It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
boleh @needu. hahaha, cuma survey kecil kok.
cerita fantasi gni pasti seru..
tpi usahain smpai tamat ya
si madam lupa kalo harus narik tarif dari si rio
yaudah, mumpung puasa, sedekah yah madam
selanjutnya silakan kalo mau di mention
saya suka cerita ini
klimaks nya belum sampai kan ya
sial don, hmmm, dia pasti rawr sekali
regards AA
@3ll0
@Adityashidqi
@yuzz
@kiki_h_n
@TigerGirlz
@Tsu_no_YanYan
@d_cetya
@Fuumareicchi
@jacksmile
@rebelicious
@obay
@zuyy18
@egosantoso
@needu
@alvin_021
@Unprince
@faisalrayhan
@octavfelix
@dityadrew2
@shinta056
@Fours
Maaf lama updatenya guys. banyak yang aku kerjakan beberapa hari terakhir ini, plus pertimbangan2 untuk matangin konsep cerita ini. Moga teman2 bisa legawa.
::TS juga memberi peringatan sebelumnya kepada readers sebelum membaca, bahwa di chapter keenam ini akan ada adegan kekerasan fisik dan pertumpahan darah (gore).::
Cincin 6. Firasat
Mobil hitam Arvand kini sampai di depan gerbang kontrakan Rio. Rio pun melepas sabuk pengamannya dan menoleh ke arah Arvand. “Terima kasih ya, sudah menemaniku bersenang-senang malam ini.” Ujarnya dengan senyum simpul.
“Hehe,, iya.. aku juga berterima kasih sudah diajak.” Balas Arvand, tampak matanya bergerak gugup.
Melihat itu Rio hanya tersenyum kecil dan keluar dari mobil Arvand. Saat Rio sudah hendak membuka gerbang kontrakannya, Arvand membuka kaca jendela mobilnya dan memanggil namanya.
“Sebentar Rio..”
Seketika Rio menoleh ke arahnya. “Iya Arvand. Ada apa?”
Lagi-lagi wajah Arvand tampak gugup, lalu dengan senyumnya yang khas, sambil menggaruk kecil kepalanya ia berkata, “Err.. Besok boleh tidak aku berangkat sekolah bersamamu?"
‘Hah?’ batin Rio yang kini setengah tercengang. Arvand tampak nyengir sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Tapi, kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa..” sambungnya yang langsung dibalas oleh Rio.
“Tidak.. Aku tidak keberatan kok! Kalau begitu aku tunggu besok pukul enam di sini ya.. Err... Oh ya, jangan sarapan dulu. Kita sarapan bersama di kontrakanku ya..” ujar Rio dengan bersemangat. Ia tak sadar kalau wajahnya bersemu merah sekarang.
Wajah Arvand juga tampak bersemu merah dan matanya membulat mendengar tawaran Rio. “Baiklah Rio.. Aku senang sekali mendengarnya.”
Rio hanya tertawa kecil. “Iya.. Sudah lebih baik sekarang kau pulang. Supaya kau tidak terlambat bangun besok pagi.”
Arvand tampak terkejut dengan kata-kata Rio dan langsung melihat jam tangannya. “Wah, iya.. Kau benar juga, sudah karut sekali! kalau begitu aku pulang dulu Rio. Sampai jumpa!” serunya sambil melambaikan tangannya.
“Iya.. sampai jumpa..” jawab Rio.
Mobil Arvand pun melaju dan akhirnya hilang di balik tikungan, meningalkan Rio sendiri di depan gerbang dengan senyum yang cerah.
Rio menyalakan lampu ketika ia berada dalam rumah kontrakannya. Suasana segera berubah menjadi lengang ketika ia sendiri di sana. Setelah tadi ia bercanda ria dengan Arvand, kini ia harus menikmati kesendiriannya di rumah, tentu ia merasa begitu jauh perbedaan suasananya.
Rio langsung saja menuju dapur. Ia membuka kulkas dan tangannya tampak meraba-raba isi kulkasnya. Memastikan ia sudah memiliki bahan yang cukup untuk ia masak besok.
Rio jarang sekali memasak untuk sarapan, karena memang Rio jarang sekali sarapan. Ia biasa minum susu di pagi hari kemudian makan saat istirahat sekolah. Rio biasanya hanya memasak untuk makan malam. Itulah sebabnya Rio agak khawatir jika ia tidak mempunyai bahan yang cukup untuk ia masak besok pagi.
“Telur.. ada.. Tomat.. Bawang bombay.. Wortel.. Saus teriyaki...” gumamnya saat satu persatu ia memeriksa isi kulkasnya.
