It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Eri tidak merasa lebih baik ketika guru UKS datang dan memeriksanya. Guru itu menganjurkan Eri untuk beristirahat sejam pelajaran lagi.
“kamu merepotkan orang yang berbeda kali ini…” ujar guru penjaga UKS itu kepada Eri.
Eri tersenyum kecil sebagai balasan, walau Arya tak mengerti apa yang dimaksud wanita yang pernah bekerja di rumah sakit itu.
“nah, temen kamu ini cuma kelelahan saja, dia hanya butuh istirahat.” ujar wanita itu ke arah Arya. “lebih baik kamu kembali ke kelas, atau terpaksa akan ibu laporkan kalau kamu membolos pelajaran”
Arya menatap Eri meminta bantuan, namun anak itu hanya mengangguk menyetujui kata kata wanita penjaga UKS , seakan mengatakan ia akan baik baik saja walau Arya meninggalkannya.
Dengan ekspresi tak puas, Arya berdiri dari kursinya dan mengusap kepala Eri pelan.
Eri bisa melihat Arya menatapnya dengan lembut, walau mulutnya tidak terbuka namun Eri bisa merasakan bahwa Arya baru saja mendoakannya agar cepat sembuh.
Menanggapi itu, Eri tersenyum lebar , menampilkan gigi nya yang berderet rapi. Sesaat tadi ia bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari gerak-gerik Arya.
Arya membalas senyumannya, dan ia berjalan pelan keluar dari UKS setelah itu. Sang guru penjaga UKS tampak sibuk menulis sesuatu di atas meja kerjanya, sesuatu yang tampak seperti sebuah essay.
Tak ada suara yang terdengar kecuali suara goresan pena di atas kertas, dan sesekali suara kursi yang berderit ketika guru penjaga UKS membetulkan posisi duduknya. Eri membaringkan diri di atas kasur, dengan bantal menyangga kepalanya.
Ia memutuskan untuk memejamkan mata, dan mencoba memikirkan masalah masalah yang menghadangnya. Ada Rara−Lily−Kemal , ia tak mengerti harus mulai darimana, yang pasti ia harus meminta penjelasan dari Lily.
Dan pastinya ada Daniel−Bella. Eri menghela nafas pelan, jika memang Daniel lebih memilih Bella, apa yang bisa Eri lakukan? Lagipula ia juga tidak ingin Daniel mendapatkan nama buruk jika terlalu dekat dengannya.
Eri tidak akan mengganggu jika memang itu yang dipilih Daniel……. Tapi Eri tidak bisa mengetahui kenapa sekarang air matanya menggenang.
Ketika Eri membuka matanya, air mata mengalir turun dari sana. Eri langsung cepat cepat menghapusnya, khawatir jika tiba tiba guru UKS memergokinya menangis. Namun ia baru sadar, suara goresan pena sudah berhenti.
Sang guru sudah tidak ada disana, dan Eri benar benar sendirian di dalam UKS.
Ruangan yang berada di pojok gedung sekolah itu selalu sepi, karena ruangan di sekitarnya juga jarang dipakai. Bau bau obat yang tercium mengingatkan siapapun akan bau rumah sakit, menambah suasana suram di tempat itu.
Namun yang paling Eri benci adalah tirai yang menggantung di pojok ruangan, mengingatkannya akan sesosok makhluk halus yang ditakuti banyak orang. Seakan akan tirai itu bisa berubah wujud kapan saja.
Kepanikan langsung melanda Eri saat ia turun dari ranjang, ia tak suka berada sendirian di dalam UKS. Setelah memakai sepatu, Eri langsung menyambar kacamatanya dan berlari menuju pintu.
DUK!
Eri langsung mengusap dahinya ketika ia menubruk sesuatu. Rasa nyeri juga menusuk hidungnya, yang sempat menabrak apapun yang berada di depannya.
“ka−kamu gak pa pa???” tanya sebuah suara di depannya. Sebuah tangan ikut mengusap dahi Eri, menyelimuti tangannya sendiri.
Eri mengenali suara itu dan ia mengangkat wajahnya hanya untuk melihat Daniel yang berdiri di depannya dengan wajah khawatir.
Hati Eri mencelos. Jika ia harus bertemu Daniel , sekarang adalah waktu yang benar benar tidak tepat.
“m−maaf dek, sakit ya?” tanya Daniel khawatir. Ia harus membungkukkan badannya sedikit agar bisa melihat muka Eri dengan lebih jelas.
“e−enggak gak papa−“ jawab Eri asal sambil memalingkan mukanya dari Daniel. Tangan Eri dengan cepat mengusap kedua matanya, menghilangkan air mata yang menggenang.
“coba sini kakak liat..” ujar Daniel sambil memegangi kepala Eri untuk memeriksa.
“a−aku bilang gak papa!” seru Eri. Tanpa sadar tangannya menangkis tangan Daniel yang terulur ke arahnya, menyebabkan ekspresi terkejut di wajah pemain basket itu.
Kemudian keduanya terdiam sesaat, sebelum akhirnya Daniel memecah keheningan. “… kamu marah karena yang kemaren?”
Eri langsung berusaha menyembunyikan ekspresinya, walau tetap saja gerak geriknya menjadi salah tingkah. “e−enggak kok! Ngapain juga aku marah.” jawab Eri datar, namun pipinya sedikit menggembung.
Jika Daniel akan tersenyum, maka ia menahannya dengan sangat baik. Pipi Eri yang menggembung terlihat sedikit memerah, dan matanya yang terlihat bundar berhasil menarik perhatian Daniel.
Daniel hampir saja mengacak acak rambut anak itu karena gemas, kalau saja anak itu sedang tidak marah.
“gak usah boong.” Daniel menempelkan telunjuknya di pipi Eri. “pipi kamu tuh langsung ngembang kalo kamu kesel.”
Eri seakan tersadar dan langsung mengempiskan pipinya.
“terlambat tau dek” ujar Daniel geli, kemudian ekspresi mukanya berubah serius. “kakak minta maaf kalo udah buat kamu marah dek”
“….. bukan salah kakak kok” balas Eri, seakan mengakui kalau ia memang marah tadinya. “lagian kan kakak juga udah di jodohin sama Bella, urusin aja cewe itu…”
Tiba tiba saja sebuah pertanyaan tak terduga terlontar dari mulut Daniel. “kamu cemburu sama Bella?”
DEG.
Jantung Eri langsung berdegup keras, entah kenapa pertanyaan tadi seakan menusuknya tepat di dada.
“a−aku gak cemburu kok! Terserah kakak mau sama cewe yang mana kek, aku gak peduli” sangkal Eri.
Daniel tertegun ketika melihat muka Eri perlahan makin memerah, menunjukkan jawaban yang sama sekali berbeda dari mulutnya.
“kalo gitu kenapa muka kamu jadi merah?” tanya Daniel, tak bisa lagi menahan senyumnya.
Eri mengumpat dalam hati, tubuhnya selalu tak bisa diajak kerja sama dalam keadaan seperti ini. Sambil menggigit bibirnya sendiri, anak itu menatap lantai dalam usahanya mencari jawaban.
“a−aku…… aku takut.”
“takut apa?”
“aku takut kejadian dulu ke ulang. Kejadian saat kakak… punya cewe.” Jawab Eri.
Daniel terdiam tanpa bisa membalas.
“kakak inget kan dulu pas kakak punya cewe? Aku sampe harus menjauh dari kakak. Ini yang aku takutin, aku takut kakak gak bisa ada disampingku terus.” Ujar Eri, teringat kejadian berhari−hari yang lalu ketika ia dan Daniel akhirnya kembali menjadi kakak−adik.
“kakak yang mau kita kayak dulu lagi, tapi kakak juga yang sekali lagi bakal bikin aku ngejauh” lanjut Eri.
Daniel tampak menegang ketika mendengar perkataan Eri, namun ia tidak membalas apa apa.
“aku tau kalo kakak bakal lebih milih dia, Bella yang kaya , cantik , dan yang paling penting , dia cewe kan.” Ujar Eri sambil tersenyum pedih. Kata kata Eri seakan menampar Daniel tepat di wajahnya.
“itu gak ada hubungannya dek..”
“terserah kakak mau bilang apa. Tapi selama perjodohan itu masih berlangsung, a−aku gak bisa deket kakak.” ujar Eri, seraya berlari melewati Daniel. Eri sendiri terkejut dengan suaranya yang bergetar, dan matanya mulai basah.
Daniel hanya terpaku di tempatnya, tak mengejar ataupun menyangkal.
Kalau saja itu bukan di sekolah, Eri akan berteriak sekeras kerasnya , seperti yang ia lakukan sekarang dalam hati.
Ia tidak peduli kenapa Daniel tidak masuk kelas, ia tidak peduli kenapa ia bisa begitu sedih. Nyatanya, ia tidak peduli apa apa lagi…
∞
Bel pulang sekolah berbunyi, diikuti suara kursi kursi yang bergeser ketika pemiliknya beranjak pulang.
Rara menghela nafas. Setelah ia dan Kemal putus, tak ada lagi yang datang mencarinya dan mengancamnya. Namun ada kekosongan di dalam dadanya, seakan sebanyak apapun nafas yang ia hirup tetap saja membuatnya sesak.
Sebuah pesan singkat masih tersimpan di handphonenya, dari Lily.
− “Ra maafin gue. Tapi gue udah suka sama Kemal dari dulu. Maaf Ra, maaf.”
‘Bego’ imbuh Rara dalam hati. ‘seharusnya lo ngomong dari awal’
Bukannya Rara kesal karena sahabatnya sendiri ternyata menyukai mantan pacarnya, namun ia kesal dengan cara Lily yang pengecut. Bukannya datang dan memberitahunya, Lily malah diam dan memilih cara kotor.
Rara bukan termasuk orang yang mudah memaafkan , apalagi jika yang meminta maaf tidak berani berkata padanya secara langsung.
Perempuan berkulit putih itu memakai tasnya, dan beranjak meninggalkan ruang kelasnya yang sudah sepi.
Kakinya membawa ia menyusuri koridor, seperti yang biasa dilakukannya sebelum meninggalkan gedung sekolah. Dari tempatnya sekarang ia bisa melihat tempat ia melihat Kemal untuk pertama kali, di depan kelasnya tempat Noval dan kelompoknya biasa duduk.
Rara menghela nafas untuk yang kedua kalinya. Mungkin ini karma karena ia menerima cinta Kemal walaupun sebenarnya ia masih mengagumi Noval.
Perhatian Rara tersita oleh sebuah kelas tak terpakai yang pintunya terbuka. Sebuah siluet terlihat di ambang jendela, memunggungi Rara.
Rara tampaknya mengenali sosok itu, dan dengan takut takut ia melangkahkan kaki ke dalam ruangan.
Kelas itu tampak terang dengan cahaya matahari, walaupun semua lampunya padam. Debu terlihat menumpuk di atas meja meja, bahkan sedikit di lantai tempat Rara berpijak.
Siluet di dekat jendela tak tampak semakin jelas, karena posisi matahari yang bersinar dari arah jendela. Namun Rara tak perlu mendekat untuk tahu siapa itu, karena sosok itu berbalik dan langsung bersuara.
“R−Rara?” tanya Eri kaget sambil mengusap kedua matanya, jelas sekali ia baru saja menangis , walaupun Rara tidak bisa melihat jelas wajahnya.
Awalnya Rara ingin bertanya kenapa anak itu menangis, namun ia teringat sifatnya yang mengabaikan Eri akhir akhir ini , dan ia mengurungkan niatnya.
“lo ngapain disini?”
Pertanyaan itu datang dari Eri.
“lo sendiri?” Rara bertanya balik.
“bukan urusan lo..” jawab Eri, yang membuat Rara sedikit terkejut. Namun perempuan itu tidak bisa menyalahkan Eri, Rara juga melakukan hal yang sama belum lama ini.
Eri kembali membalikkan badannya ke arah jendela, memunggungi Rara yang berdiri diam di tempatnya.
Semua tampak mengesalkan di mata Eri, lantai yang berdebu, matahari yang menyinarinya , kusen jendela yang berhiaskan sarang laba laba , dan siapapun orang yang ia lihat. Maka dari itu Eri tidak masuk ke dalam kelas dan membolos hampir seluruh pelajaran.
Merasa tidak terima diabaikan Eri, Rara meraih penghapus papan tulis yang dipenuhi debu dari meja terdekat, dan melemparkannya tepat ke kepala Eri.
“aw!” Eri mengusap kepalanya dan berbalik. “apa?!”
“lo tuh cowo. Gak cocok kalo nangis” cibir Rara.
“g−gue gak nangis kok!” Eri menyangkal, walau matanya masih memerah.
