It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
salam knal penulis..
dan cerita ini jga brlatar di jepang...
hhhhhuuuuaaaaa... jd pngn blajar bhasa jepang !!
dan cerita ini jga brlatar di jepang...
hhhhhuuuuaaaaa... jd pngn blajar bhasa jepang !!
dan cerita ini jga brlatar di jepang...
hhhhhuuuuaaaaa... jd pngn blajar bhasa jepang !!
tanx sdh di mention, lanjutkann update mu te es hehe
Hore aku di mensen terpisah,
(apa hubungan nya)
Ya Udah, lanjut aja. Gpp deh di mensen. Dah lama gak ngikuti cerita di stories...
(salim)
Habibi berjalan tanpa tujuan disekitaran kampus. Ia berjalan dari gedung ke gedung. Dari kelas tempatnya dulu belajar ke perpustakaan tempatnya kalau sedang ingin menenangkan diri sambil membaca. Dari perpustakaan ke aula. Akhiranya ia berhenti di halaman kampus, duduk di bangku panjang bercat putih dibawah pohon.
Tiba-tiba saja kenangan semasa kuliah dulu muncul dalam ingatannya. Ia mengingat ketika pertama kali masuk kampus, ketika ada beberapa orang mahasiswa yang tidak menyukai dirinya, ketika ia terlambat masuk kampus karena harus bekerja pada malam hari di sebuah cafe tak jauh dari kampusnya, ketika hutang pada temannya kian menumpuk dan tak jarang pula Haruka meminjamkannya uang untuk membayar hutang. Semua itu telah menjadi kenangan manis buatnya.
Kini, kariernya sebagai seorang arsitek muda mulai menanjak. Sudah ada beberapa perusahaan yang memakai jasanya dan merasa puas dengan hasil kerjanya. Ia juga sudah memiliki gedung kerja sendiri walau masih berukuran sederhana.
Ingatannya semakin mundur ketika pertama kali bertemu dengan Yamada Hachiro. Waktu itu, ketika hari kedua berada di Jepang untuk mewakili Indonesia dalam olympiade fisika.
Ia terpisah dari Rombongan saat baru pulang makan siang di salah satu kedai yang pemiliknya seorang muslim. Tempatnya memang agak terpencil dari tengah kota, tapi mereka harus makan disana karena tidak ada pilihan lain. Hotel tempat mereka menginap tidak memiliki menu halal.
Saat itu Habibi selesai makan terlebih dulu karena merasa tidak berselera makan. Sambil menunggu teman - teman dan pembinanya selesai makan, ia keluar dari kedai lalu tanpa sengaja melihat banyak orang yang sedang bermain salju, cuaca hari itu juga cukup baik. Tidak ada badai salju. walau sebenarnya ia masih kurang sehat tapi ia tertarik untuk ikut bermain. Ia pun bermain dengan beberapa orang anak kecil membentuk sebuah boneka salju. Setelah merasa cukup kelelahan, ia berbalik kearah kedai tadi tempat ia dan rombongannya makan. Ia merasa heran, kenapa belum ada salah satu dari rombongan yang memanggilnya untuk pulang kembali ke hotel.
Ia sangat terkejut ketika tidak melihat seorang pun dari rombongannya berada di kedal itu. Ketika ia bertanya kepada bibi pemilik kedal, ternyata rombongannya sudah keluar daritadi. Habibi hampir terjatuh ketika seseorang dari belakang menopang tubuhnya dengan cepat.
"Kau baik - baik saja?" tanya seorang pemuda dibelakang Habibi.
Habibi menoleh, menatap wajah pemuda yang telah menolongnya. Ia terdiam menatap pria yang masih menopang tubuh mungilnya. Wajahnya bersih, matanya sipit dengan bola matanya yang hitam, hidungnya yang lumayan mancung sempat membuat jantung habibi berdetak kencang.
Habibi segera bangkit membetulkan cara berdirinya sambil menghadap ke pemuda yang seusia dengannya.
"A.. Aku, aku baik - baik saja." jawab habibi tergagap.
"Wajahmu pucat, apa kau sedang sakit?" tanya pemuda yang tingginya melebihi tingginya, sehingga pemuda itu harus memandang kebawah kearah Habibi. Pemuda itu menempelkan telapak tangannya ke kening Habibi dan tangan satunya ke keningnya sendiri.
