It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ini bakalan Happy ending atau Sad
ending? ._.
aw aw aww
;;)
- Terkadang kamu harus mundur beberapa langkah menjauh, agar pandanganmu terhadap sesuatu menjadi utuh. -
Udara pagi ini terasa begitu dingin. Aku merasakan penat di sekujur tubuhku akibat tidak bisa tidur dengan nyenyak malam tadi. Bisa kurasakan ada kecemasan yang membuat sesak dadaku, sementara di kepalaku ucapan Ibu Chris terus terdengar dengan jelas.
"Tuhan, apa yang harus aku lakukan." Aku menarik nafas, berharap udara yang terhirup bisa membuat sedikit kelegaan.
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan saat ini. Apakah aku marah? Mungkin. Bagaimanapun aku merasa begitu direndahkan. Jadi seandainya kegelisahan ini adalah akibat amarah dalam hati, menurutku itu adalah hal yang wajar.
Tetapi di sisi lain, aku juga merasa ada rasa malu bersembunyi dibalik kemarahan itu. Malu karena ada seseorang yang ternyata tahu tentang apa yang sedang terjadi antara aku dan Chris.
"Tuhan, seandainya aku bisa memutar waktu, aku kulakukan apapun untuk mencegah hal itu. Itu benar-benar kejadian yang memalukan. Bahkan aku tidak bisa membela diri, karena sebagian besar yang dikatakan ibu Chris adalah benar."
Dan yang paling berat adalah bagaimana caranya aku bisa mengabulkan keinginan ibu Chris untuk meninggalkan anaknya. Itu pasti akan sangat menyakitkan, untukku dan juga untuk Chris.
"Aku tidak bisa meninggalkannya. Aku tidak akan punya alasan yang masuk akal untuk menyakitinya." Aku bersedih untuk hal ini. "Tuhan, jika aku meninggalkan Chris, itu pasti akan menyakitinya. Dan aku sudah berjanji padamu untuk tidak akan menyakitinya. Tapi jika aku tidak meninggalkannya, berarti aku menyakiti ibunya."
Aku bangkit dari tempat tidurku, berjalan terkantuk-kantuk menuju jendela. Sekilas terlihat jalanan yang masih sepi, meskipun suasana sudah tampak terang benderang. Aku membiarkan mataku menatap kosong ke luar jendela. Kutarik nafas panjang berkali-kali. Kuucapkan mantra positif berkali-kali. "Semuanya akan baik-baik saja."
Beberapa saat kemudian, aku mulai kembali gelisah, karena rasanya hatiku tetap saja tidak bisa tenang. Aku mencari-cari handphoneku, dan menemukannya di bawah selimut. Beberapa tanda misscall dan sms masuk terlihat jelas di layar. Fokus pandanganku terpaku menatap fotoku dan Chris yang tampak bahagia di sana. Foto itu diambil di bagian paling atas dari kantor.
"Aku suka ketinggian." Chris tampak begitu menikmati angin yang menerpa tubuhnya.
"Kenapa?"
"Terasa lebih bebas."
"Bebas gimana?"
"Lihatlah, semakin tinggi. Semakin luas yang bisa kau lihat. Tidak akan lagi halangan untuk matamu." Chris mengarahkan tangannya ke depan.
Aku hanya tersenyum. "Aku tidak terlalu suka ketinggian."
"Oh ya?" Chris membalik badannya dan bersandar di tembok pembatas. "Kenapa?"
"Kalau jatuh sakit." Aku tertawa kecil. Chris pun memukul kecil punggungku sambil tersenyum. Lalu dia kembali membalik badannya ke arah depan.
"Lihatlah. Itu apartemenmu." Chris menunjuk ke salah satu kelompok bangunan yang tampak menjulang tinggi.
"Oh iya." Aku memandang kagum. "Ternyata bagus ya kalau dari jauh."
"Dan itu apartemenku." Chris menunjuk ke kelompok bangunan yang lain. Tampak lebih mewah dan kokoh. "Kadang kita harus mundur jauh, untuk bisa melihat dengan jelas sesuatu yang besar." Chris menatapku sambil tersenyum.
"Maksudmu?"
"Sesuatu yang besar, kadang hanya bisa terlihat jelas dari jauh. Itu filosofi lho." Chris dengan mimik serius.
Saat itu, aku mengangguk-angguk seolah mengerti, padahal aku tidak mengerti sama sekali. Tapi saat ini, ketika aku tiba-tiba teringat akan hal itu, setidaknya aku bisa mengambil ide dari itu.