“gue aja yang cewe jarang nangis”
“oh ya? Walaupun lo habis mutusin pacar sendiri?” balas Eri.
Bibir Rara tersenyum datar. “Kemal pasti ngasih tau lo ya?”
“ga penting gue tau dari siapa.” Eri membetulkan letak kacamatanya. “yang gue tau adalah lo ternyata pengecut.”
Rara mendengus geli “tau apa cowo yang nangis di kelas kosong kayak lo tentang gue?”
“cowo yang lo bilang nangis di kelas kosong ini, tau kalo lo ternyata mudah menyerah dan pecundang.” Balas Eri.
Pembuluh darah di kepala Rara berdenyut ketika ia menerima hinaan Eri, namun ia masih bisa mempertahankan ketenangannya. “omong kosong.” Balasnya datar.
Eri tersenyum mengejek ketika merasakan umpannya terpancing. “gue tau lo ngerasa cantik, gampang dapet cowok , mutusin satu aja gak ngaruh kan?”
“stop….”
“ lagian juga bentar lagi paling ada cowo lain yang ngedeketin lo dan−“
“ANJ*NG!!” kesabaran Rara langsung tersulut dan ia langsung menerkam Eri, mencengkram kerah bajunya.
“Tarik kata kata lo!!” bentak Rara di depan muka Eri, yang tersenyum ketika Rara menelan umpannya.
“emang bener kan? Itu alasan lo mutusin Kemal.”
“Anj*ng lo ya, lo gak tau apa apa tentang gue! Gak usah ikut campur hidup gue!” Rara menyentakkan tangannya dari seragam Eri, dan berbalik menuju pintu.
“mana bisa gue ga ikut campur hidup dari temen gue yang berharga?”
Rara tersentak dan menghentikan langkah kakinya.
“gue gak bisa ngeliat lo sedih, tapi lo nolak bantuan gue mentah mentah. Lo gak bisa sendiri Ra, gak ada manusia yang tahan sendirian,” ujar Eri.
Bibir Rara bergetar, dan ia mengigit bibirnya sendiri karena dikuasai emosi.
“gue gak tau gimana masa lalu lo, ataupun perasaan lo. Gue gak tau apa yang lo rasain. Dan itu emang gak penting buat gue.”
Lanjut Eri,sedangkan Rara terlihat membeku di dekat pintu.
“tapi gue bakal selalu ada buat lo Ra.”
Pertahanan terakhir Rara hancur, dan air matanya mengalir deras menuruni pipinya….
∞
Eri meninggalkan ruang kelas itu, tak lama setelah Rara keluar sebelumnya. Ia berhasil mendapatkan informasi dari Rara, dan sekaligus mengetahui lebih dalam tentangnya.
Dulu perempuan itu pernah punya temen dekat, teman yang rela ia tukar dengan nyawanya sendiri. Namun ternyata ia dikhianati, ia dimanfaatkan oleh orang yang menurutnya lebih berharga dari dirinya.
Dan itu lah yang membuat sifat Rara menjadi keras, dan juga membuat Rara benar benar terpukul ketika Lily juga mengkhianatinya.
Rara masih menyayangi Kemal, walaupun perasaan perempuan itu sedang kacau dan ia butuh waktu. Akhirnya Eri bisa mendapatkan kepercayaan Rara, sesuatu yang sedikit menghilangkan beban di dalam pikirannya.
“ERI!!”
Arya berlari entah darimana ke arah Eri, sambil menenteng tas Eri di tangannya.
“a−arya?” tanya Eri heran ketika melihat ekspresi panik pemain basket berabut cepak itu. “lo kenapa?”
“seharusnya gue yang nanya gitu!” ujar Arya sambil mengatur nafasnya. “lo kenapa gak masuk kelas lagi? Gue nyariin lo kemana mana pas nyadar lo gak ada di UKS.”
“ma−maaf banget ya tadi gue jalan jalan terus malah ketiduran di kelas kosong, hehe..” jawab Eri sambil tersenyum polos. Tidak sepenuhnya berbohong , pikir Eri.
Arya terdiam sesaat ketika melihat senyum Eri “…….. yaudah gak pa pa, tapi lo gak kenapa kenapa kan?” tanya Arya sambil menempelkan punggung tangannya di dahi Eri, mengukur suhu anak itu.
“udah gak pusing lagi kok ya , tenang ajaa”
“ohh.. bagus deh, nih tas lo”
Eri mengulurkan tangan mengambil tasnya.
“makasih ya, maaf ngerepotin..” ujar Eri dengan perasaan bersalah.
“gak pa pa kok ri!” Arya menepuk kepala Eri pelan. “emm lo nonton ekskul basket gak hari ini? Biasanya lo ke lapangan kan?”
Eri butuh beberapa saat untuk menangkap maksud Arya, dan mendadak menyesal ketika ia teringat tentang Daniel.
“kayaknya hari ini enggak ya, gue mau langsung pulang aja..” jawab Eri.
“kalo gitu mau gue anterin pulang?” tawar Arya.
Eri menggeleng pelan. “gue dijemput sama kakak gue ya”
Arya tidak langsung menjawab, melainkan memandangi wajah Eri dalam diam , entah mencari apa di wajahnya. “ yaudah.. hati hati ya di jalan” ujar Arya sambil mengelus kepala Eri pelan.
Muka Eri sedikit memerah, sangat sedikit dibanding biasanya , namun tetap saja rona kemerahan muncul di pipinya saat ia tersenyum. “makasih ya, Arya”
Setelah itu Eri langsung berderap pergi, takut kakaknya menunggu terlalu lama. Arya menatap kepergiannya sampai akhirnya Eri menghilang di balik koridor.
Saat itu sudah sepi, tak ada suara lain kecuali angin yang berhembus. Lengan Arya terangkat saat ia memperhatikan tangannya, di tempat tadi ia bersentuhan dengan Eri.
Senyumnya tak terbendung, dan ia pergi sambil mengusap bagian belakang kepalanya.
∞
“akhirnya kamu mampir kesini lagi cu” ujar Nenek Paula lega saat melihat Eri muncul di dapur rumahnya.
Eri hanya tersenyum simpul dan menarik kursi ke dekat Nenek Paula yang sedang membuat 5 adonan kue yang berbeda warna. “rainbow cake?” tanya Eri.
“tepat” jawab Nenek Paula sambil tersenyum. “dan sepertinya masalah masalahmu masih belum selesai, atau nenek salah−?”
“nggak sepenuhnya salah, aku udah berhasil mendapatkan kepercayaan Rara , tinggal bagaimana menyelesaikannya..” jawab Eri sambil mengaduk adonan biru yang warnanya belum merata.
Nenek Paula tidak menjawab, namun ia menghentikan kegiatannya mengaduk adonan dan memandang Eri, seakan menunggu sesuatu.
“kenapa?”
“apakah nenek harus nanyain tentang Daniel, atau kamu mau menceritakannya duluan?”
“ohh..” Eri menghela nafas dan menghentikan kegiatannya mengaduk adonan.
“jadi.. .?” tanya Nenek Paula, meminta penjelasan.
“aku tak tahu jika ia akan melupakanku atau tidak, tapi jelas Daniel lebih memilih perempuan yang dijodohkan kepadanya.”
“kenapa kamu bisa bilang begitu?” tanya Nenek Paula, sambil mengaduk adonan hijau.
Eri mendengus. “dia…..” Eri sejenak ragu untuk meneruskan “dia memang lebih memilih perempuan itu. Dan lagi pula itu wajar, ia pasti akan lebih memilih perempuan”
“Gender has nothing to do with it” Nenek Paula menggelengkan kepala “ apa yang ia lakukan sampai kamu berfikir seperti itu?
“tidak ada. Justru karena itulah aku berfikir seperti itu. Daniel tidak melakukan apa apa, ia bahkan tidak menyangkal ataupun membantah. Aku nggak tahu apa yang dipikirkannya..” ujar Eri putus asa.
“Terkadang,” Nenek Paula memulai ”semua tidak seperti yang terlihat. Ada sesuatu yang tidak bisa kamu pastikan hanya dengan mata kepalamu. Terkadang butuh lebih dari sekedar penglihatan untuk melihat sesuatu yang luput dari perhatian.”
“maksud nenek?”
Nenek Paula tersenyum jahil. “kamu akan tau sendiri”
“Nenek selalu begitu, gak mau jelasin apa yang udah nenek bilang.” keluh Eri.
“Gak butuh penjelasan , karena kamu akan tahu sendiri nantinya.”
Eri menganggukkan kepalanya dengan enggan. “sarah belum pulang?
“belum, dia akhir akhir ini sangat sibuk di luar rumah.”
“sibuk apa? Kerja? Atau dia punya pacar??”
Nenek Paula tersenyum kembali. “ yang kedua mungkin, perasaan hatinya selalu senang akhir akhir ini”
Eri kembali teringat liontin Sarah yang berinisialkan ‘L’ , mungkin itu kekasihnya?
“kamu nggak terlihat terlalu sedih, atau kamu makin pintar menyembunyikan perasaanmu cu?” tanya Nenek Paula, kembali menyinggung masalah Daniel.
Eri terdiam sebentar sebelum ia tersenyum pedih dan menjawab. “justru karena aku terlalu sedih , sampe tubuhku sendiri gak tau gimana cara menunjukkannya”
Page twenty eight – Midnight
“aku udah ngomong sama Rara tadi kak” ujar Eri di telfon. Kali ini ia memutuskan untuk mengabari Kemal duluan.
Langit di luar masih berawan, padahal matahari sudah kembali ke peraduannya , digantikan bulan purnama yang tertutup tebalnya awan kelabu.
Pohon pohon di pinggir jalan mengangguk angguk saat tertiup angin, daun daunnya yang kuning berterbangan hingga jendela kamar Eri.
Kemal terdengar menghela nafas sebelum ia menjawab “udah kakak bilang kan kamu gak usah musingin tentang Rara lagi.”
“gak bisa kak, Rara itu temen ku. Aku gak bisa gak mikirin dia.” Ujar Eri yang duduk di kursi meja belajarnya.
“yaudah, tapi kamu gak usah terlalu capek mikirin masalah itu ya dek. Entar nilai nilai kamu malah jeblok karena masalah ini, haha.”
“yeee, enggaklah nilai mah masalah lain, gak bakal terganggu kak”
“tau deh kamu yang pinter, kapan kapan ajarin kakak ya!” canda Kemal sambil tersenyum di tempat lain.
“ada juga kakak yang ngajarin aku, kenapa jadi aku yang ngajarin kakakk” ujar Eri.
“kamu kan lebih pinter. Oh iya, besok kan libur dek , jalan yuk”
“jalan? Kemana kak?” tanya Eri.
“ke mall aja dek , atau ada tempat yang mau kamu datengin?”
“emm gak ada sih, yaudah liat besok aja ya kakk”
Eri menoleh ke arah pintu ketika suara ketukan terdengar beberapa kali. Rio masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu di belakangnya.
“oke, besok kalo jadi kakak jemput jam 9 ya dek”
“siap kakk” dan setelah itu Eri memutuskan panggilan.
Rio duduk di ujung kasur Eri, yang berada di dekat meja belajar. Kacamata ber−frame hitam menghiasi wajahnya, kontras dengan kulitnya yang cerah. Kacamatanya mirip kacamata Eri, hanya saja kacamata Eri memiliki lensa yang sedikit lebih besar.
“lo sering banget otp−an ya.” ujar Rio. Itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan.
“engga sering juga kok” balas Eri. Anak itu beranjak dari tempatnya dan duduk di lantai , menyender pada kaki Rio. “kakak kenapa kesini?”
“emang gue gak boleh ke kamar adek gue sendiri?”
“kalo kakak serapi ini, aku ragu kakak gak ada maksud lain..” Eri melirik Rio, yang memakai celana jeans dan kaos hitam dengan logo berwarna putih di tengahnya.
Rio nyengir. “nonton yuk, lo belom nonton Batman kan?”
Eri menggeleng. “tapi kan udah malem kak,” ia harus mendongak untuk berbicara kepada Rio di belakangnya.
“justru karena itu dek, kita nonton yang midnight.”
“emang papa mama bakal ngebolehin?”
“ya kita gak usah izin, langsung cabut aja.” jawab Rio. Tangannya bermain di rambut Eri, hal yang tidak pernah bosan ia lakukan. “mau gak?”
“mau sih…” jawab Eri, ia ragu dengan rencana pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya ini. Namun ia jarang keluar pada malam hari, dan hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat anak itu bersemangat.
“yaudah lo ganti baju dulu gih”
Eri mengangguk dan berjalan menuju lemarinya sendiri. Tak banyak baju disana, karena ia memang bukan tipe orang yang senang berbelanja. Jaket abu abu pemberian Daniel ada di salah satu sudut lemari, menampakkan diri seakan ingin dipakai.