"Badanmu agak panas, kamu harus segera pulang dan beristirahat."
mendengar kata pulang ia tersadar kalau rombongannya telah meninggalkannya di kedai seorang diri, dan parahnya ia tidak tahu jalan pulang menuju hotelnya. Tiba - tiba saja airmatanya jatuh, semakin lama semakin deras membuat pemuda di depannya, pemilik kedai dan beberapa orang pengunjung heran mendengarnya menangis.
"Hei, kenapa kamu menangis?" tanya pemuda itu.
"Anak muda, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya salah seorang pengunjung. Karena habibi tak kunjung memberi jawaban, akhirnya bibi si pemilik warung menjelaskan apa yang terjadi.
"Aku akan mengantarmu kesana?" sahut pemuda itu. Habibi memandang pemuda itu dengan heran.
"Tidak usah, aku akan menunggu disini. Aku yakin mereka akan datang menjemputku." jawabnya saat ia sudah bisa menguasai diri.
"Kalau begitu aku akan menemanimu sampai jemputanmu datang." Habibi menatap pemuda itu dengan tatapan heran, pemuda yang ditatap malah tersenyum lebar memamerkan barisan giginya yang putih rapi.
"Namaku Yamada Hachiro." sahut pemuda itu ramah. Lubang kecil di kedua belah pipinya menambah kesan manis senyumannya.
"Namamu siapa?"
"A.. A.. Aku.. Aku.. Habibi."
"Habibi?" tanya Hachiro dengan sebelah alis terangkat.
"Iya, dan aku dari Indonesia."
"Indonesia?" Habibi mengangguk.
"Sedang apa kau di Jepang?"
"Aku ikut olympiade fisika, mewakili negaraku."
"Woww, berarti kamu sangat pintar."
Belum sempat Habibi menjawab, bunyi suara klatson mobil yang membawa rombongannya datang menghampiri. Ia segera berlari kearah Bayu salah satu temannya yang juga bakal ikut olympiade tapi bukan fisika melainkan mate-matika.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada Yamada Hachiro, Habibi segera masuk kedalam mobil dan pulang menuju hotelnya. Selama di perjalanan, Habibi selalu tersenyum mengingat nama pemuda tersebut.
"Sempai." sahut habibi. Orang yang disebut sempai (senior) tersenyum makin lebar lalu ikut duduk disampingnya.
"Apa kabar." sahut pemuda yang dipanggil sempai.
"Baik. Kapan sempai pulang dari Seoul?"
"Kemarin."
"Apa pekerjaan sempai disana, baik?"
"Tentu saja. Aku mengerjakannya dengan sangat baik." jawabnya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Tadi aku habis ketemu Katsuo-kun."
"Bagaimana kabar orang - orang di apartemenmu?"
"Semuanya baik. Haruka Oneechan selalu bertanya kapan sempai pulang. Sepertinya dia kangen sama sempai." pria itu tersenyum.
"Sempai ada urusan apa disini?" tanya habibi.
"Kemarin paman Osawa memanggilku ke kampus, makanya hari ini aku datang. Tadinya habis dari sini aku mau menemuimu dikantormu, tapi ternyata kita bertemu disini."
"Mr. Osawa?"
"Iya."
"Kenapa mr. Osawa memanggil sempai? Atau jangan - jangan..."
"Iya. Kau benar. Ia mau menjodohkanku lagi." jawabnya.
"Ah... Orang tua itu kapan akan berhenti menganggu hidupku?" lanjutnya kesal.
"Memang sudah seharusnya sempai menikah." jawab Habibi kepada Ishikawa Hiro pria yang dipanggilnya sempai.
"Apa kau bercanda. Aku masih muda, aku belum mau berpikiran untuk menikah."
"Tapi umur sempai sudah dua puluh sembilan tahun."
"Apakah umur sepertiku sudah harus menikah?" Habibi mengangguk.
"Ah.. Kau ini tidak asik." Habibi tersenyum kearah Ishikawa Hiro.
"Jangan tersenyum seperti itu. Kau bisa membuatku semakin menyukaimu." Habibi terkekeh.
"Apa kau sudah bertemu dengan orang itu?" pertanyaan Ishikawa spontan membuat ukiran senyuman Habibi menghilang dari bibirnya.
"Belum." jawabnya sambil menatap kearah depan.
"Apa kau masih mengharapkannya? Habibi terdiam sesaat lalu mengangguk. Ishikawa mendesah panjang.
"Apa yang kau harapkan darinya? Sudah bertahun - tahun kau mencarinya, tapi sampai sekarang kau belum bertemu dengannya. Mungkin saja dia sudah tidak tinggal di Tokyo lagi." Habibi terdiam tak menanggapi ucapan Ishikawa.
