It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“apa yang harus gue lakuin??!” seru Rara panik. Baru saja bel istirahat berbunyi, ketika Rara menerobos masuk kedalam kelas, mencari cari Eri dan langsung menghampiri mejanya.
“hah??” tanya Eri bingung. Guru fisika-nya baru saja keluar, dan otaknya masih sibuk mencerna apa yang tertera di papan tulis.
Daniel yang duduk di sebelahnya terangun ketika mendengar suara Rara. Selama pelajaran fisika ia tertidur, tanpa sedikitpun berusaha mencerna pelajaran.
“berisik banget sih raa” protes Daniel, yang seakan tak terdengar di telinga Rara.
“ikut gue!” kata Rara seraya menarik tangan Eri.
“eh Eri mau dibawa kemana??” dan protes dari Daniel sama sekali tak ditanggapi oleh Rara.
Ketika mencapai sebuah kursi panjang yang sepi dari murid murid yang lalu lalang, Rara langsung meledak seakan dari tadi ia menahan sesuatu. “ apa yang harus gue lakuinn???!!”
“tahan Ra tahan!!” Eri mengangkat tangannya mencoba menenangkan Rara yang memerah. “tenang dulu kenapa sih ra?? Gue ga ngerti yang lo omongin, mana gue tau lo harus ngapain!” Seru Eri, yang membawa Rara kembali sadar.
Rara menarik nafas, dan mengeluarkannya dengan pelan. Walau ia tampak lebih tenang, mukanya masih tampak memerah akibat darah yang mengalir deras ke otaknya.
“K.k.k-kemal…..” bisik Rara, mendadak ia mengecilkan volume suaranya sampai hanya Eri yang bisa mendengar, padahal di sekitar mereka tak ada siapa siapa.
“dia kenapa Ra?” Tanya Eri bingung, ia belum bisa memprediksi apa yang sudah-atau-akan terjadi.
“kemal ngajak gue ketemuan……” Suara Rara makin mengecil seakan tenggelam ke dalam suara riuh rendah murid murid yang bergerombol pergi ke arah kantin.
Eri masih memandanginya, berharap ia melanjutkan kata katanya. “kenapa lo diem aja??” tukas Rara sedikit kesal karena Eri tak memberikan respon apapun.
“loh , lo udah selese ngomong?” Tanya Eri bingung.
“ya udah lah! Lo dengerin gue gak siihhhh?” Jari Rara dengan cepat langsung mencubit lengan Eri dengan kencang, membuat ia sedikit mengerang merasakan nyeri di lengannya.
“i-iya ampun ra!” dengan cukup keras Eri menyentakkan tangannya, membuat Rara melepas cubitannya.
“terus kenapa kalo dia ngajak ketemuan? Ya temuin lah” Jawab Eri enteng sambil mengusap lengannya. Tapi jawabannya malah mengundang cubitan lain dari Rara, membuatnya meringis.
“GA SEGAMPANG ITU LAH!” Seru Rara kesal karena Eri menanggapinya dengan santai, sedangkan menurutnya ini adalah masalah yang lebih penting daripada kenaikan harga BBM.
“iya iya!” Eri sekali lagi menyentakkan tangannya, kali ini sekalian menjauhkan tangannya dari jangkauan Rara.
“emang kapan dia ngajak ketemuannya?” kata Eri, berusaha tidak memikirkan nyeri di tangannya.
“besok …..” jawab Rara, suaranya kembali mengecil. Dan eri sedikit terkejut melihat perubahan emosi Rara, sedetik yang lalu ia marah, sedetik kemudian ia malu.
“dimana?” Tanya Eri.
“Di restoran pizza , deket kok dari sekolah kita.”
“oh… yaudahlah tinggal dateng aja sana” jawab Eri santai, dan sesaat kemudian ia menyesali jawabannya itu.
∞
Setelah berjanji akan menemani Rara pada esok hari, Eri kembali ke kelas dengan tangan penuh memar. Entah berapa kali ia mendapat ‘hadiah’ berupa tanda kebiruan itu dari Rara.
Mendapati bahwa teman sebangkunya masih duduk di tempatnya tanpa ada tanda tanda berpindah, Eri membuka mulutnya. “ Lo gak ke kantin?” tanya nya seraya duduk di bangku.
Daniel menoleh ke arah Eri dan baru akan menjawab, ketika ia melihat tangan Eri.
“tangan lo kenapa?” Tanya nya sambil menggeser kursi mendekat. Mukanya menunjukkan kekagetan, dan entah kenapa, khawatir. Memang bukan pertama kalinya Eri kembali ke kelas dengan memar di tangan, tapi baru kali ini memarnya sebanyak dan sebiru ini.
“hehe, biasa si rara… kan dia kalo nyubit kayak gini.” Senyum kecil menghiasi bibir Eri, seakan tidak terjadi apa apa.
“sakit gak?” tanya Daniel, alisnya bertautan. Eri menggeleng, tapi saat sahabatnya itu menekan salah satu memar di tangannya, ia meringis.
Eri tidak terlalu sadar ketika tangannya ditarik , dan tiba tiba ia sudah berjalan mengikuti Daniel menyusuri lorong.
“Dan? Mau kemana??” tanya Eri bingung. “lo harus ke UKS” jawab Daniel tanpa menoleh.
“tapi gue bisa jalan sendiri..” Eri merujuk kepada tangan kirinya yang di tarik Daniel.
“enggak, kalo gue lepasin entar lo pasti gak ke UKS” dan Eri hanya bisa menundukkan kepala ketika orang orang yang ia lewati menoleh ke arahnya karena heran.
“gue gak kenapa napa!” Kata Eri ketika Daniel membawanya masuk ke dalam UKS, dan menyuruhnya duduk di sebuah kasur.
“ssst , lo diem aja er” Daniel langsung berjalan menuju lemari yang berisi obat obatan, dan kembali dengan membawa sebuah botol kecil dengan tulisan yang tidak Eri mengerti.
“itu apa?” tanya Eri ketika Daniel membuka tutup botol tersebut, dan tercium bau seperti minyak yang sering dipakai tulang pijat ketika ayahnya menggunakan jasa itu.
“gue gak suka minyak urut…” keluh Eri , ia menjauhkan badannya dari botol itu ketika Daniel mulai mendekat.
“ini bukan minyak urut. Tapi ya gak beda jauh.” Daniel menjelaskan, sambil menarik kursi dan duduk di depan Eri. “kalo ada anggota ekskul yang cedera terus memar, biasanya dikasih ini..” Sebagai salah satu anggota aktif ekskul basket, tidak jarang ia melihat obat itu digunakan.
“t-tapi gue gak kenapa napa, memar gue cuma bekas dicubit Rara dan bukan cedera, gak perlu pake itu segala!” protes Eri. Ia paling tidak suka dengan minyak, apapun namanya atau bentuknya. Ia tidak suka dengan sensasi licin di kulitnya.
“sini tangannya” mengabaikan protes yang terpampang jelas di muka Eri, Daniel mengulurkan tangannya.
“gak mau!” eri menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung, dan menggeleng cepat.