‘Tidak kali ini..’ Imbuh Eri dalam hati, jaket itu mengingatkannya akan sosok yang tidak ingin dipikirkannya.
Rio tak kunjung keluar dari kamar , dan Eri berbalik dengan baju ganti di tangannya.
“kakak ngapain masih disini?”
“lah emang kenapa?” tanya Rio.
“aku ganti baju dimana?”
“ya disini aja lah”
“makanya aku tanya kenapa kakak masih disini?” ujar Eri tak sabar.
“yailah selo aja kali dek. Apa perlu kakak buka baju juga?” tanya Rio, tangannya sudah siap membuka bajunya sendiri , memperlihatkan sedikit bagian perutnya.
“enggak enggakk! Aku ganti baju di kamar mandi aja!” ujar Eri sambil berjalan cepat keluar kamar, dan membanting pintu di belakangnya. Mukanya sedikit memerah, dan nafasnya terengah engah bahkan saat ia sampai di kamar mandi.
∞
Eri bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat ia dan kakaknya mengendap endap pergi keluar rumah. Rio menenteng motornya beberapa meter dari rumah, agar tidak menimbulkan suara saat ia menyalakannya.
Untuk menahan angin malam, Rio memakai jaket jeansnya dan Eri memakai sweater berwarna biru tua.
Langit berwarna hitam gelap, tanpa adanya tanda tanda bulan maupun bintang. Sumber cahaya yang terlihat hanyalah lampu jalan yang remang remang, dan lampu dari rumah sekitar. Angin tampaknya sudah mereda, walau sesekali masih berhembus menerpa muka Eri.
Begitu merasa sudah cukup jauh, Rio menyuruh Eri untuk naik dan memakaikannya helm, setelah itu ia memacu kuda besinya keluar dari perumahan tempat tinggal mereka.
Jantung Eri masih berdetak kencang, namun itu karena ia bersemangat. Lampu lampu tampak berkelap kelip di jalan, entah dari toko toko di sepanjang jalan atapun dari kendaraan bermotor yang berlalu lalang.
Semua tampak berbeda dari siang hari, dan Eri tersenyum polos saat melihat perbedaan itu. Ia seperti anak kecil yang mendapat mainan baru, tak sabar untuk segera mencoba apa yang ia lihat.
Tangannya memeluk pinggang Rio lebih erat, saat kakaknya itu memacu motornya lebih cepat.
Pertokoan sudah mulai hilang saat Rio memasuki jalan raya, di pinggir jalan terdapat pohon pohon yang tumbuh dengan jarak teratur , dan beberapa kali terlihat halte−halte yang sepi di atas trotoar.
Angin berderu−deru di telinga Eri, menyatu dengan suara kendaraan bermotor lainnya yang melaju di jalanan.
Bangunan yang terlihat mulai digantikan oleh gedung gedung pencakar langit, dan banyak gedung lain yang entah apa fungsinya. Mata Eri terpaku pada gedung gedung tinggi yang terlihat , dengan lampu lampunya yang masih menyala.
Semua yang ia lihat menambah kecepatan detak jantungnya, dan Eri tidak bisa menahan senyumnya. Rasanya ia ingin turun dari motor dan berlari menyusuri jalanan, namun Eri sendiri merasa geli dengan idenya.
Tak berapa lama kemudian sebuah bangunan menarik perhatian Eri. Bangunan itu terlihat terang, sangat terang dengan lampu−lampu nya dan juga layar LCD yang menempel pada dinding luar bangunan itu.
Eri terkesima saat ia melihat Mall yang belum pernah ia datangi di siang hari itu, apalagi di malam hari.
Mall itu terlihat lebih besar dari yang pernah ia datangi, dan juga lebih megah. Setiap kendaraan yang masuk diperiksa dengan ketat, apalagi kendaraan beroda empat.
Rio hanya butuh mengambil sebuah karcis sebagai tanda masuk untuk memarkirkan motornya. Eri mengira Mall ini akan sepi pengunjung, karena keadaan sudah cukup malam. Namun perkiraannya salah saat melihat parkiran yang penuh sesak degan kendaraan.
Rio harus masuk ke dalam basement untuk mencari tempat parkir, untungnya ada motor yang keluar tepat saat mereka masuk , sehingga Rio langsung memakirkan motornya di tempat motor tadi berada.
“lo kenapa?” tanya Rio setelah mengunci kedua helm di motornya. Senyum Eri masih tersisa di wajahnya tanpa ia sadari.
“h−ha? g−gak pa pa kok!” ujar Eri salah tingkah ketika ia menyadari bahwa ia masih tersenyum.
“dasar aneh” sindir Rio sambil tersenyum geli melihat tingkah laku adiknya. “ayo dek”
Eri mengikuti langkah kaki Rio, saat kakaknya itu merangkul bahunya. Basement itu terasa hangat, dan sedikit pengap karena hasil pembuangan gas kendaraan bermotor.
Namun tak jauh mereka sudah terlihat pintu masuk kedalam Mall, dan di dalamnya terdapat lift yang membawa mereka ke lantai dasar.
Eri berusaha untuk tidak menganga saat pintu lift terbuka. Jujur ia baru pertama kali melihat Mall semegah ini, sangat jauh jika dibanding Mall yang beberapa kali ia datangi.
Langit langit terlihat sangat tinggi di atasnya, dan berbagai macam barang bermerk dipamerkan di balik etalase , dengan tujuan menarik pembeli.
Banyak orang yang mondar mandir di sekitarnya, entah itu keluarga , orang yang datang sendiri , bersama teman temannya , ataupun berpasangan. Yang Eri tahu adalah kelas mereka benar-benar berbeda dari pengunjung Mall yang biasa ia datangi.
Tiba tiba Eri merasa minder memakai sweater yang tidak jelas merknya itu, jika dibandingkan dengan pakaian pengunjung lain yang rata rata bermerk terkenal.
“lo baru pertama kali ya kesini?” tanya Rio , yang dibalas dengan anggukkan kepala dari Eri.
“haha alay dasar!” ejek Rio sambil mengacak acak rambut adiknya. Muka Eri memerah menahan malu.
“aku kan emang jarang keluar rumah..”ujar Eri membela diri, teringat hari harinya yang ia habiskan di rumah.
“iya iya maaf, tenang aja abis ini gue bakal sering ngajak lo keluar jalan jalan dek.”
“beneran??” mata Eri berbinar saat ia menatap Rio, membuat kakaknya itu tertegun sesaat.
“iyaaa”
“janji ya kak?” tanya Eri. Setelah Rio menganggukan kepalanya, Eri langsung tersenyum lebar , memamerkan giginya yang putih. “inget ya, kakak udah janji loh”
“iyaa adekku sayangg” ujar Rio sambil mengeratkan rangkulannya sehingga ia lebih bisa dibilang memeluk Eri daripada merangkulnya.
Muka Eri memerah padam saat mendengar kata kata Rio. “gak pake peluk peluk juga kali kakk” keluhnya, namun ia tidak berusaha melepaskan diri.
“alah sok nolak lo dek, bilang aja mau!” ujar Rio sambil mencubit pipi Eri.
“udah ah kak, orang orang pada ngeliatin tuhh” Eri menundukkan kepala saat melihat pandangan mata yang terarah padanya dan Rio.
Rio hanya membalas dengan cubitan lain di pipi Eri.
“eh kita makan dulu yuk, gue laper nih” ajak Rio sambil mencari cari tempat makan. “lo mau makan apa?”
“aku gak laper kak, lagian kan tadi udah makan di rumahh”
“makan donat aja yuk dek,” kata Rio, mengabaikan ucapan Eri.
“kak udah aku bilang aku gak laper.”
“katanya, donat coklat disitu enak..” Rio menunjuk sebuah tempat makan yang khusus menjual donat, dengan inisial ‘J’ terpampang di logonya.
“ayo kita kesana kak!!”
∞
Tempat makan itu tampak ramai dengan pengunjung, walau tidak semua bangku dan meja terisi.
Berbagai macam donat langsung menyambut di balik etalase kaca, mulai dari donat polos , kacang almond , coklat kacang , strawberry , blueberry sampai donat dengan lapisan coklat di atasnya yang membuat Eri tak bergerak memandanginya.
“lo mau yang itu?” tanya Rio di sampingnya.
Eri menoleh dan mengangguk dengan pipi yang sedikit memerah, sebelum ia kembali menatapi donat itu.
Rio menahan keinginan untuk kembali mencubit pipi adiknya.“yaudah mending lo cari tempat duduk dulu gih sana”
Eri melirik Rio, dan menatapnya tajam dengan matanya yang bundar.
“iya iya entar dibeliinn! Udah sana cari tempat duduk dulu!”
Eri tersenyum gembira dan langsung melesat mencari tempat duduk yang kosong. Senyum juga muncul di wajah Rio, ketika ia teringat ‘puss in boots’ dalam film Shrek.
‘mungkin sebutan mata kucing akan lebih cocok untuknya’ Pikir Rio dibalik senyumnya.
Sebuah meja kosong di dekat kaca menjadi pilihan Eri, sama seperti Rio, ia lebih suka duduk disamping kaca. Lebih banyak hal yang bisa dilihat jika duduk di samping kaca, alih alih tembok.
Sambil menunggu kakaknya, Eri memperhatikan sesisi ruangan , hal yang biasa ia lakukan di tempat umum.
Di tempat ini dan semalam ini, yang ada hanyalah pasangan yang sedang bermesraan, para remaja yang selalu mengisi kesunyian dengan suara mereka, dan orang orang yang menurut Eri baru menginjak usia 20 an.
Tak ada yang duduk sendiri di sana, kecuali seorang wanita berambut panjang di salah satu pojok ruangan, selain itu meja lainnya terisi 2 orang atau lebih.
Eri mencari cari Rio, dan menemukan kakaknya sedang berjalan kearahnya dengan secarik kertas di tangan. Bisa terlihat bagaimana pandangan para perempuan disana langsung beralih ketika Rio lewat, mengingatkan Eri pada Daniel.
Eri langsung menggelengkan kepalanya kuat−kuat, berusaha menghilangkan bayangan Daniel dari kepalanya.
Suara suara di dekat Eri mulai terdengar ketika Rio duduk di depannya.
“…. Ih itu lucu deh, mereka berdua mirip!”
“…. Mereka pasti kakak adek deh , abis mirip banget”
“liat tuh , mereka berdua pake kacamatanya kembaran!..”
Muka Eri langsung menghangat mendengar komentar bahwa ia mirip dengan kakaknya. Dalam hati ia tersenyum, karena itu berarti ia memiliki ‘hubungan’ dengan kakaknya yang bahkan diakui orang lain.
Tak berapa lama seseorang memanggil nama Rio, yang tak lain adalah pelayan dengan nampan di tangannya. Pelayan itu memeriksa bukti pembelian ketika Rio menyodorkannya, dan setelah yakin bahwa ia benar benar orang yang dituju , pelayan itu menaruh 2 gelas minuman dan piring dengan berbagai macam donat di atas meja.
“donatnya gak kebanyakan?” tanya Eri menatap tumpukan donat di depannya, padahal meja lain tak ada yang membeli donat sebanyak itu.
Rio tak menjawab dan langsung mencomot sebuah donat almond dari atas piring.
Tak butuh waktu lama bagi Eri untuk langsung menyambar donat coklat di depannya.
Mereka berdua makan dalam diam, tak ada yang angkat bicara. Eri memanfaatkan waktu untuk kembali melihat sekitarnya. Mayoritas pengunjung perempuan sesekali mencuri pandang kearah Rio, namun Eri melihat beberapa orang juga melirik ke arahnya.
“kenapa?” tanya Rio ketika melihat Eri terlihat tidak nyaman.
Eri mengangkat bahu “gak pa pa. Aku cuma penasaran aja kenapa ada orang yang ngeliatin aku, kalo ngeliatin kakak sih aku bisa maklum.”
Rio tersenyum kecil. “muka lo itu kan mirip muka ganteng gue, pantes lah ada yang ngeliatin.”
“no comment deh kak” ujar Eri datar. “masalahnya yang ngeliatin kadang bukan cuman cewek doang kak, aku penasaran kenapa” Tambah Eri sambil menjilat jarinya yang belepotan coklat.
Rio juga mengakui dalam hati. Walaupun muka mereka mirip, ada sesuatu yang berbeda pada Eri , sesuatu yang bahkan Rio juga menyadarinya.
Namun kakaknya itu hanya mengangkat bahu, berpura pura tidak tertarik dengan topik yang Eri bicarakan.
