BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cinta Kecil untuk Chris

1568101125

Comments

  • nitip mention dong mas klo update. suka bgt ceritany. thx
  • nitip mention dong mas klo update. suka bgt ceritany. thx
  • thx bro bwt mentionnya :)
    cerita ini bener2 nyentuh :)
  • CTRL+D .. keren bang..
  • Prasaan udah titip mensyen deh. T.T
  • sangat berkesan membaca ceritanya te2p semangat yea,,,
  • luar biasa penulis menuliskan jalan ceritanya kedalam otak pembacanya. soft banget bukan berarti lembek. seorang tokoh disatu sisi berbicara dengan hati disatu sisi iya berbicara pada kenyataan. keep writing. colek @erickhidayat
  • luar biasa penulis menuliskan jalan ceritanya kedalam otak pembacanya. soft banget bukan berarti lembek. seorang tokoh disatu sisi berbicara dengan hati disatu sisi iya berbicara pada kenyataan. keep writing. colek @erickhidayat
  • luar biasa penulis menuliskan jalan ceritanya kedalam otak pembacanya. soft banget bukan berarti lembek. seorang tokoh disatu sisi berbicara dengan hati disatu sisi iya berbicara pada kenyataan. keep writing. colek @erickhidayat
  • ku larut dulu dari halaman 1 yah. ku charge dulu hp nya:) udah low batu
  • saya makin larut dalam atmosfir ceritanya...

    makasih mentionnya... @AryoAjji :)
    semangat dlm mngerjakan rutinitasnya ^^
    di tunggu udpate selanjutnya :)
  • keren ceritanya... q sampai menghayati banget... nambah 1 lg nie penulis yg berbakat... titip mention ya...
  • =(23)=


    - Dan meskipun dia sudah tiada, bukankah cintanya selalu kau bawa di dalam dada? -


    "Lho, aku kan tadi sudah bilang kalau aku mau ikut." Chris menjawab dengan santainya.

    Aku mendengus menanggapinya. "Keras kepala!" Kukecilkan suara teriakanku, agar hanya terdengar olehnya.

    "Itu tergantung." Dia lagi-lagi tersenyum. Dan senyumannya itulah yang membuatku tidak bisa marah kepadanya.

    "Maksudmu?"

    "Ya tergantung siapa yang menilai. Bisa jadi kamulah yang keras kepala." Dia mengangkat bahunya.

    "Halah, sudahlah. Aku mau ke rumah sekarang." Aku segera berpaling darinya untuk mencari taksi. "Biar sajalah, kalau aku larangpun dia pasti tetap akan mengikutiku. Memang sudah jadi sifatnya sih kalau punya keinginan harus selalu terlaksana." Aku merasa percuma berdebat dengannya. Dia ini seperti mulai kebal dengan semua jenis penolakan.

    Tapi tangan Chris segera menahanku. "Hei, tunggu dulu dong. Masa iya kamu tega menelantarkanku." Chris memasang ekspresi muka sedih di wajahnya.

    Aku menarik nafas panjang. "Siapa yang mau menelantarkan sih?" Aku menahan diri untuk tidak berteriak kepadanya. Bagaimanapun, dia juga tidak pernah berteriak padaku.

    "Aku cuma mampir sebentar kok. Ini aku sudah beli tiket pulangnya buat sore nanti." Chris menunjukkan tiket kepadaku.

    "Astaga." Aku bener-bener tidak mengerti dengan jalan pikirannya. "Kamu orang paling aneh yang pernah aku kenal." Aku terus menggerutu. "Tujuh jam lho ya, tujuh jam perjalanan bolak balik. Asal kamu tahu. Makanya tanya dulu, jangan asal menguntit diam-diam."

    "Haish! Ayolah. Aku udah terlanjur di sini. Aku cuma mau tahu di mana rumahmu. Itu saja." Chris memegangi tanganku sejenak dan menatapku dengan mimik setengah memelas. Aku segera menepis tangannya, dan dia tampak tertawa kecil karena hal itu.

    "Ya sudahlah." Akhirnya aku menyerah.
    "Benar-benar merepotkan saja."

    Chris tampak terdiam. Ada sedikit penyesalan terlihat di wajahnya. Hatiku pun segera luluh melihat ekspresi wajahnya.

    "Lain kali, bisakah kamu mendengarkanku?" Aku berkata pelan.