“Eri…” Daniel masih mengulurkan tangannya dengan muka yang mulai tidak sabar. Tapi membayangkan minyak licin itu menyentuh kulitnya, Eri tidak merespon sama sekali.
“Eri.” Daniel mengangkat tangannya mendekati kepala Eri, membuat Eri memejamkan mata karena mengira tangan itu akan menjitaknya.
Daniel menahan senyum melihat reaksi Eri, dan alih alih menjitaknya ia hanya mengusap kepala Eri pelan. Eri mengintip dengan sebelah matanya, dan membuka salah satunya lagi ketika melihat ekspresi Daniel yang melunak.
“sini tangannya er” pinta Daniel dengan senyum kecil di mukanya.
Sejenak ia ragu, tapi Eri pasrah dan mengulurkan tangannya yang langsung disambar Daniel, seakan Eri bisa berubah pikiran kapan saja.
“gak bakal sakit kok..” Dan Eri hanya diam memperhatikan Daniel yang mengoleskan minyak itu di tangannya.
Page five – encounter
“Eriiiiiiiii!! Sini er!!!!” suara lily memecah suasana restoran dan mengundang lirikan tidak senang dari beberapa pengunjung.
Eri berjalan menghampiri tempat Lily dan Rara duduk dengan kepala tertunduk, menghindari tatapan pengunjung yang tak hanya menuju lily, tapi juga menghujaninya.
“haruskah lo teriak teriak kayak gitu?” protes Eri sambil mengisi tempat duduk yang kosong di depan Lily.
“gue gak tau lo juga diajak Rara”
“emang enggak.” Rara menyambar dari samping Lily.
Terbalut dengan sweater biru dan skinny jeans, ia tampak lebih cantik di luar seragam sekolah.
“tadi gue gak sengaja ketemu dia, dan gue minta dia nemenin gue. Dan gue nyesel sekarang” Rara menambahkan sambil memelankan suaranya supaya tidak terdengar Lily.
“dan apa yang dia lakuin disini?” lanjut Rara sambil menunjuk ke arah Daniel. Celana basket dan kaos berwarna hitam dengan jaket abu abu yang ia pakai membuat Daniel mendapat perhatian lebih dari beberapa pengunjung perempuan.
“gue bareng Eri. Dan sekalian mastiin tangannya gak memar memar lagi” sindir Daniel, dan ia mengambil tempat duduk di samping Eri.
“tenang aja Ra, kalo misalnya Kemal dateng, nanti kita pindah meja kok” sela Eri ketika melihat Rara yang agaknya akan membentak Daniel.
Lily yang memakai tanktop putih dan bawahan skinny jeans ikut membuka mulut “gue juga kok Raaaa”.
Tapi Rara langsung menatapnya tajam “lo.temenin.gue” dan nadanya seakan ia akan meledak semakin cepat setiap kata yang ia keluarkan.
Sebenarnya Rara dan Lily adalah teman dekat, tapi dengan sifat mereka yang bertolak belakang – tak ada yang menyangka bahwa cewek tomboy seperti Rara bisa bergaul dengan biang gosip seperti Lily.
Lily tersenyum, ia sudah tau Rara akan meresponnya seperti tadi “siap bos!” dan ia meletakkan tangan kanannya di samping kepala, hormat kepada Rara. Dan sekarang Eri tahu kenapa mereka bisa berteman baik. Hanya Lily yang selalu ceria dan bersemangat, yang bisa menyeimbangi sifat Rara yang keras dan galak.
“nah mumpung kita disini, kenapa gak pesen makanan?” kata Daniel sambil mengacungkan jarinya, memanggil seorang pelayan perempuan yang sepertinya agak terburu buru datang menghampiri meja mereka.
Pelayan tadi baru saja sampai di meja , saat tiba tiba Rara memekik, matanya terpaku pada layar handphonenya “Kemal! Dia udah di depan!” .
Serentak semua mata tertuju ke arah pintu restoran, dan benar saja, Kemal dengan jeans dan kaus biru sedang melangkah masuk.
Sontak Eri langsung berpindah diikuti Daniel, ke salah satu meja tak jauh dari meja Rara. Sedangkan Lily yang tadinya mencoba berpura pura akan berpindah, langsung disambar oleh Rara. Entah kenapa pelayan yang tadinya berdiri disamping Rara, malah ikut berpindah ke meja Eri, mengikuti Daniel.
Eri memperhatikan ekspresi Rara, yang biasanya akan panik , atau bahkan akan gugup – setidaknya itu yang ia kira – tapi ketika Kemal duduk di depannya, perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa apa. Kecuali tangannya yang mencengkram lengan Lily di bawah meja.
“udah lama nunggu nya?” samar samar Eri bisa mendengar suara Kemal, walau posisinya dengan Eri saling membelakangi.
Eri menoleh saat Rara menjawab dengan santai, tapi Lily dengan susah payah menyembunyikan rasa nyeri di lengannya. Eri yakin cengkraman itu akan meninggalkan bekas di tangan Lily.
“lo mau pesen apa er?” pertanyaan Daniel membuat Eri memutar kepalanya dari meja Rara.
“emm, orange juice aja satu” jawab Eri tanpa membuka buku menu. Tujuan awalnya kesini bukan untuk makan, dan sepertinya Daniel sudah memesan sebelum Eri.
“lo gak makan er?” Ada sedikit nada menuduh dalam suara Daniel ketika melihat Eri menggelengkan kepala.
“tenang aja, gue bayarin kok” ujar Daniel, yang malah membuat Eri makin menggelengkan kepalanya. Walau Daniel lebih berkecukupan dari nya, Eri merasa tidak enak selalu merepotkan temannya itu.
“mungkin ingin mencoba menu baru kami?” sang pelayan menunjukkan sebuah gambar di dalam buku menu “karena sebentar lagi hari valentine, kami membuat produk baru yaitu pizza coklat dengan potongan stroberi dan es krim..”
Sekilas mata Eri terlihat berbinar ketika ia mendengar kata ‘coklat’ , dan Eri terlambat menyembunyikan ekspresinya karena Daniel sudah berkata “sama itu mba satu, yang medium”
Eri melirik Daniel tak percaya ketika pelayan tadi pergi dari meja mereka, dan Daniel dengan sengaja menghindari tatapan Eri.
Kadang kadang Eri mencuri-curi pandang ke arah Rara, yang tampaknya menyadari bahwa Eri memperhatikannya. Yang baru Eri sadari, Lily sudah tak ada disamping Rara.
Drrrrtttttt. Drrrttttttt.
Sebuah pesan singkat yang masuk membuat handphone Eri bergetar, dan Eri sudah bisa membayangkan siapa yang mengirimnya.
-LILY KE TOILET DAN GA BALIK BALIK!!! GUE HARUS NGAPAIN SEKARANGG???
Senyum tertahan muncul di muka Eri ketika ia akan membalas pesan dari Rara, membuat Daniel memandangnya bingung.
-Ajak ngobrol aja, ngomongin apa gitu. Jangan diem dieman.
Tak sampai lima detik pesan itu terkirim, Rara kembali membalas.
-NGOMONGIN APAAN ER?????!
-Apaan aja suka suka lo, sekolah kek, oh iya dia gak suka guru pkn sama kayak lo. Udah yak , makanan gue udah dateng.
