It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
makasih masih nyimak meski agak lama posting updatenya ^^ . ini kelanjutan ceritanya. semoga berkenan dan selamat membaca.
***
Cincin 12. Pelarian
Matahari naik semakin tinggi dan tinggi, menerangi setiap pintu dan jendela. Manusia-manusia berhamburan keluar dari pintunya masing-masing seperti semut-semut yang keluar dari sarangnya. Beberapa memilih tidak keluar dari pintu dan bertahan di ranjangnya. Beberapa bahkan tidak memerlukan pintu untuk ke luar. Mereka hanya perlu berjalan keluar dari bayang-bayang jembatan dan sela-sela bangunan.
Sisa-sisa udara dingin malam itu masih terasa di pagi yang cerah itu. Seolah masih belum rela pergi meninggalkan kota dengan segala kesibukannya di pagi hari. Seolah masih berusaha membujuk manusia untuk kembali ke sarangnya yang hangat.
Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Varos yang kini tengah duduk di sebuah kursi cafe di pinggir jalan. Menghirup teh keduanya yang kali ini dengan sebuah irisan tipis lemon di dasar cangkirnya. Sensasi hangat seketika menyebar ke seluruh tubuhnya dan mengusir hawa dingin yang menggelitik tubuhnya sedari tadi.
Kegiatan ini adalah sebuah rutinitas yang Varos lakukan setiap pagi. Memandangi bagaimana manusia-manusia bergelut melawan waktu dan berlomba-lomba sejak matahari terbit, seolah menjadi suara tembakan dalam sebuah lomba lari. Terkadang Varos berpikir bagaimana rasanya menjadi manusia normal, yang jika dibandingkan dirinya, memiliki usia yang begitu pendek. Mereka bisa mengenal tiap wajah dan nama seumur hidup mereka, namun jumlah yang mereka ingat tak sebanding dengan yang Varos ingat, karena Varos mengingat seumur hidupnya, yang artinya hampir selamanya. Sementara wajah-wajah yang ia ingat hidup begitu singkat dan mati begitu lekas. Itulah kenapa Varos dan eldar yang lain memilih untuk menjauh dan memisahkan diri dari manusia. Menghindari sejauh mungkin kedekatan dengan manusia, karena itu semua hanya menimbulkan rasa sakit. Sebagai sesama manusia yang seolah ditakdirkan untuk dipinggirkan dan disisihkan di tempat yang berbeda.
Sejenak perhatian Varos beralih ke arah sosok anak kecil yang berjalan bergandengan tangan dengan seorang wanita tua dengan topi lebar dan sekeranjang penuh bahan belanjaan. Mereka tampak tengah bercengkerama seperti membicaran menu makan malam atau apa yang si anak kecil inginkan. Ah, pemandangan yang hangat. Meski jujur saja, Varos memilki penilain sendiri yang terkesan lebih dingin.
Yang muda tumbuh dan yang tua mati. Selalu muncul wajah baru di muka bumi setiap harinya. Setiap matahari menunjukkan wajahnya di permukaan bumi, ia akan menemui sebuah wajah baru di sana, dan di waktu yang sama ia akan kehilangan sebuah wajah lama. Terkadang hal itu mnggelitik benak Varos. Tuhan memang Mahakuasa. Selama Varos hidup, tak pernah ia melihat dua wajah yang persis sama. Setiap zaman wajah-wajah baru bermunculan dan yang lama tidak pernah terungkit kembali. Tidakkah kau berpikir jika Tuhan begitu kreatif? Itulah kekuasaan Tuhan. Atau memang mungkin Dia cepat bosan. Untuk itulah diciptakan jutaan manusia baru setiap tahunnya, seolah menguji apakah manusia-manusia yang baru lebih baik kualitasnya dengan yang lama. Tapi manusia-manusia mungkin tidak memikirkan hal ini, bahwa apakah mungkin suatu saat Tuhan benar-benar merasa bosan dengan ‘Manusia’? Dan apakah yang akan terjadi saat itu terjadi?
Seketika langkah si anak kecil dan sang nenek terhenti, begitu juga manusia-manusia lain. Varos tak mendengar suara langkah kaki lagi, yang sebelumnya terdengar terus beruntun. Langit berubah menjadi kelam dan setiap benda seolah membeku di udara.
Varos hanya menghembuskan nafas pelan dan meletakkan cangkir tehnya. Dalam kesunyian total itu, sebuah suara yang tak asing di telinga Varos terdengar begitu halus.
“Apa yang kau pikirkan Varos?”
Mata Varos terarah ke sosok wanita yang duduk di kursi di depan Varos. Wanita itu tampak mengenakan jubah panjang, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wajahnya tertutup cadar tipis, menyisakan dua bola matanya yang berwarna hijau segar. Mata itu tampak berpendar asing di warna sekitar yang monokrom itu.
“Bukan apa-apa Imradha..” sahut Varos dengan senyum simpulnya. “Aku hanya bertanya-tanya apakah hari itu akan benar-benar tiba.”
Wanita yang bernama Imradha itu tampak mengerling ke arah langit, ke arah bulan yang tampak bersinar redup.
“Mungkin dia masih tertidur. Tapi pergerakannya kian terasa dan semakin intense. Tidak butuh waktu lama hingga ia terbangun sepenuhnya.”
“Hmm..”
“Kenapa Varos? Apa ada sesuatu yang menggangu pikiranmu?”
“Tidak Imradha. Hanya saja, aku sungguh berharap hal itu tak terjadi. Setidaknya untuk saat ini.”