    Chris mengangguk sambil tersenyum penuh semangat.

    "Ok. Ayo kita cari taksi." Aku memberi isyarat agar Chris mengikutiku.

    ***

    "Di sini udaranya masih lumayan dingin ya?" Chris berkomentar saat taksi kami mulai berjalan meninggalkan stasiun.

    Aku tersenyum. "Iyalah dingin, orang ini pake AC, kok." Aku menanggapinya komentarnya dengan bercanda.

    "Maksudku tadi di luar sana." Chris seperti biasa tidak mau mengalah.

    Aku menggeleng halus. Jika diteruskan bisa sampai rumahpun masih berdebat dengannya. Aku memilih diam dan segera menurunkan sandaran dudukku, kemudian memejamkan mataku. Dan kubiarkan Chris dengan sibuk sendiri mengomentari banyak hal.

    Sejujurnya, aku masih tidak percaya apa yang sedang terjadi saat ini. Aku dalam perjalanan pulang ke rumah, dan ada Chris di sini bersamaku. Benar-benar seperti mimpi.

    "Berarti tadi pagi itu dia memang sengaja membiarkanku pergi, lalu mengikutiku sampai sejauh ini? Pantas saja." Aku menarik nafas panjang. "Kalau begini, pasti makin susah bagiku untuk bisa menjauhinya."

    Permintaan ibu Chris kepadaku agar menjauhi anaknya kembali teringat di kepalaku, anehnya hatiku tidak lagi merasa sesakit semalam. Meskipun aku tetap merasa ada yang tidak nyaman di dadaku saat memori itu melintas di kepalaku.

    "Menurutku seharusnya dia meminta hal itu pada anaknya daripada mengatakannya kepada orang lain. Apalagi kan justru anaknya ini yang susah sekali untuk ditinggalkan." Batinku meracau.

    Sesaat kemudian aku menyadari ada sesuatu yang sedang bersandar di bahuku. Aku membuka mata dan ternyata Chris dalam posisi menyandarkan kepalanya di bahuku. "Apa anak ini benar-benar tertidur dan menyandarkan kepala tanpa sengaja? Atau dia memang sengaja menyandarkan kepalanya supaya bisa tidur?" Aku menarik nafas panjang lagi.

    Sekilas kuarahkan pandanganku ke arah depan, tampak supir taksi sedang larut dalam konsentrasinya menyetir tanpa menghiraukan dengan apa yang terjadi di belakang kursinya. Kuputuskan untuk membiarkan Chris tertidur dibahuku, kembali ku pejamkan mataku. Setidaknya sekedar agar terlihat sedang benar-benar tertidur. Padahal saat ini aku sedang benar-benar menikmati momen yang sangat jarang terjadi, di mana Chris sedang menunjukkan sifat manjanya.

    Butuh waktu sekitar 30 menit perjalanan sampai akhirnya kami tiba di depan rumahku. Aku mendorong lembut Chris dari bahuku. Chris segera terbangun dan mengucek-ngucek matanya yang sipit.

    "Sudah sampaikah?" Dia bertanya dengan suara yang sedikit serak.

    "Yap." Aku menjawab singkat. "Ini Pak, ambil saja kembaliannya." Aku menyerahkan sejumlah uang ke supir taksi.

    "Wow, halamannya luas sekali." Itulah komentar pertama yang Chris katakan saat menginjakkan kakinya di halaman rumah orangtuaku. Dia tampak mengagumi sekelilingnya.

    "Ini standarnya memang segini kok." Aku menimpali sambil melangkah menuju pintu. Chris tampak mengekor di belakangku.

    "Tapi ini halaman beneran luas, lho. Menurutku bisa bangun satu rumah lagi nih di halaman sini." Chris masih juga membahas tentang halaman rumah.

    "Ya, nanti mungkin adikku yang akan bangun." Aku menjawab sekenanya.

    Sesampainya di depan pintu, kuketuk pintu itu tiga kali, sebelum kemudian aku langsung membukanya sendiri.

    "Tidak dikunci ya?" Chris bertanya.

    "Kalau siang memang jarang dikunci."
    Aku menjelaskan.

    "Kalau kamu tahu pintu itu tidak dikunci, kenapa tadi mesti kamu ketuk-ketuk?" Chris bertanya sambil terus mengikutiku masuk ke dalam rumah.

    Aku menoleh ke arahnya sebentar dan tersenyum. "Itu adat kesopanan yang diajarkan Ibu kepadaku."