"Mungkin Chris benar. Aku mesti mundur sedikit menjauh, untuk bisa melihat lebih jelas dan utuh." Aku merasakan ada sedikit perasaan lega. "Aku lebih baik pulang, untuk dua hari ini. Kuanggap itu adalah langkah mundur menjauh. Aku tidak tahu apakah itu akan membantu atau tidak. Tapi tidak ada salahnya dicoba kan?"
Aku meletakkan kembali handphoneku tanpa membukanya, kemudian bergegas mandi dan berkemas untuk perjalanan pulang ke rumah orang tuaku. Sudah kuputuskan untuk menjauh sejenak dari hiruk pikuknya ibukota, dan berharap bisa mendapatkan suasana batin yang lebih tenang di rumah.
***
Mataku dapat melihat mobil Chris melintasi lobi apartemenku tepat saat aku keluar dari lift.
"Lho, kenapa anak itu ke sini?" Aku bergumam dari hati. Secara spontan aku menahan langkahku. "Aku tidak boleh menemuinya dulu. Aku belum siap menghadapinya, apalagi dia suka tanya yang aneh-aneh. Lebih baik aku pergi secepatnya ke stasiun.
Aku segera melangkah keluar dari lobi. Sambil menengok kanan kiri untuk memastikan tidak ada Chris, aku mempercepat langkahku. Aku hampir saja lega, karena hampir melewati area depan apartemen, tapi saat itu juga aku mendengar namaku dipanggil dari kejauhan. Oleh suara yang aku kenal betul.
Aku berhenti sejenak. "Pura-pura tidak dengar atau harus menengok?" Aku berpikir. Dan rupanya aku berpikir terlalu lama.
"Hei!" Suara khas itu terasa begitu dekat di belakang. "Mau kemana kamu pagi-pagi begini?"
"Chris?!" Aku tersenyum dipaksakan. "Kamu sendiri kenapa ke sini pagi-pagi. Ini kan bukan hari kerja." Aku berusaha agar nada suaraku terdengar normal.
Dia mendadak memasang mimik kesal. "Kamu kenapa tidak mengangkat teleponku semalam? Sms pun tak ada balasan."
"Lho kamu telepon." Aku berharap sekali dia tidak tahu kalau aku berbohong. Aku meraba-raba saku baju dan celanaku.
"Maafkan aku, Chris. Begitu pulang aku langsung tidur, kepalaku pusing sekali. Dan memang aku silent handphoneku, agar aku bisa langsung tertidur." Aku mencoba mengarang alasan. "Sekarang aku lupa, dan rasanya handphoneku ketinggalan di kamar."
"Oh, kamu sakitkah?" Dia berganti mimik cemas.
Aku tersenyum dan menggeleng perlahan. "Tuhan, rasanya akan sangat sulit buatku bisa menjauhinya, kalau dia terus menerus menunjukkan perhatiannya padaku seperti ini."
"Ok, sekarang kamu mau kemana?" Chris tampak tidak curiga dengan alasanku. Atau dia sengaja membiarkanku?
"Hmm, sebenarnya." Aku berhenti sejenak. "Aku mau pulang." Kukatakan kalimat itu dengan pelan. Gagal sudah niatku untuk bisa menghindar darinya saat ini.
"Pulang? Pulang kampung?" Dia menatapku keheranan.
"Enak aja. Bukan kampung kali."
"Ya, kan ngga pas bahasanya kalau aku bilang pulang kota." Chris tertawa. "Tapi kenapa mendadak sekali?"
"Ya aku tiba-tiba kangen sama orang tuaku." Aku kembali mengarang.
"Hmm..." Chris mendekatiku dan menaruh tangannya di pundakku, merangkulku dan tersenyum. Setengah berbisik dia berkata, "kamu kangen ibumu ya setelah bertemu ibuku?"
Aku sedikit kaget dengan pertanyaannya. "Sepertinya aku salah mengarang alasan, nih. Tapi sih memang ada benarnya juga. Kalau bukan karena ibunya mungkin aku tidak akan berpikir untuk pulang hari ini."
"Oh, ya.. Di antaranya." Aku melanjutkan alasanku.
"Aku iku dong?" Chris memasang mimik memelas.
Aku segera melepaskan tangannya dari pundakku. "Maksudmu?" Aku menatapnya. "Kenapa anak ini bisa berpikir seperti itu sih?" Aku keheranan dalam hati.