Imradha tampak terdiam melihat Varos yang kini menghirup tehnya. “Kau tidak bisa menentang keputusanNya, Varos. Tandanya semakin jelas. Datangnya hari itu sudah tak terelakkan lagi.”
Suara tenang Imradha membuat Varos merasa tercekik saat meminum tehnya. Kerongkongannya terasa terbakar.
“Tapi tak ada kata terlambat bukan?”
Varos mungkin saja sudah mengenal wanita bernama Imradha itu hampir selamanya, namun hingga kini ia masih merasa menggigil kedinginan ketika melihat mata dengan sorot yang begitu serius milik Imradha. Dan saat ini, ia pun merasa menggigil. Tampak dari ujung jari telunjuknya yang bergetar lemah.
“Tergantung dari sejauh mana persiapanmu Varos. Sampai kapan kau akan bermain-main?”
“A..Apa? Aku tidak bermain-main! Aku mungkin tidak seserius kau, tapi tetap saja aku salah satu Eldar yang disiplin dengan tugas-tugasku.” Elak Varos tampak begitu meragukan, terlebih dari bagaimana ia menghirup tehnya dengan gegabah hingga beberapa airnya tumpah ke setelannya.
“Dan, dengan dia?”
Varos yang semula sibuk dengan setelannya yang basah, kini kembali serius. “Oh, dia melakukan tugasnya dengan baik, sejauh ini. Berkatnya kita bisa mengulur waktu hingga persiapannya benar-benar matang. Tapi... apakah kau tidak bisa melihatnya sendiri? apa kau..”
“Pendirianku tidak beubah Varos. Sebagai seorang eldar, dia sudah gagal menjalankan tugas dan prinsip yang selama ini kita pegang teguh. Dia pantas diasingkan, dan aku pun tidak merasa begitu perlu bertatap mata dengannya.”
Varos terdiam sejenak lalu matanya mengerling ke arah kerumunan yang membatu.
“Jadi.. hanya ada kita berdua saja sekarang?”
“Itu tergantung, dari bagaimana dia menyelesaikan tugas ini. Apakah dia bisa membuktikan dirinya sebagai seorang eldar yang layak atau tidak.”
“Hmm... baiklah. Bahkan dengan matamu, kau tidak bisa melihat hasilnya ya?”
Imradha tidak menjawab pertanyaan Varos dan memilih untuk mengutarakan pertanyaan lain yang menurutnya lebih perlu untuk dipikirkan.
“Lalu, apa langkahmu selanjutnya, Varos?”
Seolah baru saja mendapatkan pertanyaan menarik yang sedari tadi ia tunggu, Varos tersenyum puas. Ia menggoyang-goyangkan isi cangkirnya yang sudah tinggal sedikit.
“Aku ingin menguji sesuatu terlebih dahulu.”
Imradha terdiam sesaat, seolah sedang mencoba membaca dan menebak isi pikiran Varos. Varos bisa merasakan sinar mata imradha menembus langsung bola matanya hingga ke otaknya. Di saat Varos merasa begitu canggung, ia justru melihat tubuh imradha perlahan terurai seperti debu-debu berwarna zamrud ke udara.
“Kalau itu keputusanmu, maka kau harus bergegas.”
Varos hanya menjawab dengan senyuman. Tampak setitik keraguan di senyumnya.
Pada saat tubuh imradha sudah hampir lenyap dari pandangannya, Varos berkata sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Imradha, bagaimana pemandanganmu di situ? Apakah.. Bumi terlihat begitu indah?”
Imradha masih terdiam. Matanya menatap Varos dengan tenang tapi juga dingin dan hampa. Hingga mata yang berwarna hijau nan indah itu lenyap menjadi jutaan debu zamrud yang menguap ke langit. Warna monokrom di sekitar Varos berubah menjadi berwarna-warni kembali. Anak kecil dan neneknya beserta kerumunan manusia kembali berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Air kembali menetes dan detik jam di dinding kembali berjalan. Namun Varos masih bisa mendengar suaranya yang serius dan angkuh itu.
“Masih sama, Varos.” Ujar Imradha.
Matanya tampak berpendar, memantulakan wajah bumi di matanya yang kehijauan. Kini tampak tempat imradha berdiri. Sebuah padang yang tandus keperakan. Langit begitu gelap, dan tampak dari sana planet yang Varos pijak. Tampak seperti bulan dengan warna yang kebih beragam dan menyejukkan mata. Sementara di tanah tempat imradha berdiri, gemuruh perlahan terasa dan mnggetarkan bebatuan. Beberapa jatuh kembali ke permukaan, sementara yang lain melayang perlahan. “Mungkin sudah jauh berkurang indahnya, tapi tetap saja, bumi masih terlalu indah untuk lenyap ke dalam kegelapan”
Tangan imradha meraih bebatuan itu dan menggenggamnya dengan erat, hingga berubah menjadi butiran debu di udara.
“Masih terlalu indah, Varos.”
***
Arvand tampak termenung di sisi ranjangnya. Tampak kecemasan di air mukanya. Kecemasan itu berhasil Rio tangkap begitu Rio memasuki kamar Arvand. Segera saja ia duduk di samping Arvand dan menepuk bahunya.
“Hey..”
“Ah, hey Rio..” balas Arvand dengan sedikit canggung.
Kecurigaan Rio semakin menguat melihat gelagat Arvand yang tidak sesantai biasanya. “Apa kau baik-baik saja, Arvand? Kau tampak.. cemas.”
