It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Arya ngebet banget!
semangat ya??? tq
Jangan lama² updatenya ya #ngelunjak :P
Bella cewek yang mengerikan
Wah si Arya maen nyosos aja dah
Sepanjang perjalanan pulangnya, Rio sama sekali tak mengatakan apapun kecuali “naik” dan “sampe”.
Mau tak mau Eri menjadi penasaran dengan tingkah laku kakaknya tersebut, sehingga saat motor sudah tersimpan di balik pagar , Eri membuka suara.
”kakak kenapa?..”
Rio tak menjawab, bahkan ia mengabaikan Eri sama sekali. Setelah mematikan mesin motornya , ia turun dari atas kuda besinya itu.
“kakak??... kakaaakkk???” panggil Eri, ia mengikuti langkah kaki Rio yang mulai berjalan ke arah pintu.
Namun tak ada hasil , Rio sama sekali tak menanggapinya sampai pemuda berkacamata itu masuk ke dalam kamarnya sendiri, dengan membanting pintu di belakangnya.
Eri hampir kehilangan kontrol emosinya, ia hampir saja akan menangis lagi barusan. Pertama Daniel , sekarang entah kenapa kakaknya tiba tiba mengabaikannya. Namun kali ini, Eri tidak akan tinggal diam.
Setelah mengganti seragamnya dengan sebuah kaus yang kebesaran serta celana pendek di atas lutut, Eri memutuskan untuk masuk ke kamar kakaknya.
Jujur, Eri sendiri belum pernah masuk ke dalam kamar kakaknya, satu satunya bagian di dalam rumahnya yang ia sendiri tak tau seperti apa bentuknya. Hanya dengan berdiri di depan pintunya pun, Eri seperti merasa ia akan memasuki sebuah tempat yang bukan di dalam rumahnya.
Eri mengetuk pintu tiga kali.
,
,
,
Tak ada jawaban.
Anak itu menghirup nafas panjang ketika tangannya terjulur ke arah gagang pintu, dan ia sedikit bersyukur ketika mengetahui bahwa pintunya tidak terkunci. Dengan saangat pelan, Eri membuka pintu kayu tersebut , dan hawa dingin langsung menyambutnya dari celah yang terbuka.
Kamar Rio sama seperti kamar Eri , berwarna biru namun tidak ada motif atau gambar corak lain. Ukurannya sedikit lebih besar dari kamar Eri, dan ada komputer di atas meja belajar Rio. Selain itu kira kira sama, tempat tidur berukuran single di sudut kamar, meja belajar di sampingnya , dan lemari pakaian yang sedikit lebih besar dari punya Eri.
Ada sebuah rak kayu tempat Rio menyimpan buku bukunya, berbeda dengan Eri yang menyimpan buku di sebuah rak khusus buku. Jendelanya menampilkan jalanan depan rumah, dengan tirai yang menempel pada kusen jendela itu.
Dan yang membuat berbeda lagi adalah poster poster yang menempel di dinding. Poster yang didominasi warna hitam dan putih itu tampaknya menampilkan sebuah band musik , dan ada sebuah poster yang Eri kenali sebagai seorang pemusik legendaris yang meninggal karena bunuh diri.
Sosok Rio sendiri berada di atas tempat tidurnya, berbaring tengkurap dengan wajah menghadap kasur.
Celana jeans dan kemeja berwarna biru tua masih melekat pada tubuh pemuda itu, hanya kacamatanya yang tergeletak di lantai samping kasur.
“kak?...” Eri memanggil, namun tak ada respon dari kakaknya.
Perlahan Eri membuka pintu dan masuk melewati celahnya. Tak lupa menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Suhu di kamar itu lebih dingin dari suhu luar, membuat Eri sedikit bergidik ketika merasakan terpaan angin dingin di kulitnya.
Kaki Eri membawa anak itu mendekati kasur, dan ia memutuskan untuk berlutut di samping kasur, dimana ia bertumpu pada kedua lututnya.
“kak?..” panggil Eri. “kakak kenapa? Aku salah apa kak??”
Rio memutar badannya , sehingga sekarang posisinya menjadi terlentang , walau matanya terpejam seakan tidak ingin melihat Eri sama sekali.
Eri menggoyang goyangkan lengan kakaknya untuk mendapat respon, namun Rio sama sekali tidak memperdulikannya , walaupun ia juga sama sekali tidak menolak.
“naik”
“h−hah?”
“jangan di lantai, naik ke kasur.” Ujar Rio , masih dengan mata terpejam.
“a−aku di bawah aja gak pa pa..”
“udah sini naik, cepetan!” desak Rio sambil menarik tangan Eri.
Mau tak mau anak itu merangkak naik ke atas kasur, dan tanpa sempat bereaksi , Rio menarik tangannya sehingga Eri terjatuh tepat ke atas tubuh kakaknya itu.
“ma−maaf kak!” ujar Eri salah tingkah ketika dagunya menabrak dada Rio di bawahnya.
Namun ketika Eri mencoba bangkit, tangan Rio menahan punggungnya.
Posisi Eri sekarang menindih badan kakaknya, dengan posisi kepala Eri di atas dada Rio. Eri mencium bau coklat, yang selalu bisa menenangkannya kapan saja.
