BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

THE LITTLE PIECE OF HEAVEN

1910121415

Comments

  • maaf smuanya, update brikutnya mngkin bakal agak lama.. karena TS skrg sdg KKN dan sering ga smpat buat nulis crita.. jd mohon kesabarannya ya tmn2.. robbi juga ucapkan slmt dtg buat tmn2 yg baru gabung d thread ini. see you soon
    :)
  • huuu..
    kechouo..
    #eh

    met kkn ya..
  • met cinlok ya sama kawan satu posko. Hahahahahahaha
  • yah abis
  • Greget ini cerita, kpn lnjt lg Thor ??
    #TambahinKeListMention
  • Cincin 9.

    Selang beberapa jam setelah aksi penyerangan Rio, di sebuah ruangan yang cukup gelap, tiga buah layar berjejer dengan rapi membentuk sudut trapesium. Sementara di depan monitor-monitor itu tampak sebuah kursi berlengan dengan sandaran yang tinggi dan lebar.

    “Bagaimana perkembangannya?”

    Sebuah suara terdengar dari speaker dan tiga sosok manusia tampil dalam ketiga layar. Wajah mereka tak jelas, karena tertutup oleh kegelapan yang menutupi tubuh mereka dari kepala hingga dada. Hanya jari-jari mereka yang saling menjalin dan tersorot lampu.

    Kursi besar di depan layar tampak bergerak-gerak pelan, dan suara seorang pria terdengar berat dan dalam. “Hehe.. Tak perlu khawatir.. Aku sudah mengirimkan pasukanku untuk mengambil cincin Nilda dari anak itu. Sebentar lagi kalian akan melihat sendiri cincin itu.”

    Tak ada suara yang terdengar dari ketiga layar itu, hingga terdengar suara pintu terbuka di belakang kursi si pria. Seorang pria dengan seragam militer berjalan ke arah kursi itu lalu menghormat ke arah pria yang duduk di kursi lebar.
    Pria di kursi hanya mengangkat tangannya dengan malas untuk membalas salam hormat bawahannya.
    “Jadi.. Bagaimana?”

    Bawahannya itu tampak ragu saat akan menjawabnya. Hingga pria di kursi harus menoleh dan mengulang lagi pertanyaannya. “Bagaimana?”

    Setelah mencoba menguatkan suara dan nafasnya, si bawahan pun menjawab dengan cukup lantang. “Seluruh pasukan Laviska tewas dalam misi, pak.”

    Pupil pria di kursi itu bergerak dengan cepat ke arah bawahannya.

    “Apa? Coba kau ulang sekali lagi?” Sebuah senyum seringai yang tertoreh di wajah lelaki itu cukup membuat bawahannya menelan ludah.

    “Pa..pasukan Laviska.. semua telah tewa..”

    Belum selesai pria itu menyelesaikan kata-katanya, sebuah kilatan cahaya kemerahan sudah menghantam wajahnya dan menghempaskan tubuh pria malang itu ke lantai dengan suara debuman yang keras. Saat pria itu merintih dan belum mampu mencerna apa yang terjadi, kursi berlengan sudah meluncur dan menghantam tubuhnya. Dari arah asal meluncurnya kursi, terlihat seorang pria dengan tubuh jangkung kurus dengan kedua tangannya terbakar oleh api. Kobaran api itu tampak menari-nari dan menggeliat di kedua kepalan tangannya, menyinari sebagian ruangan berserta tubuhnya.

    “Bagimana bisa?” Geramnya, masih dengan senyum seringai tertahan di wajahnya. “Bagaimana bisa seorang anak kecil membunuh 50 pasukan yang terlatih?!”

    Kobaran api di tangannya berkobar makin liar dan menjadi mercusuar di ruangan itu, hingga wajahnya yang tirus, dengan seringai yang menyeramkan tampak dengan jelas. Bawahannya tampak mencoba menggerakkan badannya menjauh dari atasannya yang kini sudah terlihat seperti iblis.

    “Hentikan Kroda.”

    Mata pria kurus itu melirik ke arah moniter di belakangnya, dan api di tangannya perlahan mulai melemah kobarannya, hingga ia mengibaskan tangannya dan api itu pun menghilang bak sihir.
    “Hmm..”

    Kini pria bernama Kroda itu meraih kursi berlengan dengan ujung kakinya, lalu dengan sedikit tarikan dari ujung kakinya, kursi itu kembali meluncur ke arah dirinya. Dengan sigap ia duduk dan menyilangkan kakinya.
    “Maafkan aku saudaraku.. Tampaknya.. Aku harus mengakui bahwa pemegang cincin Firima ini cukup tangguh.”

    “Kau sudah terlalu menganggap enteng mereka, Kroda.”

    Mata Kroda kini terpaku pada monitor di tengah, asal suara berat itu terdengar. Di jari jemarinya yang terjalin dan tersorot lampu itu, Kroda dapat melihat cincin emas dengan ukiran singa yang seolah berdiri melindungi sebuah permata berwarna biru di tengahnya.

    “Jangan katakan aku belum memperingatkanmu, Kroda. Kau sudah melewatkan dua kali kesempatanmu dalam mengambil cincin firima.”

    “Ya..ya ya... Aku sudah mendengarnya Schneider. Aku akui kesalahanku dalam memilih pasukan. Harusnya aku memakai pasukan khusus roquen celva-ku, alih-alih wanita itu dan pemakai roquen arda. Hmm..”

    Tak ada suara dari ketiga monitor itu untuk menanggapi kata-kata Kroda. Sementara Kroda mengeluarkan sekotak cerutu dari saku di balik mantel seragamnya. Ia menjepit cerutu di bibirnya, lalu dengan sebuah jentikan jari, sebuah api kecil berkobar di ujung jarinya lalu membakar ujung cerutunya.