Arvand tak menyangka Rio menyadari kecemasannya begitu cepat. Sejenak ia terdiam dan mengepalkan tangannya. “Rio.. kurasa kita harus keluar dari tempat ini.”
Mata Rio tampak bergerak-gerak, mencoba menerjemahkan arti pandangan Arvand padanya. “A..apa maksudmu Arvand? Varos menyuruh kita untuk tetap tinggal di sini.”
“Ya.. aku tahu.. Tapi.. kita membuat satu kesalahan, Rio.”
“Kesalahan? Kesalahan apa maksudmu?”
Arvand tampak menggaruk-garuk kepalanya seperti kebiasaannya saat sedang bingung. “Apakah kau ingat pagi itu, saat aku mengajakmu berangkat ke sekolah bersama-sama? Aku meningalkan sepeda motorku di rumahmu.. Jika mereka memeriksa motor itu..”
Kepala Rio seakan dipukul palu dewa Thor. “Kalau mereka memeriksa informasi terkait kepemilikian motor itu, mereka akan tahu tentangmu.”
Arvand mengangguk dengan kikuk. “Maafkan aku karena baru menyampaikannya padamu Rio..”
Rio segera menggandeng tangan Arvand dan menariknya beranjak dari ranjang itu. baru saja wajah Rio sampai di batas pintu, Armitha sudah menghadang jalannya dengan wajah sama paniknya.
“Ada apa Armitha? kita harus segera meninggalkan tempat ini!”
Mata Armitha membulat, tampak kecemasan yang sama tersirat di wajahnya, “Kau benar Rio. Tapi pasukan mereka sudah mengepung tempat ini.”
Mata Rio dan Arvand tampak melebar. Kini sekali lagi Rio merasa dipukul dengan palu Thor. Jantungnya berdegup kencang dan pikirannya menjadi kacau. “I..Ini tidak mungkin! Varos bilang kalau tempat ini aman. Mung..mungkin saja..Varos sudah meletakkan mantra atau semacamnya di rumah ini.. atau..”
Ucapan Rio terhenti ketika tangan Arvand menggenggam erat tangannya. Dan kekacauan di kepala Rio seakan berhenti.
“Tidak ada waktu Rio..”
Arvand menarik tubuh Rio ke arah beranda, diikuti Armitha dan Kamal. Rambut Rio berkibar ketika pintu beranda dibuka. Arvand tampak mencondongkan sedikit wajahnya ke bawah. Beberapa kendaraan militer tampak berdatangan membentuk barikade membentengi gedung apartemen. Beberapa petugas memblokir jalan dan mengevakuasi orang-orang di sekitar gedung itu. Rio yang melihat hal serupa kembali kacau. Tangannya entah sejak kapan bergetar. Di kepala Rio, bayangan masa lalunya saat ditikam dan cerita Varos tentang akhir tragis pemilik cincin noldo merebak kembali, mengacaukan pandangan Rio. “A..Apa yang harus kita lakukan sekarang?? Oh,, kita akan mati!”
Arvand langsung menggenggam erat tangan Rio dan menatap mata Rio lekat-lekat hingga Rio bisa melihat warna mata Arvand yang tampak begitu serius. “Tenanglah Rio.. kita tidak akan mati. Aku berjanji padamu. Kau percaya padaku bukan?”
Mata Rio bergerak-gerak menatap mata Arvand. Dalam hantinya ada sedikit keraguan, namun saat melihat mata Arvand yang begitu yakin emmbuat Rio tak berdaya. “Aku percaya padamu Arvand.”
Wajah serius Arvand mulai bergnati menjadi senyum lega sekarang. Dengan sigap ia berlari kembali memasuki ruangan apartemen menuju kamarnya. “Aku akan menyiapkan jalannya, kalian bertiga tolong hambat pintunya dengan apapun yang berat!”
Spontan Rio, Armitha dan Kamal berlari menuju pintu masuk. Meletakkan kursi, meja dan lemari di depannya. Saat yakin pintu itu sudah terhambat dengan cukup sempurna, ketiganya kembali menuju beranda, tempat Arvand sibuk dengan tali tebal yang biasa digunakan untuk panjat tebing.
“A..Arvand.. apa yang kau lakukan?” tanya Rio.
Arvand hanya menjawab dengan senyum penuh misteri dan mengikatkan tali itu dengan kuat disebuah pengait.
“Oh.. kumohon.. jangan rencana itu..” gumam Rio dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Armitha tampak lemas dan terpaksa Kamal harus menopang badannya.
***
Almari yang mengganjal pintu masuk tampak bergetar hebat beberapa kali, disertai dengan bunyi debuman yang keras, hingga akhirnya dengan suara ledakan yang kuat, lemari itu terbang beserta dengan meja serta kursi di belakangnya. Pintu depan tampak ringsek, dan segerombolan pasukan dengan pakaian pelindung lengkap serta senjata api memasuki ruangan seperti rayap yang menyergap sarang semut. Segerombolan pasukan itu tampak menyebar dan menyisir ruangan, semnetara salah satu di antara pasukan itu berjalan menuju beranda. Matanya memicing saat melihat sebuah sofa besar yang menghalangi pintu menuju beranda. Pria itu melompati sofa itu dan mendapati di salah satu kakinya terililit sebuah tali yang mengarah ke bibir pagar beranda.
“Sial!” umpat pria itu ketika melihat tali itu mengarah ke sebuah gedung di seberang apartemen.