Eri tak begitu memperhatikan ketika perempuan di pojok ruangan sekarang tak lagi sendiri. Temannya yang berambut coklat sudah datang dan duduk di sampingnya. Muka kedua perempuan itu tidak terlihat jelas dari tempat Eri, namun rambut coklat itu mengingatkan Eri pada seseorang.
“a−aku boleh makan lagi gak?..” tanya Eri ragu ragu, perhatiannya kembali beralih ke arah piring di depannya. Donat coklat yang masih tersisa beberapa potong seakan merayunya.
“katanya gak laper?” sindir Rio dengan cengiran di wajahnya. Pipi Eri bersemu ketika ia memalingkan mukanya dari Rio.
“semua donat itu emang gue beliin buat lo, makan aja” ujar Rio.
Senyuman lebar langsung muncul di muka Eri saat ia kembali menyambar donat coklat lainnya.
Rio terdiam memandang Eri yang terlihat begitu bahagia hanya karena beberapa donat coklat. Salah satu hal yang Rio sukai adalah saat Eri tersenyum bahagia, ekspresinya begitu polos sampai sampai Rio ingin melindungi ekspresi yang tampak rapuh itu.
“ada sesuatu di mukaku?” tanya Eri, membuyarkan lamunan kakaknya.
“o−oh eeee mu−muka lo belepotan coklat.” Rio asal menjawab.
Eri memandangnya bingung dan menjilat bibirnya untuk membersihkan coklat yang menempel, namun Rio seakan tersetrum sesaat.
“sini gue aja yang bersihin” Rio menjulurkan tangannya ke arah Eri, yang tak bergerak saat jari Rio menyentuh kulit mukanya.
Awalnya Rio hanya membersihkan noda di sekitar mulut Eri, tapi entah dorongan apa yang membuatnya menelusuri bibir Eri. Ibu jarinya menyapu bibir atas Eri, dan kemudian bagian bawahnya. Darahnya berdesir ketika merasakan lembutnya lapisan kenyal itu.
Ketika Rio menarik kembali tangannya ia baru menyadari bahwa muka Eri kembali memerah, namun adiknya itu melanjutkan kegiatan makannya seperti tak terjadi apa apa.
Namun lain untuk Rio, efek yang tak terihat sedang berdampak padanya.
“gue ke toilet dulu ya bentar” ujar Rio cepat, dan tanpa menunggu jawaban Eri , ia langsung melesat pergi.
Kendaraan bermotor terlihat berlalu lalang di balik kaca di dekat Eri dengan kecepatan tinggi, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebat cahaya yang melesat.
Disaat itu kepala Eri menoleh ketika ia mendengar suara tawa, karena walaupun suasana disana cukup ramai , suara tawa itu terdengar cukup jelas bagi Eri. Perempuan berambut panjang di pojok ruangan lah yang sedang tertawa.
Dengan temannya –si perempuan berambut coklat − perempuan itu sedang bercanda, entah apa yang mereka katakan. Perempuan berambut panjang itu duduk membelakangi Eri, sedangkan temannya duduk menghadap Eri namun mukanya terhalang si perempuan berambut panjang.
Mereka tampak sedang bercerita dengan seru, terlihat dari gerak geriknya , sampai si perempuan berambut panjang itu sepertinya pergi ke kamar mandi. Pandangan Eri tak lagi terhalang setelah perempuan itu pergi.
Dan Sarah sedang memandang tepat ke arahnya.
∞
“what are you doing here??” tanya Sarah yang sekarang duduk di depan Eri.
“of course i'm eating, ” jawab Eri, seakan itu pertanyaan aneh. “how about you?”
“uhm.. well I'm just.. Hanging out with my friend..”
“I see.. Um… That friend of yours, was she the one who gave you that?” Eri melirik ke arah kalung di leher Sarah.
Sarah mengangguk. “yes she was..”
Eri sedikit terkejut mendengar jawaban itu, tapi ia berusaha tidak memperlihatkannya.
“she is my girlfriend”
Eri menganga.
“p−p−pardon??” ujar anak itu.
Sarah tersenyum ketika melihat keterkejutan di muka Eri. “that girl, is my lover.”
Eri mengatupkan mulutnya.
“so.. you two are……” Eri tidak melanjutkan kata katanya, namun Sarah mengerti apa yang dimaksud , dan wanita bule itu mengangguk.
“I know, that kind of relationship is not common here, right?”
Eri mengangguk. “there’s a lot of people here who against it.”
“And I supposed that you’re not that kind of people, aren’t you Eri?”
“My parents are, but I think i'm not” Eri mengangkat bahu. “who am I to judge another people?”
“thank you..” Sarah kembali tersenyum. “I really appreciate that. you know , when I see you for the first time with your friend Daniel, I thought you were going out with him. But it seems I was wrong....”
“oh” ujar Eri lesu, ketika Sarah menyinggung Daniel.
“what’s wrong?”
Eri menggeleng, “nothing.”
Sarah tampak masih ingin bertanya, namun ia berhenti ketika perempuan yang ia akui sebagai pasangannya datang menghampiri.
“Lia!” sapa Sarah.
Perempuan itu tampak seperti tipikal perempuan pada umumnya, berambut hitam panjang, berkulit cerah , wajah mulus tanpa bekas apapun , dan dengan badan yang dijaga agar tidak kelebihan lemak.
“Who is this?” tanya perempuan yang disapa Lia itu kepada Sarah. Di lehernya terdapat kalung yang mirip dengan punya Sarah, namun berinisial S.
Sarah mengenalkan Eri sebagai saudaranya, karena mereka mempunyai nenek yang ‘sama’ , dan bahwa anak itu sudah mengetahui kalau mereka berpacaran. Perempuan itu tampak memperhatikan muka Eri dengan seksama, seakan mencari cari sesuatu.
“k−kenapa?” tanya Eri, merasa terganggu.
“o−oh maaf. Mukamu mirip seseorang..” jawab perempuan itu. “we need to go now Sarah, our movie will start in five min−“
Kata kata perempuan itu terhenti ketika ia melihat Rio mendekat. Ekspresi ngeri muncul di wajahnya, dan ia langsung menarik tangan Sarah. “we need to go, now!”
Sarah tampak kebingungan, namun ia tidak membantah kekasihnya. “well, see you later Eri!”
Eri hanya bisa memandang bingung ketika kedua perempuan itu bergegas pergi meninggalkan restoran seakan habis melihat hantu.
Dari jauh Rio sudah melihat kehadiran dua perempuan itu, namun ia tampak santai saat kembali duduk di depan Eri.
“bule itu bukannya yang di samping rumah?” tanya Rio.
Eri mengangguk sambil menyedot minumannya, ia tidak tahu namanya , namun minuman itu terasa manis sekali di lidahnya.
“namanya Sarah, dan cewe yang bareng dia itu...” Eri ragu ragu sesaat “temennya, namanya−“
“mereka pacaran kan?” potong Rio.
Eri menatapnya heran. “kenapa kakak bisa ta− “
“dan cewe yang sama bule itu namanya Lia kan?” potong Rio lagi.
Eri hanya mengangguk, takut ia akan di sela lagi jika ia bicara. Setelah Rio tampaknya tak akan memotong lagi, Eri kembali membuka mulut.
“kok kakak bisa ta−“
“Lia itu mantan kakak.”
Perut Eri seakan jungkir balik ketika ia mendengar hal itu. “ta−tapi bukannya dia..”
Rio menghela nafas “udahlah mending gak usah dibahas lagi”. Terlihat jelas sekali kalau Rio enggan membicarakan masalah ini , dan Eri juga tidak mendesaknya untuk berbicara.
Eri memang tahu jika kakaknya itu mempunyai pacar, tapi ia tidak tahu jika gelar itu ternyata sudah berubah menjadi ‘mantan’.
“cabut ke bioskop yuk dek” Ujar Rio, sambil berdiri dari kursinya.
∞
‘TIKET HABIS’
Itulah yang tertera di tempat penjualan tiket sebuah bioskop dengan inisal X . Para penjaga bioskop sudah menghilang dari counter dan yang ada hanyalah penjaga di bagian makanan dan minuman.
Sepertinya bioskop itu sedang ramai pengunjung, padahal jam sudah menunjukkan pukul 12 malam tepat. Habisnya tiket juga dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah studio yang dibuka malam itu, dari 10 studio hanya 3 studio yang dipakai.
Rio tampak lesu, ia takut Eri akan kecewa karena mereka tak jadi nonton film yang sedang booming itu. “yah dek.. maaf ya kita gajadi nonton, seharusnya tadi gue gak ngajak makan dulu..”
Tanpa diduga, Eri malah tersenyum menganggapi kata kata kakaknya. “gak pa pa kali kak, tadi kan kakak udah beliin aku donat juga”
“tapi kan lo malah gak jadi nonton film batman itu..”
“ih dibilangin , gak pa pa kakk, kakak ngajak aku jalan jalan aja udah bikin aku seneng banget” Eri tersenyum kecil dengan mukanya yang memerah. “makasih ya kak”
Rio sedikit terkejut ketika Eri menyenderkan kepalanya ke bahu Rio. Di tempat dimana Eri menempelkan kepalanya terasa mengalirkan sinyal listrik ke otak Rio, membuat mukanya menghangat.
“dek?” panggil Rio.
“hmm?” Eri melepaskan kepalanya dari bahu Rio, dan menatap lurus ke arah kakaknya.
“eee.. lo mau kemana lagi?”
Eri tampak memikirkan sesuatu, namun tampaknya ia tidak mendapat ide apapun. “kakak ada ide?”
“gak ada juga. Jalan jalan aja yuk, mau gak?” ajak Rio.
Eri menganggukkan kepala, dan mereka berdua berjalan keluar dari bioskop. Entah sejak kapan suasana menjadi agak sepi, mungkin karena malam yang sudah terlalu larut. Beberapa toko pun tampak gelap, walau sebuah toko yang mengadakan midnight sale malah dipadati pengunjung yang tersisa.
Samar samar terdengar suara dari speaker di dalam mall, alunan lagu Angels brought me here mengisi kekosongan di dalam bangunan itu.
‘ It’s been a long and winding journey
But i'm finally here tonight
Picking up the pieces
And walking back into the light’
Rio sengaja memperpendek langkah kakinya, agar ia bisa memandangi Eri dari belakang. Rambut adiknya yang bergelombang terlihat sedikit berantakan, karena ia memang tak suka menyisir rambutnya sendiri.
‘into the sunset of your glory
Where my heart and future lies
There’s nothing like that feeling
When I look into your eyes’
Eri menoleh begitu merasakan kakaknya tidak berjalan di sebelahnya, dan melihat Rio memandanginya. “kenapa kak?”
‘My dreams came true
When I found you
I found you
My miracle ~’
“kak? kakak?”
Rio tersentak dari lamunannya “ha? ke−kenapa dek?”
“kakak kenapa ngelamun? Udahh, masalah tiket tadi gak usah dipikirin lagi kak” ujar Eri sambil tersenyum dan menyamakan langkah di samping Rio. “atau kakak lagi mikirin masalah yang lain?..”
“oh.. enggak kok gak pa pa.. hem.. dek?”
“iya?”
Rio memandangi tangan Eri yang menggantung di kedua sisinya. “gue boleh megang tangan lo gak? Dingin banget nih..”
Eri tampak mengerutkan dahinya sesaat, dan Rio sudah bersiap siap jika Eri akan menolak.
Sesaat kemudian Eri mengangkat bahu, dan ia menjulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Rio yang sedikit lebih besar.
“kali ini aja..” bisik Eri dengan muka memerah.
‘ If you could see what I see
That you’re the answer to my prayer
And if it you could feel
The tenderness I feel
You would know
Itwould be clear
That angels brought me here’
“that angels brought you here..” Rio mengoreksi dalam hati ketika ia balas menggenggam tangan Eri.
Jemari yang lebih kecil itu terasa lembut di tangannya, dan Rio mau tak mau memikirkan kenapa semua aspek tentang adiknya terasa lembut , tangannya , rambutnya , bibirnya…
‘Khususnya bagian yang itu’ imbuh Rio dalam hati.
Muka Eri tetap memerah selama Rio memegang tangannya. Untungnya sudah tak banyak pengunjung yang tersisa, walaupun beberapa sempat melirik ke arah mereka.
Sebenarnya Eri tidak akan melakukan hal ini kalau saja tadi kakaknya tidak terlihat lesu. Namun entah kenapa ia merasa nyaman menggenggam tangan kakaknya.
Eri tak pernah tahu bahwa berpegangan tangan bisa membuatnya senyaman ini…
.
.
.