    “Masalah ini biar aku yang urus. Beri aku waktu sedikit lagi.” Kobar api kini telah menyala dari ujung cerutu Kroda. Dengan sebuah hisapan dalam, kepulan asap tampak berhembus dari celah bibir Kroda.
    “Lalu.. Bagaimana dengan perkembangan dua lainnya?”

    “Umm... Kau bertanya padaku?”

    Kroda melirik ke monitor di sisi kanannya, asal suara centil itu terdengar.
    “Sudahlah Claire. Aku takkan terpesona pada kecentilanmu itu.” Tegur Kroda dengan tatapan dingin dan semburan asap kelabu dari bibirnya.

    Sosok yang tampak seperti wanita itu memangku dagunya pada telapak tangannya, sehingga sorot lampu tampak sedikit menerangi bibirnya yang berlipstikkan warna merah darah tersenyum. Di jari jemarinya yang lentik itu, terpaut sebuah cincin perak dengan ukiran kura-kura dan delapan ular yang melingkar di sekitar cangkang berpermata kuning.
    “Tenang saja.. Aku sudah menemukan lokasi Initia. Humm... memang agak sulit menemukan dan menangkap dia. Dia seperti tupai kecil yang melompat ke sana-ke mari. Susah sekali untuk ditangkap. Mungkin aku juga butuh sedikit waktu lagi.”

    Sebuah deheman yang menyerupai tawa kecil terdengar dari monitor sisi kiri Kroda. Mata Kroda meliriknya, ke arah sosok pria yang memainkan ujung jari kemarinya, dengan sebuah cincin berwarna tembaga berukirkan dua naga melingkar yang memegang sebuah permata hijau di tengahnya.
    “Amatir sekali.”

    Mata Kroda memicing ke arah pria itu.

    “Seperti yang diharapkan dari para jenderal muda. Bahkan untuk menangkap serangga tanpa sayap seperti itu kalian membutuhkan banyak sekali waktu.”

    “Apa maksudmu, Stein?” wanita di monitor kanan tampak tak terima dengan suara serak pria bernama Stein di monitor sebelah kiri Kroda.

    Sementara Stein hanya mengepalkan jemarinya di depan mulutnya, menahan tawanya. “Lihat saja besok. Akan kubawakan cincin Noldo sebagai 'contoh' untuk kalian.”

    Baik pria di monitor tengah maupun monitor kanan tak bersuara, sedangkan Kroda hanya menatap monitor kiri dengan seringai dingin di bibirnya.
    “Baiklah.. Kita lihat saja..”
    ***

    Don melihat layar handphone untuk kesekian kalinya. Ia melihat pesan singkatnya yang menumpuk di thread bertuliskan Rio. Don menghela nafas panjang. Sejak berpisah di sekolah saat itu, Rio tak pernah membalas pesan singkat Don. Don juga berulang kali mencoba menghubunginya namun tetap saja hasilnya nihil. Tak ada balasan. Bahkan yang terakhir kali ia hubungi, mesin penjawab otomatis yang menyambutnya, berkata bahwa handphone Rio sedang tidak aktif.

    Status Rio yang tak ada kabar membuat Don sama sekali merasa tidak nyaman. Perasaan Don campur aduk antara curiga, marah, sedih dan juga khawatir. Ia sedih karena Rio tak kunjung membalas pesan singkatnya atau kalau perlu menghubunginya. Ia juga curiga, sejak kehadiran pria berambut putih itu, hubungan Don dan Rio semakin renggang, dan kedua hal itu membuatnya mulai marah.

    Namun Don sadar bawah semarah-marahnya dia, pasti ada rasa yang lebih besar yang terselip di dalamnya, rasa khawatir. Ia, di sisi lain, juga takut akan keselamatan Rio, mengingat Rio seringkali menemaninya dalam berbagai aksi tawuran. Tentu tak sedikit yang terluka dan tak sedikit pula yang membencinya.
    “Rio..di mana kamu?”


    Bagai menjawab pertanyaan Don, bel tanda kelas berakhir berbunyi lantang. Don –tanpa mempedulikan salam dari gurunya- sudah membopong tas pinggang dan meninggalkan kelas dengan langkah tergesa.
    Motor putihnya ia pacu dengan kencang. Perasaannya benar-benar tidak enak. Dengan lincah ia melewati beberapa kendaraan yang menghalangi lajunya. Bunyi klakson dan ucapan sumpah serapah tak ia dengarkan lagi. Matanya hanya tertuju pada jalan menuju rumah kontrakan Rio. Namun, untuk sejenak ia tercengang. Ia pelankan laju motornya saat melewati terowongan sepi yang biasa ia pakai untuk lokasi tawuran sekaligus jalan menuju rumah kontrakan Rio. Beberapa pria berpakaian militer menghalangi jalan motornya sambil melambai-lambaikan tangannya tanda pengalihan jalur. Don pun mendekati pria-pria berbaju militer itu.
    “Maaf, untuk sementara jalur ini tidak boleh dilewati oleh siapapun. Silakan anda menggunakan jalur alternatif yang telah kami siapkan.”

    Salah satu pria berbaju militer itu menunjukkan arah memutar dari lorong itu. Don hanya sekilas saja melihat arah yang ditunjuk pria itu, namun mata Don kembali mengarah ke arah bagian dalam lorong. ada beberapa orang pekerja kebersihan sedang mengguyur tempat itu dengan air dan membersihkannya. Mata Don berpendar curiga. Pada genanagan air itu Don bisa melihat warna merah yang pekat. Ya. Tempat itu penuh dengan warna merah. Bahkan Don bisa melihat beberapa petugas tengah berusaha keras menghilangkan noda merah yang menempel erat di dinding lorong. Anehnya lagi, hanya untuk tugas mengalihkan jalan, kenapa harus dari pihak tentara? Seharusnya polisi lalu lintas saja cukup untuk hal ini, dan yang pasti sesuai dengan tugasnya
    .
    “Ada apa ini pak? Apa telah terjadi sesuatu di tempat ini?”