Pasukan tampak kembali berkumpul di ruangan. “Seluruh ruang, kosong pak!”
“Segera hubungi semua pasukan untuk bergerak di gedung sektor B! Target pasti tak berlari cukup jauh dari sana!”
“Siap, Pak!”
Langsung saja pasukan itu bergegas meninggalkan ruangan itu. sementara pria di beranda masih di sana, menggosok-gosok cincin berukirkan motif anjing di jari tengahnya. Dengan satu hirupan ia seolah membaui tempat itu, mencoba mencari jejak mangsanya. Ia mendekatkan langkahnya hingga ke bibir pagar beranda. Matanya tampak memicing ke segala arah, hingga akhirnya ia merasa yakin bahwa mangsanya tidak ada di sana.
“Hmm.. pewangi ruangan sial.”
Usai menggerutu, ia kembali, setengah berlari meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, satu lantai di bawah beranda Arvand, perlahan muncul sosok Armitha, Kamal, Arvand dan Rio. Tampak Rio menghembuskan nafas lega. “Oh Arvand, aku tak menyangka idemu begitu brilian.”
Arvand hanya tersenyum mendengar sanjungan Rio.
“Belum saatnya untuk lega, keadaan kita masih terancam. Kita harus segera meninggalkan tempat ini.” Ujar Kamal.
Armitha mengangguk setuju dengan kata-kata Kamal. “Ya, Kamal benar. Tapi setelah ini, akan ke mana kita? Kita tak memiliki tempat bersembunyi lagi.”
“Dan.. Dan bagaimana dengan ayahmu, Arvand? Mungkin saat ini ayahmu selamat karena ia pergi ke tempat syuting, tapi.. “ Rio tak sanggup melanjutkan kata-katanya ketika melihat ekspresi Arvand yang kosong dan termenung.
“Betul sekali, dia pun tak lama lagi akan tertangkap”
Suara itu menggelegar bersamaan dengan terbukanya pintu beranda tempat mereka bersembunyi. Seketika tubuh mereka membeku. Rio bisa melihat wajah Armitha yang kaget dan memucat melihat pemilik suara di belakang Rio. Ingin sekali Rio menoleh untuk melihat asal suara itu, namun apa daya, seluruh tubuhnya kaku dan dingin.
“Bukankan seharusnya kalian mencemaskan diri kalian sendiri?” Ujarnya dengan senyuman seringai yang dingin.
“Varos?”
Suara Arvand seolah melelehkan kekakuan di tubuh Rio dan langsung saja ia menoleh. Matanya melebar ketika melihat sosok di belakang benar-benar Varos. “Varos! Sial kau! Darimana saja kau!”
Buru-buru saja Arvand membekap mulut Rio dan memaksanya menunduk ketika suara helikopter bergemuruh mendekat. Mata Rio bisa melihat dari atas bibir pagar beranda, sebuah helikopter berwarna hitam menyembul keluar dan seolah menyorot mereka. Beruntung saja, Kamal segera menggunakan kekuatannya sehingga mereka tak terlihat dari heli yang melintas.
Begitu helikopter itu menjauh, Kamal melepaskan kekuatannya. Varos langsung berdiri dan tampak mengusap-usap cincinnya. “Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera menyingkir dari tempat ini.”
Rio melihat Varos tampak membisikkan sesuatu di kepalan tangannya seolah berdoa, kemudian ia mengulurkan tangan dan cincinnya ke udara kosong. Seketika cincin itu berpijar menjadi seperti cairan berwarna hitam dengan kepulan asap kehitaman dan percik-percik api.
Pemandangan itu membuat Rio, Arvand, Armitha dan Kamal takjub. Mereka tak pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya.
“Apa yang kau lakukan varos?” tanya Rio.
“Hehe.. kau akan tahu ketika mencobanya.” Ujar Varos.
Seketika Rio merasakan angin kencang yang seolah menyedot tubuhnya ke arah cairan yang berputar membentuk sebuah lingkaran. Lingkaran itu semakin melebar, dan saat muncul sederet huruf-huruf aneh mengelilingi lingkarang itu, bagai sihir, dari tengah lingkaran hitam itu tersibak sebuah cahaya menyilaukan berwarna keemasan.
Sementara dari helikopter, salah seorang petugas melihat pemandangan itu dan mengisyaratkan untuk kembali ke tempat itu.
Melihat datangnya helikopter, Varos segera menggaet tangan Arvand. “Cepatlah! Kalau tidak ingin mati di sini, cepat masuk!”
Dengan satu lemparan, Arvand terhempas masuk ke dalam lingkaran itu.
“Arvand!”
Rio tak memiliki pilihan lain dan segera menyusul Arvand dengan melompat ke arah lingkaran itu, begitu juga Armitha dan Kamal yang tidak memilki pilihan lain selain ikut masuk ke dalam lingkaran aneh itu.
Sementara di ruang komando, di kursi berlengannya Kroda tampak terkejut dengan tampilan yang ia lihat dari monitor. Tampak di sana sebuah lingkaran keemasan dengan bingkai hitam dan seorang lelaki berjubah hitam yang menoleh ke arahnya.
“Hai, Kroda..” bisik Varos dengan senyumnya yang khas.
Kroda yang matanya masih tertegun dengan pemandangan di monitor tampak merogoh microfon di depannya. “Tembak dia.”