‘You would know…
It would be clear
That Angels brought me.. here’
@zeva_21 @d_cetya @alfa_centaury @ddonid @dafaZartin
@yuzz @master_ofsun @Adityaa_okk @Mr_Makassar @Needu @arifinselalusial @cee_gee @uci @ananda1 @cee_gee
@3ll0 dan @Tsunami , ini lanjutannya ya makasih udah mau nungguin , apalagi tsunami si kakak berbisa Xp
maaf lama bangeet, udah di asrama susah updatee
‘DRRTTTT DRTTTT’
Handphone Eri bergetar keras ketika alarm yang dipasangnya menyala. Entah sudah jam berapa, yang pasti matahari sudah bersinar agak terang di langit.
Eri menjulurkan tangannya mencari cari sumber getaran, dan langsung mematikannya tanpa melihat. Ia masih sangat mengantuk, dan Eri tidak ingat apa apa lagi setelah ia masuk ke kamarnya sendiri tadi malam.
Tanpa membuka mata ia mencari gulingnya, dan meringkuk di sampingnya.
Pagi ini entah kenapa gulingnya terasa hangat, dan Eri menempelkan mukanya ke guling itu.
Tapi tunggu.. Sejak kapan gulingnya jadi besar dan sedikit berbau coklat. Juga sejak kapan guling bisa memeluknya balik?
Eri langsung membuka mata dan seketika ia kehilangan kantuknya.
Rio berbaring di sebelahnya, dengan sebelah tangan memeluk Eri , dan sebelah tangannya lagi berada di bawah kepala Eri. Kakaknya itu hanya menggunakan kaos hitamnya yang semalam dan boxer.
Sontak Eri langsung berusaha melepaskan dirinya, namun tangan Rio sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Eri mulai putus asa ketika tangan Rio tetap memeluknya, membuat punggungnya menghangat.
Muka Eri langsung memerah ketika ia merasakan nafas Rio membelai rambutnya, dan bau Rio yang bercampur dengan bau coklat membuat nafas Eri tidak beraturan. Ia suka baunya, namun menghirupnya lebih dari ini bisa membuat mukanya naik ke level ‘merah’ yang baru.
Eri mencoba melepaskan diri lagi, namun usahanya tak membuahkan hasil apapun.
Suara nafas Rio yang stabil terdengar jelas di telinga Eri, bersaing dengan suara burung pagi yang berterbangan di dekat jendela.
Karena tangan Rio berada di bawah kepala Eri, mau tak mau pipi anak itu menempel pada lengan kakaknya, sensasi yang nyaman menurut Eri.
Semua itu berlanjut beberapa saat sampai Eri merasakan sesuatu mulai bergerak menyentuh perutnya. Eri menelan ludah, ia tidak berani membayangkan kalau apa yang dipikirkannya itu ternyata benar.
Benda itu terasa hangat, dan perlahan mulai membesar.
Eri mengigit bibirnya sendiri.
“kak.. gak usah pura pura tidur. Aku tau kakak udah bangun!”
Tak ada jawaban dari Rio, dan benda itu makin mendesak perut Eri.
“kaaakkkkkk!” Eri meronta ronta panik, dan tanpa sengaja perutnya menggesek benda hangat itu.
Rio mendesah geli , namun tak melepas pelukannya. “aduh geli dek..”
“makanya lepasinn, lagian kenapa kakak tidur disini??” seru Eri kesal.
“abis semalem gue udah ngantuk banget, males balik ke kamar”
“yaudah, lepasin dulu tapi aku nya”
“gak mau ah enakan gini” ujar Rio sambil memeluk Eri lebih dekat, membuat perut Eri menempel dengan ‘benda’ di bawah sana.
“kakk!! Itu … i−i−itu kakak..” Muka Eri benar benar memerah sekarang.
“oohh.. haha cowo mah wajar kali dek kalo pagi pagi ‘bangun’ , punya kamu juga gitu kan..”
“ap−apa−“ seluruh badan Eri langsung menegang “apaan sih kak pagi pagi ngomongin begituan!! Urusin dulu aja gih sana di kamar mandi!” muka Eri terasa sangat panas.
“nanti aja ah, itumah gampang” ujar Rio.
Eri meronta makin keras, dan perutnya menggesek gesek benda yang menempel itu, membuat Rio mendesah lebih keras.
“ah! dek.. ja−jangan gerak gerak! na−nanti ehm gue keluar disini..”
Butuh waktu beberapa saat bagi Eri untuk menangkap maksud Rio.
“KAKAKKKKKKK!”
∞
Untung saja orang tuanya sedang pergi entah kemana, dan seperti biasanya , adiknya yang paling kecil pun tak ada di rumah.
Eri duduk di meja makan dengan pipi nya yang menggembung. Sedangkan Rio dengan wajah tanpa dosa duduk di seberang adiknya, sedang mengunyah roti tawar.
Kalau saja Eri tidak sedang kesal, mungkin ia akan membuka pembicaraan untuk mengisi kesunyian. Namun ia sedang kesal, dan walaupun tidak berbicara , kehadiran Rio saja sudah cukup. Setidaknya lebih baik daripada makan sendirian.
“entar gue ada kuliah” ujar Rio, memulai pembicaraan. “lo gak pa pa sendirian di rumah?”
Eri menghela nafas pelan. “gak pa pa , biasanya juga gitu kok”
Suasana kembali hening , dan Eri daritadi hanya meminum air putih dari gelasnya. Sebenarnya jika Eri memintanya tetap di rumah, Rio berniat akan membolos hari itu. Lagi pula ini hari sabtu, persetan dengan jadwal kuliahnya yang tidak mengenal weekend.
“kenapa gak makan?” tanya Rio.
“gak pa pa..”
“daritadi gak pa pa mulu. Lo tuh harus sarapan,” Rio menaruh beberapa potong roti tawar di atas piring Eri. “makan gih”
Eri memandangi roti di depannya. Kemarin malam ia sudah menghabiskan dua donat coklat , mau tak mau ia harus menjaga pola makannya beberapa hari ini.
“kenapa lagi?”
“kalo disuapin aku baru mau makan..” Eri hanya bercanda tentu saja, dan ia tidak membayangkan kalau Rio mau menyuapinya.
“bener ya, awas lo kalo gak makan.” ancam Rio saat ia pindah ke samping Eri.
Bunyi berdecit sedikit terdengar ketika Rio menggeser kursi di samping Eri, sehingga kursi itu menempel dengan kursi adiknya. Ketika Rio duduk disana, hampir tak ada jarak di antara mereka dan bahkan paha mereka hampir bersentuhan.
“lo mau pake selai gak?”
“e.eee g−ga jadi kak , aku makan sendiri aja!”
“gak. Udah telat.” Ujar Rio datar sambil mengoleskan selai coklat ke selembar roti di tangannya.
Mulut Eri tertutup rapat ketika Rio menyodorkan roti ke arahnya. Tapi dibawah tatapan tajam Rio, Eri tidak berani melawan lebih lanjut.
Rio hanya memandangi Eri dalam diam ketika adiknya itu melahan roti yang ia pegang. Muka adiknya itu sedikit memerah, namun ia sudah tidak memprotes lagi.
Mula mula sepotong , dua potong , dan akhirnya selesai di potongan roti ketiga. Rio tidak begitu memperdulikan tangannya yang sedikit belepotan selai coklat, lain halnya dengan Eri.
“kak bentar!” ujar Eri sambil menahan tangan Rio, dengan kedua tangannya sendiri.
Perlahan Eri kembali membuka mulutnya….
DEG.
Tangan Rio seperti tersetrum ketika jemarinya yang belepotan coklat masuk kedalam mulut adiknya. Darah Rio berdesir ketika Eri memainkan lidahnya di jari Rio, membersihkannya dari noda coklat.
Ada dua hal yang dirasakan Rio, basah , dan hangat . Itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat reaksi di dalam tubuhnya. Apalagi Eri tampak menikmati melakukan hal itu, yang tentu saja menambah reaksi di dalam tubuh Rio.
Sampai Eri puas, baru ia melepaskan tangan kakaknya dan meminta maaf. “maaf ya kak, abis sayang coklatnya.. hehe ” ujar anak itu dengan senyum tak berdosa nya.
“………kak?” panggil Eri ketika Rio tak menjawab.
“gu−gue siap siap kuliah dulu ya dek!” ujar Rio terburu buru, sambil bergegas berjalan memasuki kamarnya.
Eri hanya menatap bingung ketika pintu kamar kakaknya terbanting cukup keras, namun perhatiannya teralih ketika handphone di saku celananya kembali bergetar.
− “dek nanti jadi? Maaf kakak bakalan telat, ada urusan dulu sebentar”
Sms dari Kemal ia balas dengan cepat.
− “terserah kakak aja, iya gak pa pa kok , diselesein aja dulu urusannya”
Eri menaruh handphonenya di meja makan, dan setelah mengambil handuknya dari kamar , ia masuk ke dalam kamar mandi tanpa tahu apa yang telah ia lakukan pada kakaknya.
.
.
.
Tepat setelah Eri keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk membelit di pinggang, Rio keluar dari kamarnya dengan membawa handuk.
“ka−kakak mau pake kamar mandi?” Tanya Eri salah tingkah. Kacamatanya terlihat sedikit basah karena Eri langsung memakainya setelah ia selesai mandi. Biasanya ia membawa baju kering ke dalam kamar mandi, jadi ia bisa memakai baju di dalam sana. Namun kali ini entah kenapa ia lupa.
“iya” jawab Rio singkat, mau tak mau ia jadi memperhatikan air yang turun dari ujung rambut Eri dan mengalir turun ke lehernya.
Setelah mendengar jawaban kakaknya, Eri langsung bergegas menuju pintu kamarnya , tanpa menyadari bahwa Rio memperhatikannya dari belakang.
Untuk kali ini, Eri mengutuk dirinya sendiri karena ia bisa lupa membawa baju kering.
Waktu ternyata sudah menunjukkan pukul 9 lewat, dan setelah memakai kaos seadanya serta celana pendek , Eri memutuskan untuk pergi ke rumah nenek Paula.
Seperti biasa rumah nenek itu beraroma kue kue, membuat siapapun yang lewat bisa langsung merasa lapar. Namun kali ini nenek itu sedang tidak membuat kue.
Berbagai macam kotak dan toples berderet di atas meja dapur, masing masing berisi kue kue yang berbeda. Ada cookies , kue berbentuk manusia yang Eri kenali sebagai kue jahe , choco truffle ,mini pie , bahkan kue−kue seperti putri salju , nastar , lidah kucing , dan sagu keju pun ada.
“ini semua nenek yang buat??” tanya Eri takjub sambil menghampiri nenek Paula.
Manula itu tersenyum sebagai jawaban. “kamu datang di saat yang tepat!”
“ohh, apakah akhirnya aku bisa tahu kemana perginya semua kue buatan nenek?”
“tepat sekali. Sebentar lagi nenek akan pergi bersama Sarah dan temannya, kamu mau ikut cu?”
“aku gak tahu..” Eri sempat ragu sesaat, namun Kemal belum mengabarinya lagi, dan ia sangat penasaran kemana neneknya membawa semua kue itu. “kayaknya aku ikut.”
“bagus kalau begitu” ujar nenek Paula sambil kembali mengatur kue ke dalam toples.
“emm.. yang nenek maksud sebagai ‘temannya Sarah’ , apakah itu….?”
“her lover of course.”
“jadi nenek udah tahu? Kenapa gak ngasih tahu aku???”
Senyum kembali merekah di wajah nenek pembuat kue itu. “bukan hak nenek untuk memberitahumu, lagipula kamu sudah tahu kan sekarang..”
“jadi itu alasan kenapa Sarah tampak sangat bahagia beberapa akhir ini?” tebak Eri.
“mungkin iya” nenek Paula tersenyum geli.
Eri ikut mengatur dan merapikan kue yang sudah berada di dalam toples, ketika nenek Paula menanyakan tentang Daniel.
“jadi .. bagaimana ?” tanya nenek Paula.
“bagaimana apa?”
“bagaimana hubunganmu dengan Daniel tentu saja.”
Eri menghela nafas. “nek, baru lewat sehari ketika aku bilang bahwa Daniel lebih memilih perempuan itu daripada aku. Apa yang nenek harap akan dia lakukan?”
“well, Daniel bukan tipe yang akan melupakanmu begitu saja, at least he will try to contact you.” ujar nenek Paula sambil mengangkat bahu.
“But he doesn’t. He is not Daniel that I used to know grandma..”
“You’re so pessimistic.”
“call me realistic.” Ujar Eri lesu.
“Believe me, he will come back to you soon or later.”
“I don’t want him to come back to me. If being with that girl is enough to make him happy, what can I do?” ujar Eri.
“And why do you think he would be happy with her?” tanya nenek Paula.
Eri tersenyum pedih. “That girl has everything, she is pretty , rich , and top of that , she is a girl.”
