orang mahasiswa semester akhir mencoba mencari hiburan di sela-sela mengerjakan skripsi.
Zaki, 20 tahun, duduk di depan bar sambil memainkan gelas yang berisi jus jeruk pesanannya. Ia sebenarnya tidak ingin berada di sini, karena takut akan bertemu seseorang yang sedang ia hindari.
“Woy, jaketnya lepasin donk, biar badan lo yang putih itu ter-expose,” Gerry, temannya yang sudah siap turun ke lantai dansa, menepuk pundaknya.
“Lo liat nggak tuh bule-bule mesum? Mereka demennya sama yang oriental kayak elu gitu. Yuk capcus gih, ladies, tunjukkan auratmu… sekarang! Hahaha…”
Zaki menggeleng. “Udah, lo duluan aja. Ntar gue nyusul. Bule doyannya ama lo kali, eksotis kayak Farah Quinn, montok lagi.”
“Sialan, lo memuji atau menghina? Kesannya gue gendut dan item gitu?”
“Hahaha sensi banget. Jujur sejak nge-gym badan lo makin bagus lho, perawatan mukanya juga cling banget. Kalau lo brewokan mungkin gue udah ngira lo Evan Sanders kali…”
“Aduh Lee Seung Gi ini bisa aja, haha,” Gerry, si gila perhatian dan pujian langsung semangat. “Oke deh, gue duluan ya? Udah nggak tahan nih pengen ngentot ama bule, ahhh…”
Dan Zaki hanya tersenyum melihat sahabatnya langsung bergoyang dan mendekati seorang pria bule yang lumayan ganteng, rada mirip Mike Lewis. Mereka langsung klik, dan mulai terbakar hentakan music yang panas.
Zaki kembali sibuk dengan jus jeruknya. Tapi beberapa saat kemudian ada perasaan aneh yang menjalar di tubuhnya. Dan benar saja ketika ia menengok ke belakang, pria itu sudah ada di sana.
“Wow, sekarang kamu maennya di sini ternyata,” Doni namanya, seseorang yang sedang ia hindari.
“Nggak kok, aku baru kali ini ke sini, di ajak Gerry,” Zaki berusaha tenang. “Kamu ngapain kesini? Bukannya lagi sibuk sama si Rian?”
“Hey, kita kan lagi break. Nggak salah dong kalau aku deket sama orang lain.”
“Bukannya selama kita sama-sama kamu selalu punya… apa namanya? Fuck buddy ya?”
“Jaga omongan kamu ya! Aku memang anak dugem, tapi aku gak gampangan!”
“Aduh udah deh nggak usah ribut lagi. Kayaknya kita emang udah nggak bisa sama-sama lagi deh.”
“Jadi, ini semua salah aku? Fine, aku emang selalu salah di mata kamu. Kamu pikir aku nggak tau kamu lagi deket sama Josh?”
Zaki menatap seseorang yang sudah dipacarinya selama dua tahun namun pria itu tetap sama, egois dan tidak pernah mau mengaku salah. “Aku cuma nolongin desain buat film pendeknya kok. Dan aku nggak pernah ngirim-ngirim poto aku lagi telanjang dada ke dia, unlike what you did to other men, or your terong-terongan…”
Tiba-tiba seorang abege berwajah oriental dengan kulit yang putihnya keterlaluan mendatangi mereka.
“Doni? Hey, been looking for you babe,” ia langsung memeluk pinggang pria yang dipanggilnya babe dengan mesra.
“Rian? Kamu ngapain disini?” Doni mencoba melepaskan pelukan Rian, dan matanya menunjukkan kekhawatiran karena Zaki sudah memergokinya.
Zaki menarik nafas panjang, dadanya semakin sesak.
“Well, look who’s the real cheater now. Bye Doni, enjoy your night ya,” Ia lantas beranjak pergi. Doni mencoba mengejarnya, namun ia sudah hilang di antara kerumunan penggila pesta.
Sebelum melangkah keluar kelab, Zaki menyempatkan diri ke toilet dan segera menarik Gerry yang sedang berciuman mesra dengan bule incarannya.
“Woy apaan nih?” Gerry terkejut. “Lo nggak bisa lihat gue lagi ngapain?”
“Kita harus pulang. Besok pagi kita harus menghadap dosen pembimbing. Gue baru dikasitau kalau dosen itu Pak Rangga, dan lo harus tau kalau dia nggak suka sama keterlambatan!”
“Wah, Pak Rangga? Dosen baru yang ganteng, yang mukanya mirip Reza Rahadian? Mauuuu!” Gerry segera berlari mendahului Zaki ke tempat parkir.
“Woy… tutup dulu resleting celana lo!”
Sementara dari dalam kelab yang mereka tinggalkan, Doni menatapi jus jeruk yang ditinggalkan pemiliknya dengan wajah kusut, dan Rian masih melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya. Sang DJ memutarkan sebuah lagu yang cukup cocok dengan suasana malam itu…
I am a fire, you're gasoline,
Come pour yourself all over me
We'll let this place go down in flames only one more time
You kill the lights, I'll draw the blinds
Don't dull the sparkle in your eyes
I know that we were made to break
So what? I don't mind
Are you gonna stay the night?
Are you gonna stay the night?
Oh oh oh, are you gonna stay the night?
###
kok pd bingung ya????
hihi
suerr... aku ga bingung beib...
intelek
Kudu wajibb di mensyen abdi na lamun bade apdet teh nyah A?
#maksa
#like like like
Nice story
Dan hmmm, cerita awal jadinya having sex or not?
Ahahahahaha
good job...