    Chris tampak mengangguk-angguk. Entah apa maksudnya, apakah dia mengerti atau apa?

    Memasuki ruang tamu, kami disambut oleh suasana rumah terasa begitu lengang. Aku meneruskan sampai ke ruang tengah, masih tidak terlihat siapapun di sana.

    "Hei, ini foto keluarga?" Chris menunjuk ke arah sebuah foto besar yang terpajang di tembok ruang tengah.

    Aku memandangi foto yang ditunjukkan oleh Chris. Ya, itu memang foto keluarga. Sebelum aku menjawab, Chris sudah melanjutkan dengan tebakannya.

    "Ini pasti ibu dan bapakmu." Chris menunjuk persis ke posisi ibu dan bapakku. "Yang ini pasti adik perempuanmu. Terus yang ini.." Chris terdiam berpikir.

    Aku melihat ke arah bagian yang ditunjukkannya. "Itu kakekku, bapaknya ibuku." Aku berucap pelan.

    "Oh.." Chris kembali tampak mengangguk-angguk.

    "Tapi, Kakek sudah tidak bersama kami lagi saat ini." Aku berkata lirih.

    Chris segera menatapku saat mendengar nada suaraku yang lirih. Dia seolah mengerti betul ada kesedihan yang tiba-tiba menyeruak dalam hatiku.

    "Hei," Chris terdengar lembut. "Kakek tetap ada di sini kan?" Dia menunjuk tepat ke dadaku.

    Rasanya ucapan Chris cukup menghiburku. Aku mengangguk pelan dan tersenyum mengiyakan pendapatnya, lalu kembali menatap wajah Kakek di foto itu.

    "Kakek sangat menyayangiku." Mataku menerawang kembali ke masa lalu. Saat Kakek masih bersama kami. "Bisa dibilang, aku ini cucu kesayangannya."

    Chris menepuk-nepuk bahuku, dan menarikku ke dekapannya. "Aku tahu. Tapi sudahlah. Jangan terlalu bersedih. Apalagi kita tahu kalau Kakek sudah berada di tempat yang lebih baik di sana."

    Aku segera bergerak melepaskan diri dari dekapannya, menarik nafas panjang, berharap sebuah kelegaan dalam dadaku yang saat ini terasa begitu sesak.

    "Dan siapakah anak yang tampan ini?" Chris menunjuk ke arah fotoku dengan mimik menggoda. "Anak ini kenapa terlihat begitu manis ya?"

    Aku tersenyum malu melihat mimik Chris saat menggodaku. "Mungkin dia terbuat dari gula." Aku menimpali seasalnya, sambil melangkah meninggalkan ruang tengah menuju bagian belakang rumah. Masih bisa kudengar Chris tertawa kecil merespon komentarku itu.

    Di dapur pun tampak tidak ada siapapun. "Ibu kemana ya?" Tanyaku dalam hati. Adikku pasti dia belum pulang dari sekolah, sementara Bapak pasti sedang terbaring di kamar. "Apa Ibu sedang bersama Bapak di kamar ya?"

    Aku memutuskan untuk masuk ke kamar mandi terlebih dahulu, karena dari tadi memang sudah menahan-nahan untuk buang air kecil.
    Kupikir tidak mengapa meninggalkan Chris sebentar di ruang tengah.

    ***

    Saat kembali ke ruang tengah, kulihat Ibu dan Chris duduk bersebelahan di atas sofa, tampak sedang asik mengobrol. Yang mengejutkan adalah mereka tidak terlihat canggung, seolah-olah ini bukan pertama kalinya mereka bertemu.

    "Ibu." Aku segera mendekati Ibu, meraih tangan kanannya dan menciumnya. Ibu menarikku dan memelukku erat. Rasa nyaman menyelimutiku. Kubiarkan hatiku melepaskan rasa kangen yang kupendam beberapa waktu ini.

    Saat pelukan itu terlepas, Ibu tersenyum sambil terus memegangiku dan memandangiku. "Kamu tampak kurus sekali, ya? Apa kamu baik-baik saja di sana?"

    "Dia ini makannya susah, Bu." Tiba-tiba Chris berkomentar.

    "Eh, sejak kapan dia memanggil ibuku dengan panggilan Ibu juga?" Aku keheranan dalam hati.