“why do you always bring gender as a problem here?” nenek Paula menghentikan kegiatannya.
“cause not every person was open−minded like you grandma!” jawab Eri tak sabar. “gak semua orang disini bisa menerima hubungan macam itu seperti nenek atau aku. Ta−tapi bukan berarti a−aku menginginkan hubungan macam itu!” muka Eri langsung memerah padam.
“aku menganggapnya sebagai kakak, dan mungkin dia juga hanya menganggapku sebagai adik. Aku tidak bisa membayangkan lebih dari itu..” lanjut Eri.
“dan kenapa kamu tidak bisa membayangkan lebih dari itu?”
“lebih dari itu….” Eri merasakan detak jantungnya mulai terpacu “semua terasa salah..”
“kenapa semuanya terasa salah?” nenek Paula tak berhenti menanyai Eri.
“a−aku gak tahu…” badan Eri mulai menegang, seiring dengan irama detak jantungnya yang semakin cepat. “isn’t it wrong for me to have… a relationship with him?”
“so you want to tell me that Sarah’s relationship was wrong too?"
“no! I didn’t say that..” protes Eri. “Kalo orang lain, aku biasa biasa aja.. but when it comes to me… it feels wrong”
Nenek Paula menghela nafas dan kembali mengatur kue. “why don’t you just accept that you love him?”
“it’s…. it’s not like that!” muka Eri memerah ketika ia membantah. “really, just because you can accept that kind of relationship, doesn’t mean everybody can accept too.”
“so you’re just afraid that people will judge you?”
“i'm afraid that people will judge Daniel..” jawab Eri.
“Eri…” nenek Paula mengusap kepala cucunya. “Be who you are and say what you really feel, because those who mind don’t matter , and those who matter don’t mind.” Kutip nenek Paula.
“it’s easy for you to say that , you’re not in my position grandma. Lagipula, mana mungkin Daniel lebih memilihku, aku bukan siapa siapa. Kenapa nenek berkata seakan Daniel sudah pasti lebih memilihku??” Ujar Eri lesu.
“anggap saja, nenek punya sebuah perkiraan” ujar nenek Paula, mengakhiri pembicaraan. Hanya tinggal satu toples lagi untuk dirapikan, ketika handphone Eri bergetar.
“halo?”
“kamu dimana?” suara Kemal terdengar dari handphone Eri.
“a−aku di rumah, kenapa kak?” ujar Eri, sambil memberikan isyarat untuk mengecilkan suara pada nenek Paula.
“masa? Ini kakak di depan rumah kamu.” Jawab Kemal.
Kepanikan langsung memenuhi Eri saat itu juga. “o−oke bentar ya kak!”
“nek aku kayaknya gak jadi ikut. Ada Kemal di rumah..” ujar Eri panik setelah ia memutuskan panggilan.
“Kamu bisa mengajaknya ikut” ujar Nenek Paula tanpa menoleh dari toples kuenya.
“yah, mungkin!” seru Eri ketika ia berlari menuju pintu keluar.
Kemal tidak berbohong. Ia sudah menunggu di depan pagar rumah Eri, entah sejak kapan. Sebuah mobil putih kecil yang Eri tidak tahu jenisnya terlihat menemani Kemal.
“katanya kamu di rumah?” Alis Kemal terangkat sebelah ketika melihat Eri menghampirinya.
“em.. di rumah tetangga maksudnya” canda Eri sambil tersenyum salah tingkah.
“tadi kakak liat temen kamu yang ekskul basket itu”
“Daniel?”
Kemal mengangguk.
“dimana?” tanya Eri.
“di depan rumah kamu, tadi dia naik motor dan berhenti disini. Kakak kira kamu mau main sama dia..”
‘Kenapa Daniel kesini?..’ pikir Eri.
“kamu kenapa?..” Kemal mendekatkan mukanya ke muka Eri. Matanya yang sedikit menyipit itu memandang lurus ke arah mata Eri.
“o−oh enggak apa apa kak..” Eri mundur beberapa langkah kebelakang. Mata Kemal yang sedikit menyipit membuat Eri yakin bahwa salah satu atau kedua orangtuanya juga memiliki mata seperti itu.
“Kita jadi pergi gak nih?” Tanya Kemal.
“eeeh aku ga baju dulu ya kak bentar..” ujar Eri sambil bergegas masuk ke dalam rumah. “kakak masuk aja kalo mau.”
Rumahnya tampak lengang, sepertinya Rio sudah berangkat kuliah tadi. Eri segera bergegas memasuki kamarnya.
Sinar matahari menyusup masuk melalui jendelanya yang sepucat susu, membuat kamarnya terang walau tak ada sumber penerangan lain.
Baru beberapa langkah mendekati lemarinya, Eri memelankan kakinya. Bayangan tentang Daniel perlahan muncul di kepalanya.
‘Daniel tadi di depan rumah? Buat apa?.’
Eri tersenyum ketika ia mengingat saat pertama kali ia bertemu dengan Daniel. Daniel adalah orang membawa dan menemaninya menjalani hari sejak ia kecil, namun kenapa ia tak berani mengambil langkah?
‘Aku gak bakal ninggalin kamu eri, apapun yang terjadi, dan sampai kapanpun itu’ Eri teringat ketika Daniel mengucapkan hal itu di UKS dulu.
‘mulai sekarang kita kembali kayak dulu, oke adek?’
Eri teringat saat Daniel menggendongnya ke UKS, ia teringat ketika Daniel menyuapinya, ia teringat ketika Daniel memeluknya , kehangatannya dan sensasi pelukan itu. Ia teringat ketika Daniel mengecup pipinya…
Tangan Eri terangkat untuk menyentuh pipinya. Ia masih bisa mengingat sensasi itu di pipinya, seakan baru saja terjadi. Tak khayal warna merah pun bersemu di mukanya ketika ia membayangkan bibir Daniel menyentuh pipinya.
Eri menghela nafas pelan, dan menjulurkan tangan untuk membuka lemari pakaiannya.
Baru sesaat pintu lemari di buka, sebuah kain abu abu yang tak lain adalah jaket Daniel terjatuh dari raknya , membuat Eri membeku sesaat.
Mata Eri terpaku menatap jaket itu, sebelum ia akhirnya berjongkok untuk meraihnya. Kehangatan menyebar di tangannya ketika ia menggenggam jaket itu. Jaket yang lebih berharga dari seluruh isi lemari Eri, karena jaket itu tadinya punya Daniel.
Entah hanya khayalan Eri atau bukan, namun masih ada bau Daniel yang tersisa di jaket itu.
Air langsung memenuhi mata Eri di luar kemauan anak itu.
Dorongan emosi membuat anak itu tak bisa menahan kerja kelenjar air matanya. Bibir Eri bergetar dalam usahanya menahan gejolak emosi yang tumpah melalui kedua matanya.
.
.
.
“Eriii??” Kemal memanggil dari arah pintu rumah Eri. Sudah agak lama sejak Eri masuk ke dalam , namun anak itu tak kunjung kembali keluar.
Kemal sebenarnya agak khawatir dengan anak itu, karena walau tak jarang ia tersenyum dan menampilkan ekspresi ceria, kadang kadang muncul ekspresi sedih dan putus asa di muka Eri. Dan dalam sekejap saja ekspresi itu hilang, seakan perasaan itu tak tersentuh.
Kemal meraba kantong celana jeansnya , dan mengeluarkan sebungkus coklat silver queen . Setidaknya, tidak terlalu terlambat jika ia baru memenuhi janjinya sekarang.
Sejak awal Kemal hanya memandang Eri sebatas “teman Rara”, namun ketika anak itu memanggilnya “kakak” entah kenapa pandangan Kemal berubah. Apalagi anak itu berjuang cukup keras hanya untuk menyelesaikan masalahnya dengan Rara, membuat Kemal merasa tersentuh dengan kebaikan Eri.
“Eriiii? Kamu gak pa pa?” panggil Kemal lagi ketika tak ada yang membalasnya.
Terdengar sebuah pintu terbuka, dan Eri berjalan pelan keluar dari kamarnya , masih dengan bajunya yang sama. Ekspresinya tampak aneh, dan matanya terlihat sedikit merah.
“kamu gak ganti baju?” tanya Kemal ketika melihat penampilan Eri.
“e … emm.. kayaknya aku gak bisa ikut kak..” jawab Eri, terlihat merasa bersalah.
“ka−kamu kenapa???” Kemal langsung menghampiri Eri. Suara Eri terdengar sedikit parau, dan ekspresi wajahnya hanya memperburuk.
“a−aku gak pa pa ..” Eri mencoba tersenyum namun gagal, untuk berbicara seperti biasa saja mulutnya sudah kesusahan.
“kamu sakit??” tanya Kemal sambil menyibakkan rambut di dahi Eri, dan mengukur suhu tubuh anak itu dengan tangannya.
“aku gak sakit kokk”
“kalo gitu kenapa kamu gak ikut? Kamu juga lemes banget keliatannya dek” Kemal menurunkan tangannya ketika tak merasakan perbedaan suhu.
“aku cuman… lagi gak mood keluar aja kak” kali ini Eri berhasil tersenyum.
Kemal memandangi muka Eri tak percaya. Ia ingin bertanya lagi, namun rasanya tidak enak untuk mendesak Eri mengatakan alasannya.
“yaudah kalo gak mau keluar, tapi kakak main di rumah kamu aja y−”
Belum selesai berbicara, handphone Kemal berdering keras , menenggelamkan suaranya.
“bentar ya dek.” ujar Kemal, sambil mengangkat handphonenya ke dekat telinga.
Eri tak tahu jelas apa yang Kemal bicarakan di telfon, tapi ia sempat mendengar Kemal berdebat dan mukanya terlihat sangat enggan ketika pembicaraan berakhir.
“yahhh dek.. kakak harus nganterin nyokap belanja..” ujar Kemal, yang terdengar seperti sedikit meratap.
“yaudah kakak anterin ajaa” balas Eri. “aku gak pa pa kokk.”
“kamu ikut aja ya, gimana?” ajak Kemal.
“masa aku ikut nganterin mamanya kakak.. udaahh kakak anterin aja sanaa”
Kemal tampak gelisah, ia tak ingin meninggalkan Eri , namun ia tidak bisa membantah perintah orang tuanya. Terpaksa, ia harus meninggalkan Eri.
“sekali lagi, kamu yakin gak pa pa?” tanya Kemal ketika ia berjalan ke samping mobilnya sambil membuka kunci.
“gak apa apa kakk, benerann” jawab Eri , yang mengikuti Kemal keluar pagar.
Kemal memperhatikan muka Eri dengan seksama. Walaupun ia tidak yakin, namun ia menyerah kali ini.
“yaudah, kalo ada apa apa kamu telfon kakak ya” ujar Kemal sambil mengelus kepala Eri.
Eri mengangguk tanpa suara. Walau senyum kecil tampak merekah di bibirnya, namun Kemal tetap bisa melihat kesedihan yang terpancar dari ekspresi anak itu, membuat Kemal tak tenang.
Tanpa menyadari tangan Kemal yang terjulur ke arahnya, Eri tampak sedikit terkejut ketika Kemal langsung memeluknya tanpa aba aba apapun.
“k−kakakk??” . Eri bisa merasakan pipi Kemal menempel di bagian samping kepalanya, membuat muka Eri sedikit memerah ketika ia merasakan nafas menyentuh tengkuknya.
Kedua tangan Kemal melingkar di leher Eri, membuat anak itu agak susah bernafas.
“kakak pulang dulu ya dek..” pamit Kemal sambil melepaskan pelukannya, tak lupa ia menyelipkan sebungkus coklat ke tangan Eri. “buat kamu…”
“buat aku?..” ulang Eri.
Kemal mengangguk saat ia masuk ke dalam mobil.
Eri menunggu sampai mobil Kemal hilang dari pandangan, sebelum ia masuk melewati pagar.
Sebuah mobil hitam tampak terparkir di depan rumah nenek Paula, yang mungkin adalah mobil Lia. Eri menggeleng pelan ketika ia menolak ide yang muncul di kepalanya. Tidak , ia sedang tidak ingin kemana mana , walaupun ia masih penasaran dengan tujuan nenek Paula.
Baru saja Eri menutup pintu di belakangnya, ketika sebuah panggilan masuk membuat handphonenya bergetar.
Daniel.
Tangan Eri langsung kehilangan tenaganya ketika ia melihat nama itu. Ia ingin sekali mengangkat telfonnya, tapi Eri masih ingat kata katanya sendiri pada Daniel :
“terserah kakak mau bilang apa. Tapi selama perjodohan itu masih berlangsung, a−aku gak bisa deket kakak.”