Dan ketika Eri memasukkan handphonenya ke dalam saku, di depannya sudah ada sebuah pizza dengan saus coklat diatasnya, alih alih saus tomat. Gula halus menghiasi bagian atas lapisan coklat, dan potongan strawberry yang terlihat segar membuat mata Eri berbinar.
“nih, kalo mau ini dimakan aja” tawar Daniel sambil menyodorkan piring berisi garlic bread ke depan Eri, sedangkan di hadapannya ada piring berisi lasagna. “atau mau nyobain lasagna gue ? biar nanti pizza nya buat terakhir aja.” lanjut Daniel.
Eri menggeleng sambil mencomot sebuah garlic bread , walau matanya tak lepas dari pizza coklat di depannya.
Baru ketika ia mendengar suara – tawa Rara – dari belakang, ia menolehkan kepala. Kemal tampaknya baru saja mengatakan sesuatu yang sangat lucu hingga bisa membuat Rara yang jarang tersenyum itu bahkan sampai tertawa. Atau mungkin karena Kemal yang mengatakan, maka bagi Rara menjadi lucu?
“er” panggil Daniel. “mau coba makanan gue gak?”
“eee yaudah dikit aja” jawab eri tidak fokus, karena matanya masih memperhatikan Rara.
“nih er” ujar Daniel. Dan ketika Eri menoleh kembali, ia membayangkan piring lasagna di depannya, bukan sendok yang terarah ke mulutnya.
“emm… Dan?” Tanya Eri, sambil menaikkan alisnya.
“kenapa ? nih, katanya mau.” Daniel dengan cuek mengangkat sendoknya ke arah Eri.
“gue bisa sendiri kok..” protes Eri.
“sekalian aja biar gampang, aaaaa” ujar Daniel, membuat muka Eri sedikit memanas.
Ia bisa merasakan beberapa pengunjung melirik ke arah meja mereka, membuat Eri merasa tidak nyaman dan langsung membuka mulutnya, membiarkan Daniel menyuapinya.
“mau lagi gak?” Daniel menahan tawa melihat muka Eri yang memerah. Bukannya berhenti, ia malah semakin ingin menganggu Eri.
“gak, gak usah” ujar Eri kesal sambil mencomot salah satu Garlic bread dan memasukkannya ke dalam mulut, membuat Daniel sedikit terkekeh.
Sampai lasagna Daniel habis, Lily masih juga belum kembali. Tapi dari yang Eri lihat, sepertinya Rara tidak memerlukan kehadiran Lily, walau kadang ada kesunyian yang mendera di antaranya dan Kemal.
“kenapa lo sibuk ngeliatin Rara mulu sih er?” ujar Daniel, dari nadanya ia terkesan kesal, walau Eri tidak menangkap maksudnya.
“cuma mastiin, supaya semuanya berjalan lancar.” Jawab Eri sambil memalingkan mukanya dari meja Rara.
‘Kenapa sih lo sibuk mikirin orang lain, tanpa sempet mikirin diri sendiri?’ tanya Daniel dalam hati. Bukannya ia tidak suka dengan sifat Eri yang – terlalu – baik , tapi kadang Eri malah mengabaikan dirinya sendiri untuk orang lain.
“bisakah kita makan pizza nya sekarang?” tanya Eri dengan polos. Matanya yang kecoklatan menatap Daniel penuh harap, yang membuat Daniel entah kenapa ingin mencubit pipinya.
“apa mau disuapin lagi?” tanya Daniel sambil tersenyum jahil, tangan kanannya mengangkat sendok.
Eri menggelengkan kepalanya panik, dan ia memperhatikan sekumpulan pelayan wanita yang dari tadi melihat ke arah mereka – ke arah Daniel, lebih tepatnya – dengan sudut matanya.
Mata Eri mengikuti arah tangan Daniel yang memotong pizza coklat di depannya. Dan ketika Daniel mengangkat sepotong pizza, ia mendadak tersenyum jahil.
Dan benar saja, ketika Daniel mengangkat pizza nya, mata Eri tertuju ke atas. Ketika ia menurunkannya, kepala Eri ikut turun. Begitu juga saat ia menggerakkan pizza itu ke kiri maupun ke kanan, kepala Eri bergerak sesuai dengan gerakan tangan Daniel.
Bahkan saat Daniel membuat gerakan memutar dengan tangannya, kepala Eri ikut berputar, membuat tawa Daniel tiba tiba meledak “Ahahahaha!!!”.
Eri seketika tersadar, dan menatap Daniel bingung. “lo kenapa dan?” tanya Eri bingung.
Bahkan mata Daniel sampai berair ketika ia berhenti tertawa. Tapi ia cuma menggelengkan kepala dan menaruh potongan pizza di piring Eri. Untungnya perhatian Eri seketika itu juga langsung beralih ke piringnya.
Dengan cepat pizza yang telah dipotong potong itu habis, meninggalkan nampan kosong yang penuh dengan bercak coklat.
Eri memasukkan garpu yang ia gunakan untuk memotong pizza ke mulutnya, membersihkan sisa coklat yang tersisa. Merasa di perhatikan, Eri melirik Daniel yang entah sejak kapan menatapnya.
“kenapah?” tanya Eri dengan garpu masih bertengger di mulutnya.
“lo gak pernah bersih kalo makan coklat” Daniel menggelengkan kepala seraya menyeka coklat di ujung bibir Eri dengan jarinya, dan memasukkannya ke mulut.
Muka Eri langsung memanas dan ia bisa merasakan darah mengalir deras ke kepalanya. Untuk menutupinya, ia berpura pura mengecek keadaan Rara. Tapi saat ia menoleh, Rara dan Kemal sudah tidak ada disana, tempat mereka digantikan oleh pengunjung lain……..
“eri maaf…” suara Rara di seberang telfon terdengar saat Eri mengangkat telfonnya siang itu. Hari sabtu kemarin, Rara meninggalkannya begitu saja tanpa pamit, padahal Rara sendiri yang meminta Eri datang.
“hm ya..” jawab Eri asal. Untung saja ia datang bersama Daniel, jadi ia tidak ditinggalkan sendirian. Apalagi setelah Eri tahu kalo lily memang sengaja pulang duluan.
“maaf banget, kemaren Kemal nawarin buat nganterin gue pulang , dan – “
“dan lo lupa sama gue??” potong Eri.
“i-iya maaf eri! Gue bener bener lupa! Namanya juga manusia, bisa lupa kan?!” Balas Rara membela diri.
Eri memutar bola matanya “iya ra iyaaaa, gue udah bilang iya kan”.
“tapi lo bilangnya gak niat gitu!” seru Rara dari seberang telfon.
Eri sendiri bingung, seharusnya ia yang merasa marah, tapi kenapa Rara yang malah terkesan marah.
“iya raaaa , udah gue maafin kok” ujar Eri, berusaha untuk setulus mungkin.
“bener ya udah di maafin kan?? Makasih ya erii!” dan tuuttt, percakapan berakhir.
Eri menghela nafas meredam emosinya. Dia masih bisa memaafkan Rara – karena selayaknya semua orang yang jatuh cinta – hanya satu yang berada di dalam pikirannya.
