It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
vielen dank ye ell @3ll0
ayoo lanjuuut
gw suka eri sama rio gak tau kenapa. tapi daniel gw juga suka.
Page thirty five – confess
Pagi itu Eri terbangun dengan perasaan yang campur aduk, antara takut dan bingung.
Ia sudah membulatkan tekadnya untuk mengutarakan isi kepalanya – alih alih isi hatinya – kepada Daniel.
Memang bukan hal yang mudah , Eri bahkan tidak bisa tidur semalaman sehingga matanya sedikit memerah. Saat ia membuka pintu kamarnya, Rio telah menunggu di depan kamar.
“e-eh kak…”
“Lo kemaren gak pa pa kan? Maaf kakak tiba tiba keluar gak pamit dulu sama lo..” ujar Rio dengan ekspresi bersalah menyelimuti wajahnya.
“i-iya gak pa pa kok kak, asal lain kali kasih kabar aja.. aku khawatir kakak kenapa kenapa..” balas Eri sambil tersenyum.
“maaf dek..” ujar Rio, yang malah tambah bersalah. Tangannya dengan lembut mengelus pipi Eri , yang terasa halus diantara jemari pemuda berkacamata itu.
“iya gak pa pa kok kak..” senyum perlahan memudar dari wajah anak itu , dan ia menyandarkan dahinya pada dada Rio.
“l-lo kenapa dek? sakit? Gak enak badan?”
Eri menggeleng, walau kepalanya tetap bersandar pada dada Rio. Pada pagi hari saja sudah tercium bau coklat dari tubuh Rio, membuat Eri menarik nafas panjang.
“enggak pa pa..” Eri tersenyum sekilas, dan beranjak menuju meja makan.
Bau Rio dapat menenangkan pikirannya untuk saat ini. Bahkan alasan kenapa kakaknya itu tidak ada di rumah kemarin , Eri tidak memikirkannya.
Pikirannya hanya satu, dan langkah langkah yang akan ia tempuh nanti seakan sudah terpetakan di dalam kepalanya. Berbagai kemungkinan sudah ia pikirkan, pemilihan bahasa, waktu bahkan kejadian kejadian yang tak terduga pun sudah ia pikirkan.
Yang belum ia pikirkan adalah reaksi Daniel, entah apa yang akan ia lakukan setelah mendengar pengakuan Eri.
Belum pernah Eri merasa setakut ini sebelumnya.
∞
Langkahnya memasuki ruang kelas tak pernah seberat ini , seakan di dalam kelas telah menunggu sebuah hukuman yang harus ia jalani.
Eri berjalan dengan menyeret kaki menuju kursinya, dan di sebelah kursi itu, Arya sudah memperhatikannya sejak tadi.
“lo kenapa?” tanya pemain basket berambut cepak.
Kenapa Eri sering sekali mendapat pertanyaan itu? “kenapa apanya?”
“muka lo itu, lesu banget kayaknya. Lo sakit?” tanya Arya sambil mengecek dahi Eri dengan punggung tangannya.
Eri menggeleng pelan, bosan dengan pertanyaan seperti itu. “enggak kok gak pa pa ya”
“ohh…” Arya menurunkan tangannya dengan perlahan. “lo mau liat sesuatu gak?”
Eri memperhatikan dengan tertarik ketika Arya mengeluarkan sebuah sketch book dari tasnya.
“lo inget kan , gue pernah bilang ada gambar yang belom selese? Nah sekarang gambar itu udah jadi.”
Arya membuka halaman terakhir sketch booknya , dan terlihatlah sesosok gambar yang membuat Eri sedikit kaget. Gambar itu bagus -sangat bagus bahkan- namun yang membuat Eri kaget adalah sosok di dalam gambar itu.
Bella sedang memandangnya balik dari hamparan kertas berwarna putih itu.
“Bella?”
Arya mengangguk tanpa suara.
“lo suka sama Bel- “ Kata kata Eri terpotong ketika tangan Arya membekap mulutnya.
Arya mencuri pandang ke arah tempat duduk Bella, sebelum memandang Eri dan mengangguk, sekali lagi tanpa suara.