    "Iya benar, dari dulu memang agak susah sih dia ini kalau urusan makan." Ibu tersenyum memandang Chris sambil menepuk-nepuk tanganku.

    "Kenapa tidak mengabari Ibu dulu kalau mau pulang. Kan Ibu bisa siapkan makanan lebih banyak." Ibu memandangiku dengan lembut. "Akhir-akhir ini kan kamu jarang sekali pulang. Jadi Ibu tidak menyiapkan apa-apa kalau kamu tidak memberi kabar."

    "Tidak masalah, Bu. Ini memang mendadak saja pulangnya." Aku terdiam sesaat. Kira-kira apa ya yang bisa kukatakan pada Ibu tentang Chris. "Oh iya, Bu. Ini Chris. Teman sekantorku." Akhirnya kuperkenalkan Chris pada Ibu.

    "Iya, Ibu sudah kenalan tadi." Ibu tersenyum ke arah Chris. "Tadinya kaget juga waktu melihat di ruang tengah ada orang tak dikenal." Ibu tampak tertawa kecil. "Ibu pikir ini orang mau apa gitu?"

    Chris terlihat tersenyum malu dengan ucapan Ibu.

    "Tapi anak ini dengan sopannya langsung memperkenalkan diri sebagai teman kantormu." Ibu kembali tersenyum ke arah Chris yang duduk di persis di sebelah kanannya.

    Aku mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Ibu. Dalam hati aku bersyukur, Chris tidak canggung dengan Ibu. Rasanya menyenangkan sekali melihatnya duduk bersebelahan dengan Ibu di sofa ruang tengah, sambil mereka bercakap-cakap tadi.

    Pemandangan ini pasti berbanding terbalik dengan kondisiku saat bersama ibu Chris kemarin. "Kamu hebat, Chris." Dalam hati aku memuji. "Kamu sudah melakukannya dengan sangat baik."

    "Saya juga sudah jelaskan ke Ibu, kalau saya kebetulan bertemu kamu di stasiun, jadi ya ke sini sekedar mampir saja sebentar." Chris memberikan isyarat dengan pandangannya kepadaku, mengingatkanku bahwa dia tidak akan lama.

    "Kenapa tidak menginap saja barang semalam, Chris." Ibu bertanya.

    "Maafkan saya, Bu." Dengan cara bicaranya, senyumannya, dan gerak gerik tubuhnya, Chris memang terlihat sangat sopan dan menarik untuk siapapun. Tidak heran dia bisa langsung dekat dengan Ibu. "Tapi, saya memang ada urusan dan harus pulang nanti sore."

    "Tadi aku juga sudah tawari dia untuk menginap, Bu. Tapi ternyata dia sudah terlanjur beli tiket pulang untuk nanti sore. Ya kan, Chris?" Aku mencoba membantu.

    "Iya." Chris mengangguk sambil tersenyum.

    "Ngomong-ngomong, Ibu tadi dari mana sih?" Sambil duduk di samping kiri Ibu aku bertanya hal lain, mengalihkan topik pembicaraa. "Aku cari sampai ke dapur lho, Bu."

    "Tadi itu Ibu sedang di kamar." Ibuku menepuk-nepuk lututku dengan tangan kirinya. "Ibu tadi dengar, seperti ada suara orang sedang mengobrol di ruang tengah. Terus pas Ibu keluar untuk memeriksa, ternyata ada Chris yang waktu itu Ibu belum kenal." Ibu berpaling ke arah Chris. Chris tampak tersenyum merespon.

    Kamipun sejenak terlibat perbincangan ringan. Aku agak sedikit sulit mengontrol arah pembicaraan ini. Meskipun aku tetap berhasil membuat suasana menjadi cair. Chris sangat membantu, sejujurnya, dia sangat bisa memposisikan dirinya pada momen ini. Dan aku sangat lega dia melakukannya dengan baik.

    "Kamu temui Bapak dulu ya," Ibu akhirnya memintaku menemui Bapak, dengan memberiku isyarat ke arah kamarnya. "Chris mau ikut? Biar dikenalkan ke Bapak." Ibu bertanya kepada Chris.

    Tentu saja Chris tidak pada posisi di mana dia bisa menolak. Aku melihat dia mengangguk hormat.

    "Sementara itu, Ibu akan hangatkan makanan untuk kalian. Sebentar lagi kan waktunya makan siang."