Drrrrttttt. Drrrrtttt.
Sebuah pesan singkat membuat handphone yang baru saja Eri taruh bergetar.
-Makasih ya ri udah ngasih tau warna kesukaan rara kemaren, dan karena baju gue yang samaan kayak warna baju rara, jadinya ada bahan pembicaraan dan lo juga kan yang bilang rara kalo gue juga gak suka sama guru pkn itu? Makasih ya eri
Kemal. Ia dan Eri memang sempat bertukar nomor handphone , dan setelah beberapa kali bertukar pesan, Eri setidaknya tahu kalau Kemal serius mengejar Rara.
Setelah mengetikan pesan balasan, dan menyelipkan smiley di antaranya , Eri menaruh handphonenya yang hampir lowbatt dan kembali ke kegiatannya sebelum Rara menelfonnya. Menjaga rumah.
Sesekali Eri juga menyapu rumah, dan kadang kadang mencuci baju. Tapi di lain waktu, orang tuanya yang mengerjakan. Tidak mengejutkan memang, karena jika ‘kecuekan’ mereka terhadap Eri tidak disertakan , mereka sama baiknya dengan orang tua lainnya. Bahkan mereka mengerjakan pekerjaan rumah tanpa pembantu, pergi kemanapun tanpa supir , dan jarang meminta bantuan orang lain.
Hal itu lah yang membuat Eri tetap bertahan, walau ia sendiri tidak tahu kenapa ia sering menjadi sasaran keluhan orang tuanya.
Sebuah ketukan dari pintu pagar membuat Eri bergegas melihat membuka pintu dan melihat siapa pengunjungnya. Seorang wanita tua dengan selendang putih di lehernya tersenyum dari balik pagar.
“neneeeekkk!” seru Eri girang. Wajahnya langsung berubah cerah dan dengan cepat ia membuka pagar. “nenek udah pulang dari Bali?” mata Eri berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Wanita tua itu mengangguk, dan menyodorkan sebuah piring besar yang berisi kue kue kering, yang sebagian besar terbuat dari coklat. “maaf nenek gak bisa nemenin kamu ya cu, ini udah nenek buatin kue kue kesukaan kamu loh” Ujar wanita itu.
“makasih neeeekkk!” Ujar Eri girang, seraya mengecup pipi wanita tua itu sebagai tanda terima kasih.
Nenek Paula atau yang lebih sering dipanggil–Grandma Paula, adalah tetangga sebelah Eri yang hidup seorang diri. Wanita keturunan Belanda itu sudah 30 tahun tinggal di Indonesia, bahkan ia hampir lupa bahasa ibunya sendiri, yaitu bahasa Belanda. Hampir semua keluarganya tinggal di Bali, dan hanya ia yang memutuskan tinggal di pinggir ibukota.
“kenapa nenek gak ngasih tau aku kalo nenek udah pulang? Kan kita bisa bikin kue bareng nekk” kata Eri pura pura kesal. Kendati ia tak memiliki hubungan darah dengan wanita di depannya, Eri sudah menganggap nenek Paula sebagai neneknya sendiri .
Nenek Paula hanya tersenyum, dan mengelus kepala Eri pelan. “maafin nenek ya, nenek harus ngurusin sesuatu dulu jadi gak bisa ngabarin kamu. Kapan kapan kamu main aja kerumah nenek ya, oke?”
“janji ya nekkkk” Senyum Eri kembali muncul ketika nenek Paula menepuk kepalanya. Dan tepat saat itu, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.
Dan kemal turun dari sana…
∞
“kak kemal?” tanya Eri heran, setelah nenek Paula pamit untuk pulang. “lo ngapain disini?”
“lo pasti gak liat hape ya?” tanya Kemal yang dibalas Eri dengan gelengan kepala. “gue tadi ngajak lo buat nyari hadiah buat rara, dan karena lo gak bales bales, ya mending gue samperin sekalian.” lanjut Kemal.
“lo kok tau rumah gue?” tanya Eri bingung, memandangi kakak kelas di depannya.
“udah lah gak usah dipikirin, mau nemenin gue gak?” tanya Kemal balik.
“mau sih, tapi gue lagi jagain rumah nih kak” jawab Eri.
“yaelah bentar doang kok, temenin gue yaaa” pinta Kemal sambil maju beberapa langkah ke arah Eri. Refleks, Eri mundur sedikit ke arah belakang. Mukanya sedikit memerah ketika muka Kemal hanya beberapa senti diatasnya.
“i-iya deh kak, tapi bentar aja ya”
“sip! Makasih ya dekk” ujar Kemal sambil mengacak acak rambut Eri. Tanpa disangka, darah mengalir sedikit lebih cepat ke otaknya, membuat muka Eri memerah dan ia sedikit terperangah.
“lo kenapa ri?” tanya Kemal saat melihat perubahan ekspresi Eri, dan ia mendekatkan mukanya untuk melihat Eri lebih dekat.
Tersadar, Eri segera menggelengkan kepalanya dan mundur menjauhi Kemal “y-y-yaudah g-gue siap siap dulu ya k-kak” ujar Eri sebelum akhirnya ia masuk ke dalam rumah dengan piring kue masih ia pegang.
Kemal telah mengucapkan sebuah kata tabu, yang membuat jantung Eri berdegup setiap kali mendengar kata itu ditujukan padanya. Entah sudah berapa lama ia tidak mendengar kata itu diucapkan –untuknya. Mungkin ia terlalu bodoh, begitu senang hanya karena mendengar sebuah kata. Tapi sebuah kata itu, sudah cukup untuk membuat Eri tersenyum….
Page seven – That feeling
“lo kemaren kemana?” tanya Daniel pagi itu di kelas, ketika Eri duduk disampingnya.
“hah?” tanya Eri tak mengerti.
“kemaren gue ke rumah lo, tapi lo gak ada di rumah. Di sms gak bales, di telfon ga nyambung nyambung terus. Lo kemana?” tanya Daniel. Yang tidak Eri perhatikan, ada nada nada khawatir dibalik suara yang terkesan cuek itu.
Daniel yang telah mengenal Eri selama bertahun tahun, tentu tahu bahwa Eri jarang sekali keluar rumah.
“o-oh , kemaren gue diajak kemal nyari hadiah buat Rara, terus hape gue lowbatt Dan, maaf ya” jawab Eri tanpa melihat muka Daniel. Entah kenapa ia masih terbayang saat Daniel menyeka bibirnya tempo hari, padahal itu bukan kali pertama ia melakukannya.
“kemal?” tanya Daniel bingung.
Eri mengangguk, dan kembali menjawab “iya, dan lo kan tau gue jarang banget keluar rumah, jadi gue gak bisa nolak waktu dia ngajak jalan…”
Nada Eri terkesan biasa, walau mukanya sedikit menampakkan ekspresi sedih. Terkurung dirumah seharian, dan yang terpenting -sendirian, membuat Eri menyambut dengan gembira setiap tawaran untuk keluar dari rumahnya yang suram itu.
Tanpa Eri sadari tangan Daniel telah sampai di pipinya, mencubitnya pelan.