Mereka bertahan beberapa lama dalam posisi itu, Eri menempelkan pipinya pada tubuh Rio , dan anak itu bisa mendengarkan suara detak jantung kakaknya yang konstan. Kepala Eri terdorong naik dan turun seiring nafas kakaknya, dan kakinya sendiri sekarang menindih kaki Rio.
“dek…”
“hm?..”
“yang tadi di sekolah lo itu siapa?” tanya Rio.
“yang di deket gerbang? Itu temen sekelas ku kokk.. kenapa kak?”
“temen?” ulang Rio.
“iya temen…” Eri mengangkat wajahnya. “emang kenapa?”
“cuman temen?”
Eri mendadak mengerti sesuatu.
“iya cuman temen kok.. gak lebih.” Jawab Eri.
“kalo cuman temen kenapa dia nyium lo tadi?” tanya Rio dengan nada menuduh.
Rupanya ini permasalahannya.
“aku juga gak tau, tiba tiba dia ngelakuin itu , dan langsung lari ninggalin aku..” jawab Eri. dari sudut pandangnya sekarang ia hanya bisa melihat sedikit bagian wajah kakaknya, membuatnya kesulitan untuk menebak ekspresi Rio.
“ohhh..”
Rio tak bersuara setelah mengeluarkan balasan yang sangat singkat itu. Eri memutar badannya, sehingga sekarang ia terlentang di atas badan Rio. Punggungnya menempel pada dada Rio , dan kedua tangan Rio sekarang melingkar di perutnya. Mereka berdua sama sama melihat ke arah langit langit kamar.
Eri menaruh tangannya sendiri di atas tangan kakaknya, dan menggenggam kedua tangan yang lebih besar itu.
“lo tau? Gue selalu takut lo pergi ninggalin gue. Apalagi sekarang setelah kita udah deket, gue gak mau kehilangan lo lagi dek, gue sayang sama lo..”
Tangan Rio mengenggam tangan adiknya ketika ia berbicara seperti itu.
“a−aku…… aku juga sayang sama kakak….”
Darah mengalir deras ke wajah Eri, membuat muka anak itu memerah.
Rio mendadak menegakkan punggungnya saat ia duduk, membuat Eri sekarang menyender pada tubuh kakaknya. Rasa geli sedikit menjalar dari leher Eri, ketika Rio menaruh dagunya di atas bahu kanan Eri.
Tak ada suara di kamar itu selain suara Ac yang meniupkan angin dingin, menjaga agar suhu ruangan tetap sejuk. Rio menempelkan sisi kepalanya ke kepala Eri, sambil tetap menggenggam tangan Eri.
“boleh nanya sesuatu?” bisik Eri.
“hm??”
“kakak…. Kakak tadi cemburu?”
Muka Rio sontak memerah, untung saja Eri tidak bisa melihat mukanya dalam posisi seperti ini.
“eng−enggak lah! Siapa bilang gue cemburu???”
“ah masaaa?..” goda Eri.
“dih udah berani ya sekarang gangguin kakak!” seru Rio sambil menarik kedua pipi Eri dengan keras.
“ahaha i−iya iya ampunnn!” ujar Eri sambil meronta ronta dan melepaskan dirinya dari Rio. Sekarang anak itu duduk di depan kakaknya, entah kenapa jantungnya berdebar keras karena ia mendadak excited, seperti anak kecil ketika mendapatkan mainan baru.
TOK TOK TOK.
Kedua kakak beradik di dalam kamar itu langsung menoleh begitu terdengar suara ketukan dari arah pintu.
“Rio? Papa mau bicara sama kamu.” Suara ayah mereka terdengar dari balik pintu, membuat Eri dan Rio langsung berpandangan heran.
“dan papa tahu kamu juga ada di dalam, Eri” …
∞
Suasana di meja makan terasa sangat berat di meja makan, seakan seseorang telah membuat partikel udara di dalam ruangan itu menjadi lebih berat, dan membebani paru paru setiap kali menarik nafas.
Eri dan Rio duduk bersebelahan, dan di depan mereka duduk kedua orang tua. Entah apa yang membuat mereka seserius ini , apakah mereka mulai curiga kenapa Rio dan Eri menjadi dekat?
“siapa di antara kalian, yang sekarang punya pacar?” tanya Ayah mereka tiba tiba.
Eri menggeleng pelan , dan Rio pun hanya terdiam tanpa menjawab.
“sudah papa duga.”
Apa maksudnya?
“maksud papa apa?” tanya Rio , seakan mewakili dirinya sekaligus Eri.
“kami berdua sudah memutuskan,” ibu mereka menyela “bahwa kalian berdua sudah cukup umur untuk memilih pasangan hidup sendiri.”
“terus apa maksud ka−“
“TAPI−“ potong wanita yang masih terlihat muda itu dari seberang meja. “kami sendiri yang akan memastikan bahwa kalian mendapat pasangan hidup yang sesuai “
“sekali lagi.” Ujar Rio putus asa. “ jadi apa maksud kalian?”
“aku harap−“ Eri membuka mulutnya untuk pertama kali. “ini bukanlah ide bodoh seperti sebuah perjodohan.”
Kedua orang tua itu terlihat sedikit terkejut ketika melihat anak kedua mereka yang pada biasanya pendiam , sekarang bisa berkomentar seperti itu. Tapi apa boleh buat, Eri muak dengan kata perjodohan.
“bukan , bukan perjodohan” ibu mereka menjawab.
“lalu apa?” tanya Rio.