    Alih-alih menjawab pertanyaan Don, pria berseragam militer itu justru mengulang kata-kata sebelumnya dengan volume yang lebih tinggi.
    “Maaf! Anda tidak boleh melewati tempat ini dan silakan melewati jalur yang sudah kami siapkan!”

    Mata Don menatap tajam mata pria berseragam itu. Untuk sekilas, air muka pria berseragam itu berubah menjadi melemah melihat tatapan tajam Don.
    Lalu tanpa meninggalkan satu patah katapun, Don memacu kembali motornya, melewati jalur memutar. Dua orang berseragam tadi hanya menggeleng pelan melihat aksi Don. lalu seorang pria datang dari arah dalam lorong. Matanya terlihat begitu tajam, seakan mengancam siapapun yang memandang matanya.

    “Ada apa ini?”

    Dua orang berseragam tadi segera menoleh ke arahnya dan memberi hormat. “Seorang sipil hendak masuk, Pak! Dia tampak ingin tahu tentang apa yang terjadi di lorong ini, pak!”

    Pria bermata tajam itu memandang ke arah bayangan Don yang makin menjauh. Dan dengan sedikit memicingkan mata, ia tersenyum.
    “Hmm.. satu lagi.”

    Wajah kedua petugas tadi tampak kebingungan dan saling berpandangan. Si pria yang bermata tajam tadi hanya tersenyum dan berjalan meninggalkan kedua petugas itu.

    Sementara itu, di depan gerbang kontrakan Rio, ban sepeda Don berdecit pelan. Rumah kontrakan itu tampak sepi. Tak ada tanda-tanda Rio ada di sana, karena biasanya jendela kamar Rio terbuka supaya udara segar dapat masuk. Namun kini jendela kamar Rio tertutup rapat. Tak mungkin Rio ada di sana dan betah tinggal di dalam ruangan yang pengap tanpa pendingin udara itu. Dan mata Don berpendar dingin saat melihat bayangan sebuah motor putih di balik kaca jendela ruang tamu Rio. Sebuah sepeda yang tak pernah Don lihat sebelumnya. Don juga tahu benar, betapa Rio sangat phobia menaiki sepeda motor. Tidak mungkin ia membawa sepeda motor itu sendiri.
    Memikirkan itu, Don memukul pagar kontrakan itu agak keras, hingga debu yang menempel .di pagar besi itu beterbangan. Don pun segera menaiki kembali sepeda motornya dan memacunya dengan kencang. Meninggalkan tempat itu bersama dengan bayangan seseorang yang diam-diam mengawasinya.
    ***

    “Nah, ini ruang tamu. Maaf agak berantakan. Hehehe..”

    Arvand baru saja menggiring Rio ke ruang yang agak luas dengan perabotan dan sofa yang begitu mewah dan elegan. Di ruangan yang sangat sejuk itu, kaki Rio tidak merasa begitu kedinginan karena permadani lembut yang terhampar di penjuru lantai ruangan itu. Ketika Rio menengadahkan wajahnya ke atas, ia bisa melihat lampu kristal menggantung dengan anggunnya. Dan mata Rio bersinar makin cerah ketika ia melihat lukisan di langit-langit. Tentang awan-awan kelabu dan langit malam berwarna biru navi hingga ke hitam dan dihiasi bintik-bintik bintang yang begitu hidup.

    Saat Rio terhenyak memandangi langit-langit, tak terasa ia berjalan terhuyung-huyung hingga ia merasakan tangan Arvand menahan tubuhnya.
    “Awas..” seru Arvand pelan. Seketika Rio menurunkan pandangannya ke arah Arvand. Dia juga bisa melihat kakinya yang hampir menabrak meja.

    “Eh, ya.. Hehe.. Maaf.”

    Senyum dan pandangan Rio perlahan berhenti pada arah pintu kaca yang mengarah ke beranda.
    “Err.. Arvand, bolehkah..” Rio tampak menunjuk-nunjuk pintu kaca itu dengan telunjuknya.

    “Silakan.. anggap saja rumah sendiri Rio..”
    Arvand pun membuka pintu, dan dengan gerakan tangannya menyilahkan Rio ke arah beranda.

    Deru angin seketika menyibak rambut Rio dan membelai wajahnya dengan lembut. Senyumnya melebar ketika dihadapkan pada pemandangan yang terhampar di depannya. Gedung-gedung tinggi yang sebelumnya terasa begitu tinggi bagi Rio kini tampak seperti teman sebaya baginya. Genting dan atap bangunan yang sebelumnya tak tampak oleh Rio, kini terlihat seperti kumpulan kepala orang-orang dengan berbagai warna rambut dan ada pula yang botak. Dan di atasnya, terhampar langit dan seluruh isinya. Awan yang lebih banyak menepi alih-alih mengisi bagian tengah langit tampak berkelompok, bergerombol, seperti kawanan domba dengan bulu putihnya yang lembut. Burung-burung terbang berkelompok mengarungi birunya langit itu, seolah tak mempedulikan seberapa jauh dirinya dengan tanah serta kemungkinan bila tiba-tiba ia terjatuh.