Eri menoleh, baru saja ia akan memprotes, ketika Daniel membuka mulutnya “besok besok, gue yang bakal ngajak lo keluar” ujar Daniel tanpa melihat Eri. Tapi tangan yang ia gunakan untuk mencubit Eri tadi, sekarang mengelus kepala Eri pelan.
Eri tersenyum kecil dan mukanya memanas ketika ia melihat beberapa teman sekelasnya melirik ke arah mereka. Sontak ia langsung menjauhkan kepalanya, dan berpura pura tidak terjadi apa apa walau mukanya tetap memerah.
Sedangkan di sampingnya, Daniel hanya terkekeh pelan melihat muka Eri.
“lo harus berhenti ngelakuin itu” Eri memperingatkan Daniel “nanti orang bisa mikir yang enggak enggak.”
“kalo gue sama lo sih, gue gak peduli orang orang mau mikir apaan juga.” jawab Daniel dengan cengiran jahil di wajahnya.
Muka Eri makin memerah, walaupun ia masih bisa mengontrol suaranya “yeeeeh, kalo entar lo susah dapet cewek, baru tau rasa!”
“biarin!” balas Daniel. “kan gue udah punya lo.” Setelah mengatakan itu, Daniel langsung mengacak acak rambut Eri, yang mukanya tidak bisa lebih merah lagi.
Hampir saja Eri berlari keluar kelas, kalau saja bel masuk tidak berbunyi beberapa detik kemudian, membuatnya hanya bisa terduduk dengan muka kesal dan memerah.
∞
Daniel sendiri tidak tahu kapan Eri mulai berubah. Dulu ia bukan anak yang mukanya akan memerah ketika Daniel mengelus kepalanya, ia bahkan akan tersenyum lebar ketika Daniel memeluknya. Dan Daniel tergoda untuk melihat reaksi Eri sekarang jika ia memeluknya, namun ia mengurungkan niatnya itu.
Tapi selain itu, Eri tetaplah dirinya yang dulu. Seorang anak polos yang matanya akan berbinar ketika melihat coklat, permen , atau sesuatu yang ia sukai. Seseorang yang tak pernah mencurigai orang lain, dan seseorang yang akan langsung membantu tanpa memikirkan akibatnya pada diri sendiri. Dan Daniel berharap Eri akan terus begitu.
Bel pulang berbunyi sore itu, disambut gembira oleh mereka yang memang tidak betah berada di lingkungan sekolah –termasuk Daniel.
Hari ini ia ada jadwal ekskul, membuatnya harus pulang lebih sore dari biasanya. Tapi jika ia tidak bisa mengantarkan Eri, baginya itu lebih buruk daripada harus dikeluarkan dari ekskul basket.
“er, pulang yuk.” Ajak Daniel sambil menyampirkan tas di punggungnya.
“lo bukannya ada ekskul hari ini?” tanya Eri sambil berusaha mengingat ingat jadwal ekskul Daniel, yang biasanya 2 – 3 kali seminggu.
“gak pa pa lah, pulang yuk” ajak Daniel lagi.
“ya jangan lah, lo udah sering bolos latihan kan karena nganterin gue? Gue gak keberatan kok nungguin lo ekskul” ujar Eri.
“tapi nanti lo bosen ngeliatin gue ekskul er, cuma gitu gitu doang” Jawab Daniel.
“kalo ada lo mah, gue gak bakal pernah bosen kok Dan!” Seru Eri polos, membuat Daniel melongo mendengar perkataannya.
“em ada yang salah dengan kata kat- “ Eri terbelalak begitu ia tersadar dengan ucapannya sendiri, dan ia langsung membekap mulutnya sendiri.
“bisa diulang lagi kata katanya?” daniel tersenyum jahil sambil memaksa Eri untuk mengulang perkataannya barusan.
Dengan tangan masih membekap mulutnya, Eri menggeleng cepat dan berlari keluar kelas, dengan Daniel mengejar di belakangnya sambil tertawa.
∞
“tungguin ya er, gue gak lama kok” ujar Daniel kepada Eri di pinggir lapangan luar sekolah. Sore itu matahari masih agak terik bersinar, walau perlahan mulai tenggelam di ujung barat.
Eri duduk di bawah rimbunnya deretan pohon , batas yang memisahkan antara dua lapangan.
Daniel yang berjalan menuju ke tengah lapangan sesekali menengokkan kepala ke arah Eri, seakan ide untuk meninggalkan Eri sendirian di pinggir lapangan bukanlah ide yang bagus.
Eri menyandarkan punggungnya pada sebuah pohon, dan memperhatikan Daniel yang terbungkus seragam basket sekolahnya. Eri tidak begitu tertarik pada olahraga, tapi entah kenapa jika Daniel menjadi salah satu pemainnya, Eri akan betah memperhatikan.
Hawa panas membuat Eri merasa gerah, daun daun pohon yang menghalangi sinar sang surya ternyata belum cukup untuk membuat sore itu menjadi sejuk. Eri bangun seraya membersihkan bagian belakang celananya, dan berjalan menuju sebuah pondok kecil yang sebenarnya digunakan sebagai kantin untuk anak anak SD.
“mas aqua botolnya satu” pinta Eri kepada penjaga kantin itu. Tapi kemudian ia melirik Daniel, dan meralat pesanannya. “eh dua aja deh mas, dua duanya dingin ya”
Setelah membayar pesanannya, Eri berjalan menghampiri Daniel yang sedang duduk dengan kaki diluruskan, di tempat Eri tadi menyandarkan diri.
“baru bentar aja udah capek?” sindir Eri sambil duduk di samping Daniel. Senyum mengejek muncul di wajah Eri.
“panas tau er!” dan yang disindir membalas Eri dengan menarik hidungnya keras.
“iya iyaa ampunnnn” Eri mengusap usap hidungnya “nih udah gue beliin minum” lanjut Eri, seraya menyodorkan botol air mineral kepada Daniel.
“makasih er! Emang ya, lo perhatian banget!” ujar Daniel sambil menggenggam tangan Eri.
“ets, gak pake pegang pegang!” seru Eri sambil menarik tangannya, sebelum mukanya memanas dan memerah.
Baru saja Eri meneguk minumannya, ketika tiba-tiba Kemal lewat di depannya entah darimana.
“Eri!” sapa Kemal, ia langsung mendekat begitu melihat Eri duduk di bawah pohon.
“kak kemal!” balas Eri, senyum otomatis muncul di wajahnya. Daniel hanya memasang muka cuek dan seakan tak melihat Kemal.
“lo lagi ngapain disini?” Tanya Kemal, bulir bulir keringat mengalir di samping kepalanya.
“lagi nungguin Daniel kak, kalo lo pasti abis main bola deh” tebak Eri.
“tau aja lo!” ujar Kemal sambil mengacak acak rambut Eri. “eh gue boleh bagi minum gak? Haus banget nih” tanya Kemal sambil melihat ke arah minuman yang di pegang Eri.
Eri baru mau menjawab, ketika Daniel langsung memotongnya. “kalo mau ambil yang ini aja. Belom gue buka” potong Daniel sambil menyodorkan botol minuman yang masih tersegel rapat.