“Oke.” Ujarnya, kemudian menutup pintu kulkas.
Sebuah bayangan menu untuk sarapan besok sudah ada dalam kepalanya, yaitu omelet. Namun setelah ia pikirkan kembali, ia mulai ragu dengan pilihan menunya tersebut.
“Apa Arvand suka sarapan hanya dengan telur? Dia kan suka makan.. Setidaknya aku ingin dia tidak merasa menyesal telah sarapan denganku.” Gumam Rio dalam hati. dia pun kembali membuka pintu kulkasnya dan menengok isi freezer. Ia kemudian mengeluarkan bungkusan nugget yang sudah mulai kosong. Ia lihat isinya hanya tinggal lima biji. Sengaja ia sisakan untuk makan malam. Tapi itu tentu takkan cukup untuk Arvand yang menurut Rio suka makan dengan porsi banyak.
Akhirnya Rio segera menuju kamarnya, mengambil jaket kulit yang ia gantung di lemari dan memakainya. Dia hendak membeli nugget di minimarket 24 jam yang berada tak jauh dari rumah kontrakannya. Sambil bersiul ia mengambil handphonenya yang tergeletak di meja dapur. Matanya sempat membulat ketika ia melihat beberapa panggilan Don yang tak terjawab dan beberapa sms. Untuk sejenak ia terdiam. Namun ia segera memasukkan handphone ke dalam sakunya dan keluar dari rumah kontrakannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.03 dan udara malam itu terasa begitu dingin. Rio pun memasukkan jari jemarinya ke dalam saku jaket kulitnya yang hangat.
Tak sampai 15 menit ia sudah tiba di minimarket. Segera saja ia masuk dan menuju freezer yang berisi beberapa produk makanan beku. Ia langsung mengambil satu bungkus nugget ayam kesukaannya, memasukkannya ke dalam keranjang, lalu berjalan mengitari minimarket itu, melihat-lihat apakah ada sesuatu yang ia butuhkan. Tidak lama, ia kemudian menyerahkan barang belanjaannya pada kasir.
“Sudah ini saja kak?” tanya gadis kasir minimarket itu sambil mengeluarkan barang belanjaan Rio dari keranjang.
“Iya, ini saja.” Jawab Rio. ia pun membantu mengeluarkan susu dari keranjang dan ia letakkan di meja kasir.
Saat itulah, mata kasir tanpa sengaja melihat cincin Nilda yang berkilau anggun di jari manis Rio. Gerakannya untuk sesaat melambat dan matanya tampak beberapa saat termenung pada cincin itu.
Rio melihat keanehan pada pandangan kasir, segera saja menarik jari jemarinya, dan gadis kasir itu segera sadar dari lamunannya.
“Ah maaf.. Cincin anda bagus sekali.” ujarnya dengan senyum tak bersalah. Ia pun segera menghitung biaya belanjaan Rio. sementara Rio entah kenapa mulai merasa tidak nyaman dengan sikap gadis itu tadi.
“Semuanya 50.500 kak.” Ujarnya.
Rio segera saja menyodorkan uang sejumlah uang pas, mengambil barang belanjaannya dan beranjak dari minimarket itu.
“Terima kasih, selamat berbelanja kembali” ujar gadis itu dengan senyum ramah.
Rio menoleh sesaat ke arah gadis itu kemudian pergi dari tempat itu.
Gadis yang semula tersenyum itu kini meraih handphonenya, memanggil sebuah nomor lalu menempelkan handphone pada telinga kanannya.
“Tuan, sepertinya aku secara kebetulan telah menemukan cincin kedua.” Ujarnya. Senyum ramah gadis itu kini berubah menjadi serius. Tangannya tampak mencari-cari sesuatu dalam kantong tasnya.
“Benarkah?! Kau yakin dengan yang kau katakan itu, Erin?” Terdengar suara seorang pria di speaker handphone gadis itu.
“Aku yakin tuan. Cirinya benar-benar seperti yang ada dalam buku itu. ” Si gadis berhenti sejenak sambil mengangkat secarik kertas dari dalam tasnya. Sebuah kertas agak lusuh dengan gambar sketsa kasar berbentuk sulur-sulur yang melingkar dan menjalin membentuk sebuah cincin.
“Cincin Nilda, dari Firima Corma”
Sementara di seberang sana, seorang pria tampak menyeringai dan berkata sambil berjalan dengan agak tergesa. “Bagus Erin, terus awasi pemakai cincin itu. Cari tahu siapa dia, di mana ia tinggal dan segala informasi yang berkaitan dengan dirinya. kemudian bila sudah tepat waktunya, ambil cincin itu. Itu tugasmu Erin.”