“kami akan mengenalkan kalian dengan beberapa calon, terserah kalian akan memilih siapa. Namun kalian harus memilih salah satu di antara mereka.”
“kalau begitu apa bedanya dengan perjodohan??” tanya Eri, berusaha sekuat tenaga menekan emosinya.
“bedanya, kami tidak memaksakan kalian kepada satu pilihan.” Sekarang ayah mereka yang menjawab.
“tapi kami harus memilih kan pada akhirnya?? Sama saja. Kenapa kalian tidak membiarkan kami mendapatkan sendiri pasangan hidup kami?” tanya Rio, yang sama geramnya dengan Eri.
“kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian.” Ujar ayah mereka.
“omong kosong”
Kedua orang tua mereka terkejut, begitu juga Rio ketika mendengar Eri berkata seperti itu. Bahkan Eri sendiri sedikit kaget ketika mulutnya seakan bergerak sendiri.
“KAMU−“ Ibu rumah tangga itu hampir saja membentak anaknya yang kedua, kalau saja suaminya tidak memegangi tangannya.
“keputusan papa dan mama sudah bulat.” Balas ayah mereka, dengan tetap menjaga ketenangannya yang sedikit menyeramkan.
“keputusanku juga, untuk tidak mengikuti kemauan kalian” sahut Eri. Entah kenapa, ia benar benar benci dengan kata itu. Apakah ia membencinya karena Daniel berubah setelah ia dojodohkan?..
“keputusan kami ” koreksi Rio.
“terserah apa kata kalian , tapi tak ada yang bisa kalian lakukan untuk membatalkan keputusan kami. Ketahuilah , kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian.”
Keheningan menyusul setelah itu. Tak ada yang berbicara lagi, baik pihak anak maupun orang tua. Eri menundukkan kepala, tampak serius mengamati tangannya dibawah meja. Sedangkan Rio beberapa kali melirik Eri, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu.
“baiklah… Tapi dengan satu syarat” ujar Rio, membuat adiknya mendongak heran.
Kedua orang tua di seberang meja menatap khawatir, seakan sudah tahu apapun yang akan diajukan anak sulung mereka akan merugikan , setidaknya bagi kedua orang itu.
“jika kami menjalani keputusan kalian itu, kalian tidak boleh protes terhadap apapun yang kami berdua lakukan. Termasuk-" Rio menambahkan "-tidur bersama.”
Eri langsung menoleh cepat ke arah kakaknya. Ekspresi terkejut di wajah anak itu mirip dengan ekspresi terkejut kedua orang tua di seberang meja makan.
Memang Eri sudah sedikit terbiasa dengan kehadiran Rio disampingnya ketika ia tidur, namun ketika Rio menyebutnya “tidur bersama” entah kenapa muka Eri memerah dalam diam.
Keengganan sangat terlihat di wajah orang tua mereka. Jelas, permintaan Rio malah menghancurkan tujuan awal rencana mereka untuk menjauhkan kakak beradik itu.
“kalau begitu sudah tidak ada yang bisa dibicarakan lagi” Rio beranjak dari kursinya dan menjulurkan tangannya pada Eri. “ayo dek”
Sesaat Eri melirik ke arah orang tuanya, ekspresi kedua orang tua itu malah membuat Eri semakin merasa tidak enak , dan Eri meraih tangan kakaknya.
Berdua, mereka berjalan menuju kamar Rio , dan hilang di balik pintu.
Ibu mereka yang sejak tadi menahan diri , langsung melemaskan bahunya. “ck. Sekarang apa yang bisa kita lakukan? Kamu sih terlalu lembek sama mereka.”
“kalau kamu terlalu keras pada anak kita, mereka malah akan berbalik menentang. Kita harus buat mereka benar benar percaya kalau yang kita perbuat adalah demi kebaikan mereka” sahut sang suami, sambil memandang ke mata istrinya. “karena ini memang untuk kebaikan mereka.”
“tapi lihat anak kita sekarang! Mereka makin tidak wajar saja dari hari ke hari!” seru sang istri , walaupun tidak terlalu keras. “ini semua karena kamu terlalu lembek!”
Pria yang beberapa tahun lagi akan menginjak usia setengah abad itu menunjukkan ekspresi tidak puas , dan menenggak air putih dari gelasnya. “mereka sudah beranjak dari usia dimana kita bisa mengatur mereka sesuka hati ma” ujarnya pelan. “mereka berada di dalam masa masa yang labil”
“lalu apa yang bisa kita lakukan??” tanya sang istri.
“tenang saja ma , papa sudah tahu caranya..” pria itu tersenyum. Senyum yang biasa ia tunjukkan ketika ia mendapat ide, ide cemerlang.
∞
Malam itu, seorang pelayan sedang menyambut beberapa pengunjung yang datang ke restoran tempat ia bekerja.
Restoran mewah itu terletak di lantai tertinggi sebuah gedung pencakar langit. Di sebabkan pemandangan dan suasana restoran yang classy dan mewah , tak aneh jika hanya orang orang berkantong tebal yang mengunjungi tempat itu. Seperti 4 orang yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
Karpet tebal langsung menyambut begitu siapapun menginjakkan kaki ke dalam ruangan. Meja meja berbentuk persegi terselimuti dengan taplak putih , halus tanpa kerutan. Peralatan makan yang dipakai tidak sembarangan, mulai dari pisau, garpu, sendok, piring bahkan serbet sekalipun.