Sesuai perintah Kroda, helikopter itu langsung menghujani Varos dengan peluru-peluru tajam. Namun sekali lagi, aksi itu hanya membuat mereka tercengang, karena peluru-peluru itu hanya mematung tak bergerak tanpa mampu menyentuh terlebih melukai tubuh Varos.
Dengan senyum penuh kepuasan Varos memasuki lingkaran itu dan menghilang dari pandangan semua petugas dan Kroda. Lingkaran hitam itu segera menciut hingga berupa titik kecil dan akhirnya menghilang.
Segera setelah lingkaran itu menghilang, peluru-peluru yang tadinya mengambang di udara kini kembali meluncur menghujani target yang telah menghilang. Memecahkan kaca dan meretakkan lantai.
Sementara di ruang komando, Kroda mengenggam erat microfon di depannya hingga tampak tetes-tetes berpijar mengalir dari telapak tangannya.
Asap putih mengepul melwati wajahnya yang memerah dan berkeringat.
“Beraninya kau ikut campur dalam urusan kami, tuan Eldar?”
***
Di seberang sana, sebuah lingkaran hitam lain muncul, dan satu persatu, Arvand dan yang lain muncul dari lingkaran itu. jatuh ke sebuah alas berumput dan lembab.
Rio tampak berusaha bangun dibantu oleh Arvand. Matanya memandang ke sekeliling. Sejauh mata Rio melihat, yang ia temukan adalah warna hijau pepohonan. Tak ada dinding-dinding dari semen dan beton. Semua hanya pohon.
“Tempat apa ini?” tanyanya kepada Varos yang baru saja tiba. Lingkaran tadi kini berputar dan menciut di jari Varos hingga akhirnya kembali ke bentuk asalnya; sebuah cincin hitam licin dengan ukiran tulisan aneh yang berpijar keemasan.
Dengan senyumannya, ia berjalan melewati Rio. Pandangannya menyusuri sekelilingnya sebentar dan ia merentangkan tangannya seolah ingin menyambut seorang kawan lama. “Selamat datang, di salah satu tempat yang paling tidak ingin kau kunjungi di dunia. Hutan Aokigahara.”
Yg semangat rio, jng lupa sama don ya....
Seret @Aurora_69 @Riyand @Rhein.a
@Hiruma @boyszki @Lebes @LostFaro
@QudhelMars @Apell @lulu_75 selamat membaca. ^^
Cincin 13. Jeritan Hutan
Rio tampak berjalan terseok-seok diiringi oleh Arvand, Armitha dan Kamal. Wajah mereka tampak lelah dan pucat. Mata Kamal terus mengawasi sekeliling dengan waspada. Mata Armitha tampak sesekali melihat ke sekitar dan ke pepohonan tinggi dengan khawatir. Sementara Arvand sudah bertanya untuk ketujuh kalinya pada Rio yang tampak kelelahan di depannya. “Apa kau baik-baik saja?”
Awalnya Rio dapat menjawabnya dengan sebuah senyuman dan kata-kata ‘aku tidak apa-apa’, namun kini ia hanya bisa menghembuskan nafas berat. Tak dapat ia pungkiri bahwa perjalanan ini menguras tenaganya. Sudah dua jam lebih mereka berjalan, namun pemimpin barisan itu, Varos, tampak tak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka telah sampai di tempat tujuan.
“Masih seberapa jauh lagi Varos?” tanyanya dengan suara tersengal.
Varos hanya menoleh sejenak dengan tampang acuh sambil meneruskan langkahnya. “Kalau aku bilang dekat apakah kau akan merasa lebih baik?”
“Setidaknya itu memberi harapan..”
“Kalau begitu kita sudah dekat.”
Rio hanya menunduk dan menghembuskan nafas berat. “Dia berbohong”
Melihat kondisi Rio membuat Arvand semakin gelisah. Dihampirinya Rio dan memegang pundaknya. “Kau tampak lelah Rio. Biar aku menggendongmu.”
“Apa? Haha.. Ti.. hah.. Tidak Arvand.. Harga diriku bisa hancur jika mereka melihatmu mengendongku.” Ucap Rio dengan tawa yang dipaksakan. “Aku tidak selemah yang kau pikirkan.. aku hany-Ouuch!!”
Langkah Arvand terhenti melihat Rio yang tiba-tiba mengerang kesakitan dan tampak mengangkat kakinya,
“Astaga, kakimu berdarah Rio” seru Armitha yang segera mengampiri Rio dan mengamati luka di kakinya.
“Uhh.. tidak apa-apa Armitha. Cuma luka kecil..” tampak Rio meringis menahan perih ketika Arvand mencabut beberapa duri di kakinya.
Saking lelahnya sampai Rio tidak memperhatikan jalan yang ia tapak. Tampak tumbuhan berduri di sekitar jalur yang mereka lalui, dan mereka (terkecuali Varos) berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Selain karena memang mereka tidak membawa sepatu saat mereka kabur, Varos memang menginginkan mereka berjalan dengan kaki telanjang.
“Kita perlu istirahat sejenak Tuan Varos!”
Seruan Arvand membuat membuat Varos menghentikan langkahnya dan menoleh dengan sebal. “Dia kan memiliki kekuatan penyembuh. Harusnya luka seperti itu tak berarti apa-apa”
Tampak kesan kekecewaan pada raut wajah Arvand. Meskipun saat ia melihat kembali kaki Rio, luka itu sudah semakin mengecil dan akhirnya hilang. Meninggalkan sedikit noda darah di sekitarnya.