    Rio hanya bisa melihat itu semua dengan kagum dan membisu. Dalam hatinya ingin sekali terbang seperti burung, terbang meninggalkan semua permasalahan yang ada di bumi. Terbang menuju kebebasan dan tidur di awan kapas putih. Merasakan deru angin yang senantiasa mengusap wajahnya saat ia terbang. Akankah sama rasanya seperti yang ia rasakan kini? Angin di atas sana cukup kencang dan solah tak pernah bosan berhembus dan merusak tatanan rambut Rio. namun Rio tampaknya tak ambil pusing dengan itu dan terus membayangkan segala kemungkinan dan keinginan.
    “Aah.. senang sekali rasanya bila aku bisa melihat pemandangan ini di malam hari. Akankah sama indahnya? Atau bahkan lebih indah?” gumam Rio pada Arvand yang kini sudah berada di sampingnya, berpangku tangan pada pembatas beranda.
    Arvand hanya tersenyum sambil menatap Rio dengan penuh arti.

    “Tentu kau bisa Rio..”

    Mendengar itu alis Rio sedikit mengeryit meski dengan bibir yang masih tersenyum, seolah melihat anak kecil yang bertingkah konyol dengan memasukkan kepalanya ke sela-sela jeruji ranjang dan tersangkut di sana.
    “Maksudmu?”

    Arvand masih saja tersenyum dan memamerkan gigi-giginya. Sungguh Rio tak bisa berhenti mengagumi deret giginya yang indah dan putih itu.

    “Rio bisa menginap di sini. Malam ini dan kapanpun. Setidaknya hingga paman berbaju hitam tadi menghubungimu. Kau tahu, keadaanmu tak seperti dulu lagi.”

    Mendengar tawaran Arvand, untuk sekilas Rio merasa senang karena bisa menghabiskan malam di tempat itu, bersama Arvand pula. Namun mengingat kondisinya sekarang membuatnya kembali cemas.

    Tampaknya Arvand bisa menangkap kecemasan pada air muka Rio. ia pun mendekatkan wajahnya ke arah Rio, sekedar memastikan dia tidak apa-apa. “Kau tidak apa-apa Rio? Kau tampak pucat”

    Rio baru menoleh ketika tangan Arvand menyentuh pundaknya dan menyadari wajah Arvand sudah sedekat satu jengkal dengan hidungnya. Buru-buru Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak,, Aku tidak apa-apa” Jawabnya di sela-sela tawa kecilnya yang perlahan memudar digantikan senyum tipis dan pandangan yang menerawang jauh.

    “Aku hanya masih belum bisa menerima kenyataan ini.” Rio menghentikan kata-katanya sejenak, sementara Arvand mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Rio. Ia lihat Rio menghembuskan nafas begitu dalam.

    “Beberapa hari sebelumnya aku hanya anak SMA biasa, dengan kehidupan normal yang biasa-biasa saja, rutinitas yang itu-itu saja, orang-orang yang sama juga.. Tapi kini..” lagi-lagi Rio menghentikan sejenak kata-katanya sambil menggeleng pelan dan senyum yang hambar. “Belum sepekan, tapi aku sudah merindukan hari-hari itu. Hari-hari yang biasa.. Rutinitas yang membosankan.. Bertemu dengan teman yang itu-itu saja..” sejenak Rio teringat akan Don. Kekasihnya yang entah bagaimana nanti Rio menjelaskan padanya, semua yang terjadi pada Rio serta kenapa dia menghilang selama beberapa hari tanpa kabar.

    Di sela-sela renungannya terhadap Don, suara Arvand terdengar halus di telinga Rio. “Apakah.. Hari-hari yang kau rindukan itu, termasuk hari-hari bersamaku? Maksudku.. Apakah aku termasuk teman-temanmu yang “itu-itu saja” itu?”

    Rio terhenyak sesaat sebelum akhirnya ia tertawa, meninggalkan Arvand dengan tampang polosnya.
    “Tentu saja bukan. Kamu bukan teman-temanku yang ‘itu-itu saja’ itu..”

    “Jadi... kau tidak merindukanku?”

    “Tidak.”

    Jawaban singkat Rio membuat Arvand sempat merunduk dengan tatapan sedih. Langsung saja Rio menimpali sambil mencubit pipi Arvand. “Kamu adalah satu-satunya orang yang tidak biasa buatku, Arvand. Dengan rambut putihmu, kepolosanmu dan berbagai kekonyolan yang kau punya itu, bagaimana bisa membuatmu menjadi teman yang biasa?”

    “Sungguh..? Jadi apakah aku.. Cukup pantas kau rindukan?”

    Rio tersenyum makin lebar. Dalam hatinya ia senang sekali bisa menggoda sekaligus melihat kepolosan Arvand yang terkesan begitu manis untuknya. Sekali lagi ia mencubit dan menarik-narik pipi putih Arvand.
    “Aku tidak akan merindukanmu... Karena kau selalu di sampingku.. dan jangan sampai aku merindukanmu.. karena kau harus selalu ada di dekatku.”

    Angin berderu lagi, kali ini cukup kuat menerpa wajah Arvand. Mengibaskan rambutnya sehingga dapat tersibak, memperlihatkan betapa bulat mata Arvand sekarang. Wajahnya yang seputih awan tampak mulai merona kemerahan, membuat Rio semkain gemas melihatnya.

    “Dengar! Jangan kau pergi jauh dariku, karena rindu padamu sungguh mencekik hatiku. Karena kau bukan teman yang ‘itu-itu saja’ bagiku.” Ujar Rio sambil mencolek hidung Arvand.

    Kini Rio sudah kembali menghadapkan wajah dan matanya pada horison biru dan gerombolan awan putih. Menyembunyikan rona di wajahnya. Sedangkan Arvand masih termenung dalam senyum menawannya.

