It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Super bosan…
Kupandangi layar ponsel berharap mendapat satu saja sambungan panggilan. Entah dari Kevin, Kak Leo or anyone. Siapapun!
Waktu menunjukan pukul empat sore, lewat sedikit saat akhirnya ku putuskan beranjak dari ruangan ini. Sakit di dadaku masih terasa, tapi sudah jauh berkurang dari dua hari lalu. Tapi bosan yang merejamku sudah tak tertahan lagi, aku harus melihat sesuatu selain ruangan ukuran empat kali empat meter ini di sisa hari ini.
Dengan usaha susah payah akhirnya aku berhasil berdiri tegap di samping ranjang. Dengan hati-hati aku melangkah keluar, menjinjing kateter dengan infus tergantung di sana. Transfusi darah sudah di cabut kemarin sore, I’m already better now.
Ini pertama kalinya aku keluar kamar semenjak dua hari lalu. Baru sadar kalau kamarku ini tak berada di lantai dasar, entah berapa tingkat di atasnya. Rumah sakit ini yang terbesar di kotaku, sepertinya aku di lantai teratas. Aku ingat rumah sakit ini, berarti ini lantai lima. Akhirnya aku menikmati juga rumah sakit mewah ini. Haha, tapi harus dengan tragis seperti ini. Naas memang. Satu ide terbersit di benakku, ide gila yang selalu menjadi pelampiasanku jika sedang stres atau bosan. Situasinya sedang pas sekarang.
Aku mau menikmati senja di rooftop rumah sakit ini.
*
Aku menggunakan tangga, karena memang ini lantai terakhir rumah sakit ini. Aku sadar, kondisiku yang belum pulih benar membuat menaiki tak lebih dari limabelas anak tangga saja sudah membuatku ngos-ngosan.
Tapi yang di sajikan rooftop rumah sakit ini sebanding dengan lelah yang kurasa. Pantulan sinar surya senja begitu indah dari puncak sini. Dari sini juga terlihat cukup jelas hiruk-pikuk sebagian daerah kota kami di sore hari. Bagiku ini sangat indah.
Ku keluarkan ponsel flip ku mengambil beberapa foto diriku di terpa angin dan pantulan sinar senja dari atas gedung ini. Puas memotret aku melangkah sedikit ke tepi lalu memandang ke bawah, lalu kemudian sedikit merinding mendapati betapa tingginya gedung ini. Padahal hanya enam lantai saja.
“Brug!” aku tersentak mendengar suara seperti sesuatu terjatuh di dekatku.
Semakin kaget mendapati kalau aku tak sendiri di atas sini.
Yang terjatuh tadi bukan lah sesuatu, tepatnya seseorang. Seorang pemuda dengan baju pasien sama sepertiku. Hanya saja tidak menjinjing tiang infus kemari. Aku berinisiatif membantunya.
“He…hey, kamu baik-baik aja?”
Ia bereaksi begitu terkejut mendengar suara lain menyambutnya kala terjatuh. Ia sepertinya juga tak menyadari keberadaanku di sini.
“Mari ku ban…”
“Kalungku… kalung… kalungku!” Ia tiba-tiba mulai histeris sambil mencari-cari sesuatu dari dadanya.
Langkahku yang ingin membantunya pun langsung terhenti melihat yang ia lakukan ketika sadar kalungnya menghilang. Tubuhnya tersungkur ke lantai lalu serampangan tangannya bergerak kesana kemari menyapu lantai beton yang kotor itu. Pandangannya tak tertuju dimana tangannya berada. Tapi seru gelisahnya perlahan menjadi makin keras hingga seperti raungan.
Ia ternyata buta. Tak mampu melihat apapun di sekitarnya.
Menyadari keadaanku, aku berinisiatif ikut mencari benda itu. Tak langsung merunduk karena sakit di dadaku masih cukup terasa hingga hari ini, hanya mataku yang bergerak mencarinya.
Dapat, aku menemukannya beberapa hasta dari titik pemuda ini berjongkok mencarinya serampangan.
“Ini, aku menemukannya.” Segera kuberikan padanya begitu berhasil kugapai.
“Kalungku…” ia mengambilnya dengan cepat lalu memeluknya. “Ayo… aku bantu berdiri… Tenang saja, aku tak akan menyakitimu. Aku juga pasien disini kok.” Anak itu awalnya masih berusaha menghindar saat aku membantunya bangkit, tapi perlahan kudapatkan juga kepercayaannya.