“Nah, kan. Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Matahari semakin terbenam. Kalian tidak akan mau bermalam di tempat seperti ini.”
Varos kembali berjalan memimpin jalan, sementara Arvand dan Rio hanya bisa memandang punggungnya dengan tatapan jengkel sekaligus mengibakan.
“Aku tidak apa-apa Arvand. Benar kata Varos. Lukaku sudah sembuh. Aku bisa melanjutkan perjalanan,”
Baru saja Rio menyelesaikan kata-katanya, dia sudah merasakan tubuhnya terangkat. “Ah..! Apa yang kau lakukan Arvand?”
“Membopongmu, tentu saja.” Sahut Arvand santai sambil mulai melangkah.
“Bu..bukan itu maksudku.. Kenapa kau membopongku segala..? I..ini membuatku malu..” rasa malu Rio semakin menjalar ke kepalanya ketika melihat kebelakang, wajah Armitha dan Kamal tampak tertawa kecil. Rio tak mengerti maksud tawa itu, hingga ia memilih untuk memberontak dengan menepuk-nepu dada Arvand. “Turunkan aku Arvand.. Aku sungguh malu!”
“Tapi kau sudah lelah dan mulai tidak hati-hati. Kalau kau sampai jatuh atau terluka lagi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri.”
Rio sekali lagi merasakan jantungnya berhenti berdegup. Rio terdiam dengan wajah memerah. ‘Arvand, kenapa harus di saat seperti ini kau mengatakan hal semacam ini..’
“Ka..kalau begitu gendong aku di punggung saja..”
“Err.. baiklah kalau itu membuatmu lebih nyaman.”
Arvand menurunkan tubuh Rio dengan hati-hati kemudin membungkukkan tubuhnya, sehingga Rio bisa menaikinya.
“Ya.. lebih nyaman..” gumam Rio saat dia sudah berada di atas punggung Arvand.
“Apakah anda juga..”
Armitha yang seolah sudah tahu maksud Kamal segera menggeleng dan kembali melangkahkan kakinya dengan senyuman kecil. Tampak sekali kalau ia masih ingin mempertahankan wibawanya sampai akhir.
Perjalanan kembali dimulai. Beberapa kali Varos berteriak ketika langkahnya semakin jauh dari rombongan. Sementara itu Rio menyandarkan pipinya di punggung Arvand, sehingga ia dapat mendengar degup jantungnya yang cepat dan nafasnya yang memburu.
“Apa kau lelah Arvand? Kau bisa menurunkan aku sekarang..”
Rio bisa merasakan sesansi menggelitik ketika Arvand menggelengkan kepalanya, menggesekkan rambut putihnya di wajah Rio. “Tidak rio. aku masih kuat.”
Rio hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Sebenarnya kekuatannya sudah pulih dan mampu untuk berjalan mungkin satu-dua kilometer lagi, namun tak bisa ia pungkiri bahwa ia sudah terlanjur merasa nyaman berada di atas punggung Arvand. Begitu hangat dan kuat. Ia hanya bisa bersikap seolah-olah menyayangkan sikap Arvand yang menolak menurunkannya.
Ia baringkan pipinya di punggung Arvand, sehingga ia bisa memejamkan matanya sejenak. Merasakan kesempatan itu sekaligus membentangkan pikirannya yang sedari tadi seolah dibentengi oleh penat.
Ia ingat pertanyaannya setelah Varos melakukan sesuatu hal semacam teleportasi ke tempat ini.
“Aokigahara? Bukankah itu artinya kita berada di jepang? Bagaimana bisa?
“Yah, aku hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi sekritis tadi. Teleportasi satu-satunya jalan. Tidak semua orang pernah merasakan perjalanan menembus ruang dan waktu seperti yang kalian alami. Tapi aku tidak akan melakukan itu lagi pada kalian.”
Armitha, Kamal dan Arvand hanya saling pandang dengan tatapan bingung seolah tak percaya dengan yang Varos katakan. Selagi Arvand berbisik ‘Waw’ pelan, Rio bertanya dengan wajah curiga. “Kenapa?”
“Karena aku bukan supir taksi lintas-dimensional pribadi kalian.”
“Bukan! Maksudku kenapa harus tempat ini?”
Varos menjentikkan jarinya dengan wajah yang seolah hendak berkata, ‘Aha!’.
“Pertanyaan bagus.”
Varos membalikkan badannya dan berjalan semakin dalam memasuki hutan. Rio dan yang lain tampak perlahan mengikuti langkah Varos secara intuitif.
“Hutan ini bukan hutan biasa Rio, Arvand, Armitha dan.... (Kamal perlu membisikkan namanya dulu, hingga Varos menjentikkan jarinya) Kamal. Seperti yang kukatan tadi, hutan ini adalah hutan Aokigahara. Salah satu hutan terluas di Jepang dan di seluruh dunia. Di sini kalian akan memulai latihan untuk menghadapi musuh-musuh kalian.”
Armitha dan Kamal tampak tertegun. Mereka tak menyangka kalau mereka diikutsertakan dalam latihan yang Rio minta.
“Tapi apakah harus di sini? Di Aokigahara?”
“Ya, harus Rio. kita mungkin bisa melakukan latihan di tempat dan hutan yang lain. Tapi, tak ada yang lebih berarti daripada di sini. Karena hanya di sini kalian akan memiliki kesempatan bertemu dengannya.”
Langkah Rio terhenti dengan tatapan semakin memicing curiga. “’Nya’?”