Sebelum Eri bisa berkomentar lebih lanjut, perempuan yang dimaksud muncul dari arah pintu. Bella datang dengan kelompoknya yang biasa, namun kali ini ada yang berbeda. Daniel terlihat berjalan di samping perempuan itu.
Sampai di tempat duduknya pun mereka masih berjalan berdampingan, tanpa membuat celah untuk Eri.
Eri memandangi Daniel , sedangkan Arya memandangi Bella. Entah kenapa mereka merasakan sebuah perasaan yang sama. Entah itu iri, atau cemburu.
Jantung Eri seakan meleleh ketika melihat pemain basket itu. Semua kata kata yang ia siapkan rasanya langsung menguap hilang dari kepalanya.
“lo beneran suka sama Bella?” ulang Eri , kali ini dengan suara yang lebih pelan.
Arya tampaknya tidak mendengar, pandangannya terpaku pada Bella , dan tampaknya perhatiannya juga begitu. Namun Eri berani bersumpah sedetik tadi mata Arya tampak tidak tenang.
Eri menoleh sekali lagi ke arah Daniel , dan ketika Daniel menoleh balik ke arah anak itu, mukanya menghangat. Baru saja Eri akan membuang mukanya, ketika Daniel melambaikan tangan ke arahnya, menyuruhnya untuk mendekat.
Walau sedikit ragu , Eri beranjak dari kursinya sendiri , dan berjalan menuju tempat Daniel.
“kenapa?” tanya Eri begitu ia sudah cukup dekat dengan pemain basket itu.
“kamu pulang nanti kemana?” tanya Daniel, tanpa mengecilkan suaranya.
“gak kemana mana, emang kenapa k-kak?” jawab Eri , sedikit ragu ketika ia akan memanggil Daniel dengan sebutan ‘kak’.
“kamu ikut kakak ya, ada yang mau kakak omongin.”
“ohh.. oke… ada yang mau aku omongin juga kebetulan”
Daniel terlihat membuka mulutnya, namun suara yang terdengar hanyalah suara bel masuk sekolah. Dan Eri langsung beranjak kembali ke kursinya, tanpa melihat ekspresi Bella di samping Daniel.
Eri bisa merasakan detak jantungnya sendiri , bahkan seakan akan dadanya terdorong setiap detakan jantung itu.
Semua seakan tak bersuara kecuali detak jantung Eri , dan suara nafasnya. Suara bel masuk seakan memudar di telinga Eri. Yang ia pikirkan hanya satu.
∞
“ri , lo di cariin tuh” ujar Arya , ketika bel istirahat belum lama berbunyi.
“dicariin?” Arya mengangguk. “sama siapa ya?” tanya Eri , mungkin Rara yang mencarinya.
Ketika Arya menunjuk pintu ruang kelas, terlihat Kemal sedang berdiri bersandar pada pintu kayu itu. Setiap orang yang lewat memerhatikan Kemal, seakan bingung alasan apa yang membuat seorang kakak kelas datang ke kelas juniornya.
“k−kakak ngapain?” tanya Eri heran ketika menghampiri sosok di depan pintu itu.
“nyari kamu lahh” jawab Kemal, cukup jelas untuk di dengar beberapa orang di sekitar mereka.
“apaan sih kak!” tukas Eri dengan mukanya yang menghangat. Anak itu mengecek apakah ada orang yang mendengar kata kata Kemal barusan.
“emang kakak gak boleh nyariin kamu?” tanya Kemal , dengan senyum di wajahnya. Beberapa perempuan yang lewat kehilangan konsentrasi karena senyum itu.
“b-bukannya gitu..” jawab Eri dengan muka memerah. “ jarang-jarang aja ada kakak kelas ke sini..”
“ah yaudahlah gak pa pa” Sela Kemal. “kamu mau ke kantin gak ? Kakak jajanin nih” Ujar Kemal , seakan tidak peduli dengan aura mengancam dari meja Daniel.
“ke kantin?” tanya Eri, yang dibalas Kemal dengan sebuah anggukkan kepala.