Mendadak Eri merasa bodoh telah mengatakan hal itu. Handphonenya masih bergetar, tapi ia tidak punya kekuatan untuk mengangkatnya. Ia tidak ingin mengganggu Daniel , ia tidak ingin mencemari reputasi Daniel, ia tidak ingin…..
Eri menyandar pada pintu dan perlahan tubuhnya merosot ketika kakinya tak bisa menahan beban tubuhnya.
“Be who you are and say what you really feel, because those who mind don’t matter , and those who matter don’t mind.”
Kata kata nenek Paula terngiang di telinganya. Eri menarik nafas panjang dan mengangkat telfonnya.
“Ha.. Halo?”
“Dek…” suara Daniel menyahut dari sebrang sana. Eri tak pernah sebahagia ini mendengar suara itu.
“i.. iya?”
“kamu ke rumah kakak ya, kakak jemput sekarang.”
KLIK.
Pembicaraan selesai.
.
.
.
Suara mesin motor perlahan menghilang ketika Daniel memutar kunci. Pemain basket itu langsung menjemput Eri di rumahnya, beberapa detik setelah panggilan berakhir. Sejak Daniel menjemputnya tadi, Eri tidak berani menatap mukanya sama sekali.
Daniel membuka pintu pagar rumahnya , dan memberikan isyarat agar Eri mengikuti.
Sepanjang perjalanan tak ada satupun dari mereka yang bicara, bahkan sampai sekarang, saat mereka sudah sampai di rumah Daniel.
Kali ini mereka tidak masuk melalui garasi, melainkan langsung melewati pintu masuk yang terhubung dengan ruang tamu. Eri hanya mengikuti Daniel dari belakang dengan kepala tertunduk, ia tak tahu mukanya akan menunjukkan ekspresi seperti apa di depan Daniel.
Mereka berjalan masuk melewati ruang tamu, dan langsung menuju ke kamar Daniel.
“eri..”’
Eri tidak menyahut.
“eri?”
“h−hah? Iya?” tanya Eri, yang tak menyadari mereka sudah sampai di kamar Daniel.
“duduk.” Daniel menepuk kasur di sebelahnya.
Eri langsung menurut, walau ia mengambil jarak sedikit lebih jauh di samping Daniel.
“gak usah jauh jauh duduknya” ujar Daniel, dan dengan satu tangan ia langsung menarik Eri ke arahnya.
Tangan kanan Daniel masih tersangga di bahu Eri , tempat ia menarik anak itu tadi. Jantung Eri berdegup kencang sampai sampai ia takut Daniel akan bisa mendengarnya.
“kamu kenapa marah sama kakak?” tanya pemain basket itu.
“a−aku gak marah kok….”
“……… Kamu … gak suka sama perjodohan kakak?”
Sebuah pedang tak terlihat seperti menancap tepat di tengah jantung Eri. “e−eng−enggak kok… ka−kalo kakak seneng a−aku juga seneng…”
Eri bisa merasakan Daniel begitu dekat, dan jika ia menolehkan kepala mungkin muka daniel akan langsung berhadapan dengan… mukanya.
“Kakak minta maaf kalo udah bikin kamu takut. Kakak inget kejadian dulu, dan kakak masih gak bisa maafin diri kakak sendiri karena lebih mentingin perempuan itu daripada kamu.” Ujar Daniel, geram terhadap dirinya sendiri.
“g−gak pa pa kok kak.. Lagian itu wajar, kakak pasti bakal lebih mentingin orang yang mungkin bakal jadi pasangan hidup kakak kan?” ujar Eri sambil tersenyum.
Daniel tersayat ketika melihat senyum muncul di wajah Eri. Senyum itu, senyum yang selalu ditunjukkan Eri ketika ia bersedih. Senyum yang lebih sedih daripada sebuah tangisan.
“a−aku tau aku bodoh ketika aku berharap kita bisa kayak dulu. Kakak tahu? Pas kakak minta kita balik kayak dulu lagi, aku udah bilang kita gak mungkin balik kayak dulu.. Kakak pasti punya kesibukan, dan mungkin aja aku juga bakal punya. Tapi kakak udah ngebuat aku percaya kalo kita bisa balik kayak dulu…”
Eri masih tersenyum. “tapi sekarang kakak ada Bella, dan perlahan lahan pasti kakak bakal lebih mentingin dia daripada aku.”
“Enggak! Kakak gak bakal−“
“Stop.” sambar Eri. “jangan katakan hal yang nggak kakak maksud sepenuh hati.”
Daniel melepaskan tangannya dari bahu Eri. “apa yang bisa kakak lakukan supaya kamu gak selalu berpikiran negatif?”
“walau aku berpikiran negatif, tapi itu kenyatannya kan? Mungkin bukan Bella, tapi pasti nanti ada perempuan lain.”
Helaan nafas keluar dari mulut Daniel. “Asal kamu tahu, kamu itu orang yang terpenting buat kakak, dan akan selalu begitu sampai kapanpun. Kakak gak mau kehilangan kamu!”
Muka Eri terasa memanas ketika Daniel berkata begitu, namun ia mencoba agar kebahagiaannya tidak terlalu memuncak. Semakin bahagia seseorang, akan semakin sakit ketika ia jatuh.
“tapi.. Kakak tetep dijodohin sama Bella kan?”
“itu gak ada hubungannya sama kita! Mau kakak dijodohin apa enggak, kamu bakal tetep berada di sisi kakak! Sampe kakak punya istri pun , kakak gak mau kehilangan kamu. Kamu itu adek yang paling berharga buat kakak!”
Eri menggigit bibirnya sendiri…. ‘Adek’
Bodoh sekali ketika ia sebenarnya berharap bahwa nenek Paula ada benarnya, bahwa Daniel mungkin tidak menganggapnya hanya sebagai adik, bahwa mungkin, mereka bisa memiliki sesuatu yang lebih.
‘nenek salah…’
“eri???” Daniel sedikit kaget ketika Eri langsung berdiri dengan cepat.
Tapi apa salahnya? Bukannya ia akan terus menemani Daniel? Bukankah ia hanya ingin melihat Daniel bahagia? Bukankah ia tidak mau menganggu Daniel?.... Tapi kenapa? Kenapa air matanya tak lagi terbendung?
‘nenek bodoh!.. Daniel hanya menganggapku sebagai adik..’
Tapi bukankah itu seperti perkiraannya? Bukankah ia juga merasa salah ketika membayangkan hubungan yang lebih dengan Daniel? Bukankah ia sudah tahu tidak mungkin memiliki hubungan itu?..
“eri?? ERI!!!!” suara Daniel terdengar di belakangnya ketika Eri berlari keluar kamar itu.
Eri sama sekali tidak bisa berfikir, pandangannya kabur, sama seperti kepalanya. Ia hanya ingin berlari dan berlari, tak peduli kemanapun tujuannya.
Eri tidak sadar ketika ia sudah berlari keluar dari rumah Daniel. Ia masih bisa mendengar Daniel memanggil namanya. Anehnya ketika Eri dipenuhi emosi, bahkan Daniel yang rajin berolahraga tak bisa mengejarnya.
Yang ada di pikiran Eri hanya satu, ia tidak ingin melihat Daniel. Setidaknya, untuk beberapa hari ke depan.
Kaki Eri kembali membawanya berlari menyusuri kompleks perumahan, entah kemana ia pun tak tahu. Ia tidak lagi peduli dengan matahari yang bersinar terang di atas kepalanya. Ia tidak peduli lagi dengan fakta bahwa ia meninggalkan alas kakinya di rumah Daniel, dan aspal yang panas seakan menyayat kakinya.
Ia tidak peduli ketika bibirnya berdarah karena ia mengigit terlalu keras. Tidak , ia tidak peduli.
Kata kata nenek Paula kembali terngiang di kepalanya :
“why don’t you just accept that you love him?”
− Kenapa kamu tidak mengakui saja kalau kamu mencintainya?
Eri tidak bisa mengakuinya. Karena ketika kita mengakui bahwa kita ‘mencintai’ seseorang, berarti kita sedikitnya berharap bisa menjadi pendamping hidup orang itu. Dan bagaimana Eri bisa berharap, ketika harapan itu sudah hancur duluan di depan matanya , bahkan sebelum ia mengakui perasannya sendiri….
Page thirty – The last drop
“Daniel? Ada apa???”
Daniel yang masih bingung dengan apa yang terjadi, langsung menoleh begitu ia mendengar suara yang memanggillnya.
Itu suara Bella, yang berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu tampaknya baru datang, namun kelihatannya ia sempat melihat Eri yang berlari keluar dari rumah Daniel. Orang tua Bella tersenyum menyapa saat mereka masuk melewati pagar.
Daniel sempat tersenyum, tapi ketika kedua orang itu lewat, senyumnya langsung pudar.
“gue.. gue gak tau” Daniel menyandarkan punggungnya di pagar. Ia tidak tahu apa yang membuat Eri sedih, dan itu yang membuatnya frustasi.
“Si Eri kenapa? Kok dia lari lari gitu?” tanya Bella ingin tahu.
“gue gak ngerti.. gue gak tau kenapa dia akhir akhir ini jadi aneh”
Bella melipat tangannya di depan dada, tersenyum dalam hati ketika ia merasakan adanya kesempatan. “mungkin… ini cuma mungkin loh ya, ah tapi gak usah deh− “ ujar Bella, berubah pikiran.
“apa ? ngomong aja.” desak Daniel sambil memandang tajam ke arah perempuan itu.
“mungkin… Eri udah gak butuh lo lagi?”
Daniel mendengus ketika mendengar tebakan Bella.
“apanya yang lucu??” tanya Bella.
“Eri bukan orang yang kayak gitu. Gue udah kenal sama dia sejak gue balita sampe sekarang. Dia gak menilai orang berdasarkan butuh atau enggak butuh.”
“itu karena dia cuma punya lo.” Balas Bella. “emang lo gak mikir kenapa selama ini dia mau nempel sama lo? Baik sama lo? Ngikutin lo kemana aja? Itu cuman karena lo baik sama dia.”
“terus maksud lo apa?” tantang Daniel.
“gimana kalo ada orang lain yang baik sama dia? Gue tau Eri itu polos, dia bakal baik sama semua orang yang baik sama dia…”
“g−gue udah kenal Eri dari lama!” sahut pemain basket itu.
“dan apakah itu membuat lo tau segalanya tentang Eri?”
Daniel terdiam.
“lagian hubungan lo sama Eri itu apa sih? Kakak−adek? Lo pikir lo bisa ngegantiin kakaknya yang asli?”
“hubungan Eri sama kakaknya tuh dari dulu gak baik.” Jawab Daniel.
“oohh. Kalo gitu lo belom tau. Sejak lo gak jemput atau nganterin Eri pulang, kakak nya yang ASLI yang ngelakuin itu. Dan jangan pikir gue gak tau kalo Eri juga deket sama Arya.”
“Ta−tapi−“
“ayolah!” potong Bella. “apa sih yang ngebuat lo berfikir kalo lo itu berarti buat Eri?”
…. Daniel tidak menjawab. Selama ini ia menganggap Eri adalah yang paling berharga untuknya. Tapi ia tidak pernah tahu pikiran Eri.. Tidak, ia sudah mengenal Eri dari dulu, apakah sekarang ia akan membiarkan Bella menggoyahkannya?
“terserah apa kata lo bel”
Bella menghela nafas. “suatu saat lo bakal nyadar kalo gue lah yang bener.”
Rambut perempuan itu sedikit berkibar ketika ia berjalan masuk melewati pagar, meninggalkan Daniel di belakangnya.
Mata Daniel menatap ke arah dimana Eri menghilang dari pandangannya.
‘Eri……’
∞
Titik titik air yang menguap perlahan membentuk awan kelabu, yang sekarang sedang bergelung di atas langit. Matahari yang hingga tadi masih bersinar seakan tak berdaya ketika kumpulan awan menutupi surya nya.
Tetes tetes air mulai meluncur turun dari gumpalan kelabu itu, dan jatuh tepat ke atas kepala Eri. Anak itu sedang duduk di pinggir jalan, mengabaikan kendaraan bermotor yang sesekali lewat di depannya.
‘sempurna’ imbuh Eri dalam hati. ‘hal terakhir yang gue butuhin adalah hujan, dan gue bisa jadi pemeran utama sebuah sinetron.’ Eri mengutuk dirinya sendiri.
Aspal yang berada di depannya perlahan berubah menjadi gelap ketika tetesan air mulai bertambah deras. Bulir bulir H2O itu menghujani tubuhnya dengan sensasi dingin yang menusuk. Hujan tak pernah tampak sedingin dan sesuram ini bagi Eri.