Aku mengambil sesuatu lagi dari lantai yang terjatuh darinya saat tengah sibuk mencari kalung tadi.
“Hmm, ini satu lagi yang jatuh. Mp3 playermu…”
“Te…terima kasih…” di ambilnya dengan enggan. Aku tersenyum melihat ekspresinya, bahkan untuk ukuran orang buta wajahnya begitu polos. Teduh tapi terlihat rapuh.
“Kamu sudah mau pergi? Tidak apa-apa sendiri? Apa perlu…”
“A…aku masih ingin disini, menikmati senja.”
“Wah, sama dong. Kamu, sudah sering kemari? Apa tidak takut?”
Kami melangkah bersama ke arah barat, tepat memandangi mentari yang sebentar lagi terbenam.
“Awalnya juga takut, tapi aku bosan… tiap sore terbangun dalam sepi tak ada yang menjenguk, kakakku masih harus kerja sampai jam setengah tujuh malam.” Jeda sejenak, lalu ia tersenyum sambil mengantongi kalung yang jatuh tadi. “Berbekal pengetahuan singkat tentang gedung ini semasa aku masih melihat dulu, aku naik kesini. Ternyata segar dan menenangkan sekali… hingga kini, sudah hampir tiga minggu semenjak aku dirawat disini tanpa sepengetahuan kakak aku menghabiskan senja disini.”
Tanpa sadar aku termenung memandangnya, anak ini berujar begitu pelan dengan nada rendah hingga kalimat panjang itu terasa begitu lama untuk selesai.
“Eh… anyway… namaku Kenny, kamu?” ia sedikit tersentak lagi mendapati tanganku menjabat tangannya untuk berkenalan.
“A.. Nathan, panggil saja Nathan.” Ujarnya masih dengan kaku.
“Good name, hopefully we can be friends dude.” Ujarku bersemangat, hanya dibalas senyuman olehnya.
Kami kemudian menikmati sunset bersama dengan mengobrol banyak hal. Aku menceritakan kronologis bagaimana akhirnya aku bisa di rawat disini, dan tanpa ku duga Nathan mau menceritakan pengalaman pahitnya yang menimpanya hingga membuatnya kehilangan penglihatan hingga sosok ayah yan begitu ia sayang. Aku jadi semakin iba dengan lelaki ini.
“Tapi aku tak mau berlarut-larut dalam sedih lagi. Hidup harus terus ku jalani bagaimana pun keadaanku sekarang.” Ujarnya beberapa detik setelah matahari sepenuhnya tenggelam di ufuk barat.
“Betul itu! Banyak hal yang bisa kita lakukan di dunia, dan keterbatasan apapun tak dapat menghalanginya! Hehe, aku jadi malu nih sama kamu. Aku yang baru mendapat musibah kecil begini saja sudah sering mengeluh.”
“Ya, memang semua ada hikmahnya. Aku jadi memahami betapa berartinya hidup ini saat semuanya tak dapat ku lihat dan ku nikmati dengan mata. Betapa berharganya hidup itu.”
“Waw, super words mas bro! haha…”
Baru sebentar kami kenal langsung saja akrab seperti ini. Ya, anak ini memang asik di ajak bertukar pikiran. Dan satu statement terakhirnya membuatku kian takjub.
“Lagipula, sekarang aku masih punya lelaki yang sangat ku cintai.” Ujarnya ringan tanpa beban. Aku tercengang.
“Lelaki? Maksudmu ayah?”
“No, hehe… Semoga kamu nggak kaget dan ngejauhin aku ya… Hmm, yang ku maksud ya… lelakiku, dia dulu mantan kekasihku yang kusia-siai. Kini dia kembali, dan memberi semangat untukku menjalani hari-hari kedepan.” Ia tersenyum memandangku.
Aku terdiam. Baru kali ini ada lelaki gay yang dengan mudahnya memberitahukan ‘keistimewaan’nya pada lelaki lain dengan santai. Baru kali ini.
“Ken? Hmmp, kamu jijik ya… sama aku?” Wajahnya berubah agak murung.
“Ah, no… Than, nggak kok… aku… aku Cuma takjub aja ada cowok gay yang dengan mudahnya come out about his self ke lelaki lain dengan mudah. Aku no problem kok, te..temanku banyak yang gay.”