“Ya. Itu semacam kata ganti untuk orang ketiga tunggal. Tapi kutahu bukan itu yang ingin kau tanyakan.”
Varos berbalik dengan tatapan mata yang cerah. Wajah yang biasa ia tunjukkan ketika hendak mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
“Dia adalah teman lamaku, sekaligus orang yang dapat memberikan perlindungan pada kalian. Dia, pemegang salah satu cincin kuasa Ardha corma, Alda.”
Benak Rio kembali ke sandarannya di punggung Arvand. Rio sungguh penasaran seperti apa rupa dari pemegang cincin Alda. Varos berkatan bahwa cincin itu menjadikan pemegangnya penguasa di hutan. Mengendalikan pepohonan, aliran sungai, bahkan hewan-hewan di dalam hutannya. Varos mengatakan itu semua dengan nada penuh kekaguman, namun bagi Rio itu semua tidak terlalu spesial. Bagaimana pepohonan bisa melindungi dirinya?
“Varos! Apakah masih jauh?”
Suara lantang Rio membuat alis Varos berkerut kesal. “Kau sudah digendong masih saja mengeluh.”
“Aku tidak mengeluh Varos. Hanya saja aku ragu kalau kau benar-benar tahu jalannya. Hari semakin malam dan kita masih saja belum sampai di rumahnya.”
“Cih, kau pikir siapa aku? Aku salah satu eldar!”
Seakan mendukung Rio, Armitha melayangkan keraguannya. “Rio benar tuan.. jika anda sudah tahu tempatnya, kenapa anda tidak langsung mengirim kami langsung ke tempat itu? Dengan kekuatan anda tadi?”
Varos seketika berbalik, yang tentu saja menghentikan langkah rombongan sekaligus mengagetkan mereka.
“Biar kujelaskan dua hal. Pertama, aku sudah bilang bahwa kekuatanku bukanlah mainan yang bisa kalian pakai seenak kemauan kalian. Kedua, hutan ini adalah sarana latihan kalian. Berjalan di hutan dengan kaki telanjang membuat kalian terbiasa merasakan penderitaan, dan rasa lelah, akan menjadi teman akrab kalian sampai kita tiba di kediaman tempat pemegang cincin Alda berada.”
Keempat orang di depan Varos tampak tertegun. Mata Varos memicing ke arah Rio, yang kemudian buru-buru turun dari punggung Arvand.
“Ketiga, anggap saja ini bonus nasihat dariku. Jangan sampai melepaskan diri dari rombongan. Kalian mungkin tidak menyadarinya, tapi semenjak kalian menjejakkan kaki di tempat ini, kekuatan Alda sudah merebak seperti kabut di udara.”
Semilir angin tiba-tiba saja berhembus, menggerakkan dedauanan dan ranting-ranting. Dedaunan kering di tanah beterbangan di mata kaki Rio. Entah kenapa Rio baru saja menyadari kenapa Kamal terus mengawasi ke sekliling dan kenapa Armitha selalu tampak cemas. Rio bisa merasaknnya sekarang. Suatu perasaan aneh yang menjalar bagai tumbuhan merambat di tubuh Rio. Entah itu karena memang dia baru menyadarinya atau karena tersugesti perkataan Varos saja.
“Ada sesuatu di hutan ini.. sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman.” Ujar Armitha dengan tatapan masih menyusuri sekelilingnya.
“Apakah ini kekuatan alda, tuan?”
“Ya, Kamal. Kekuatan cincin alda adalah hutan. Selama cincin itu terhubung dengan hutan ini, maka saat ini posisi kita seperti berada di dalam perut buaya.”
Angin dingin kembali berdesir. Matahari sudah tenggelam, menyisakan sisa-sisa cahaynya di langit. Pepohonan tampaknya memakan seluruh sisa cahaya itu dan kegelapan menyeruak dari dalam hutan. Bagaikan hantu yang berdesir pelan di wajah pucat Rio.
“Krakk!!!”
Sebuah suara seperti sesuatu yang patah terdengar agak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Siapa itu!” teriak Kamal yang kemudian berlari menuju tempat asal suara itu.
“Tunguh! Hey!” Varos mencoba mencegah Kamal, namun terpaksa ia harus ikut berlari mengikutinya.
Armitha, Arvand, dan Rio saling berpandangan dan ikut berlari mengikuti Varos. Jujur saja mereka begitu takut untuk berdiri di sana sendiri tanpa Varos. Setidaknya itu yang dipikirkan Rio.
“Ada apa?”
Suara Armitha tampak tercekat ketika melihat sebuah bayangan di balik punggung Varos dan Kamal. Kamal segera berbalik seolah mencegah Armitha untuk melihatnya.
Mata Rio melebar melihat sosok di depannya. Bau busuk yang menyengat seperti mencekik tenggorokan Rio. Dan melihat bagaimana lalat-lalat beterbangan dan belatung-belatung yang menggeliat membuatnya ingin muntah.
“Tampaknya angin berhasil membuat ranting rapuh ini tak kuat menyangga jasad ini.”
Varos tampak tenang merogoh saku baju dan celana jasad membusuk yang menggantung di seutas tambang. Tampak dahan tempat tambang itu diikat itu sudah patah, tapi tidak benar-benar putus, sehingga membuat jasad itu tampak menggantung aneh seperti balerina yang bertumpu pada ujung jempolnya.