    Agak lama keduanya dibisukan oleh pikiran masing-masing. Keduanya hanya bisa tersenyum memandang langit luas dengan gerombolan awan-awannya, dengan kawanan burung lincahnya, dengan matahari yang berdiri tinggi di puncak langit. Seolah ingin mengemas mereka ke dalam memori saat itu, merangkainya sedemikian rupa sehingga menjadi terlalu indah untuk dapat dilupakan dan begitu manis untuk dikenang kembali.

    “Aku suka Rio”

    Rio hanya tersenyum, membiarkan Arvand berpikir apakah angin begitu terlambat menyampaikan suaranya. Dan Rio pun menyampaikan kata-katanya pada angin yang berhembus.

    “Aku juga suka Arvand”
    ***

    Debu tampak mengepul ketika sepasang sepatu berbahan kulit hitam mengkilat menjejak di landasan tanah yang kering. Di balik kacamata hitam berbingkai emas, sepasang bola mata menengok ke arah sepatu yang kehilangan kilaunya karena debu. Pemilik mata sekaligus sepatu itu membungkukkan badannya dan dengan tangannya yang tampak pucat, menyapu sepatunya, menyingkap kembali kilaunya sehingga tampak mahal kembali. Ia memandang sisa debu di jemarinya, membiarkan angin menerbangkannya ke sebuah bangunan yang besar, yang teronggok sendirian di lahan tandus nan gersang.

    “Hmm... siapa sangka ada sebuah laboraturium di tempat seperti ini.”

    Suaranya dangkal dan serak. Bahkan di usianya yang masih tak terlalu tua, suaranya terdengar seperti seorang pensiunan yang penyakitan.

    Ia melangkahkan kakinya menuju gerbang menuju sebuah bangunan besar seperti pabrik yang ditinggalkan. Dari balik pos jaganya, seorang petugas keamanan melihat kedatangan tamu tak diundang tersebut. Ia pun menghampiri orang berbaju mliter dengan mantel hijaunya itu.

    “Maaf pak. Apa yang anda lakukan di sini? Ini bukan tempat yang bisa dikunjungi dengan bebas, pak.” Serunya dengan nada santun tapi jelas menyiratkan kesan mengusir pada lelaki berbaju militer tersebut.

    Lelaki berbaju militer itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan memandang ke sekeliling bangunan sambil tetap melanjutkan langkahnya mendekati petugas itu.

    “Kenapa? Apakah kau pikir aku pencuri?”

    “Pak, sekali lagi, anda tidak memiliki otoritas apapun atas tempat ini. Jadi lebih baik anda tinggalkan tempat ini atau..”

    Belum sempat si petugas menyelesaikan kata-katanya, ia sudah bisa melihat kakinya sejajar dengan wajahnya. Dan pandangannya bergulir tanpa ia mampu mengendalikannya lagi, ke arah sepatu sang lelaki berbaju militer. Dengan sepatunya, lelaki berbaju militer memutar kepala petugas malang itu sehingga matanya bisa terarah tepat ke arah lelaki bersuara serak itu.

    “Biar kujelaskan dua hal penting padamu, meski tampaknya sedikit terlambat untukmu. Pertama, tidak ada tempat yang tak bisa kukunjungi, karena otoritas tertinggi adalah kekuatan. Dan kekuatan itu adalah milikku.”

    Senyum dingin dan suara yang serak itu mungkin adalah pemandangan serta kalimat terakhir yang direkam petugas itu, yang kini bisa melihat badannya jatuh terjerembab ke tanah. Tak berdaya saat darah menggenangi wajahnya.

    Sementara itu si lelaki berbaju militer kini sudah berada tepat di depan pintu besi yang tampaknya begitu kokoh. Ia menurunkan sedikit kacamata hitamnya sehingga bola matanya yang berwarna kehijauan itu tajam terlihat.
    “Kedua, tidak ada tempat tersembunyi bagiku.”

    Dengan cepat ia mengibaskan tangannya dan pintu yang tadinya tampak begitu kokoh kini terhempas bagaikan kertas. Beberapa orang yang tidak beruntung di balik pintu itu ikut terhempas dan tertimpa puing pintu yang berat. Seketika suasanya menjadi tegang di antara orang-orang berjubah putih di sana, ketika seorang lelaki paruh baya dengan pakaian militer yang necis memasuki ruangan, bagaikan kematian itu sendiri yang datang pada mereka.

    Lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari balik mantelnya kemudian mengelap jemarinya yang bersimbah merah. beberapa orang berjas putih di sana tampak makin pucat ketika melihat sebuah cincin berukirkan motif naga melingkar dengan permata hijau bersinar dan menerangi seringai lelaki itu.

    “Nah! Sekarang katakan padaku, di mana kalian sembunyikan cincin itu?"

    Seseorang dari orang-orang berbaju putih itu memberanikan diri untuk menanyakan maksud dari lelaki itu. "Apa yang anda maksud tuan? Tempat ini bukanlah.."

    "A.. a.. a.." Sang lelaki menggoyang-goyangkan telunjuknya. "Jangan mengatakan kebohongan padaku, Nona.. Aku yakin cincin itu ada di sini, ada di antara salah satu di antara kalian. Jadi sebaiknya kalian serahkan cincin... Apa ya namanya, aku kurang yakin... Ah, ya! cincin Noldo. Ya, serahkan cincin Noldo padaku dengan baik, maka aku akan memperlakukan kalian dengan baik."

    Sang lelaki mengulurkan tangannya dengan senyumnya yang licik. Sementara orang-orang berbaju putih masih tidak bergeming, saling memandang satu sama lain, kecuali seorang nona yang tadi memberanikan diri bertanya pada lelaki itu. Matanya tampak tak bergerak menatap lelaki itu. Dan dengan cepat ia menodongkan pistol ke wajah lelaki itu. Seketika orang-orang berbaju putih lainnya berlari menyelamatkan diri, sedangkan sang lelaki masih pada senyumnya, seolah pistol itu tak berarti baginya. Matanya hanya tampak bergerak ke arah jari jemari si nona pemberani itu. Hanya sebuah cincin perak polos yang melingkar di jari manisnya.