Kemal terdiam beberapa saat sebelum menerima air yang di sodorkan Daniel. “o-oh makasih ya”
Daniel hanya mengangguk sebagai balasan.
“gue balik dulu ya er” pamit Kemal sambil menepuk mengelus kepala Eri pelan, membuat Eri tersenyum.
“terus lo minum apa dan?” Eri mengalihkan perhatiannya ke Daniel. Untungnya Eri tak sempat melihat perubahan ekspresi Daniel barusan.
“gue minum punya lo aja” Ujar Daniel sambil meraih tangan Eri yang memegang botol, dan meneguk air sambil tetap memegangi tangan Eri.
Tak berapa lama Daniel melepaskan tangan Eri dan berdiri untuk kembali ke lapangan. “gue main basket lagi ya er, jangan kemana mana “ Ujar nya sambil menarik hidung Eri.
Eri hanya bisa mengusap hidungnya yang memerah, hampir sama dengan warna mukanya yang memanas. Tiba tiba ia teringat kejadian di restoran pizza tempo hari, saat Daniel menyeka ujung bibirnya.
Eri menempelkan jarinya di tempat Daniel menyeka mulutnya, dan ia bisa merasakan mukanya memanas.
Eri tak mengerti kenapa akhir-akhir ini ia sering merasakan sensasi seperti mukanya memanas, nafasnya kadang menjadi tidak beraturan, dan dada kirinya berdebar lebih cepat dari biasanya, sampai sampai kadang ia bisa merasakan dengan jelas suara jantungnya.
Tapi ia tidak mengetahui penyebabnya. Setidaknya , belum mengetahui.
Ditunggu kelanjutannya.
moga Daniel jadian sama Eri! (>/|\<)
emang penulisnya siapa mas @youngnerd ? buka anak forum sini yah?
ada dehhh hahaa ditunggu ya lanjutannyaaa
Page eight – Conversation
Hujan turun membasahi bumi pada keesokan harinya. Sore itu, Eri sedang berjalan menyusuri kompleks perumahannya, dengan membawa kantong kresek kecil di tangan dan payung biru di tangan satunya.
Tetesan air yang turun membuat irama yang konstan, seakan mengalunkan melodi indah yang membuai orang untuk terlelap. Udara dingin menerpa siapapun yang berani untuk keluar dari rumah masing masing, tak terkecuali Eri. Sesekali angin bertiup, bekerja sama dengan hawa dingin untuk menurunkan suhu tubuhnya.
Angin dingin terasa menyengat ketika menerpa wajahnya, dan menimbulkan suara pelan ketika angin itu berdesir melewati telinganya. Langkah kaki Eri menimbulkan gelombang di setiap genangan air yang ia langkahi, menimbulkan bunyi yang tersamar di antara suara deru hujan.
Eri melewati rumahnya sendiri, dan melangkah masuk ke rumah yang berdampingan dengan rumahnya. Rumah nenek Paula, lebih tepatnya.
“aku udah beli telurnya nekk” ujar Eri setelah menaruh payung di depan pintu, dan melangkah masuk kedalam rumah.
Nenek Paula menjulurkan kepalanya dari arah dapur, dan senyum muncul di wajahnya ketika melihat Eri. “makasih ya cu, maaf kamu jadi harus hujan hujanan…” ia membawa sebuah handuk kecil dan mengusapkannya ke rambut Eri yang sedikit basah.
“ih gak pa pa kok nek, lagian aku kan pake payung” ujar Eri sambil menyodorkan kantung kresek di tangannya. “ini telurnya nek, emang nenek mau bikin apa sampe harus beli telur lagi? Bukannya biasanya nenek gak pernah kehabisan bahan bahan?” tanya Eri.
Sebagai seorang lansia yang hidup seorang diri, nenek Paula tidak punya banyak kegiatan, selain mengurus rumahnya dan membuat kue. Sudah menjadi hobinya -bahkan sejak sebelum ia pindah ke Indonesia – untuk membuat kue.
“beberapa hari lagi seluruh keluarga besar nenek akan datang kesini” jawab nenek Paula, ia terdengar sangat bahagia. “nah makanya nenek mau keluarin semua resep yang nenek punya!”
Keluarga besar yang dimaksud tentu saja anak dan cucu nenek Paula. Sedangkan suaminya, menurut cerita nenek Paula, telah meninggal dunia. Dan untuk melampiaskan kesedihannya, nenek Paula mengasingkan diri di rumah ini.
“wahhh asik dong nek, entar rumah ini jadi ramee. Tapi nanti kalo kuenya gak abis gimana? Abis nenek beli bahan bahan kue banyak banget kayaknya..” tanya Eri.
“kan ada kamu nanti yang ngabisinn” jawab nenek Paula sambil tersenyum, seraya mengelus pipi Eri dengan lembut.
“ aku ga enak ah nek, nanti kan ada keluarga nenek, masa aku ikutan..” ujar Eri dengan tampang lesu.
“hush! kenapa ga enak?” nenek Paula pura pura terkejut mendengar perkataan Eri. “kamu kan cucu kesayangan nenek, keluarga nenek juga.”
“ke-keluarga?..” tanya Eri takjub, mukanya melongo.
Nenek Paula mengangguk “iya, nanti bakal nenek kenalin kamu sebagai salah satu cucu nenek. Lagian nenek udah sering cerita kok tentang kamu ke anak dan cucu nenek yang lain. Dan mereka gak sabar pingin ketemu kamu.” Jawab nenek Paula, sambil melipat handuk yang tadi ia gunakan untuk mengeringkan rambut Eri.
“o-oh ya??” tanya Eri.
“mereka udah gak sabar pingin ketemu anggota keluarga mereka yang baru, yaitu kamu.” Jawab nenek Paula.
Keluarga. Entah sudah berapa lama Eri merasa kehilangan salah satu bagian terpenting itu dalam hidupnya. Keluarganya sendiri, sibuk dengan kegiatan masing masing sehingga eri sendiri tidak yakin mereka bisa di sebut ‘keluarga’ atau tidak. Dan ketika seseorang menariknya kembali ke dalam sebuah lingkaran yang berlabel ‘keluarga’, Eri senang bukan main.
“dan nanti nenek gak bakal sendiri lagi, ada yang bakal nemenin nenek disini” Ujar nenek Paula sambil tersenyum. Tapi euforia di dalam otak Eri membuatnya tidak mendengar apa yang wanita tua itu ucapkan setelahnya.
Ia baru tersadar ketika ia berjalan mengikuti nenek Paula ke dapur, saat wanita itu menanyakan keberadaan Daniel. “temen kamu yang biasanya nemenin kamu itu kemana? Biasanya dia kan sama kamu terus.” tanya nenek Paula seraya merapikan loyang kue yang baru ia bersihkan di rak dapur.
“Daniel maksud nenek?” tanya Eri balik. Wanita tua itu mengangguk. “aku gak tau.. tadi sepulang sekolah dia nganterin aku pulang sebelum hujan, tapi habis itu dia pamit pergi..” Eri tidak bisa menyembunyikan nada muram dalam suaranya.
Nenek Paula menoleh dan menunjukkan senyum penuh arti. “jangan sedih gitu dong, nih cobain salah satu kue eksperimen nenek” ujarnya seraya menyodorkan sebuah kue kering coklat – cookie – ke tangan Eri.