Alunan musik klasik mengalun dari sebuah piano di sudut ruangan , dimainkan oleh seorang maestro yang tak jarang konser di luar negeri.
Para pelayannya memakai jas khusus berwarna putih , dan selalu terlihat ramah dan siap menganggapi apapun keinginan pengunjungnya.
Para pengunjung yang datang pun memakai pakaian rapi, para laki laki memakai jas , dan para kaum hawa memakai gaun walau jelas umur mereka sudah tidak muda lagi.
Pemandangan menjadi daya tarik utama restoran itu, dengan ketinggian yang cukup , kendaraan yang berlalu lalang tampak cukup kecil bagaikan semut yang berkerumun. Lampu lampu perkotaan tampak indah , berkelap kelip layaknya kunang kunang.
Pemandangan itulah yang sekarang melatar−belakangi 2 pasang suami istri di salah satu meja dekat jendela.
Saat seorang pelayan datang untuk mengisi minuman mereka, pembicaraan terhenti sejenak.
“Jadi.. Apa ada masalah?” tanya seorang wanita di sebrang meja , kepada tante Dona dan om Nathan di depannya.
“o−oh tidak…” jawab Dona, jelas sekali terlihat senyum palsu di bibirnya.
“Tentu saja tidak ada, Selena.” Ujar Nathan , dengan menyebut nama perempuan yang memakai gaun merah tersebut.
“oh ya?” tanya seorang laki laki di samping wanita yang bernama Selena. “saya dengar dari Bella anak saya, katanya Daniel tidak senang dengan perjodohan ini, apa itu benar?”
“oh−em… Tidak , tentu saja tidak begitu Robby” ujar Nathan , kali ini menyebut nama teman lamanya.
“Tentu saja.” Laki laki bernama Robby itu tersenyum puas. “karena ini bukan hanya sekedar perjodohan biasa bukan? Nasib perusahaan kalian di pertaruhkan.”
“Siapa yang tahu jika Prasetya corporation tiba tiba mengalami defisit besar karena ‘kejadian tak terduga’?” ujar Selena , dengan senyum di wajahnya.
“Kami juga terkejut saat mendengar itu..” ujar Dona, gaun birunya memantulkan cahaya lampu yang remang remang, membuatnya terlihat seperti bercahaya dalam gelap.
“Siapa yang tidak akan terkejut jika mendengar perusahaan besar seperti perusahaan kalian tiba tiba mengalami kejadian seperti itu?” ujar Robby.
“Dan siapa yang menyangka kalau tiba tiba seorang staf keuangan kami lari dengan membawa sebagian besar ‘simpanan’ perusahaan..” sahut Dona.
“yahh.. Anggap saja ini sebagai cobaan. Orang harus gagal dulu sebelum menjadi sukses kan?” Robby mengangkat alisnya.
“Kami sangat berterima kasih saat kalian mau menawarkan bantuan” ujar Nathan kepada teman lamanya.
“Ah tidak usah sungkan, lagipula merger antara perusahaan kita baru akan terlaksana ketika kedua anak kita , yaitu Daniel dan Bella setuju untuk bertunangan kan?” sahut Selena.
“Maka dari itu kami berharap tidak akan ada masalah yang terjadi , benar kan?” tanya Robby.
Dona dan Nathan hanya bisa tersenyum membalas pertanyaan kedua teman mereka. Jujur , mereka sendiri awalnya tidak ingin mengatur urusan jodoh anak mereka satu satunya. Tapi keadaan mereka berada di ujung tanduk.
“Kami bisa saja membatalkan perjanjian itu kalau Bella menolak , tapi kami sudah meminta anak itu untuk setidaknya mencoba menerima Daniel.” Ujar Selena. “dan kalian tahu kan apa yang akan terjadi kalau Daniel tidak setuju untuk melanjutkan perjodohan ini?..”
Pertanyaan itu lebih sesuai jika disebut dengan ancaman.
“Te−tentu saja kami tahu..” jawab Dona. Detak jantungnya sedikit berdebar karena gugup.
“Satu lagi” ujar Selena. “kami tahu Daniel dekat dengan seorang temannya. Anak yang ia bilang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.”
“A−ada apa dengan anak itu?..” tanya Nathan heran.
“Bella tidak menyukai anak itu dekat dengan Daniel.” ujar Robby. “jadi sebaiknya kalian pastikan anak itu tidak menjadi pengganggu.’”
“Tapi kami tidak bisa melarang Daniel untuk berteman dengan−“
“ – KAMI HARAP –“ Selena memotong perkataan tante Dona. “ – semoga kalian bisa melakukan sesuatu tentang itu. Karena kalau tidak , terpaksa kami tidak bisa melanjutkan perjanjian..”
Senyum menghiasi bibir perempuan itu, walau Dona dan Nathan sama sama tak tahu bahwa bahwa kelicikan adalah sumber dari senyum itu.
“untuk keluarga kita” Robby mengangkat gelasnya, diikuti istrinya , dan kedua orang di depannya.
Sayangnya, kedua orang di depannya hanya bisa mengikuti tanpa protes.
Pada hari selasa ini , SMA Harapan meliburkan murid muridnya. Penyebabnya adalah karena sebagian besar guru gurunya mengikuti studi banding – layaknya anggota DPR – ke sekolah lain.