“aku gak pernah ke kantin kalo lagi istirahat kak” jawab Eri.
Seakan mendengar sebuah perkataan yang tidak masuk akal , Kemal tampak terkejut. “serius? Kamu gak pernah ke kantin??” tanya kakak kelas itu.
Kepala Eri mengangguk saat ia menjawab.
“pantes aja kamu makin kurus tiap hari!” seru Kemal. Entah jujur atau tidak. “yaudah sekarang kamu ikut kakak ke kantin aja deh”
“t-tapi kak- “
“udahh ikut kakak aja!”
Eri hanya bisa pasrah ketika Kemal menarik tangannya - walau Eri bisa melawan - entah kenapa ia lebih memilih untuk melemaskan badannya.
Sedangkan Daniel yang memiliki tujuan sama – yaitu kantin – tidak membuang buang waktunya, ia berjalan cepat keluar kelas, diikuti Arya di belakangnya.
Suasana kantin saat jam istirahat sangat penuh sesak, sehingga untuk berjalan saja setiap orang harus memiringkan badannya agar orang yang berlawanan arah bisa lewat.
Namun untuk Eri, berjalan di kantin tidak terlalu susah dengan Kemal di depannya. Seakan membuka jalan, Kemal membuat orang orang di depannya menyingkir sedikit agar Eri tidak susah mengikutinya.
“kamu mau makan apa?” tanya Kemal, di tengah hiruk pikuk tempat makan itu.
“gak usah kakk, kakak aja yang makan” jawab Eri, yang memperhatikan penjual makanan di tempat itu satu per satu.
“apaan sih dek! pokoknya kamu harus makan juga ah.” Ujar Kemal, dan Eri tidak sempat membalas karena Kemal langsung menariknya ke arah seorang penjual roti bakar.
“kamu suka makan roti kan? Kakak beliin roti bakar aja ya, mau rasa apa?”
“aku bilang kan gak usah kak!” jawab Eri, walau perhatiannya tidak fokus, karena Kemal belum juga melepaskan tangannya. Kemal bukan memegang pergelangan tangan Eri seperti yang biasa di lakukan Daniel , tapi ia benar benar menggenggam jemari Eri.
“bu! Coklat susu sama stroberi satu ya!” seru Kemal ke arah seorang wanita yang berdiri di belakang sebuah lempengan besi panas.
Entah Kemal sadar atau tidak letak tangannya sekarang, namun ia sama sekali tidak melepas tangan Eri dari genggamannya, bahkan saat ia membayar.
“kak, orang orang pada ngeliatin..” ujar Eri , mengingatkan Kemal akan tangannya yang masih bertautan dengan tangan Eri.
“oh iya, maaf dek”
Dan Kemal langsung melepaskan tangannya dari tangan Eri.
Rasa lega langsung menyelimuti Eri ketika Kemal melepaskan tangannya, namun entah kenapa ada perasaan lain yang ikut muncul. Perasaan yang membuat Eri sedikit bingung karena ia yang meminta Kemal melepaskan tangannya. Enggan kah?
“kamu mau makan dimana?” tanya Kemal, membuyarakan lamunan Eri.
“E- em dimana aja kok kak..” jawab Eri pasrah , apapun yang ia katakan pasti tidak akan dihiraukan Kemal.
“di dalem sekolah aja yuk dek” ujar Kemal -yang entah sadar atau tidak- kembali menggenggam tangan Eri dan menariknya ke dalam sekolah, sedangkan tangan lainnya menggenggam plastik berisi dua roti bakar.
Ujung syaraf di ujung jari Eri bisa merasakan kulit Kemal yang menyelimuti tangannya. Kehangatan mengalir dari tangan yang lebih besar itu, menuju ke tangan Eri yang masih bingung apakah ia harus balas menggenggam atau tidak.
Berkali-kali murid yang lewat memperhatikan mereka. Orang yang berpacaran pun jarang saling menggenggam tangan di sekolah, lalu kenapa dua orang cowok ini melakukannya? Mungkin itu yang mereka fikir dan itu membuat muka Eri semakin memerah.