    "Baiklah, Bu." Aku segera beranjak menuju kamar Bapak. Sekilas kuarahkan pandanganku kepada Chris, memberinya isyarat agar mengikutiku. Saat berpaling dan berjalan, masih bisa kudengar Chris permisi pada Ibu dengan gayanya yang khas, lalu bisa kurasakan dia sudah di belakangku sesaat kemudian.

    ***

    =(24)=


    - Jika sulit bagimu untuk memahami dengan hati yang yakin, cobalah untuk melihatnya dari sisi yang lain. -


    Bapak tampak terbaring lemah di tempat tidurnya. Ini terjadi sejak hampir dua tahun yang lalu. Stroke yang menyerangnya saat itu telah merenggut separuh tubuhnya yang kini menjadi lumpuh dan juga penglihatannya yang menjadi sangat tidak jelas.

    Kejadian itu merupakan puncak cobaan dan kesedihan bagi keluarga kami, setelah enam bulan sebelumnya kami juga kehilangan Kakek. Kakek terjatuh di kamar mandi, yang mengakibatkannya harus berjuang melawan sakit selama tiga bulan lebih di rumah sakit, sebelum akhirnya berpulang ke sisi-Nya.

    Chris meremas halus bahuku dari belakang. Saat aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum sambil mengangguk, memberi isyarat agar aku yang saat ini hanya berdiri terpaku segera menghampiri Bapak.

    Aku mengambil posisi duduk persis di dekat tangan Bapak. Langsung saja aku meraih tangannya dan kucium. Bapak segera merespon dan tampak mencoba mengenaliku.

    "Kamukah itu, nak?" Suara bapakku terdengar sangat terbata-bata dan hampir sulit bagiku untuk mendengarnya. Stroke itu juga yang membuat Bapak sulit untuk dapat berbicara sesuai yang dia inginkan. Dia mengangkat tangannya mencari sesuatu yang bisa dia sentuh. Akupun segera mendekatkan wajahku ke arahnya, agar dia bisa mengenaliku dengan menyentuhnya.

    "Iya, Pak. Ini aku." Pada momen ini, sekuat apa hatiku, mataku tetap terasa panas dan mulai berair. Momen seperti ini memang bukan hal baru bagiku, tapi setiap kali melihat kondisi Bapak yang seperti ini, selalu saja membawa kesedihan yang mendalam di hatiku.

    Bagaimana tidak? Dulu, lelaki ini adalah seorang yang sangat gagah, lelaki ini adalah tulang punggung keluarga kami, teladan bagi kami, kebanggaan kami. Stroke yang menyerangnya memang telah merenggut banyak hal dari tubuhnya, hampir semuanya, membuatnya tidak mampu berbuat banyak seperti dulu. Tetapi bagiku, Bapak tetaplah seorang teladan yang akan selalu aku banggakan.

    Dalam kondisi ini, aku berjuang sekuatku menolak semua memori sedih yang bermunculan di kepalaku. Aku ulang-ulang semua ucapan positif dalam hatiku, "Semua yang sudah terjadi memang sudah seharusnya terjadi, dan itupun sudah lama berlalu. Saat ini dan seterusnya, semua akan menjadi baik-baik saja."

    "Kamu sehat?" Bapak kembali bertanya dengan masih memegangi tanganku.

    "Sehat, Pak." Aku menjawab dengan suara yang terasa bergetar. Saat ini mataku pasti sudah berair. Suasana mendadak menjadi hening. Aku terdiam dan tidak tahu harus bicara apa lagi.

    Sejujurnya, dari dulu kami memang jarang berkomunikasi. Entah karena aku terlalu segan kepadanya, atau mungkin juga aku merasa takut kepadanya. Bapak memang sangat keras, emosional dan tidak bisa dibantah oleh siapapun dalam keluarga kami. Hal itu membuatku tidak pernah bisa banyak berbicara dengannya. Kebanyakan aku hanya bisa mendengar, dan terpaksa melakukan apapun yang dia inginkan. Tapi aku tahu, Bapak juga merasa sulit berkomunikasi dengan kami akibat sifatnya yang emosional itu.

    Chris memegang pundakku dari belakang, menyadarkanku bahwa kami tidak hanya berdua di sini.

    "Oh iya, Pak. Ini aku ada teman kantor ikut mampir main ke sini." Aku membuka perkenalan sambil mengusap kedua sudut mataku dengan tangan kiri, sementara tangan kananku masih dalam genggaman Bapak.