Sesuai namanya , tujuan dari program ini adalah untuk ‘membandingkan’ baik secara fisik maupun non fisik antar sekolah. Tapi dalam kenyataannya, guru guru itu malah memakai kesempatan ini untuk berjalan jalan , jauh dari kewajibannya.
Di tempat lain , Eri baru saja terbangun dan menyadari bahwa Rio tidak berada di sampingnya.
Kamarnya yang bernuansa biru terlihat cerah ketika sinar matahari menyusup masuk melalui celah jendela. Eri ingat sempat tidur sendiri malam itu , tapi entah jam berapa di tengah malam , ia mendengar suara kakaknya di dalam kamar.
Dan memang, perasaan ketika terbangun dan menyadari bahwa ada seseorang di samping kita, jauh lebih baik daripada terbangun dan menyadari bahwa ternyata kita sendirian. Itulah yang dirasakan Eri sekarang.
Eri memakai kacamatanya, dan berjalan pelan ke arah pintu sambil sesekali menguap.
Rumahnya tampak sepi seperti biasa, namun ia tidak terlalu memikirkan itu. Kaki Eri langsung membawanya ke arah kamar Rio , dan ia mengetuk pintu beberapa kali.
Tak ada jawaban.
Eri memutuskan untuk membuka pintu , dan ia mendapati bahwa tidak ada siapapun di sana. Hatinya sedikit kecewa. Akhir akhir ini Rio selalu pamit jika ia akan bepergian.
Menghela nafasnya, Eri berjalan menuju kamarnya kembali. Handphone nya yang ia letakkan di atas meja belajar langsung ia raih, sekedar mengecek apa kakaknya meninggalkan pesan.
Namun tidak ada pemberitahuan apapun di layar LCD handphonenya.
Eri baru saja menaruh hape−nya , dan berjalan menuju pintu ketika handphone nya berbunyi , menandakan masuknya sebuah pesan singkat.
− Bosen nih . Kakak boleh main ke rumah?
Dan walaupun pesan singkat itu datang dari Kemal, Eri membalasnya dengan cepat.
− Boleh , aku lagi sendirian jaga rumah.
Entah karena memang Kemal sudah bersiap siap , atau karena Eri mengatakan bahwa ia sendirian di rumah, beberapa menit kemudian handphone Eri kembali berdering. Kali ini menandakan panggilan masuk.
“halo?..” sahut Eri.
“halo dek? kakak udah di depan nih, kamu keluar dong”
Mendengar hal itu, Eri langsung bergegas keluar dari rumahnya. Sebuah mobil putih telah terparkir di depan pagar rumahnya , dan sang pengendara pun telah menunggu di samping mobil itu.
Eri langsung bergegas membuka pagar dan menghampiri Kemal , dan anak itu sedikit bingung ketika Kemal tampak salah tingkah.
“kenapa kak?” tanya Eri.
“e−enggak gak pa pa…” sangkal Kemal.
“gak pa pa tapi kenapa kayak salah tingkah gitu??”
“kakak baru pertama kali liat kamu pake baju kayak gitu…”
Eri langsung memperhatikan bajunya, dan baru tersadar ketika ia masih memakai pakaian tidurnya. Sebuah celana yang panjangnya lebih pendek dari celana pendek biasa, dan sebuah kaos kebesaran yang saking besarnya sampai menunjukkan sebelah bahu anak itu.
“…….” Muka Eri langsung memerah padam , dan ia tak berani menatap Kemal. “a−aku lupa… aku masuk ganti baju dulu ya! Kakak masuk aja!!”
Tanpa menunggu jawaban dari Kemal, Eri langsung berlari masuk ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamarnya. Ketika ia berganti baju pun , mukanya tetap memerah.
∞
Entah ekspresi apa yang sempat terpancar dari Kemal ketika ia melihat Eri sudah memakai pakaian yang lebih ‘tertutup’.
Apakah yang barusan itu kelegaan, atau malah kecewa?
“kakak udah sarapan?” tanya Eri sambil duduk di samping Kemal di sofa ruang tamu.
“seharusnya kakak yang tanya kamu. Kamu baru bangun kan? Mentang mentang hari ini libur!” Kemal mencubit pipi anak di sampingnya dengan kedua tangan.
“iya iyaa ampun!” Eri menarik kedua tangan Kemal. “sekarang juga masih pagi kok , belom siang kan? Kakak aja yang bangun kepagian. Lagian mana ada orang dateng ke rumah orang lain sepagi ini..”
“emang aneh ya kalo kakak main sepagi ini?” tanya Kemal , mendadak ekspresinya berubah serius.
“ya gak aneh juga kok kak, cuman jarang aja ada yang dateng pagi pagi..” Kecuali orang itu, tambah Eri dalam hati.
“tapi kakak ngenganggu kamu gak nih?”
“ya enggaklahh, aku malah seneng banget ada yang nemenin di rumah” ujar Eri sambil tersenyum kecil.
Mata Kemal yang sedikit sipit tampak melebar sesaat ketika melihat Eri tersenyum, namun Eri tidak menyadari itu.
“aku mau sarapan dulu, kakak mau roti?” tanya Eri sambil berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju meja makan.
Kemal masih terpaku di tempatnya , rupanya keputusan yang ia ambil untuk main ke rumah Eri sangat tepat.