Wajah Armitha tampa begitu pucat dan seperti hendak menangis. Begitu juga Rio. Pertama kali ini ia melihat pemandangan orang yang sudah mati, terlebih lagi yang sudah membusuk dengan kondisi begitu mengenaskan seperti yang ia lihat saat itu. Bau yang menyengat seolah masih meresap menembus jemari yang menutup hidungnya.
“Aha! Beruntung sekali, err... pria ini, membawa sebuah senter dengan baterai masih cukup baik. Tampaknya dia mati tidak lama.”
Varos tampak terkejut melihat wajah-wajah rombongannya ketika ia berbalik.
“Heh.. inilah kenapa aku menyuruh kalian bergegas.” Ujarnya sambil melewati mereka.
“Ini bukanlah hutan tempat kalian bisa berjalan sambil bercengkrama dan membicarakan jumlah celana dalam yang kalian bawa. Ini adalah hutan kematian!”
***
Berkas sinar rembulan tampak berjuang keras menembus dedaunan yang rapat. Sisa-sisa cahaya itu sukses mengenai mata Rio. Setelah bulan kian tinggi, dan tak kuat menahan nafas romobingannya yang tersengal-sengal, Varos akhirnya menghentikan perjalanan sejenak dan beristirahat.
Kini Rio duduk di dekat api unggun yang kini menyisakan bara kecil dan asap putih. Berkas cahaya dari api kecil dan sedikit cahaya bulan tampak menyinari wajah Arvand yang tertidur pulas di dekat Rio duduk. Begitu juga Kamal yang tidur dengan posisi duduk dan Armitha tertidur di pangkuannya.
Sejenak Rio memandangi wajah Arvand. Tampak ia sangat kelelahan hingga tidur begitu pulas. Atau memang sudah jadi kebiasaannya tertidur dengan pulas? Dengan hati-hati Rio mengusap dahi Arvand.
“Kau sudah bisa tidur, Rio. Biar aku sekarang yang jaga.”
Varos tiba-tiba muncul dari rerimbunan tumbuhan dan melemparkan sebotol minuman pada Rio. Agak kewalahan Rio menangkapnya.
“Hah! Cukup aneh melihat seseorang tidak mampu menangkap benda sebaik lemparannya.”
“Diamlah Varos. Aku lelah.” Rio meneguk air di dalam botol itu dengan rakus. Sudah lama sekali ia kehausan, sejak air yang ia ambil di sungai di awal perjalanan tadi habis.
“Darimana kau dapatkan air ini?”
“aku yakin kau tidak ingin mengetahuinya. Yang jelas itu bersih dan aman.”
Rio tertawa kecil, seolah bercampur kesal karena telah dikerjai. Ia bisa bayangkan kalau itu minuman dari mayat-mayat yang tergeletak di suatu tempat di hutan ini. Tapi Rio tak mempersalahkan hal itu lagi. Yang penting ia sangat haus, dan Rio rela minum bahkan air yang tergenang di tanah atau embun yang menggantung di dedaunan.
“Varos..”
“Aku baru sadar kalau hanya kau yang tidak pernah memanggilku dengan sebutan ‘tuan’”
“Aku tak peduli. Varos, aku ingin tanya padamu. Aku dengar selama ini memang banyak ditemukan mayat korban bunuh diri di hutan ini.”
“Ya. Itulah kenapa hutan ini disebut suicide forest, dan bahkan hutan kematian. Kenapa?”
“Tidakkah kau berpikir kalau mungkin saja mereka tidak bunuh diri? Melainkan dibunuh?”
“Oleh?”
“A..Aku tidak tahu.. Mungkinkah, si pemegang cincin alda itu sendiri? kau tahu kan dia yang menguasai hutan ini?”
Varos terkekeh tak bersuara. Dilemparnya sebuah ranting kering di bara api yang mengecil sehingga api kecil yang lapar itu bisa menggeliat menggemuk kembali.
“Kau bisa tanyakan sendiri padanya Rio, saat kalian bertemu nanti.”
Alis Rio mengeryit. Tampak rasa tidak puas dari raut wajahnya. “Apakah kau yakin dia akan membantu kami?”
Varos menaikkan bahunya seakan dia tidak tahu dan melempar satu ranting lagi ke dalam bara api.
“Kita lihat saja nanti.”
Menyadari bahwa tak ada yang bisa Rio tanggapi, dia hanya mengangguk pelan sambil kembali menjulurkan tangannya dekat bara api yang kembali berkobar. Melihat berkas cahaya api memangsa ranting-ranting kering barunya dengan rakus itu membuat mata Rio kian meredup. Namun ada sesuatu di benak Rio yang selama ini ingin ia tanyakan pada seorang eldar.
“Sebaiknya kau tidur. Perjalanan esok akan lebih berat.”
Saran Varos seketika menghentikan bibir Rio untuk mengeluarkan isi kepalanya lagi. ia hendak menanyakan arti mimpinya yang selama ini menghantuinya. Juga tentang wanita itu. Wanita yang terus muncul di dalam mimpinya. Namun Varos benar. Mata Rio sudah berat sekali, seolah menarik kelopak matanya untuk segera menutup dan badannya sudah seperti pohon kecil yang bergoyang-goyang tertiup angin.
“Baiklah.”
Rio pun mengambil posisi di dekat Arvand dan tidur di sebelahnya, dalam posisi duduk, bersandar pada batang pohon yang lembab.
“Kumohon pastikan tidak ada hewan kecil seperi cacing atau kelabang, atau ular, di tubuhku.”
Varos hanya tersenyum mendengar suara lemah Rio yang kini sudah memejamkan matanya.
***