Anak itu mencoba untuk menarik tangannya dari tangan sang kakak kelas, namun Kemal malah memper-erat genggamannya, walaupun mereka sekarang sudah tidak berada di kantin.
“kak.. tanganku.” Eri mengingatkan.
Kendati Kemal tidak memperlihatkan bahwa ia mendengar kata-kata Eri, namun toh kakak kelas itu tetap melepaskan tangan adik kelasnya.
“kita makan disini aja yuk” ujar Kemal, sambil menunjuk ke arah sebuah bangku yang terletak di sebuah koridor yang jarang Eri lewati.
“tapi ini kan koridor anak kelas 11 kak… aku gak berani” keluh Eri.
“ya ampun dek, biasa aja kali. Ada kakak ini yang nemenin kamu kan” balas Kemal, sambil menggaet leher Eri dengan lengannya.
Eri bisa merasakan tangan Kemal menyentuh kulit lehernya, dan sinyal listrik langsung memenuhi neuron di otak anak itu.
Tak ada seorang murid pun yang berlalu lalang di koridor itu. Mereka lebih memilih untuk nongkrong di kantin , ataupun berdiam diri di dalam kelas. Koridor itu sepi seakan jam pulang sekolah sudah lama berselang.
“nih dek roti kamu” Kemal menyodorkan sebuah bungkusan yang berbentuk persegi panjang itu.
Setelah itu mereka berdua sibuk dengan makanan masing masing. Di kursi yang kalau di hitung hitung bisa memuat sebanyak 6 orang, Eri menjaga jaraknya dari Kemal. Namun rupanya Kemal menyadari hal itu.
“kamu kenapa sukanya duduk jauh-jauh sih?” tanya Kemal sambil mengunyah roti strawberry di dalam mulutnya.
“eng−enggak apa apa kak..” ujar Eri, namun ia sedikit menjauh ketika Kemal mendekatkan badannya.
“tuhkan kamu makin jauh, sini aja duduknya deket kakak”
Dengan tangannya yang bebas, Kemal meraih bahu Eri dan menarik nya lebih dekat. Paha mereka berdua menempel, walau tentu saja masih dibatasi celana seragam. Bahu kanan Eri menempel pada badan Kemal, karena tangan kiri kakak kelas itu menahannya.
Sebenarnya Eri merasa nyaman berada dalam keadaan itu , namun mukanya tetap saja memerah dan ia takut ada orang yang melihat mereka berdua ‘sedekat’ itu.
“Kenapa gak di makan dek? mau coba punya kakak?” tegur Kemal sambil menawarkan makanannya.
Eri menggelengkan kepala, dan mulai menyantap roti coklatnya. Rasa coklat yang pekat dan manisnya susu kental yang ditambahkan ke dalam roti langsung memanjakan lidah Eri.
“kayaknya punya kamu enak… mau dong dek!” ujar Kemal, yang dibalas Eri dengan gelengan kepala.
“gak boleh!” ujar Eri , yang tidak rela makanannya dibagikan kepada orang lain. “ini enak banget kak”
“yahh tapi kan yang beli itu kakak!”
“kan kakak udah ngasih ke aku, salah sendirii!”
“dih kamu songong ya!” seru Kemal sambil mencubit pipi Eri dengan tangan kirinya yang bebas.
Eri hanya membalas dengan menjulurkan lidahnya, dan kembali menyantap roti coklat di tangannya. Secercah senyum muncul di wajah Kemal , belum pernah ia merasa sedekat ini dengan orang lain, apalagi adik kelas seperti Eri.
“Kemal!!”
Sebuah suara memanggil, membuat kedua orang di atas kursi langsung menoleh. Eri langsung buru buru menjauh dari Kemal, tapi tangan kakak kelas itu menahannya.
“kenapa val?” sahut Kemal. Noval berjalan menghampiri Kemal dan Eri , dan di belakangnya , teman teman sepermainannya mengikuti.
“ngapain lo disini?” tanya Noval , setelah menyapa Kemal.
“lagi makan lah, masa lo ga liat?” canda Kemal.