    "Kau tak kan mendapatkan apa-apa di sini, Jenderal Stein."

    Senyum di wajah Stein kini telah berubah menjadi seringai. Bagaikan serigala yang hendak menerkam mangsanya.

    "Kita lihat saja nanti, Nona manis."
    ***
  • Ayo lanjut kak, bikin penasaran hihihi :D
  • Ayo lanjut kak, bikin penasaran hihihi :D
  • Lanjut gan
    Tetap semangat
    Menegangkan dll
    Jngan lupa seret kalo da up
    Di tunggu kelanjutannya
  • Woaa.. terima kasih @QudhelMars dan @apell yang sudah menyempatkan membaca cerita yang sdh lama tenggelam ini. hehe..

    klo bgitu lgsg saja, silakan dibaca kelanjutan cerita ini. wink:
    Cincin 10A. Ikatan

    Varos menjejakkan kakinya di tanah tandus dan berdebu. Di tempat itu, anehnya, berdiri sebuah bangunan pabrik yang tampak telah ditinggalkan. Langkah Varos terhenti ketika melihat potongan tubuh petugas keamanan di gerbang serta pintu pabrik yang telah jebol.
    “Sial. Mereka lebih cepat dari perkiraan.”

    Dengan sedikit bergegas ia memasuki pabrik itu dan pupilnya tampak menyempit ketika menerima pemandangan yang mengerikan di depannya.

    Darah menggenang bagaikan muncul dari bumi. Puluhan tubuh tergeletak di setiap meter kaki varos melangkah. Kondisi jasad-jasad itu begitu mengerikan, seolah mereka tertabrak kendaraan bermuatan berat.

    Varos tampak menjinjit-jinjitkan kakinya setiap melangkah, seolah berhati-hati agar tidak menginjak bagian tubuh atau genangan darah yang cukup dalam.
    “Sial... aku benci darah. Seandainya saja mereka mudah dibersihkan dengan sekali bilas. Apakah mereka tidak tahu berapa harga sepatu ini?”

    Di tengah gerutuannya itu, Varos dikejutkan dengan sensasi aneh di pergelangan kakinya. “Huaa!”

    Kekagetannya mulai terjawab ketika ia melihat tangan seorang wanita bersimbah darah mencengkram erat pergelangan kakinya. Ekspresi Varos tampak bercampur antara prihatin, takut, juga jijik melihat keadaan wanita itu. Terlebih ketika melihat wanita itu tampak sekuat tenaga menyeret ‘separuh’ tubuhnya mendekat ke arah Varos.
    Buru-buru saja Varos membungkukkan tubuhnya dan memegang tangan wanita itu. Ukiran tulisan emas pada cincin hitam Varos tampak berpendar temaram.
    “Bertahanlah nona.. aku bisa membuatmu hidup lebih lama lagi selama kau percaya padaku.”

    Wanita malang itu tampak mengangguk lemah di tengah napasnya yang tersengal-sengal. Ia bisa merasakan rasa sakit yang begitu hebat mulai berkurang sedikit demi sedikit.

    “Tuan.. Anda hanya mengurangi penderitaan saya..” ucapnya lirih.

    Varos hanya bisa membisu sambil terus memegang tangan wanita itu, membiarkan cincinnya menguras rasa sakit si wanita hingga akhirnya si wanita itu benar-benar tak mampu lagi merasakan apa-apa di luka fatalnya.

    “Setidaknya kini kau bisa katakan padaku, apa yang telah terjadi.”

    Wanita itu mengangguk perlahan dan matanya tampak mengerling ke arah bagian dalam pabrik itu. “Seseorang dari kemiliteran datang.. Menanyakan tentang cincin noldo.. Jendral Stein..”

    Alis Varos tampak terangkat seakan hendak berkata ‘sudah kuduga’. “Lalu di mana profesor Theo sekarang?”

    Wanita itu tampak heran dengan pertanyaan Varos. “Bagaimana tuan...”

    Wanita itu tak melanjutkan kata-katanya dan hanya bisa menatap dengan tatapan yang menyiratkan ketakutan, kebingungan, dan kekhawatiran. Sementara Varos hanya tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Wajah wanita itu tak bergeming, bahkan posisi badannya tak berubah meski Varos kembali berdiri dan melepas sandaran tubuh wanita itu di tubuhnya.

    “Tidak biasanya aku menunda kematian seseorang. Masalahnya, informasimu masih dibutuhkan. Kau tinggal dulu di sana sebentar. Sementara aku akan ke dalam mencari teman lamaku itu.”

    “....dan kau juga harus mengganti setelanku yang kotor terkena darahmu dan kawan-kawanmu ini.”

    Suara sepatu Varos yang berhati-hati menggema di lorong pintu masuk itu, menjauh dari tempat si wanita itu terbaring dengan posisi yang ganjil dan bagaikan patung, yang bahkan satu tetes darah pun tak bergerak.

    Sementara Varos tampak berjalan menyusuri lorong pabrik itu. Sepanjang jalan ada saja mayat yang tergeletak. Hingga akhirnya ia sampai pada sebuah pintu gerbang yang mengarahkannya pada sebuah ruangan yang cukup luas. Di kedua sisi ruangan tampak sel-sel berdinding kaca yang sudah dalam keadaan terbuka dan tak ada orang atau sesuatu di sana. Varos mendekati salah satu sel dan menggeser seonggok mayat dari sana, sehingga ia bisa melihat tanda identitas di sel itu.

    “Project 0104?”