“kaaak? Mau roti gak??” panggil Eri dari meja makan ketika ia menyadari bahwa Kemal tidak merespon.
“m−mau dekk!”
Eri duduk di kursinya yang biasa, dan Kemal menarik kursi ke sampingnya. Seperti paginya yang biasa , Eri hanya memakan roti tawar tanpa menambahkan apapun di atasnya.
“kamu makan rotinya gitu aja dek?? emang enak???” Tanya Kemal heran.
“enak kok , cobain aja” ujar Eri sambil menyodorkan roti di tangannya. Ia sengaja menjulurkan bagian yang tidak terkena gigitannya, namun Kemal malah menggigit tepat di bekas gigitan Eri.
“i−itu bekas aku kak!” seru Eri.
“ah gak pa pa lah dek , bekas kamu ini.” –Muka Eri langsung memanas− “oh iya enak juga dek , mau lagi dong!” sahut Kemal sambil membuka mulutnya, berharap Eri akan menyuapinya lagi.
“nih ambil aja sendiri kak” Eri menyodorkan bungkus roti kepada Kemal , yang sekali lagi tampak kecewa.
“dek…” tanya Kemal sambil mengunyah roti.
“ya?”
“kamu masih keliatan gak semangat loh..”
“tau dari mana?”
“ekspresi kamu tuh gak se ceria biasanya..”
“sok tau nih kakak!” canda Eri sambil tersenyum.
“seriusan dek.. Kakak cuma gak pingin aja kamu kayak gini terus, kalo ada apa apa kamu bisa cerita ke kakak kok”
Eri kembali tersenyum , kali ini giginya yang berwarna putih terlihat rapi ketika bibirnya membentuk senyum. “makasih kak , tapi gak ada yang bisa aku ceritain untuk saat ini.. Dengan kakak dateng kesini aja aku udah seneng , aku gak mau ngerepotin kak Kemal..”
Lagi lagi Kemal terpaku sesaat ketika melihat Eri , ia seperti melihat seorang anak kecil yang mencoba dewasa lebih cepat dari waktunya, atau seseorang yang menyembunyikan masalahnya.
“kalo buat kamu , serepot apapun juga kakak gak peduli dek.” ujar Kemal , cukup pelan sampai sampai Eri tidak bisa mendengarnya.
“hm? kenapa kak??”
“enggak. Gak pa pa, oh iya kakak boleh nyalain tv?” tanya Kemal.
“boleh kok , rotinya di bawa aja sekalian ke sofa.”
Kemal mengikuti Eri ketika anak itu duduk di sofa, mengambil remote dan menyalakan tv di depannya.
Layar tv menampilkan acara yang mengisi pagi itu dengan berita berita terkini dari seluruh Indonesia. Dan layaknya anak muda ada umumnya, Eri tidak begitu tertarik dengan acara itu. Setidaknya untuk saat ini.
Sesekali Eri mencuri pandang ke orang di sampingnya , dan mukanya langsung memerah ketika orang itu menangkapnya basah.
“kenapa dek??”
“oh em… gak pa pa…” Eri langsung membuang mukanya.
Kemal di depannya memakai celana jeans biru , dan sebuah kaos putih yang warnanya tidak terlalu kontras dengan pemakainya. Dan walaupun Eri sudah memakai celana yang tidak begitu pendek, entah kenapa ia merasa risih memakai celana itu.
“….. kamu gak suka ya kalo kakak kesini?..”
“h-hah?? Aku gak ngomong gitu!” bantah Eri kaget.
“abis kamu kayaknya gak semangat gitu..”
Eri menghela nafas. “kan aku udah bilang , aku malah seneng banget kakak main kesini..”
“terus kalo gitu kenapa kamu duduknya jauh banget?” tanya Kemal.
Eri terdiam ketika tanpa sadar tubuhnya mengambil jarak dari Kemal , sehingga jika diantara mereka duduk 2 orang lagi pun , mereka tak akan kesempitan.
“Em…. eeeee…..” muka Eri makin memerah ketika ia tak dapat menemukan kata kata.
Kemal menggeser tubuhnya hingga menempel pada Eri. “kenapa?..”
“em eeee… b-baru pertama kali ada kakak kelas yang main kesini…. A-aku gak tau harus gimana…” jawab Eri dengan kepala tertunduk.
“ya ampun deekkk! Kakak kira kenapa!” Tangan Kemal langsung mengacak acak rambut Eri karena gemas, tak menghiraukan kacamata anak itu yang mulai bergeser dari batang hidungnya.
“am-ampun kak!”
“ya ilah dek, biasa aja kali sama kakak mah. Kamu kayak baru kenal aja..”
Padahal kenyataannya, mereka memang belum terlalu lama kenal.
“i… iya deh kak…” jawab Eri salah tingkah.
“sini tangannya!” ujar Kemal.
“hah? Buat apa kak?” tanya Eri heran ketika Kemal meminta tangannya.
“udah cepetan, sini tangannya!” Kemal menjulurkan tangannya sendiri, meminta tangan Eri.
Dan baru sedikit tangan kanan Eri terulur, Kemal langsung menangkapnya , dan menyisipkan jari jarinya di sela-sela jari anak itu.
“k-kakak apaan sih!” Eri langsung menarik tangannya, tapi tangan Kemal menahannya.
“biar kamu gak grogi kalo di deket kakak dek” ujar Kemal, sambil mempererat genggamannya di tangan Eri.