“Enak nekk! Enak banget!” mata Eri berbinar setelah menyicipi kue di tangannya. Rasa coklatnya terasa meleleh di mulut, walau jika dilihat dari luar kue itu tampak seperti kue biasa.
“kalo kamu kangen atau rindu sama seseorang, sebuah kue coklat akan membantu kamu menghadapi perasaan itu” ujar nenek Paula. Kata kata itulah yang menjadi motto dalam hidupnya.
“a-aku gak kangen sama Daniel kok!” protes Eri dengan muka yang memerah. Ia seperti merasakan sesuatu menekan paru parunya, membuatnya susah mengatur nafas.
“nenek gak bilang kamu kangen sama Daniel kok, kenapa kamu protes begitu?” Tanya nenek Paula dengan senyum jahil terpampang di wajahnya.
“ah neneeeeeek!” seru Eri kesal, ia bisa merasakan mukanya makin memanas.
Page nine – That news
“Rara udah jadian sama kemal.”
Itulah yang dikatakan Lily di dalam kelas setelah bel istirahat berbunyi.
Eri hanya bisa memandanginya bingung. “kapan?” tanya Eri.
“Kemaren, sepulang sekolah. Kemal nembak Rara di kantin, dan kayaknya beritanya udah nyebar.” Jawab Lily, seakan heran kenapa Eri bisa tidak tahu berita itu. Padahal, secara tidak langsung Eri sudah membantu mereka. “lo ga tau ri?”
Eri menggelengkan kepala. “mereka sama sekali ga bilang apa apa. Kemal sih pernah beliin Rara hadiah, tapi dia ga ngomong mau nembak kapan. Dan Rara juga jadi jarang ngontak gue. Dia cuman ngomongin tentang Kemal biasanya” jawab Eri.
“tapi lo yang bantuin mereka kan ri? Gue pernah iseng buka hape Rara, dan isinya banyak sms ke lo, nanyain Kemal lah, nanyain pendapat lo lah. Masa lo gak tau?” tanya Lily. Entah kenapa ada sesuatu di dalam nada suaranya yang membuat Eri kesal sendiri.
“yaudahlah li, seenggaknya kan mereka sama sama seneng sekarang.” Baru saja Eri menjawab, ketika Lily merebut hapenya yang ia taruh di bawah meja.
“nah kan. Kemal juga sering sms lo buat nanyain tentang Rara!” seru lily sambil memperlihatkan pesan yang masuk di dalam handphone Eri. “dan mereka sama sekali gak ngasih tau?”
“biarin aja lah li.” Eri merebut kembali handphone nya. “mereka mungkin punya alasan sendiri”
“atau mereka ngerasa udah gak butuh lo lagi?” suara Daniel tiba tiba menyela.
“maksud lo Dan?” Tanya Eri bingung.
“ya mereka kan cuma ngontak lo saat mereka butuh doang. Dan sekarang saat mereka udah jadian, artinya lo udah gak dibutuhin lagi kan.” Jawab Daniel.
“Rara bukan orang yang kayak gitu.” Ujar Eri “dan Kemal juga baik kok, gak mungkin mereka kayak gitu.” Eri merasa pandangannya mulai mengabur.
“Tapi daniel ada benernya ri….” Sela Lily.
Eri hanya menggelengkan kepala. “enggak enggak, gue tau mereka berdua, dan gue yakin mereka gak sejahat yang kalian omongin. Lagian mau ngasih tau gue apa enggak, itu kan terserah mereka.” Kata Eri sambil memegangi kepalanya.
Kepalanya terasa sedikit pusing, dan barusan pandangannya mengabur.
“Lo gak pa pa er?..” Tanya Daniel yang terdengar khawatir.
Eri menggelengkan kepala, tapi matanya masih berusaha memfokuskan pandangannya yang mulai mengabur, dan suara di telinganya lama lama mengecil. Ia memejamkan matanya, berusaha mengusir sakit kepala yang membuat kepalanya terasa sangat pusing.
“eri??! Lo yakin gak pa pa?” tanya Daniel yang mulai panik. Lily hanya bisa diam memperhatikan, tanpa bisa berbuat apa apa ketika perlahan wajah Eri mulai kehilangan warnanya.
Tiba tiba Eri merasa dirinya diangkat.
Daniel mengangkat Eri dengan kedua tangannya, dan menggendongnya seakan Eri bisa pecah jika dijatuhkan. Setelah menaruh Eri di punggungnya, Daniel langsung bergegas keluar kelas dan menyusuri koridor kodridor untuk menuju ke arah UKS, mengabaikan tatapan tatapan yang mengikuti mereka sepanjang koridor.
“dan … ga usah…” rintih Eri pelan, suaranya tercekat di tenggorokan. Tapi Daniel mengabaikannya.
Eri membenamkan wajahnya di punggung Daniel, menghindari tatapan orang orang yang sekilas mereka lewati. Hidung Eri mencium aroma tubuh penggendongnya, yang entah kenapa membuat mukanya memerah sendiri…
Setelah sampai si UKS, Daniel langsung membaringkan Eri di atas kasur dan menolehkan kepala mencari guru penjaga UKS.
“gue nyari guru UKS dulu ya!” ujar Daniel panik, saat ia tidak bisa menemukan siapapun di dalam ruangan itu.
“gak! Gak usah…” Eri menyambar ujung seragam Daniel tepat sebelum ia berbalik pergi. “gue gak mau sendiri…” rintih Eri pelan. Seluruh mukanya pucat, hanya tersisa rona kemerahan di pipinya.
Daniel berfikir sejenak, sebelum akhirnya memutuskan duduk di samping kasur Eri.
“apa yang lo rasain?” tanya Daniel sambil menyentuh dahi Eri dengan punggung tangannya, untuk mengecek suhu badan Eri.
“pusing…….” Jawab Eri lemas. Tapi entah kenapa ia merasa pusingnya sedikit hilang ketika tangan Daniel menyentuh dahinya. “tapi pas lo pegang kepala gue, pusingnya ilang..” canda Eri.
Daniel tersenyum samar, namun mukanya masih tampak khawatir. “kayaknya lo demam…” ujar Daniel. “lo kemaren sore gak ujan ujanan kan?”
Eri tersenyum pasrah. “dikit kok… kemaren gue ke warung deket rumah, tapi gue cuma keujanan dikit, orang gue pake payung..” jawabnya. “masa gue demam cuma gara gara keujanan dikit.”
Eri meringis ketika Daniel mencubit pipinya. “aw! Kenapa dicubittt?” protesnya.
“besok besok lo gak boleh keluar kalo ujan, walaupun lo pake payung. Kalo gak lo bisa minta gue kan buat beliin?” Jawab Daniel.
“masa gue minta lo beliin dan, gue bisa sendiri kok…”ujar Eri sedikit kesal.
Daniel hanya memandanginya prihatin.
∞
“dia cuma demam biasa..” ujar guru penjaga UKS. “ibu punya obat demam, tapi harus diminum sesudah makan. Sebaiknya kamu makan dulu”
“tapi saya gak lap-…” Kata kata Eri terhenti ketika Daniel menatapnya tajam.