    Varos mengeryitkan dahinya dan melihat ke sel-sel yang lain. Masing-masing sel tampak ditandai dengan nomor khusus.
    “Apa yang kau lakukan Theo..” gumam Varos perlahan sambil terus menyusuri ruangan itu.

    Kini Varos sampai pada sebuah gerbang lagi, yang lagi-lagi dalam kondisi sudah ringsek. Varos melihat ketebalan pintu itu yang nyaris sejengkal tangan bahkan kini tampak seperti kertas kusut dan sobek. Begitu ia memasuki ruangan itu, hanya kegelapan dan cahaya temaram yang menyambutnya. Matanya memicing ke arah sebuah tabung kaca dengan cahaya biru menyala, satu-satunya sumber cahaya di sana. Satu lagi yang membuat pandangan Varos tertahan adalah seonggok tubuh yang duduk bersandar di tabung itu.

    Mata Varos tampak bergerak-gerak tak terkendali. Ia mendekati sosok lelaki itu. Jubah laboraturium yang ia kenakan sudah tak dikenali lagi warna aslinya. Hanya warna merah gelap. Meski begitu, Varos masih bisa mengenali wajah lelaki itu. ia bersimpuh di depan jasad itu dan melihat kedua lengan dan kedua kakinya dipotong, atau lebih tepatnya dikoyak hingga terlepas. Melihat itu, bibir varos bergetar.

    “Oh kawanku.. Bahkan seorang yang telah melihat kematian tak terhitung banyaknya ini, tak sanggup menahan kepedihan saat melihat caramu mati, Theo..”

    Theo telah bisu dan tak cukup bernyawa untuk menjawab gurauan varos yang dulu pernah ia jawab dengan senyuman riang dan akrab. Kini ekspresi ramah dan hangat itu telah tergantikan oleh wajah datar, pandangan kosong dan dingin. Dengan lembut Varos menutup mata Theo. Setelah ia menguatkan hatinya, ia berdiri dengan payah. Bahkan dengan titelnya sebagai salah satu eldar, dia tidak bisa menolak kenyataan betapa tua dirinya. Badan dan wajahnya mungkin masih belum berubah namun hati dan pikirannya telah renta dan kepayahan. Dan dengan matanya yang lelah, kini ia melihat tulisan di bagian atas tabung berwarna biru terang itu.

    ‘Project 0001. Code: HERMES’
    ***
    “Tidak..!” seru Rio pada Arvand.

    Arvand tertawa geli melihat reaksi dan wajah merona Rio. “Tidak apa-apa Rio, aku tidak menggigit. Sini! Tidurlah di sampingku. Jangan di bawah.” Arvand menepuk-nepuk ranjang di sisi kanannya, mengisyaratkan Rio untuk bersedia tidur di sampingnya. Sementara Rio tampak enggan. Wajah Rio yang sudah semerah tomat dan boneka penguin biru yang ia peluk dengan erat membuatnya tampak begitu menggemaskan di mata Arvand.

    “Kau baru saja siuman dari pengalaman yang berat. Kau harus tidur di tempat yang nyaman alih-alih tidur di bawah. Apakah.. kau tidak nyaman bila tidur denganku?”

    Mata Rio tampak membulat mendengar pertanyaan Arvand. Memang tepat jika Rio merasa tak nyaman tidur seranjang dengan Arvand. Tapi bukan karena tidak suka, justru sebaliknya. Justru karena terlalu suka sehingga membuat jantung Rio berdegub liar. Baru Rio bayangkan saja sudah membuat dirinya kewalahan menenangkan degup jantung dan imajinasinya.

    “Hmm.. Kalau begitu, aku biar tidur di sofa saja, seperti sebelumnya.” Ujar Arvand yang kini beranjak dari ranjangnya dan menuju sofa di salah satu sisi ranjang. Buru-buru Rio meraih lengan Arvand.

    “Ja..Jangan.. Baiklah aku tidur di sini..”

    Arvand tampak tersenyum lega saat melihat Rio menjatuhkan tubuh rampingnya di kasur luas miliknya. Arvand pun mengikuti membaringkan tubuhnya di sebelah Rio. mata Rio sesekali melirik dengan gugup ke arah Arvand yang sedang menaikkan selimut dan menyamankan sandaran kepalanya pada bantal.
    “Selamat tidur Rio..”

    “I..Iya..”

    Untuk sejenak tidak ada kata-kata di antara mereka berdua. Hanya keheningan, yang sesekali dipecahkan oleh suara kendaraan jauh di bawah lantai apartemen Arvand. Mata Rio tampak mengerjap-ngerjap. Menatap kosong ke langit-langit dengan motif dekorasi yang indah. Perlahan ia menoleh ke arah Arvand yang memejamkan matanya meski Rio yakin, dia masih belum terlelap. Ia tampak mengusap hidungnya dan menguap.

    Seketika jantung Rio berdegup kencang ketika melihat wajah itu di sampingnya itu. Wajah menawan yang bersandar begitu dekat dengan wajah Rio. Kuat-kuat ia pejamkan matanya, berbalik ke sisi lain sambil memerat boneka penguin biru dengan erat, berharap dengan begitu degup jantungnya bisa kembali normal.

    Belum lama Rio memejamkan matanya, suara Arvand terngiang-ngiang di kepalanya.

    ‘Hmm.. Kalau begitu, aku biar tidur di sofa saja, seperti sebelumnya’

    ‘Ah!’ Seketika mata Rio terbuka kembali. Pupilnya tampak bergerak-gerak. ‘Kalau begitu, saat aku masih tak sadarkan diri, dia tidur di sofa itu? Di dekat ranjang aku terbaring?’ Rio langsung dapat membayangkan sosok Arvand yang bersimpuh di sisi ranjang, memperhatikan wajah Rio yang tertidur. Mengusap dahi Rio perlahan lalu menuju sofa di dekat ranjang dan berbaring sambil menatap Rio seraya berkata pelan, ‘Selamat malam Rio.’