"Iya, aku boleh ikut kan? Main ke rumahmu." Dia tampak berbinar.
"Mau apa?" Aku masih bingung bagaimana menolaknya. "Tidak usah ya. Lain kali saja."
"Ayolah. Kamu sudah kupertemukan dengan ibuku. Sekarang giliranmu mempertemukanku dengan ibumu." Dia tampak merajuk. "Boleh ya?"
"Tidak bisa, Chris." Aku buru-buru menolaknya. "Tidak bisa kali ini. Aku harus pergi sekarang. Sampai ketemu hari Senin ya." Aku segera meninggalkannya begitu saja, tanpa menoleh lagi ke belakang.
Sudah tentu dia berteriak memanggilku berkali-kali. Tapi aku tidak boleh lagi menoleh ke belakang. Jadi langsung kuputuskan untuk naik ke taksi pertama yang aku dapatkan.
"Stasiun, Pak." Aku menyebutkan tujuanku. Taksiku segera meluncur, dan aku menoleh untuk sekilas melihat Chris berjalan dan memandangi kepergianku. Dia tidak tampak lagi berteriak memanggilku.
Di dalam taksi yang berjalan menarik nafas panjang beberapa kali. Akhirnya aku bisa sedikit lega.
"Maafkan aku, Chris." Aku memejamkan mata terbayang wajahnya. "Aku harap ini tidak menyakitimu, karena aku tidak bermaksud begitu. Berilah aku sedikit waktu saja untuk menenangkan diri."
- Jika apapun bisa terjadi di masa depan, maka tidak ada salahnya berharap sebuah keajaiban. -
Aku tiba di stasiun dan segera mengantri untuk membeli karcis. Dan momen ini kembali mengingatkanku padanya.
"Seharusnya kita membeli karcis itu online saja. Tidak perlu ngantri begini." Aku mengeluh.
"Aku suka ngantri begini." Chris menjawab cuek. "Lagi pula jangan lihat ngantrinya dong. Tapi sadarilah kamu lagi ngantri dengan siapa." Dia tersenyum.
"Hah? Dengan siapa?" Aku melongok ke depan dan ke belakang. Mencari siapa yang dia maksud.
Chris menunjukkan telunjuknya tepat di antara kedua alisku, dan aku tidak sempat menghindarinya. "Gajah di pelupuk mata tidak tampak, ya."
Aku menepis tangannya. "Oh, kamu ya gajahnya?" Aku tertawa meledeknya.
Dia menempelkan telunjuknya di bibirnya. "Berisik." Dia berbisik pelan. Aku segera diam. "Bisakah kita nikmati saja antrian ini, tanpa kamu protes?" Dia bertanya begitu pelan.
Aku memalingkan wajahku darinya. "Tentu saja, Chris. Aku akan menikmati setiap momen bersamamu." Aku tersenyum sendiri.
"Silakan, Mas." Aku dikagetkan dengan suara yang mempersilakanku, karena ternyata aku sudah berada di depan counter. Aku pun segera mengurus pembelian tiket pulangku.
Setelah mendapatkan tiket, aku segera naik tangga menuju peron. Dan memori yang lain tentang Chris membayangiku.
"Ah, capek!" Chris berhenti. "Memang kenapa kita ga naik lift saja sih? Lima lantai lumayan capek lho."
"Berisik." Aku terus berjalan.
"Hei, tunggu!" Chris berteriak mengejarku. "Aku sampai ngos-ngosan gini lho." Dia memang tampak terengah-engah saat aku berhenti dan menoleh ke arahnya.
"Kamu tahu kan tadi antrian lift lagi banyak. Ini bukan apartemen mewah. Lagian suruh siapa ikutan naik."
"Iya, deh. Tapi jangan cepat-cepat jalannya, aku capek." Chris masih terlihat terengah-engah. Aku memandangi dahinya yang tampak basah. Butir-butir air tampak mulai menetes dari rambutnya mengalir di keningnya yang putih. Spontan kuulurkan tanganku, mengusapnya dengan ibu jariku. Chris memejamkan matanya.
"Anak manja." Bisikku pelan. "Baru naik tiga lantai aja udah keringetan begini. Masih dua lantai lagi pula. Ayo jalan, masih kuat kan?" Aku menepuk-nepuk bahunya.
"Kamu melap tanganmu ke bajuku ya?" Chris protes dan menghindari tanganku.