"Mengapa kau tidak menyerah saja. Apa kau tidak lelah?" Ishikawa terus menceramahinya.
"Kau juga tidak tau, apakah dia gay atau tidak?" untung saja halaman kampus ini sepi sehingga Ishikawa bisa dengan santai mengucap kata gay.
"Entahlah Sempai. Aku juga sempat berpikiran untuk berhenti."
"Lalu kenapa tidak berhenti?"
"Aku pernah mencobanya. Tapi setiap kali aku mencoba untuk melupakannya, bayangan Yamada Hachiro selalu muncul."
"Mengapa kau tidak mencobanya denganku?" Habibi terkejut lalu memalingkan wajahnya kearah Ishikawa. Ia menatap matanya, mencoba menemukan gurat canda dimatanya.
"Aku serius." jawab Ishikawa Hiro seoleh mengerti jalan pikiran Habibi.
"Dan aku yakin kau sudah mengetahuinya."
"Aku sudah suka padamu sejak kau masuk ke kampus ini, kau tahu."
"Tapi, bukankah sempai pernah pacaran dengan Kabuto Oniisan?"
"Iya, karena aku ingin melupakanmu. Tapi ternyata aku tidak bisa melupakanmu."
"Tapi, kenapa harus aku?" Ishikawa Hiro mengangkat bahu.
"Aku juga tidak tahu, kenapa aku sampai menyukai orang Indonesia sepertimu."
"Mungkin karena kau berbeda."
"Berbeda?" Ishikawa mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Habibi, apakah kau ingin bercinta denganku malam ini?" pertanyaan Ishikawa Hiro berhasil membuat Habibi terkejut dengan mata besarnya yang melotot menatap pria disampingnya.
"Apa sempai bercanda? Aku tidak mungkin melakukan hal itu dengan sempai?" sahutnya sambil perlahan menjauhkan diri dari Ishikawa.
"Aku bukan orang seperti itu." lanjutnya. Tiba - tiba ia merasa gugup dan canggung.
"Tenanglah, aku cuma bercanda." Ishikawa tertawa melihat sikap Habibi yang berubah gugup.
"Sempai mau membuatku mati ketakutan?"
"Inilah yang membuatmu berbeda."
"Apa maksud sempai?" tanya Habibi bingung.
"Kau pernah bilang kepadaku, kalau laki - laki yang dengan mudahnya memberikan tubuhnya kepada laki - laki yang disukainya, maka ia jauh lebih buruk dari seorang pelacur."
Habibi teringat dengan ucapannya sewaktu pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Ishikawa Hiro yang merupakan seniornya di kampus. Waktu itu mereka bertemu di perpustakaan kampus, lalu setelah itu Hiro mengajaknya bercinta. Gaydar Ishikawa Hiro sangat kuat sehingga dengan mudahnya bisa menebak Habibi. Tapi sayang Ishikawa harus kecewa karena Habibi menolak ajakannya.
Dari situ aku berpikir, kalau apa yang kau katakan itu ada benarnya." Habibi mengiyakan dalam hati.
"Laki - laki yang sesuka hati bercinta dengan banyak pria, itu lebih buruk dari pelacur. Tapi anehnya, mereka marah kalau disamakan dengan pelacur. Padahal sikap liar mereka lebih menyedihkan dari pelacur." Ishikawa Hiro terkekeh pelan sambil menatap Habibi.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ..."
"Sudahlah, tidak apa - apa. Meskipun aku tidak bisa memilikimu, tapi setidaknya aku bisa berteman baik denganmu." Habibi menatap Ishikawa Hiro lalu mengangguk sambil tersenyum. Rasa gugup dan canggungnya telah lenyap.
"Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Apakah kau akan terus mencari cinta pertamamu?" tanya Ishikawa penasaran. Habibi mengiyakan.
"Baiklah, semoga kau bisa segera menemukannya dan mengatakan perasaanmu kepadanya." Habibi mengangguk, dalam hati ia mengaminkan ucapan seniornya.
"Tapi, kalau kau tidak berhasil menemukannya dan telah lelah mencarinya. Datanglah kepadaku, aku akan selalu menunggumu." Sekali lagi Habibi tersenyum lebar kearah Ishikawa Hiro, pria yang sudah tujuh tahun dikenalnya.
To be Continue
semoga teman - teman suka dengan ceritanya.