Warna merah muncul terus menerus di wajah Eri, dan perlahan , ia ikut menggenggam tangan Kemal.
Entah Eri menyadarinya atau tidak , tapi pipi Kemal juga bersemu. Mereka tak lagi memperhatikan tv yang menyala , namun walaupun pandangan mereka tak menunjukkan apa apa , perhatian mereka berdua sama sama terarah ke tangan mereka yang saling menggenggam.
Tangan Kemal sedikit bergetar ketika merasakan kulit Eri di ujung jarinya. Well, ini baru pertama kalinya ia menggenggam tangan orang lain , apalagi adik kelasnya , cowok pula. Apa sih yang ia lakukan?
Kemal memperhatikan muka Eri, yang entah kenapa masih berusaha menonton tv walaupun jelas ia tidak memperhatikan apapun yang di tampilkan.
Saat Kemal mengangkat tangan kirinya yang bebas ke arah muka Eri, anak itu langsung reflek menjauhkan mukanya.
“boleh pegang?” tanya Kemal, menunjuk ke arah pipi Eri dengan telunjuknya. Sebuah pertanyaan yang ambigu memang. Eri terlihat bingung, namun ia menganggukkan kepalanya.
Kemal menyentuh pipi Eri , hanya dengan ujung telunjuknya. Sensasi yang pertama kali ia rasakan adalah lembut, dan ketika ia mendorong telunjuknya , terasa pipi Eri yang kenyal.
Eri tidak menolak ataupun menunjukkan tanda tanda kalau ia menyukai apa yang Kemal lakukan. Ia hanya diam , menerima apapun yang di lakukan ke padanya.
‘TINNNNNNNNN’
Kedua orang di sofa langsung menoleh ketika suara klakson motor terdengar memekakan telinga dari depan rumah Eri.
Anak itu langsung beranjak dan melepaskan tangannya dari tangan Kemal , yang tanpa Eri sadari , tampak kecewa saat ditinggalkan.
Tanpa mengintip siapa pengunjungnya, Eri langsung membuka pintu. Dan hatinya mencelos ketika melihat Daniel Prasetya berdiri di depan pagarnya.
Pemain basket itu memakai celana basketnya, dan jaket abu abu yang sama persis dengan jaket yang berada di dalam lemari Eri menyelimuti badannya. Ekspresinya datar , namun siapapun yang melihatnya pasti langsung tahu kalau mood orang itu sedang tidak baik.
Jari jari Eri menegang saat ia menggenggam erat gagang pintu. Sesaat ia ingin langsung membanting pintu dan kembali masuk ke dalam , tapi ia mengurungkan niat itu.
Tanpa menunggu Eri, Daniel langsung membuka pagar yang terbuat dari kayu itu dan berjalan menghampiri Eri yang masih terpaku di depan pintu.
“………….”
Tak ada yang berbicara, baik Eri maupun orang di depannya. Sebuah beban berat terasa jatuh di bawah paru paru anak itu, dan tangannya langsung terasa lemas seakan kehilangan semua tenaganya.
“kamu kenapa sih dek?” tanya Daniel , entah yang ke berapa kali.
“…………..”
“kakak salah apa sama kamu sampe kamu kayak gini?”
“……………” Eri masih belum menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya dan menatap lantai.
“kakak gak mau kayak gini ter-“
“Stop.” Eri memotong kata kata Daniel. “kakak udah lupa apa yang aku bilang?”
“…………..” kali ini giliran Daniel yang terdiam.
“aku gak bisa deket kakak, kalo kakak masih dijodohin sama Bella. Lebih baik kakak urusin aja perempuan itu..” Eri berbalik , dan baru saja akan menutup pintu ketika Daniel menahan tangannya.
“Emang ada apa sama perjodohan itu? kenapa kakak gak bisa deket kamu selama masih dijodohin?” tanya Daniel.
Eri sendiri bingung. Iya juga ya, kenapa ia tidak bisa dekat dengan Daniel selama pemain basket itu dijodohkan? Karena ancaman Bella? Tentu saja bukan. Karena tidak kuat melihat Daniel bersama orang lain? Itu mungkin jawabannya.
Muka Eri mendadak memerah ketika jawaban dari pertanyaan Daniel muncul di kepala anak itu. Daniel pun menyadari nya.
“a-aku………..”
“dek? kamu lagi ngapain??” Kemal tiba tiba muncul dari dalam rumah…
Pandangan nya tertuju ke muka Eri yang terlihat memerah dan enggan, setelah itu beralih ke arah tangan Daniel yang memegangi tangan Eri. Apapun yang terjadi saat itu, menurut Kemal bukanlah hal yang baik.
“lo ngapain??” tanya Kemal ke arah Daniel. Ekspresi nya datar , tapi nada suaranya sedikit bergetar.
“bukan urusan lo.” Jawab Daniel.
Kemal langsung menarik Eri ke arahnya, dan berdiri diantara anak itu dan Daniel , seakan melindungi Eri. “siapa bilang bukan urusan gue?”
“k-kak kemal!” ujar Eri panik.
“ck. Gak usah ikut campur urusan gue sama Eri.” Daniel berjalan maju mendekati Kemal. Daniel yang notabene adalah pemain basket, terasa mengintimidasi dengan perbedaan tinggi.