Aku mengurungkan niatku untuk juga mengakui kalau aku memiliki kesamaan rasa dengannya. Menyukai sesama lelaki, ya walau satu-satunya dan lelaki pertama yang membuatku jatuh hati adalah Kevin. Rasanya sudah terlalu jauh untuk aku dan Nathan saling mengetahui sejauh itu. Mungkin akan, tapi belum sekarang.
*
Kami turun dari roof saat langit benar-benar sudah gelap. Aku mengantar Nathan kembali ke kamarnya yang ternyata berada di lantai yang sama dengan kamarku. Hanya saja dia di ujung lain koridor, dan aku di ujung satunya lagi. Koridornya cukup panjang.
Aku mengantar Nathan sampai ke kamarnya.
“Thanks ya Ken, semoga kita bisa jadi teman terus!” ujar Nathan penuh semangat.
“Iya Than, pasti. Aku permisi ya…”
“Iya…”
“Jonathan! Ya Tuhan kamu dari mana aja? Kakak cariin dari tadi nggak ada! Eh, Kenny kok?”
Tiba-tiba seorang wanita menghampiri kami saat aku siap bergegas pergi. Aku kenal suaranya. Kak Mulan. Ia yang panik makin kaget mendapati aku bersama Nathan.
“Ehm, Nathan Cuma jalan-jalan sebentar kak… nggak jauh kok…”
“Kalian, sudah saling kenal?”
“Kakak, kenal sama Kenny?”
Kami bertiga tercengang dengan kebetulan yang begitu apik tersusun ini, seperti skenario saja.
widihhh greget banget!! lanjut lagi mas bro!
KEVIN
Aku tak bisa konsen dengan mata kuliah struktur bangunan air yang dijelaskan bu cindy dari tadi. Berbuah beberapa menit lalu, aku harus menanggung malu mendapat kritikan pedas dari dosen menyebalkan itu karena tak bisa mengerjakan soal di depan. Buyar, angka dan rumus yang di pelajari sejak nyaris dua jam lalu tak ada yang tersinggah di mindaku.
Pikiran tertuju ke tempat lain. Sebuah rumah sakit dengan dua sosok yang begitu ku sayangi terbaring sakit di sana. Aku hampir gila saat mendapati Kenny mengerang kesakitan dengan sangat di tengah malam, dan benar-benar menjadi frustasi saat sadar, kak Leo membawanya di rawat di rumah sakit yang sama dengan tempat Jonathan berada.
Kenny dan Jonathan, dua lelaki yang tengah bertahta di hatiku sekarang. They trapped me equally. Tak ada yang saling mengalahkan, atau saling mendahului. Mereka silih berganti mengisi pikiranku sekarang.
*
Bermenit seusai kelas berakhir, aku ditemani Nino berteduh sebentar di taman kampus.
“Kamu serakah jika memposisikan mereka seperti itu.” Ujar Nino sembari menatapku tajam.
“Tapi, aku… nggak bisa memilih. Aku lebih memilih sebelah telingaku di potong daripada di suruh milih satu dari mereka. Sungguh, aku nggak bisa.”
“Dan kamu akan menyakiti mereka bersamaan kalau begitu. No doubt of it.”
Telak. Kalimat Nino itu menusukku hingga ke relung hati terdalam. Ia benar, aku akan menyakiti keduanya jika tak ku pilih salah satu dari mereka. Di satu sisi aku mulai mencintai dan begitu membutuhkan sosok lembut Kenny dengan segala perlakuannya, membuatku merasa menjadi begitu berharga. Di sisi lain, Jonathan kembali datang dan entah bagaimana menghidupkan kembali rasa yang sempat kami bangun bertahun silam. Menyadari begitu aku masih menyayanginya, terlebih saat mendapatinya dalam keadaan tak berdaya seperti ini.
“Jangan terlalu lama, cepatlah sadari siapa yang benar-benar bertahta di hati kamu. Mungkin salah satu dari mereka Cuma sensasi sesaat yang hinggap di hati kamu. Jangan sampai menyakiti yang lain terlalu jauh.”
Aku kian terdiam. Tanya dalam hati, siapa yang terbaik di antara mereka berdua? Siapa yang benar-benar ku cintai?