“ye gue juga tau, yang gue tanya ngapain lo makan disini? Biasanya juga bareng kita kan” balas Noval. Untuk sekilas tadi, mata Noval tampak melirik Eri. Tangan kiri Kemal masih menggantung di bahu anak itu.
“bosen gue liat muka lo mulu!” seru Kemal, yang diikuti dengan tawa kecil teman teman Noval, yang notabene teman Kemal juga.
“anjir lo ya!” Noval tertawa , dengan tangan menoyor kepala Kemal. “lo siapa?” tanya Noval tiba tiba , ke arah Eri.
“em− eeee−“ Eri tergagap saat mendapat pertanyaan itu. Dia harus menjawab apa? Teman Kemal? Kenalannya?
“dia itu adek gue”
Eri tersentak saat mendengar jawaban Kemal. Apakah telinganya salah dengar??
Kengerian tampak di wajah anak itu saat ia menunggu reaksi apa yang akan di tunjukkan oleh Noval dan teman temannya, namun rupanya ia terlalu berlebihan.
“adek-adekan lo?” tanya Noval, yang ditanya hanya mengangguk singkat sebagai jawabannya.
Noval menoleh ke arah Eri, dan mengulurkan tangannya kepada anak itu sembari berkata “kenalin, gue noval , temennya kakak lo”
Entah apa yang membuat detak jantung Eri sedikit terpacu, berkenalan dengan orang baru, kenyataan bahwa Noval adalah orang yang cukup menarik, atau ketika Noval menyebut Kemal sebagai kakaknya?
Eri menoleh ke arah Kemal , seakan meminta petunjuk apakah ia harus menyambut tangan Kemal atau tidak. Namun Kemal hanya mengangguk singkat.
Saat beberapa detik lagi tangan Eri dan Noval akan bersentuhan , Noval langsung menepis tangannya dan mengacak acak rambut Eri.
“salam kenal ya Eri” ujar Noval, bahkan sebelum Eri menyebutkan namanya. “gue cabut dulu ya” pamit Noval.
“mau kemane lo?” tanya Kemal.
“ke tempat biasa, mau ikut kagak?”
“ogah , entaran aja lah gue nyusul”
“sip lah , ajak aja adek lo sekalian” ujar Noval , sambil berlalu pergi bersama teman temannya.
Eri masih terdiam , bahkan ketika Kemal memandangi mukanya. “kamu gak usah bingung gitu” ujar Kemal dengan sebuah senyum geli di wajahnya. “kakak udah ceritain tentang kamu ke temen temen kakak”
“k−kakak gak malu emangnya?” tanya Eri , masih dengan ekspresi bingung di wajahnya.
“malu kenapa?” tanya Kemal heran.
“ya.. karena kakak punya adek-adekan kayak aku , cowok pula” Eri menundukkan kepalanya.
Sesaat Kemal mengerutkan keningnya, namun sebuah tawa melesat dari mulutnya ketika ia membuka mulut. “kamu apaansih?” ujar Kemal. “ngapain kakak malu punya adek kayak kamu, kalo perlu satu sekolah tau kalo kita itu kakak adek”
Eri bersyukur ia telah menundukkan kepala, sehingga Kemal tak akan bisa melihat wajahnya yang sekarang memerah. Memang Kemal bukanlah yang pertama, tapi tetap saja Eri merasa senang, seolah ada kupu kupu yang menari di dalam perutnya.
“tapi bukannya aneh ya?” tanya Eri.
“aneh kenapa?”
“ya kan biasanya yang adek-kakakan itu cewek-cowok” lanjut Eri.
“Teruss?” tanya Kemal, masih belum mengerti maksud pertanyaan dari orang di sampingnya.
“yaa aneh gak sih kalo yang adek-kakakan itu cowok-cowok?”
“aneh gimana?” tanya Kemal, yang entah memang belum mengerti atau hanya berpura-pura tidak tahu maksud dari pertanyaan Eri.
“ya kan biasanya yang jadi kakak-adekan itu ujung-ujungnya pacaran....." Eri perlahan memelankan suaranya sampai taraf yang tidak bisa didengar oleh Kemal. Sesaat ia teringat Daniel, orang yang ia panggil kakak.
