It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
the story turn to be tangled with such a complex ways, I like it! (y) I wish its goin' to be happy in the end :') dun make me drown in tears ya..
KEEP IT UP!! I'll always wait to be summoned by you again
keren bgt pas part yang bapak itu bang @aryoajji
ditunggu update selanjutnya ya bang
buat TS a.k.a @AryoAjji moga cepet di lanjut.( menunggu dgn antusias )
Thank you guys.
- Jika jalan hidup memang tak akan selamanya mulus, kenapa hidup harus menjadi terlalu serius? -
"Kakak!" Adikku setengah berteriak saat melihatku. Aku terkejut, namun segera tersenyum menyambutnya. Dia langsung menghampiriku, meraih tanganku dan menciumnya. Sesaat kemudian dia baru menyadari bahwa ada orang lain duduk di depanku.
"Siapa, Kak?" Adikku setengah berbisik sambil memberi isyarat ke arah Chris dengan malu-malu. Chris tampak tersenyum melihat ke arahnya.
"Temanku." Jawabku sambil tersenyum. "Chris, ini adikku. Adikku satu-satunya." Aku memperkenalkan keduanya.
Adikku tampak seperti malu-malu tapi mau. Aku bisa melihat dia cukup terpersona dengan penampilan Chris yang memang terlihat sangat menawan hari ini.
"Jangan melotot gitu dong." Aku menggerakkan tanganku di depan mata adikku. Chris tampak tertawa kecil.
"Kak, temennya ganteng banget sih? Kayak artis Korea." Adikku setengah berbisik kepadaku.
Aku lagi-lagi tertawa mendengar celoteh adikku.
"Chris, sepertinya kamu bakal punya fans baru nih. Adikku bilang, kamu kayak artis Korea."
"Masa sih, De?" Chris tersenyum ke arah adikku.
"Beneran kok, Oppa." Malu-malu adikku memanggil Chris dengan sebutan Oppa.
"Opa?" Aku terbengong sejenak.
"Bukan Opa, Kak. Tapi Oppa.. Oppa!" Adikku menyenggol tanganku dengan sikunya.
"Owalah." Aku mengulurkan tanganku mengacak-acak rambutnya yang dikuncir. "Ini nih efeknya kalau kebanyakan nonton. Seenaknya aja manggil Oppa." Adikku segera bergerak menghindari tanganku.
"Biarkan saja," Chris masih terus tersenyum. "Bagus juga kok panggilan Oppa."
"Bukan bagus atau tidaknya. Tapi, harusnya kamu itu dipanggil Koko, bukan Oppa." Aku berkomentar dan tertawa lagi.
"Aku lebih suka panggil Oppa." Adikku memandangi Chris dengan pandangan kagum atau mungkin juga pandangan suka. Dan dia seolah tidak ingin melepaskan pandangannya dari Chris.
"Kamu ini jam segini kok baru pulang sih?" Ibu tiba-tiba muncul dan langsung menanyai adikku. "Dari mana aja?"
"Eh, Ibu." Adikku bangkit begitu mengetahui kehadiran Ibu, dia meraih tangan Ibu dan menciumnya. Itu adalah adat yang selalu diajarkan kedua orang tua kami, saat kami hendak pergi dari rumah atau saat kami baru pulang ke rumah. "Biasalah, Bu. Kan ada pelajaran tambahan di sekolah."
"O, ya bagus kalau memang belajar." Ibuku kemudian duduk di kursi tepat di sebelah tempat duduk Chris. "Asal jangan keluyuran yang ga jelas aja. Sebentar lagi kan kamu mau ujian nasional."
"Siap, bos." Adikku mengangkat tangannya untuk menirukan gerakan hormat pada Ibu. Kami kemudian tertawa berbarengan. Suasana seperti ini terasa lebih nyaman daripada suasana di dalam kamar tadi.
"O, iya Chris," tiba-tiba Ibu berbicara pada Chris. "Kamu sudah punya pacar, kan?" Duh! Kenapa Ibu tiba-tiba bertanya begitu. Aku hampir saja mengeluarkan kembali makanan yang baru saja kutelan saat aku mendengarnya. Ini benar-benar terasa sangat frontal, terlalu langsung, tanpa pembukaan apapun.
Chris tampak memandangku, dan kamipun saling berpandangan sejenak.
"Cowok seperti dia ini banyak fansnya, Bu. Jadi, ya pastilah dia sudah punya pacar." Aku mencoba membantu Chris menjawab pertanyaan Ibu. Mungkin ini sebuah kebohongan. Tapi aku harus bagaimana lagi? Pembahasan topik semacam ini harus segera diakhiri.
"Oh," adikku tampak kecewa. "Sudah punya pacar." Adikku berbisik dengan nada kecewa. Aku tersenyum meledek ke arahnya. Sementara Chris tampak tersipu malu.