“Tapi, aku menyayangi mereka berdua…”
“Sayang, tentu. Aku pun menyayangimu Kev, sebagai sahabatmu. Kakakmu menyayangimu, sebagai adiknya. Salah satu dari mereka, pastilah ada yang kau sayangi hanya sebagai sahabatmu… dan yang sebagai kekasih, pemilik hati kamu.”
Aku terbahak kecil melihat cara Nino menuturkan kalimat nasehatnya yang terakhir ini. Seperti biasa dia begitu puitis dan lucu. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana reaksinya jika tau dua insan yang sedang kita perdebatkan sejak tadi ini adalah lelaki.
“Eh, No… hape kamu getar tuh!”
“Mana Kev? Ambilin dong mintol, lagi seru ini mainnya.”
Aku hanya menggeleng kepala, kebiasaan Nino kalau sedang asik dengan game laptopnya tak bisa diganggu bahkan oleh telepon penting sekalipun.
“One message received from, My Love.” Ujarku membaca notif di layar ponsel Nino.
Nino terdiam sejenak lalu tiba-tiba membelalak seraya merebut ponselnya dari tanganku.
“Ya ampun mampus, mampus beneran ini.” Matanya membelalak.
“Eh, ada apa No?”
“Perang dunia ke tiga sebentar lagi pecah Kev.” Jawabnya asal.
“What?”
“Lena Kev, aku lupa harus nganter dia ke salon abis kuliah tadi.”
“Astaga No, hahaha… ini sih, bukan perang dunia aja No…” Aku terbahak menyadari sebab cemas hiperbolik Nino ini.
“Apa dong?”
“Kiamat, hahaha… lagian penyakit pikun kamu udah stadium akhir deh. Udah tau punya pacar bom waktu, pake di telatin lagi.”
“Enak aja ngatain pacar aku bom waktu… duh…”
“Hehe maaf, ya udah ke sana sekarang! Selamatkan yang masih bisa, pake bengong lagi!”
“I…iya, ya ampun…”
***
Hampir pukul enam sore.
Aku dalam perjalanan menuju rumah sakit. Singgah sebentar membeli beberapa makanan untuk Kenny dan Nathan.
Bungkusan di tangan kananku berisi satu box bolu pandan dan susu kedelai untuk Kenny, sedang di tangan kiriku bungkusan berisi dua box lapis legit untuk Jonathan.
Dalam perjalanan, ucapan-ucapan Nino tadi terus terngiang di benakku.
Siapa yang benar-benar aku cintai, sebagai seorang kekasih. Dan siapa yang sebenarnya hanya ku sayangi sebagai sahabat. Kian di pikirkan kepalaku kian berat saja. Aku tak mau memusingkan apapun dulu sekarang.
Aku ingin mempelajari hatiku lebih dalam lagi. Mempelajari perasaanku pada mereka untuk beberapa waktu lagi. Dan berusaha sebisa mungkin untuk tak menyakiti satu pun dari mereka.
Aku tiba di rumah sakit hampir setengah tujuh malam. Dengan cemas aku memasuki kamar Jonathan dahulu sambil mengawasi sekitar, kalau-kalau ada Kenny berkeliaran di sekitar. Beberapa pesan singkatnya sudah masuk di ponselku sejak dari toko kue tadi.
*
“Eh Kev, udah datang.” Kak Mulan menyambutku dengan senang, ia sedang menyuapi makan malam untuk Nathan.
Yang sedang di suapi langsung girang mendengar namaku di sebut.
“Kevin?”
“Iya, gimana harinya handsome? Oh iya kak, ini aku bawain lapis legit kesukaan Nathan.”
“Aku kangen banget sama kamu, hari ini sepi sangat, bosan aku.” Ia berujar manja, aku tersenyum sambil meremas jemari tanganku.
“Ah iya Kev, besok Nathan akan di rawat jalan dirumah saja. Dokter sudah mengizinkan. Lagian kuping kakak udah hampir budeg lama-lama mendengar rengekan anak ini yang ingin pulang.” Tutur kak Mulan.
Aku lega dengan situasi ini, tanpa sadar aku terus mendukung tindakan untuk Jonathan di rawat inap saja. Berharap kemungkinan pertemuan kami dengan Kenny dapat terhindar.
“Aduh, Kevin, Nathan, kakak harus pergi dulu sebentar ini. Ada meeting mendadak dengan klien dari Ausie di café Rama.”