“dek?” panggil Kemal , ketika Eri tak kunjung mengangkat kepalanya. “kamu kenapa?”
“E−enggak gak pa pa…”
Kemal terdiam , ia sendiri merasakan atmosfir yang berbeda di antara mereka. Suasana yang membuat Kemal ingin lebih dekat terhadap Eri.
“dek.. boleh pegang tangan gak?” pinta Kemal , ia sendiri sudah mengulurkan tangannya.
Tampak ragu sejenak, Eri menjulurkan tangannya secara perlahan untuk menyambut tangan Kemal. Namun belum sempat tangan mereka bersentuhan, sebuah suara memecah keheningan lorong.
“ERII!”
Tersentak, Eri langsung menarik tangannya lagi. Kekecewaan langsung muncul di wajah Kemal , apalagi saat mengetahui sosok yang memanggil Eri. Daniel sedang berjalan cepat ke arah mereka.
Tanpa penjelasan apapun , pemain basket itu langsung duduk di samping Eri. Raut wajahnya datar tak bisa ditebak , tapi jelas sekali ia mencari cari Eri sejak tadi.
“kenapa kak?” tanya Eri , ketika Daniel tak lagi mengatakan apapun selain sapaan singkat tadi.
“kamu ngapain disini?” tanya Daniel, masih dengan raut wajah yang tak bisa terbaca.
“m−makan…” jawab Eri.
“kamu tadi ke kantin?” tanya Daniel, yang di balas Eri dengan sebuah anggukkan singkat. “sama dia?” tanya Daniel lagi sambil menunjuk ke arah Kemal , dan Eri kembali mengangguk.
Daniel kembali diam , dan detik berikutnya ia langsung berdiri dari kursi , meninggalkan Eri tanpa mengatakan sepatah kata pun.
“k−kakak!” panggil Eri , namun pemain basket itu sama sekali tidak menoleh.
Eri nampak khawatir, dan Kemal menyadari itu. “ udah dek biarin aja dia”
“a−aku pergi dulu ya kak, makasih buat roti bakarnya!”
Suara langkah kaki Eri adalah yang satu satunya suara yang terdengar setelah itu, ketika Kemal hanya bisa melihat punggung yang menjauh dengan tidak rela. Ia meremas plastik di tangannya.
∞
Alhasil Eri tak berhasil menemukan Daniel sampai jam istirahat berakhir. Pemain basket itu pun tak terlihat di dalam kelas ketika guru pelajaran mengabsen namanya.
Eri tampak khawatir, jelas sekali terlihat kalau Daniel tadi marah padanya. Atau mungkin bukan marah , lebih tepatnya – merasa terganggu.
Anak itu sendiri bingung kenapa Daniel merasa terganggu. Apakah karena ia dekat dengan Kemal? Rasanya tidak mungkin Daniel merasa terganggu dengan hal itu.
“ri….”
Lagipula Daniel seringkali disibukkan dengan Bella , dan dia tidak menganggap Eri lebih dari seorang adik.
“eri….”
Tapi apakah Eri berlebihan jika ia mengharapkan posisi yang jauh lebih intim dari posisinya sekarang? Bukannya seharusnya ia sudah merasa bersyukur? Apakah memang begini sifat manusia yang tidak pernah puas?
“ERII!!”
Rasa sakit menjalar dari pipi kiri anak itu , membuatnya mengerang kesakitan sambil mengelus pipinya.
“AW! Kenapa??” tanya Eri kepada Arya , yang rupanya baru saja mencubit pipi nya dengan cukup keras.
Arya tak menjawab, namun ekspresi mukanya terlihat panik sambil menunjuk ke arah depan , tempat pak Sarijo sedang memandanginya dengan galak. Ternyata guru killer itu sudah memperhatikan Eri yang tidak fokus sejak tadi.
“Bapak tidak menerima murid yang tidak mau belajar di kelas bapak.. KELUAR!!”
“t−tapi pak−“
“KELUAR!!!”