"Tenang, De. Selama janur kuning belum melengkung kan?" Aku tertawa kecil menggoda adikku, dalam hati berharap topik ini akan segera berganti.
"Kalau gitu, bisa carikan satu untuk temanmu ini, kan?" Aku benar-benar tidak menduga, bahwa Ibu akan meminta hal semacam ini kepada Chris, langsung di depanku. Benar-benar malu rasanya. Chris terdiam dengan permintaan Ibu.
"Hmm," Chris menoleh ke arahku, seolah dia berpikir keras untuk bisa menjawab pertanyaan itu. "Bukannya kamu sudah punya?" Chris memberi isyarat dengan senyumannya kepadaku.
"Oh.. Pantes Kakak jarang pulang akhir-akhir ini." Adikku tiba-tiba menyeletuk.
"Jadi kamu sudah punya pacar?" Ibu ikut menatap kearahku sambil tersenyum sumringah. Aku merasa gugup dengan tatapan Ibu kali ini, dan mengalihkan pandanganku pada Chris yang kali ini tampak hanya terdiam.
"Hm.." Aku mencoba berpikir sejenak. "Bukan pacar sih. Masih tahap pendekatan." Lagi-lagi aku memandangi Chris yang kali ini tampak sedang memandangiku dengan senyuman yang terasa dipaksakan.
"Tembaklah, Kak." Adikku menyeletuk lagi sambil membentuk pistol dengan tangan kanannya.
"Ya malah mati dong?" Aku menjawab sekenanya, berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku di hati. "Seandainya Chris tidak di sini, pasti situasinya akan lebih mudah bagiku." Aku mengeluh dalam hati.
"Ya, sudah. Begitu juga sudah bagus." Ibuku tampak senang dengan kebohongan yang baru saja aku ucapkan. "Jangan lama-lama, cepatlah menikah. Sesuai keinginan bapakmu."
"Maafkan aku, Bu. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk berbohong." Aku tidak berani menatap wajah Ibu. Ada ketakutan di hati, kalau-kalau Ibu bisa membaca kebohonganku.
Lagi-lagi kemudian kupandangi sejenak wajah Chris. Dia memang tampak selalu tersenyum, mendengar semua yang Ibu katakan. Tapi entah mengapa, aku merasa cukup resah dengan apa yang sedang dia rasakan di hatinya saat ini. Aku hanya bisa berharap bahwa semua yang sedang terjadi ini tidak membuat hatinya merasa tidak nyaman.
"Punya rumah aja belum, Bu." Aku mencoba memberi alasan. Harusnya aku diam saja.
"Lho, rumah itu bisa dibeli nanti setelah kamu menikah." Ibu menjawab alasanku. Seperti yang baru saja kusesali, harusnya aku diam saja. "Kalau nunggu beli rumah dulu, malah kamu nanti kelamaan." Ibu menambahkan. "Bukan begitu, Chris?"
Tiba-tiba Ibu seolah meminta dukungan dari Chris.
"Setuju, Bu" Chris mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Tuh, kan. Chris aja sepakat kok dengan Ibu."
"Ah, Chris. Apa coba main setuju-setuju saja. Ini benar-benar situasi yang aneh dan sangat tidak nyaman." Aku mengeluh dalam hati.
Aku kembali menatap Chris dengan hati yang cemas. "Semoga kamu memang baik-baik saja, Chris."
"Iya seru juga kan kalau Kakak sudah nikah, aku jadi punya kakak cewek." Adikku ikut-ikutan. "Tapi yang penting kalau sudah nikah, Kakak jangan sampai lupa sama Ibu." Adikku mengingatkanku.
"Berarti, kalau lupa sama kamu tidak apa-apa ya?" Aku melontarkan kalimat itu begitu saja untuk menggodanya.
"Ya bukan gitu juga sih, Kak." Adikku memasang tampang cemberut.
"Duh, gitu aja cemberut." Aku mencubit pelan pipi adikku. Diapun segera menepis tanganku dan mengusap-usap pipinya. Aku dan Chris tertawa kecil melihat respon adikku ini.
"Ibu yakin kok, kakakmu tidak akan lupa. Lagian hanya orang jahat yang memisahkan seorang anak dengan ibunya. Dan kakakmu pasti akan mendapatkan jodoh yang baik." Ibu tiba-tiba terdengar sedang membelaku.
Tapi tunggu, aku merasa ada yang lain ya dengan apa yang baru saja ibuku katakan. Terasa masuk begitu dalam di hatiku. Langsung mengingatkanku dengan semua ucapan ibu Chris kemarin. Sungguh mengherankan, karena Ibu sekarang mengucapkan hal yang senada, tepat di depanku dan di sebelah Chris.