Kemal langsung mengangkat tangannya. Daniel yang menyadari itu langsung berusaha menepis , ketika Eri yang ternyata lebih dulu menangkis tangan Kemal.
“udah udah!!” Seru anak itu , yang terjebak diantara dua orang yang lebih tinggi darinya. “gak usah pake berantem!”
“tapi dek- “
“gak pake tapi tapian!!!” seru Eri , memotong ucapan Daniel.
Keduanya terdiam , tak ada yang berani melawan Eri – atau lebih tepatnya – tidak ada yang tega melawannya.
Eri menghela nafas. “aku butuh waktu…” ujarnya lesu.
“sendirian.” Tambah Eri ketika Kemal terlihat akan menyela.
BLAM.
Pintu tertutup tepat di depan muka kedua orang itu…….
∞
“kenapa kau jarang datang kemari? Nenek kira kau sudah mulai melupakan nenekmu ini..” tanya nenek Paula, ketika sore itu Eri datang dengan muka lesu , dan tanpa bicara langsung duduk di meja dapur tempat nenek Paula sedang mengolah adonan berwarna biru.
“mana mungkin aku melupakan nenek..” ujar Eri kesal. “aku hanya bingung dengan kondisiku yang sekarang ini..”
“tentang Daniel?” tanya nenek Paula.
Eri mengangguk lesu.
“Bingung kenapa? Sudah jelas kamu menyayanginya “
“nggak segampang itu!” Eri memukulkan tangannya ke atas meja cukup keras hingga membuat peralatan makan bergetar. “semua gak segampang yang nenek bilang…”
Nenek paula menghentikan kegiatannya, dan memandang Eri tajam. “nenek tidak mengatakan kalau itu gampang, hanya saja kamu yang membesar besarkan masalah”
“aku bisa apa nek? Apa aku bisa dengan bebasnya memberitahukan dunia kalau aku … “ – muka Eri memerah – “ kalau aku sayang dengan-nya?
“nenek juga gak bilang kamu bisa memberitahukan dunia kalau kamu menyayanginya..”
“lantas apa??” Eri memalingkan mukanya. “Daniel pasti akan menjauhiku , ia akan memandangku jijik , dan bisa bisa ia malah meninggalkan ku. Lagi pula ini semua terasa aneh.. Aku tidak ingin memiliki perasaan seperti ini”
“kenapa tidak?”
“Karena aku takut!” seru Eri. “aku takut pandangan orang orang, aku takut reaksi Daniel , aku takut semuanya. Aku takut orang orang akan menjauhiku, aku takut merasa sendirian…”
“tapi apakah kamu puas dengan keadaan seperti ini?” tanya nenek Paula. “kalau kamu tidak jujur dengan perasaanmu sendiri, selamanya kamu tidak akan merasa bahagia.”
“Nenek tahu apa?” ujar Eri frustasi. “jika saja perasaan ini datang tidak kepada Daniel, pada Rara misalnya , Lily , atau kepada perempuan lainnya! Aku pasti akan langsung jujur terhadap perasaanku sendiri..”
Nenek Paula menghela nafas menghadapi anak di depannya. “coba sekarang kamu pikir. Kalo kamu bertindak seperti ini , cepat atau lambat kamu akan kehilangan Daniel. Jika kamu berpura pura tidak ada apa apa , apakah kamu bisa tahan melihat Daniel bersama orang lain?”
“tapi aku harus bagaimana? Aku bisa apa melawan perasaan ini nek? …”
“kamu bisa mengakuinya”
“confessing? Are you crazy???” seru Eri. “what would happen if he rejected? And even worse , he might be leaving me for real! No no no”
“the result is the same. If you do nothing , you’ll lose him. If you deny your feelings, you’ll regret it. But if you confess , it’s either you lose him or you get him.” Jawab nenek Paula.
“can’t I just stay in this condition?”
“you have to make it clear Eri.” ujar wanita tua itu. “you can’t stay in this condition forever..”
Eri berfikir… Mengakui kalau dia menyayangi Daniel sama saja dengan bunuh diri, bahkan ia sendiri tidak yakin dengan perasaannya. Apakah ia benar benar menyayanginya , atau hanya sekedar tertarik kepada Daniel?
Kepala Eri mendadak terasa penat ketika pikiran pikiran itu berlarian di antara sel kelabunya. Menghiasi setiap pojok pikirannya, tanpa ada tempat untuk bernafas.
Hal yang paling menyakitkan yang bisa dipikirkan oleh Eri adalah ia takut, sebanyak apapun yang ia lakukan , sebanyak apapun yang ia korbankan, sebanyak apapun usaha yang ia perjuangkan, tetap ia tidak bisa dicintai oleh orang yang ia cintai.
maaf kak @Tsu_no_YanYan kalo mentionnya gamasuk , aku gak ngerti kenapa hehee.
Buat yang masih mau baca, udah di update yaa maaf kelamaan @Gabriel_Valiant @mustaja84465148
@zeva_21 @d_cetya @alfa_centaury
@yuzz @master_ofsun @Adityaa_okk @Mr_Makassar @Needu @arifinselalusial @cee_gee @ananda1 @cee_gee @dafaZartin @uci @lulu_75 @4ndh0 @Gildarts
Makasih udah mau baca
Gak sabar nunggu lanjutannya!><
Lagih>< Lagihhh>< Lagih!>< *pelukEri* Gemesin banget sih!!>< *cubitpipinya