Pakaian yang Eri kenakan menempel pada tubuhnya, sama sekali tak membantu dalam mengurangi dingin yang menyelimuti.
Keraguan muncul di dalam hatinya ketika Eri memikirkan apa yang baru saja di lakukannya.
Apakah reaksinya barusan terlalu berlebihan? Apakah seharusnya ia menerima saja semua yang dikatakan Daniel? Kenapa ia tidak setuju saja menjadi adiknya Daniel? Seharusnya ia bersyukur bisa menjadi adik dari seorang Daniel, pemain basket yang diincar cewek satu sekolahan.
Namun Eri malah menginginkan sesuatu yang lebih..
‘bodoh!!’
Eri langsung mengernyit ketika rasa asin memenuhi mulutnya. Ia tanpa sadar menggigit bibirnya lagi, dan menambah luka yang mengucurkan darah.
“Kenapa??! Kenapa gue gak bisa terima aja jadi adeknya Daniel???” raung Eri, yang ditujukan tidak kepada siapapun.
Tidak ada yang membalas kecuali hujan yang semakin deras, seakan menyindir kondisi Eri.
Saat Eri mengira keadaan tidak bisa lebih buruk lagi, sebuah mobil melaju cukup kencang di jalanan, dan membuat genangan air menyiprat kemana mana. Termasuk Eri.
“AH!”
Anak itu langsung berdiri dari tempatnya. Kali ini ia tidak hanya basah, namun juga berlumuran tanah dan pasir dari genangan air di jalan.
“SH*T.” umpat Eri. Dalam keadaan biasa ia tak mungkin mengatakan hal seperti itu, dan mungkin nenek Paula akan langsung menegurnya jika mendengar Eri mengumpat. Namun dalam keadaan seperti ini, Eri hampir tidak peduli dengan apapun.
Entah pengemudi mobil berwarna hitam itu mendengar Eri mengumpat atau tidak, namun perlahan mobil itu menepi, dan kembali mundur mendekati Eri.
“ma−maaf saya tidak sengaja!” suara perempuan langsung terdengar ketika kaca mobil diturunkan.
Eri mendongak, dan ia bertatap muka dengan perempuan berambut panjang itu.
“Ka−kamu Eri kan??...” tanya perempuan itu. “kamu ngapain disini?....”
Muka Eri langsung lesu begitu tahu Lia – kekasih Sarah , sekaligus mantan kakaknya – sedang menatap iba ke arah anak itu.
“engg.. enggak.. gak ngapa ngapain..” jawab Eri salah tingkah. Bagaimana caranya ia menjelaskan kenapa ia duduk di pinggir jalan, di tengah hujan , dengan bibir berdarah dan tanpa alas kaki?
Eri mencoba tersenyum ketika Lia tampaknya sedang memperhatikannya dari atas sampai bawah. Namun senyumnya gagal…
“kamu habis… berantem?”
Eri sedikit kaget dengan tebakan perempuan itu, dan ia menggeleng dalam diam.
Namun perempuan itu malah menatapnya tidak percaya. “yasudahlah, sebaiknya kamu masuk kedalam mobil, aku tidak mungkin membiarkanmu disini.”
Dan kata kata itu bukan tawaran ataupun ajakan, tapi sebuah perintah.
Tak ada yang berbicara ketika Eri masuk ke dalam mobil, dan Lia memacu kembali mobilnya. Sepertinya perempuan itu habis dari rumah nenek Paula, karena entah kenapa tercium bau kue di dalam mobilnya.
Yang terdengar hanyalah suara hujan, dan suara wiper mobil yang bergerak secara konstan.
“kenapa?” tanya Eri. Ini sudah ke tiga kalinya Lia melirik ke arah Eri, sejak ia masuk ke dalam mobil.
“kamu benar benar mirip Rio..” jawab perempuan itu.
Entah Eri harus merasa senang atau tidak, tapi kali ini tak ada yang bisa ia rasakan.
“oh…”
Buliran air menetes dari ujung rambut Eri, yang ia biarkan jatuh ke bajunya yang memang sudah basah.
“pakai ini” Lia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, dan mengusap rambut Eri dengan sapu tangan itu.
“aku bisa sendiri.” Balas Eri datar, menolak tangan Lia.
Perempuan itu tampak mengangkat bahu, dan kembali menyetir dengan kedua tangannya. Kesunyian kembali mengisi ruang di antara mereka.
“apa yang terjadi?” tanya Lia, berusaha memecahkan es di antara mereka. “kamu bertengkar dengan kakakmu?”
Eri hampir saja akan menjawab ‘bukan urusanmu’ ketika ia sadar, tidak adil menumpahkan emosinya kepada seseorang yang bahkan baru ia kenal sehari. Ia menjawab dengan menggelengkan kepala.
“kamu bisa menceritakannya kepadaku, kalau kamu mau..”
Entah apa yang membuat perempuan itu bersimpati pada Eri, kenyataan bahwa anak itu adalah adik dari mantan kekasihnya, kenalan dari kekasihnya yang sekarang , atau memang penampilan Eri yang membuat iba.
Kepala Eri menoleh, dan ia melihat perempuan itu tersenyum sekilas ke arahnya. Ia sekarang tahu kenapa kakaknya dulu memilih perempuan itu. Rasanya seperti berada di dekat jurang, dan perempuan itu satu satunya tali penyelamat yang ada.
Ada perasaan ‘aman’ yang muncul ketika bersama perempuan berambut panjang itu, mungkin itu juga yang membuat Sarah tertarik.
“boleh bertanya satu hal?” tanya Eri.
“ya?”
“apakah Sarah adalah alasan kenapa kalian putus?” . ‘Kalian’ yang dimaksud Eri adalah Rio , dan tentu saja perempuan itu.
Lia tampak sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaan Eri, ini bukanlah sebuah pertanyaan yang bisa dijawab secara asal asalan, namun Lia tampak mantap ketika ia menjawab.
“iya, aku jatuh cinta pada Sarah.”
Kali ini giliran Eri yang terkejut. Well, ini pertama kalinya ia bertemu dengan orang seperti Lia , yang secara gamblang mengakui kalau ia ‘berbeda’ .
“ke−kenapa bisa?..”
“aku sudah mengenal Lia dari facebook, lama sebelum dia datang ke Indonesia. Awalnya hubungan kita hanya sebagai teman dekat, namun tiba tiba dia bilang dia sedang ada di Indonesia , dan dia ngajak ketemuan..” jawab Lia. “aku sudah tahu kalau Sarah adalah orang yang ceria dan terbuka, tapi sejak bertemu langsung dengannya beberapa kali, tanpa sadar aku jadi menyukainya..”
Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepala Eri, namun hanya satu yang keluar dari mulutnya. “ba−bagaimana kak Lia − ehm − maksudku, bagaimana kau bisa menerima perasaan itu?”
“kamu boleh memanggilku ‘kak Lia’ .” balas perempuan itu sambil tersenyum. “Kita tidak bisa menolak perasaan kita, tak ada manusia yang bisa. Kalau begitu kenapa kita tidak menerimanya saja?”
“ta.. tapi maaf, bukannya perasaan itu salah?”
Lia meliriknya sekilas, dan Eri langsung merasa tidak enak. “mak−maksudku, aku tidak mengatakan itu salah, ta−tapi bukannya bagi masyarakat umum begitu?..”
“Perasaan itu bukan manusia yang mengatur. Sama seperti kekuasaan tuhan, perasaan itu berada di luar jangkauan manusia kan? Kita tidak bisa memilih akan jatuh cinta pada siapa, dan ketika sadar , kita sudah jatuh terlalu dalam.”
Eri mengangguk dalam hati.
“dan kalau begitu” Lia melanjutkan. “Bagaimana bisa manusia menyalahkan sesuatu yang berada di luar kehendaknya?”
“…… jadi, kakak membenarkan perasaan itu?” tanya Eri ragu−ragu.
Perempuan itu kembali tersenyum, senyum yang lebar dan tulus. Senyum yang entah kenapa membuat muka Eri sedikit menghangat , sedikit.
“Apakah kau tahu? Menurutku tidak ada salah ataupun benar dalam menyukai seseorang, selama kita tidak memaksakan perasaan itu kepada orang yang kita sukai.”
“kakak bisa bilang begitu.. karena kakak udah punya Sarah.” Balas Eri, dengan sangat pelan.
“kamu mengatakan sesuatu?”
“eng−enggak kak.. oh iya, itu rumahku. Di samping rumah Sarah.” Ujar Eri.
“ya, aku sudah tahu.” Balas Lia. “Sarah banyak bercerita tentangmu.” Tambahnya, ketika melihat ekspresi bingung Eri.
“memangnya apa yang di ceritakan Sarah tentangku?” tanya Eri ketika mobil berhenti di depan rumahnya.
“banyak hal” jawab Lia sambil membuka kunci pintu mobilnya.
“m−makasih udah nganterin ya kak..” ujar Eri, tangannya menjulurkan sapu tangan basah ke arah perempuan itu.
“sama sama” ujar Lia, sambil meraih sapu tangannya. “oh ya, Eri!”
Eri yang baru saja berbalik langsung kembali menoleh. “ya?”
“mudah mudahan masalahmu dengan Daniel cepat selesai!”
Mata Eri melebar dalam keterkejutan.
∞
“eri??...... Eri???...”
Sebuah suara terdengar memanggilnya entah darimana. Matanya terasa sangat berat, dan badannya terlalu lemas untuk di gerakkan. Tunggu. Sejak kapan ia tertidur??
“Eri? lo ngapain disini??” tanya Rio.
Eri membuka mata, dan melihat Rio di sampingnya, satu tangan Rio memegangi kepala adiknya yang tergeletak di atas lantai ruang tamu.
“baju lo kenapa basah semua?? Lo kehujanan?” tanya Rio , ada sedikit kepanikan dalam suaranya. Eri hanya tersenyum kecil sebagai balasan. Entah berapa lama ia pingsan, tapi hujan sudah mereda , dan matahari sudah condong ke arah barat.
“ck. Lo kan paling gak bisa kehujanan dek, hati hati ah lain kali!” ujar Rio kesal.
“m−maaf kak..” jawab Eri dengan suara parau.
Ekspresi Rio melunak, dan kekhawatiran terpampang jelas di wajahnya. “yaudah, ganti baju dulu ya , nanti lo tambah sakit kalo gini terus”
Baru saja Eri mencoba bangun, ketika Rio langsung mengangkatnya dengan dua tangan, satu dilehernya , dan satu di bawah lutut Eri.
“ka−kakak!”
“sut udah diem aja. Gue tau badan lo pasti lemes semua”
Muka Eri seketika langsung memerah, dan ia menyandarkan kepalanya ke badan Rio. Lagi lagi bau coklat menyeruak masuk ke dalam hidung Eri, membuatnya betah di dekat kakaknya.
Rio menggendongnya ke dalam kamar, dan mendudukkannya di atas kasur.
“gimana rasanya?” tanya Rio kepada adiknya.
“pusing..” jawab Eri pelan.
“yaudah gue ambil obat dulu ya bentar, lo ganti baju dulu gih.” Ujar Rio, sambil beranjak ke arah pintu.
“kak−“
Eri mengangkat tangannya dan menahan ujung kemeja Rio.
“j−jangan tinggalin aku…”
Rio berbalik dan melihat muka adiknya yang pucat, namun ada rona kemerahan di pipinya. Mata adiknya tampak membulat dan berbinar, dan ada bekas darah di bibirnya. Rio tak pernah merasa sesedih itu melihat adiknya.
Rasanya ia ingin langsung memeluk adiknya dengan sangat erat, dan memang itu yang ia lakukan.
“b−bajuku masih basah kak!” ujar Eri ketika Rio mendekapnya, namun peringatan Eri di abaikan.
Tangan Rio melingkar di leher adiknya, mendekapnya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi. Baru sebentar ia meninggalkan adiknya, dan entah apa yang sudah terjadi hingga kondisi adiknya seperti ini.
“kamu sebenernya kenapa dek..?” tanya Rio tanpa melepaskan pelukannya.
“gak pa pa kok kak, aku gak.. pa …… pa…” air mata Eri mulai mengalir kembali. Tangan Eri melingkar di punggung Rio, dan ia membenamkan mukanya di bawah leher kakaknya itu.
Eri menumpahkan segala emosinya di dalam pelukan itu, dan ia berjanji tak akan menangis lagi setelah ini. Ia tidak boleh terlalu lemah, menangis tidak akan menyelesaikan apa apa, hanya menunjukkan kelemahannya…
berarti ada season 2 donk! ikutan ya??
Penulisssssssssssssssss maaci anyak udah updit hahahahha , tetep sabar deh nungguin kelajutannya, but keep mention gw ya cipok basah dolo buat penulis sama rio nya