“Aaah kakak gitu ih, baru juga datang udah mau pergi lagi.”
“Hmm, kakak nggak akan lama kok sayang. Ini cuma follow up kesepakatan sebelumnya kok, kliennya minta dipercepat karena mereka harus berangkat balik ke Ausie besok pagi dek. I promise you, nggak akan lama. Ok.”
Nathan masih tak bisa menghilangkan raut kesalnya.
“Iya Than, udah tenang aja kan ada aku. Ok, handsome?”
Dengan enggan akhirnya ia mengangguk. Kak Mulan pergi beberapa menit lepas pukul tujuh malam. Seperti sudah terskenario di pikiranku. Nathan akan terlelap beberapa menit setelah minum obat-obatnya usai makan malam.
Kenny menelponku saat aku sudah berniat menuju kamarnya.
“Halo?”
“Halo, Kev… lama banget sih? Kamu, nggak akan datang kah malam ini?” Kenny berujar lemah dari telepon.
“Ah… itu, aku akan datang malam ini. Aku udah dekat kok Ken. Cuma ada urusan sedikit tadi.”
Aku menunggu beberapa menit menyempurnakan ucapanku di talian tadi. Hampir pukul delapan aku keluar dari kamar Nathan menuju kamar Kenny jauh di ujung koridor.
*
Kudapati Kenny dalam kondisi serupa dengan Nathan saat ku tinggal di kamarnya tadi. Terlelap. Ponselnya bahkan belum dilepasnya, mungkin sejak dia menelponku nyaris setengah jam tadi. Ia tertidur dengan raut sendu di wajahnya.
Ku letakan bolu dan susu yang ku beli tadi di lemari es. Sepertinya kak Leo tak datang malam ini, jelas ia kesepian. Aku merasa bersalah, dan merasa lemah. Menyadari tak bisa menghindar dari keadaan menyiksa ini.
Lalu ku duduk di sisi kiri ranjangnya. Meraih ponsel dari genggamannya, meletakkannya di atas meja. Perlahan ku naikkan letak selimutnya yang tersingkap sedikit ke bawah.
“I’m sorry Ken, for letting you in this hard times.” Ku bisikan perlahan di telinganya.
Satu ciumanku mendarat di pipinya kemudian. Lalu kurenungkan, dua insan ini begitu tulus. Tulus mencintaiku. Tak mungkin aku sakiti, memilih satu dari mereka.
“Emhh, udah lama? Aku ketiduran… Hoahm, lagian kamu lama banget.” Tiba-tiba lamunanku buyar. Kenny terbangun.
“Ah, Ken… nggak kok, just a few minutes.”
“Let me up, let me have some kiss and hug from my prince.” Ia berujar sambil mengulurkan tangan.
Perlahan ku bantu ia tegak dari baringnya. Tanpa jeda dahulu dipeluknya tubuhku lalu memagut bibirku dengan lembut. Sebentar saja ia menciumku, lalu kembali memelukku erat.
“Jangan terlalu erat meluknya, Ken. Dada kamu…”
“Kalau aku harus ngerasain sakit supaya pelukan aku bisa cukup erat untuk nahan kamu tetap disisi aku, aku rela. Bahkan jika rasa sakit itu sampai membunuh aku Kev.”
Aku tersentak. Dari mana Kenny dapati kalimat mengerikan barusan.
“Ken, kok ngomongnya gitu sih?”
“Hehe, kok aku jadi hiperbola gini yah… Hmm…” Ada jeda, Kenny menggenggam jemariku. “Yang jelas, semua akan aku lakukan, semua akan aku terima, sebagai harga mencintai kamu.”
Dan malam ini pun berakhir sendu, dalam keheningan antara aku dan Kenny. Dia biliang dia ingin tidur lagi, tidur sambil aku membelai rambutnya. Aku melakukannya. Dan menghabiskan malam dengan merejam hatiku dalam kalimat Kenny yang sarat makna. Mungkin kalimat itu memang wajar untuknya, menggambarkan besar dan dalamnya ia begitu mencintaiku. Tapi bagiku begitu menusuk hingga ke relung hati, menegaskan diriku yang tak mampu tegas terhadap hatiku sendiri. Terlalu takut.
Aku dalam hati berharap, kak Mulan segera datang kembali menemani sebelum Nathan terjaga. Aku tak bisa meninggalkan Kenny lagi untuk malam ini.
***