    Aku kemudian menggapai tangan Chris dan menempatkannya ke tangan Bapak.

    "Salam kenal, Pak. Saya Chris." Chris memperkenalkan dirinya secara lembut dengan suaranya yang khas.

    "Oh. Iya nak, salam kenal." Bapak merambatkan rabaannya sepanjang tangan Chris sampai ke bahu. Lalu tangannya kembali mencari-cara tanganku.

    Aku memberi isyarat agar Chris duduk di kursi dekat meja di sudut ruangan. Chris mengangguk dan segera duduk di sana.

    "Bapak pikir," Bapakku terengah saat berusaha mengeluarkan kata-kata. "Mau dikenalkan pacarmu."

    Kalimat bapak yang terbata-bata dan pendek ini terasa sangat menyesakkan dada. Aku terdiam dan sesaat saling berpandangan dengan Chris.

    Chris tersenyum padaku. "Its OK." Dia menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara, sambil mengangguk halus.

    Aku menarik nafas panjang, dan mencoba tersenyum. "Nanti kalau sudah ada, pasti aku kenalkan ke Bapak ya." Aku menjawab dengan lembut.

    "Tuhan, apa yang bisa kukatakan pada Bapak selain ini? Hampir di setiap pertemuan saat aku pulang ke rumah, Bapak selalu bertanya hal yang sama." Hatiku kembali merasa bingung dan gundah.

    "Segeralah." Bapak kembali bernafas berat. "Mumpung Bapak masih hidup." Suara Bapak semakin terdengar berat dan tidak jelas.

    Mataku kembali terasa panas dengan permintaan Bapak. Kupandangi Chris dan Bapak secara bergantian. Chris tampak terdiam di sana, dan memandangi Bapak dengan ekspresi haru. Aku tidak tahu apa yang sekarang ada di pikirannya.

    "Apa kau baik-baik saja, Chris?" Tanyaku dalam hati. "Seharusnya kamu tidak perlu di sini. Tidak perlu melihat semua ini." Aku benar-benar merasa saat ini Chris sedang berada di tempat yang salah dan di waktu yang salah.

    Dan aku berada di posisi antara Bapak dan Chris. Dua-duanya adalah orang yang sangat aku sayangi. Tetapi pantaskah aku membandingkan keduanya? Adakah hati yang merasa pantas, membandingkan seorang Bapak, yang telah memberiku segalanya, dengan seorang yang baru saja aku kenal, meskipun orang ini juga selalu berusaha memberiku apa yang dia bisa berikan?

    Aku menarik nafas dalam. "Tidak untuk dibandingkan. Sesuatu yang tidak bisa dibandingkan, artinya memang tidak untuk dibandingkan." Aku berusaha menata ulang pandangan hatiku yang terlanjur merasa dalam posisi yang sempit.

    "Tuh, Pak. Dari kemarin nanyain terus kan?" Tiba-tiba Ibu masuk ke kamar. Membuyarkan keheningan yang baru saja terjadi.

    "Ibu?" Aku merasa sangat senang dengan kedatangannya. Chris juga sekilas tampak membungkuk hormat pada Ibu sambil menyungging senyuman khasnya. Ibu kemudian duduk tepat di samping kepala Bapak.

    "Dari beberapa hari lalu," Ibu membuka pembicaraan. "Bapakmu ini selalu saja menanyakanmu." Ibu mengusap-usap halus tangan Bapak.

    "Ga pulang-pulang." Bapakku mengomentari Ibu dengan suara yang terbata-bata.

    Ibu tersenyum ke arahku mendengarnya. "Katanya kamu ga pulang-pulang."

    Aku tidak membela diri, akhir-akhir ini aku memang sibuk dengan urusanku sendiri. "Maafkan aku, Pak, Bu." Aku berkata setengah pelan. "Akhir-akhir ini aku agak sibuk."

    Kalau dipikir, sudah hampir empat bulan aku tidak pulang. Padahal biasanya aku bisa pulang hampir setiap dua minggu sekali. Harus kuakui, Chris menjadi salah satu penyebabnya. Kutatap Chris sejenak, tampak dia sedang mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

    "Anaknya lagi sibuk, Pak." Ibu berkata lembut kepada Bapak di dekat kepalanya. "Mungkin sekarang sudah punya jabatan ya?"