Suara bentakan itu menusuk gendang telinga seluruh kelas, bahkan sempat membuat bulu kuduk Eri merinding. Dengan jantung yang berdetak keras akibat rasa takut yang memuncak , Eri beranjak dari mejanya tanpa berani melihat ke arah gurunya.
Pintu kelas terbanting dengan cukup keras di belakang Eri ketika anak itu melangkahkan kakinya di koridor. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri –dan kalau bisa− mengutuk guru di dalam kelasnya.
Baru kali ini ia di bentak seperti itu , dan baru pertama kalinya ia diusir dari dalam kelas. Bukan masalah yang terlalu besar, tapi tetap saja membuat Eri merasa kesal.
Sekarang ia harus kemana? pikir Eri.
Anak itu memutuskan untuk melatih kembali kata kata yang akan ia sampaikan pada Daniel siang nanti. Semuanya berjalan lancar di otak Eri , namun ia sendiri sudah berhati hati, karena kehidupan selalu memberikan kejutan.
Eri melangkahkan kakinya ke arah sebuah kelas kosong, entah kenapa ia memilih kelas itu dari banyak kelas kosong lainnya. Rupanya di dalam kelas itu , di depan salah satu jendela , Daniel sedang duduk memandangi langit.
Eri tersentak , seperti ada aliran listrik yang tiba tiba menyetrumnya. Terlambat baginya untuk melarikan diri , karena Daniel sudah menoleh ketika ia merasakan kehadiran seseorang.
“dek!” Seru Daniel , ketika Eri baru saja membalikkan tubuhnya.
Anak itu kembali menoleh , dan melihat bahwa Daniel memberikan isyarat untuk mendekat. Disinilah waktu ketika otak dan hati anak itu berselisih. Otaknya mengatakan untuk menjauh , tapi hatinya ingin mendekat.
Untuk kali ini , hati Eri yang lebih berkuasa. Perlahan anak itu berjalan menuju tempat dimana sang pemain basket duduk – di atas sebuah meja di salah satu sisi ruangan.
Langkah demi langkah sudah terlewati , dan sekarang anak itu berada tepat di depan sang pemain basket. Kepala anak itu terus menunduk , memandangi kakinya sendiri tanpa berani mendongak ke depan.
Tangan Daniel terangkat, dan ia menyentuh bagian belakang kepala Eri. Disana ia mendorong kepala anak itu , hingga dahi Eri dan dahinya sendiri menempel.
Jantung Eri berdetak sangat cepat , hingga telinganya sendiri di penuhi suara detak nya.
“dek…” panggil Daniel pelan. “kakak mau minta maaf”
“maaf buat a−apa kak?” tanya Eri. Fikirannya sangat tidak fokus ketika ia merasakan nafas Daniel yang menerpa wajahnya.
“maaf tadi kakak langsung pergi ninggalin kamu..” jawab Daniel , sambil membelai rambut Eri.
“emang tadi kakak kenapa?”
Daniel tidak langsung menjawab, tangannya sibuk memainkan rambut Eri , seakan ia lebih memilih untuk melakukan apapun selain menjawab pertanyaan itu.
Bukannya Eri tidak menyadari tingkah laku Daniel yang aneh pada saat istirahat tadi , namun ia hanya tidak tahu alasan kenapa Daniel melakukan itu. Sebuah pendapat muncul di kepalanya , namun cepat cepat ia hapus karena tak inginterlalu berharap.
“mungkin agak aneh….” Jawab Daniel. “tapi kakak gak suka kamu deket deket Kemal”
DEG. Jantung Eri langsung tersentak , ketika anak itu sendiri kaget dengan apa yang ia dengar. Jadi benar , Daniel ….
Cemburu?
“kamu selama ini gak pernah mau kakak ajak ke kantin , tapi giliran dia yang ngajak kamu malah mau..” lanjut sang pemain basket. “kamu makin deket ya sama dia.”
Itu bukan pertanyaan , melainkan sebuah pernyataan yang terkesan menuduh dari Daniel.
“b−bukan gitu kak−“
“gak usah bohong.”