Lagi-lagi Chris tampak tersenyum dan mengangguk-angguk mendengar semua kalimat ibuku. Aku merasa seharusnya aku bisa sedikit lega, karena setidaknya Chris masih bisa tersenyum. Namun ternyata itu tidak terjadi di hatiku.
Obrolanpun terus berlangsung dalam suasana yang sama sekali tidak nyaman untukku. Demikian juga mungkin semua ini tidak akan nyaman untuk Chris.
***
Aku merebahkan tubuhku yang terasa mulai lelah ke tempat tidur. Rasanya selalu saja begitu nyaman berada di kamar ini. Kamar yang aku tinggali sejak aku masih kecil. Bahkan aku lupa sejak kapan aku menempati kamar ini. Kamar yang sampai sekarang rasanya tidak banyak berubah.
Agak sayup kudengar suara pintu diketuk perlahan dari luar.
"Masuk." Aku setengah berteriak, sambil tetap tak bergerak di tempat tidurku.
Sesaat kemudian pintu kamar tampak terbuka, Chris muncul di sana dengan senyuman khasnya. Kemudian dia masuk dan menutup pintu dari dalam. Sejenak dia tampak memandangi sekelilingnya dengan seksama.
Tidak lama kemudian Chris duduk di sampingku. Terdiam, dia memandangiku.
"Apa?" Aku menatapnya.
"Jadi," Chris setengah berbisik, "apa sudah siap menikah?" dia mendekatkan wajahnya ke wajahku sambil tersenyum meledekku.
Aku mendengus dan memalingkan wajahku dari pandangannya.
"Hei," Chris menyentuh bahuku, "jangan ngambek gitu dong."
Aku kembali menatapnya. "Aku tidak siap, Chris." Aku membuat pengakuan.
"Oh," Chris mengangguk-angguk, sejenak dia menarik wajahnya menjauh. "Aku bisa lho, menunggu sampai kamu siap?" Dia berbisik sambil kembali mendekatkan wajahnya.
"Apaan sih?" Aku mendorong pipinya agar menjauh, dia meresponnya dengan tertawa kecil sambil menghindari dorongan tanganku.
Kami kemudian kembali saling terdiam beberapa saat.
"Apa yang membuatmu merasa tidak siap?" Chris bertanya begitu pelan, kali ini tanpa memandangku sama sekali.
Aku menarik nafas panjang sebelum menjawab. "Bukankah pernikahan itu sebuah perjanjian, untuk menjalani hidup bersama-sama sampai akhir?"
Chris diam tidak menjawab.
"Bisakah kamu menjalani hidupmu bersama dengan seseorang yang bahkan kamu tidak pernah merasa tertarik padanya?" Aku meneruskan pertanyaanku.
"Siapa?" Chris bertanya sambil menatapku.
"Siapa apanya?" Aku balik bertanya.
"Siapa, orang yang kamu merasa tidak tertarik padanya itu?" Chris memperjelas pertanyaannya.
Aku menggeleng pelan. "Lagi pula, saat sebelum memutuskan untuk menikah bukankah kedua pihak harus saling terbuka? Haruskah aku berkata, 'Maaf, ya, aku terpaksa menikah denganmu, sebenarnya aku tidak tertarik denganmu, tapi bagaimanapun kita tetap harus menikah. Kenapa? Karena aku tidak bisa menikah dengan orang yang aku sukai.'"
Chris lagi-lagi terdiam tidak menjawab.
"Adilkah itu bagi seorang wanita, untuk mengikatnya dengan sebuah ikatan pernikahan, padahal aku sudah membohonginya dari awal?" Pertanyaan ini selalu muncul dalam benakku.
Chris menatapku dan tersenyum. "Entahlah, aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu. Tapi aku mengerti satu hal. Menurutku seharusnya.." Chris kembali mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berkata setengah berbisik, "saling terbuka itu dilakukan kalau kita sudah menikah?"
"Hah?" Aku tidak mengerti.
"Iya.. Seperti kamu bilang, saling terbuka.. Saling terbuka dalam arti yang sebenarnya." Chris mengedipkan matanya dan tersenyum mesum.
Aku segera mengerti yang dimaksud Chris, secara spontan kuambil guling dan memukulkannya ke kepala Chris. Dia tak kalah cepat menangkis dan merebut guling itu sambil tertawa untuk kemudian memukulkannya balik kepadaku.
Sesaat kemudian kami pun terlibat saling menyerang dengan bantal dan guling. Kami sangat menikmati momen yang membuat kami dapat tertawa lepas ini. Rasanya sangat melegakan dan menyenangkan untuk melepaskan semua ketegangan dari momen-momen yang kualami sebelumnya dari kemarin. Dan harus kuakui, lagi-lagi Chris berhasil dengan sangat baik membawaku melupakan semua itu. Setidaknya untuk saat ini.
hmmh, lanjut...
semangat author!!! @AryoAjji