“Oke bu, saya bakal mastiin dia makan habis ini.” Sela Daniel.
“baiklah” guru penjaga UKS itu berjalan ke arah rak, dan mengambil sebuah bungkusan obat berwarna biru yang berisi tablet obat berwarna putih. “kasih dia ini sehabis makan nanti, ibu permisi dulu” ujarnya seraya menyodorkan obat itu ke tangan Daniel.
“oke bu.” Setelah guru itu menghilang di balik pintu UKS, Daniel berbalik menghadap Eri.
“lo mau makan apa?” tanya Daniel. Eri hanya menggelengkan kepala. “gue gak laper dan…”
Daniel yang sudah menebak apa yang akan dikatakan Eri, langsung menyela “tunggu bentar ya, jangan kemana mana.” Ujarnya sambil bergegas keluar dari UKS.
Tak berapa lama kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah kotak styrofoam dan air mineral. “gue udah beliin bubur, dan sebaiknya lo makan.”
“gue bilang enggak dan…” protes Eri. Tapi Daniel mengabaikannya, dan setelah duduk di samping kasur Eri , ia membuka kotak yang dibawanya.
“buka mulut lo er” pinta Daniel sambil mengangkat sesendok bubur. Eri menggelengkan kepala.
Beberapa kali Daniel mencoba, tapi Eri tetap tak mau membuka mulut , sampai akhirnya…
“dimakan dong dek buburnya..” Sebuah suara muncul dari arah pintu, membuat Eri dan Daniel menoleh. Kemal telah berdiri di depan pintu.
“k-kak kemal?” ujar Eri bingung. “kakak ngapain disini?”
“tadi gue liat lo digendong ke UKS, tapi abis itu lo gak keluar keluar lagi, jadi gue mutusin buat ngecek aja. Kok gak mau dimakan buburnya?”tanya Kemal sambil berjalan pelan ke arah kasur tempat Eri berbaring.
“gak laper kak..” jawab Eri.
“tapi lo harus makan kalo mau cepet sembuh” ujar Kemal sambil mengacak acak rambut Eri. “kalo gak cepet sembuh, nanti lo malah tambah ngerepotin Daniel kan?”
Eri hanya terdiam memikirkan kata kata Kemal.
Sambil tersenyum, Kemal kembali mengacak acak rambut Eri “yaudah, gue balik ke kelas lagi ya dek. Jangan lupa dimakan makanannya ya. Dan, gue balik ya” pamit Kemal. Daniel hanya mengangguk dalam diam.
Setelah kepergian Kemal, suasana di UKS menjadi hening tanpa ada kata yang terucap.
“sekarang udah mau makan?” tanya Daniel. Eri mengangguk, dan meraih kotak styrofoam yang langsung dijauhkan Daniel. “mau ngapain? Gue yang suapin.”
Entah Daniel memperhatikan atau tidak, muka Eri kembali merona merah walau tidak terlalu kentara………
“lo jadi akrab ya sama dia.” Ujar daniel sambil menyuapi Eri.
Eri yang sedang mengunyah hanya menatap Daniel bingung, dengan ekspresi yang menyatakan – maksud-lo? .
“pas dia nyuruh lo makan, lo langsung mau makan. giliran gue yang nyuruh, lo gak langsung mau..” ujar Daniel. Sebenarnya ia agak kesal ketika Eri dengan gampangnya mengikuti apa yang Kemal katakan, alih alih dirinya.
Eri hanya menundukkan kepala. Ia sendiri tak tahu kenapa ia bisa langsung mengikuti apa yang dikatakan Kemal, yang baru baru saja ia kenal dibanding dengan Daniel, yang sudah hampir bertahun tahun bersamanya.
Eri mengangkat kepalanya dan melihat Daniel memandanginya, membuat Eri langsung menundukkan kepala lagi. “te-terus lo maunya gimana?..” tanya Eri.
Daniel terdiam sejenak sebelum menjawab “lo bisa ngandelin gue er, gak semua hal harus lo lakuin sendiri, lo bisa terus minta bantuan gue kayak dulu waktu kita masih kecil...” jawab Daniel. “dulu lo apa apa pasti minta bantuan gue, selalu ngikutin gue kemanapun gue pergi , selalu nurut apapun yang gue bilangin…”
“t-tapi gue gak mau ngerepotin lo lagi.. gue udah terlalu banyak nyusahin lo dan.” Balas Eri sambil mengangkat kepalanya, matanya yang bulat sedikit berkilau karena basah. “sekarang gak sama kayak dulu dan, gue gak bisa ngeganggu hidup lo terus…”
Daniel menatap Eri seakan tak percaya “apa gue pernah bilang lo ngerepotin gue? Apa gue pernah bilang kalo lo nyusahin gue? Gak pernah er, kenapa kita gak bisa kayak kita kecil dulu?”
Eri mengalihkan pandangannya dari Daniel “karena sekarang udah beda dan, kita gak bisa kayak dulu. Gue takut…… gue takut kalo gue bergantung sama lo terus, gue gak bakal bisa tahan ketika lo gak ada di samping gue…”
“dan apa yang buat lo mikir kalo gue gak bakal ada di samping lo terus?” tanya Daniel.
Eri menjawab, masih tanpa melihat Daniel “ banyak dan. Lo pasti bakal ada kesibukan lain… dan kalo kita waktu kecil… lo…..” muka Eri memanas dan seketika langsung memerah “lo selalu…. selalu meluk gue setiap lo janji sesuatu, dan kita gak mungkin terus kayak gitu kan?”
Eri teringat ketika dulu Daniel akan selalu memeluknya erat ketika ia berjanji, atau ketika Eri merasa sedih.
Daniel melakukan sebuah gerakan mendadak, dan Eri baru tersadar ketika Daniel mengecup dahinya. “Aku gak bakal ninggalin kamu eri, apapun yang terjadi, dan sampai kapanpun itu.” Ujar Daniel, sama persis seperti bertahun tahun yang lalu ketika mereka masih kecil.
Muka Eri mendadak memerah drastis, kontras dengan warna kulitnya. Matanya entah kenapa memaksa kelenjarnya bekerja lebih keras, membuat bola matanya pedih dan berair. Tangannya menegang seraya meremas seprai kasur dan jantungnya berdegup sangat cepat.
“siapa bilang kita gak bisa kayak dulu?” tanya Daniel dengan senyum jahil menghiasi wajahnya. Menghiasi bibirnya yang baru saja singgah di dahi Eri.
Eri berani bersumpah, ia rela melakukan apapun agar bisa lari dari ruang UKS ini sekarang juga, dan lari dari depan Daniel.
“mulai sekarang kita kembali kayak dulu, oke adek?” ujar Daniel seraya memakai panggilannya untuk Eri bertahun tahun yang lalu. Eri masih terpaku dengan mukanya yang memerah.
“oke?” ulang Daniel. Ia menjulurkan jari telunjuknya.
Eri dengan perlahan mengaitkan jari telunjuknya di jari Daniel. Sama seperti bertahun tahun lalu……………………………….
Kok aku ngerasa Kemal suka ma Eri ya? :-?
Makasih uda dimention :-*