    "Bukan begitu juga sih, Bu." Aku tersenyum miris dan menggaruk-garuk kepalaku. Sesekali kupandangi Chris yang diam terpaku memandangi kami. Aku tahu, kali ini Chris merasa tidak tahu harus berbicara apa.

    "Jangan sibuk terus." Kalimat Bapak kali ini diikuti dengan suara batuk-batuk. "Cepat nikah." Berat sekali tampaknya bagi Bapak untuk mengucapkan kalimat-kalimat pendek itu.

    Ibu kembali tertawa kecil menanggapi perkataan Bapak. Ibu lalu tersenyum memandangiku penuh makna. Sesekali Ibu juga melihat ke arah Chris dan mengajaknya tersenyum.

    "Doakan saja ya, Pak." Hanya itu saja yang bisa terucap dari mulutku. Lagi-lagi kulihat Chris yang masih terdiam terpaku di sana. "Maafkan aku Chris."

    "Pastilah. Bapak dan Ibu selalu mendoakan." Ibu mengomentariku. Disambut oleh Bapak dengan terbata-bata. "Doa terus."

    "Oh iya, kalian makanlah dulu." Akhirnya, yang aku tunggu-tunggu terjadi juga. Sejujurnya aku sudah terlalu bingung berada pada kondisi seperti ini.

    "Baiklah, Bu." Aku mengangguk ke arah Ibu. "Makan dulu ya, Pak." Aku berpamitan dan segera memberi isyarat pada Chris untuk segera keluar dari kamar.

    "Permisi dulu, Bu, Pak." Chris terdengar tetap tidak kehilangan keramahannya.

    Ibu tampak tersenyum kepada Chris. "Ya, silakan."

    ***

    Aku memandangi Chris yang tetap tampak lahap menikmati makanannya di hadapanku. "Anak ini.. Kalau urusan makan selalu saja bisa lahap. Sebenarnya, apakah dia baik-baik saja?" Aku bertanya-tanya dalam hati.

    "Hei," Chris mengagetkanku. "Dari tadi kamu bukannya makan, malah melihatku terus. Kenapa? Apa aku sebegitu menariknya?" Chris kembali tersenyum sambil menggodaku.

    Aku menarik nafas panjang. "Maafkan aku, Chris." Aku kembali meneruskan makanku.

    "Untuk?" Chris berhenti sejenak dan menatapku, sebelum akhirnya kembali mengunyah makanannya.

    "Yang barusan di kamar." Jawabku singkat, lalu menunduk dan mengambil satu suapan.

    "Kenapa minta maaf?" Chris bertanya dengan nada serius. "Tidak ada yang salah menurutku."

    Aku menatapnya sejenak. Dari luar saat ini tidak ada yang salah dengannya. Dia seperti baik-baik saja.

    "Sudah kubilang, kan? Seharusnya kamu tidak perlu ikut ke sini." Aku berkata pelan.

    "Setiap orang tua, pasti mengatakan hal semacam itu, kan?" Chris bertanya balik.

    Kami kemudian terdiam untuk beberapa saat, dan meneruskan makan tanpa mengobrol seperti biasanya. Semua itu membuatku menjadi tahu, bahwa Chris sedang berusaha keras menutupi apa yang dia rasakan saat ini.

    "Tuhan, apa yang harus kulakukan? Tak kusangka ternyata aku juga telah membawa Chris ke posisi yang pasti tidak nyaman buatnya. Faktanya, akupun tidak bisa melindunginya dari semua itu. Meski tentu saja aku tidak bermaksud seperti itu." Aku membatin dan kembali memandanginya. "Maafkan aku, Chris."

    Tiba-tiba aku merasa mulai bisa memahami kejadian yang menimpaku kemarin malam. Semua yang terjadi saat itu memang terjadi begitu saja, tanpa pernah bisa diperkirakan oleh Chris akan terjadi dengan cara seperti itu. Mungkin ada benarnya juga, bahwa setiap orang tua akan bersikap seperti ibu Chris, seperti semua orang tua juga akan meminta seperti yang Bapak minta. Dan seperti Chris yang tidak bisa melindungiku karena dia tidak ada di tempat itu saat itu, aku bahkan lebih parah lagi karena tidak bisa berbuat apa-apa untuknya, padahal aku berada di tempat yang sama saat itu.
  • huaaaa bagus bangeet, masalahnya jadi kompleks
Sign In or Register to comment.