Aku tertawa. "Itu kan keringatmu. Masa aku mesti melap dengan bajuku. Sudah ayo jalan."
Sejak hari itu aku sering dengan sengaja memaksanya untuk naik lewat tangga. Setidaknya itu bisa memaksanya untuk berolahraga.
***
Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai aku berada di atas tempat dudukku dalam gerbong. Beruntung aku mendapatkan nomor kursi di dekat jendela sehingga aku tentu bisa menikmati pemandangan di luar jendela.
Terlihat orang-orang tampak sibuk berlalu lalang mencari lokasi tempat duduk mereka. Dan sekilas aku merasa mengenali ada sosok yang aku kenal. Tapi kemudian aku menganggap itu hanya perasaanku saja, yang sedari tadi memang teringat dengan banyak momen bersama Chris.
Tidak lama, akhirnya keretaku berangkat. Aku menarik nafas panjang. Kuucapkan selamat tinggal dengan lirih. "Selamat tinggal, Chris. Sampai ketemu lagi nanti."
Kubiarkan pandanganku menatap ke luar jendela, masih menikmati pemandangan ibukota dengan bangunan-bangunannya yang tinggi.
"Kamu suka travelling?" Chris bertanya.
"Suka." Jawabku singkat.
"Suatu saat, mari kita berkeliling dunia."
Aku tertawa. "Kamu yang bayarin ya?"
"Tidak masalah." Dia menggeleng. "Aku kan cetak uang sendiri."
Kami tertawa bersama.
"Aku benar-benar berharap, suatu saat kita bisa berkeliling dunia berdua." Aku tersenyum memandang luasnya alam. "Aku sangat menyenangkan berbagi cerita denganmu dari satu tempat ke tempat lain."
Saat ini, entah kenapa memori tentang Chris muncul terus menerus satu persatu. Semua memori yang membuatku tersenyum dan merindukannya.
Meskipun demikian hatiku masih saja resah, saat mengingat apa yang ibu Chris minta padaku, dengan caranya kemarin malam. Tapi itu semua tidak membuatku kehilangan rasa bahagia, saat mengingat Chris dalam memori yang hampir semuanya berkesan di hati.
"Apa yang bisa kita harapkan dari masa depan, Chris?" Aku memejamkan mata dan merasakan ada panas bercampur air di mataku. Keresahan tidak bisa juga mereda dalam hatiku. Ketakutanku semakin membesar tentang apa yang akan terjadi di esok hari, antara aku dan Chris.
"Aku sungguh baik-baik saja." Chris tersenyum padaku. "Bisakah kamu berhenti untuk terlalu memikirkan apa yang akan terjadi? Kita bahkan tidak tahu apakah kita masih akan ada esok hari." Aku menikmati bayangan Chris pada momen di mana dia terdengar sangat dewasa. Meskipun itu sama sekali tidak mengobati keresahanku.
Perjalanan selama tiga jam pun berlalu begitu saja. Aku tersenyum melihat masa laluku. Tetapi rasa cemas, takut, dan bingung tentang masa depan yang aku bahkan tidak tahu akan bagaimana jadinya benar-benar membuat hatiku terasa tidak nyaman saat ini.
Aku menarik nafas panjang dan membiarkan diriku paling terakhir turun dari kereta. "Syukurlah, Tuhan. Akhirnya sampai juga. Aku berharap, aku bisa dapatkan sedikit ketenangan di rumah nanti."
Aku melangkah keluar stasiun, saat tiba-tiba telingaku mendengar suara yang tidak asing dari belakangku.
"Ini baru pertama kalinya lho aku ke sini."
Aku terkejut dan segera menoleh, berharap itu bukan suaranya. Tapi ternyata itu memang dia.
"Chris!" Aku setengah berteriak. "Kamu kenapa di sini?"
So this is it. I hope you like it. Thank you.
@Fuumareicchi @tarry @Ray_Ryo @Muabhi @Autumn2309 @yeniariani @banana24 @Gaebara @TigerGirlz @Hiruma
Tapi ga' apa-apalah!
Sudah biasa dikecewain!
Tapi cerita ini benar2 dalem banget, ane ga' ngelewatin satu kata pun membacanya! Nyerinya itu kerasa banget!
Kisah nyatakah ini bro?
Ga' usah di balas!
btw siapa sh nama tokoh utamanya *lupa :P
@ularuskasurius kasian deh ga di mention :P
Mention aku ya klo update lagi.