Daniel menyela, membuat Eri tidak melanjutkan kata katanya. Eri menjauhkan kepalanya sendiri, agar ia bisa menatap lawan bicaranya. Daniel tidak sedang menatapnya , melainkan membuang mukanya ke arah jendela. Entah melihat apa di kejauhan.
“jadi gitu..” ujar Daniel , matanya tetap memandang menembus kejauhan. “sifat kamu yang akhir akhir ini berubah karena kamu udah punya pengganti kakak?” tuduh Daniel.
Eri hampir saja mengamuk ketika ia mendengar tuduhan itu , justru Eri yang merasa seperti itu ketika Daniel akan dijodohkan dengan Bella.
Mulut anak itu sudah terbuka , namun tak ada suara apapun yang terdengar. Semuanya tertahan di mulut Eri , tanpa bisa dikeluarkan. Semua protesnya , perasaannya , kegundahannya , semua tertahan..
Keheningan melanda ruangan itu ketika tak ada satupun dari mereka berdua yang bersuara. Suara AC yang samar samar pun sekarang menjadi nyaring, seakan seseorang telah menaikkan volumenya beberapa tingkat.
Eri memandangi sosok pemain basket di depannya, sedangkan sosok itu memandang menembus jendela. Seperti ada dinding yang menghalangi , walau mereka begitu dekat namun Eri merasa tidak akan pernah mencapai sosok di depannya walau ia menjulurkan tangannya sejauh apapun.
“gak pa pa … Kakak bisa cari yang lain kayak dulu.”
Perlahan , Daniel turun dari meja itu dan berjalan melewati Eri. Melewatinya begitu saja seakan Eri tidak berdiri disana. Seakan Eri tidak ada di mata nya.
Anak berkacamata itu menggigit bibirnya sendiri. Bukan seperti ini skenario yang berjalan di otaknya. Semua rencananya hancur berantakan , rencana yang ia susun secara hati hati , tahap demi tahap…
Baru saja Daniel mencapai pintu, ketika ia mendengar suara kaca pecah.
Sang pemain basket itu berbalik , namun sudah terlambat. Apa yang tersisa dari sebuah jendela di kelas itu hanya serpihan serpihan yang menempel pada kusennya. Sebuah lubang menganga di tengah jendela itu , dan noda kemerahan terciprat di sekitarnya.
Eri baru saja memukul kaca itu hingga pecah berkeping keping , melukai tangannya sendiri dengan serpihan kaca yang beterbangan. Potongan – potongan kaca berserakan di sekitar kakinya, bahkan ada yang menyayat kulit wajahnya.
Darah menyembur keluar dari sela sela jarinya, buku buku jarinya memerah akibat pendarahan. Noda merah mengotori lengannya , ketika darah segar membanjir turun dari lukanya yang menganga.
“ERIIII!!!!!!” seru Daniel , dengan kepanikan murni di dalam suaranya.
Pemain basket itu langsung menghampiri Eri , yang berdiri diam seakan tidak sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Suara Daniel perlahan memudar, tak terdengar oleh telinga anak itu. Pemandangan terakhirnya adalah tangannya sendiri yang berlumuran darah , dan kemudian ia tak sadarkan diri…
Buat yang masih mau baca, udah di update yaa maaf kelamaan @Gabriel_Valiant @mustaja84465148
@zeva_21 @d_cetya @alfa_centaury
@yuzz @master_ofsun @Adityaa_okk @Mr_Makassar @Needu @arifinselalusial @cee_gee @ananda1 @cee_gee @dafaZartin @uci @lulu_75 @4ndh0 @Gildarts @Tsu_no_YanYan @MajestyS
@Wita : yap dulu emang aku bikin karena terinspirasi komik, terinspirasi loh ya wkwk.
“gak pa pa … Kakak bisa cari yang lain kayak dulu.” Njiiiirrr Daniel minta dipites!-.-
Nah nah... Lanjuuuutt^^/ #pelukEri
kasihan eri, harus melawan hatinya dg berbagai rasa,,,
Terima Kasih sudah Update @youngnerd :-*
Bang @balaka udah update ni.
Cie cie @master_ofsun rayuannya d belakang aja atuh :P