    Lagi-lagi jantung Rio berdegup kencang. Sekali lagi ia memejamkan matanya rapat-rapat sehingga ia bisa menghapus bayangan itu dengan segera.

    Belum lama ia memejamkan matanya, bayangan Arvand kembali muncul di depan wajahnya. Arvand bersimpuh dan memangku kedua lengannya di sisi ranjang tempat Rio terbaring. Wajahnya tersenyum dengan teduh, lalu dengan tangannya yang hangat ia membelai lembut kening Rio, mendekatkan wajahnya ke arah wajah Rio dan mencium kening Rio. ‘Aku suka kamu Rio..’

    Bagai petir menyambar, mata Rio terbelalak. Dia tak bisa memejamkan matanya lagi. Kantuknya seolah sirna begitu saja. Rio memegangi dadanya. Ia bisa merasakan ngilu karena degup jantungnya yang begitu hebat. ‘Apakah aku akan terkena serangan jantung, hanya karena orang ini?’ tanya Rio pada dirinya sendiri.

    Ia menoleh ke arah Arvand. Ia sudah tertidur. Perlahan Rio mengoyang-goyangkan telapak tangannya di depan kelopak mata Arvand. “Woah.. Sudah tertidur..” bisik Rio. Ia tertegun melihat seberapa cepat Arvand terlelap seolah tak ada beban pikiran sama sekali. Dia tertidur dengan sangat tenang seperti bayi yang kelelahan.

    Rio mehembuskan nafas dengan lengkung senyum di bibirnya. Sebisa mungkin ia mencoba bangkit dari ranjang itu tanpa menimbulkan banyak suara yang bisa mengganggu Arvand. Rio tak bisa lagi memejamkan matanya. Terlalu banyak hal yang ada di benaknya. Hampir semua hal itu terisi oleh imaji wajah Arvand. Rio melangkahkan kakinya sembari tangannya memeluk boneka penguin biru milik Arvan yang entah kapan dan kenapa sangat ia sukai.

    Suara pintu kaca bergeser pelan memecah keheningan di ruang apartemen itu. Angin malam yang dingin langsung menusuk tubuh Rio saat ia berada di beranda. Rio mengencangkan pelukannya pada boneka penguin. Andai bisa berbicara, boneka itu pasti akan menjerit dan memohon belas kasihan untuk melepaskannya.

    Seolah tak peduli dingin dan kencangnya hembus angin malam itu, Rio mendekatkan tubuhnya ke arah pembatas beranda dan mengarahkan pandangannya ke arah langit malam.

    Suara klakson dan derum kendaraan terdengar menggema di atas sana, laksana sebuah musik khas suasana kota metropolitan.
    Rio dapat melihat kota itu dirundung semacam tabir putih dari ribuan cahaya lampu, seolah melindungi kota dari serbuan kegelapan di atasnya. Sementara di atas sana, jauh di atas rambut Rio, ribuan bintang berkelip temaram, bagai berjuang melawan terangnya tabir polusi cahaya perkotaan. Rio menyayangkan tak dapat melihat sungai bintang milky way di atas sana, dan Rio hanya bisa puas dengan senyum rembulan yang tampak malu-malu di balik awan.

    Pemandangan itu sudah cukup untuk membuat Rio lupa akan dinginnya malam. Namun tidak mampu untuk menghilangkan memori yang sedari tadi terus menggantung di benak Rio. Wajah itu masih saja berputar-putar di mata Rio. Begitu juga suara-suara itu masih saja berbisik pelan di telinga Rio.

    “Aku suka kamu Rio”

    Ahh.. mengingatnya saja sudah membuat jantung Rio memompakan darah hangat di seluruh tubuhnya. Ingatan itu sudah seperti anggur merah yang begitu manis, hangat dan memabukkan pikiran Rio. Mengacaukan mana yang dulu Rio anggap benar dan salah. Mengacaukan prinsip Rio, dan mengacaukan keyakinan Rio sendiri pada perasaannya.

    Sebelumnya, pandangan Rio hanya tertuju pada punggung Don. Saat Don berkelahi atau pun saat terlibat tawuran, Rio selalu ada di belakangnya. Mendukungnya dari balik punggung yang kokoh itu. Tapi kini, Rio merasa seolah-olah seseorang bergelayut di punggungnya dan menyanyikan syair-syair yang menyejukkan sekaligus menghangatkan hati. Perasaan yang bahkan tidak pernah Rio rasakan sebelumnya, bahkan saat bersama Don. Tapi perasaan apa itu? Apakah itu cinta? Tapi bukankah cinta sejati itu hanya satu? Dapatkah cinta itu dibagi dua? Itu mustahil.

    Rio menghembuskan nafasya ke ruang kosong di depannya. Dinginnya malam itu telah membuat nafas Rio tampak seperti kepulan asap putih. Kini Rio sudah bisa merasakan begitu menusuknya hawa dingin di sana. Rio mengigil pelan. Hingga ia merasakan tubuhnya dilingkupi suatu benda yang hangat dari belakang. Dengan sedikit terperanjat Rio menoleh ke belakang.
    “A.. Anda..”
  • smentara separoh dulu ya.. hehe.. :smiley:
  • @robi_is_a_goodboy iya gpp kak, meskipun tanggung hehehe
  • @robi_is_a_goodboy iya gpp kak, meskipun tanggung hehehe
  • @robi_is_a_goodboy tapi bingung juga sih tau" udh pada mati aja,-
Sign In or Register to comment.