‘Baik tuan’ balas suara gadis dala handphone lelaki itu dan kemudian sambungan terputus.
Pria itu masih menyeringai dalam langkah cepatnya. Tampak beberapa pasukan militer dengan menenteng senjata api, siap berjalan di belakangnya.
Kini lelaki itu berhenti tepat di sebuah tenda berwarna hijau. Seringai pria itu tampak jelas terlihat, saat nyala api cerutu di bibirnya berpijar.
“Luar biasa.. sebentar lagi aku akan mendapatkan dua cincin Firima.”
Dan dengan sebuah isyarat jari, seluruh pasukan di belakangnya segera menyerbu masuk ke dalam tenda. Ia pun memasuki tenda dengan tenang. Ia tampak mengangguk-angguk melihat dekorasi tempat itu dan sesekali menyibak kain panjang yang tergantung supaya tidak tersulut oleh api cerutunya. Tak lama kemudian, salah seorang pasukannya datang menghampirinya.
“Lapor, ruangan bersih, pak! Tampaknya target sudah meninggalkan lokasi.”
Perlahan seringai di wajah pria itu memudar. Dengan kasar ia mendorong tubuh pasukannya itu dan berjalan tergesa menuju bagian belakang tenda, titik utama di tenda itu. Sesampainya di sana, ia berhenti.
Tampak tempat duduk yang tertutup beludru merah kosong, tak ada yang menempati. Begitu juga cangkir-cangkir di atas meja kecil sudah bersih. Bahkan masih terlihat beberapa tetes air yang tersisa setelah dicuci.
Melihat itu si pria hanya terdiam dengan cerutu yang terjepit di bibir hitamnya. Kemudia ia terkekeh sambil berbalik.
“Hahaha.. Sudah kuduga, tidak akan semudah itu.” Ia kemudian berjalan menuju pintu keluar tenda. “Sepertinya, tulisan di atas tenda ini bukan sekedar pajangan, eh?”
Ia membuang cerutunya yang masih menyala ke belakang dan menggelinding hingga di samping kursi tempat duduk Armitha.
“Segera menyebar! Aku yakin wanita itu kabur tak jauh dari sini.” Teriak pria itu begitu keluar dari dalam tenda.
Pasukannya pun segera menyebar ke segala penjuru taman Ellysium, sementara pria itu berjalan dan memandang biang lala yang teronggok diam.
“Kalian.. Cincin-cincin Firima.. pasti akan kami dapatkan.”
Sementara di dalam tenda, tepatnya di belakang kursi Armitha, dua sosok bayangan manusia muncul dari motif kain-kain yang berwarna merah dan emas. Warna kain merah itu tampak tersingkap perlahan, menunjukkan lengan, lalu secara bertahap, terlihatlah sosok Armitha yang menggenggam tangan Kamal. Armitha pun menoleh ke arah Kamal yang kini separuh badannya sudah mulai tersingkap. Dia berjalan dan meraih puntung cerutu di dekat kursinya, kemudian berkata.
“Keberadaan kita telah diketahui Kamal. Kini keberadaan para pemegang cincin Firima sedang terancam. Aku bisa merasakan hal buruk akan terjadi.” Ujarnya.
Ia pun memadamkan api cerutu itu di alas cangkir yang tadi digunakan Rio. namun begitu jarinya tanpa sengaja menyentuh gagang cangkir Rio, seketika matanya terbelalak.
Sebuah cahaya putih berpendar menyilaukan dan membuat sekelilingnya menjadi berwarna putih terang. Lalu, samar-samar dari warna putih yang menyilaukan itu, ia bisa melihat sekelilingnya dipenuhi oleh sekerumunan pasukan militer yang tengah menahan seorang pemuda berambut putih. Tampak pemuda berambut putih itu berusaha melepaskan diri namun orang-orang berseragam militer itu menahan tubuhnya. Dan tiba-tiba saja ia berteriak dengan pilu. “Riooo..!”
Seketika mata Armitha terbelalak. Ia menoleh ke arah sebaliknya dan ia terdiam dalam ketakutan.
Rio di sana. Tubuhnya tampak terangkat beberapa inci di atas tanah, dengan sebilah besi menancap, menembus dadanya. Matanya membulat, mulutnya menganga dan darah mengalir dari sana. Begitu juga dengan dadanya, yang tak hentinya meneteskan darah berwarna merah segar. Sekali lagi teriakan pemuda itu terdengar dan seketika cahaya putih beserta pemandangan itu lenyap. Hanya Armitha di situ yang tersisa, termangu ke arah pintu tenda yang bergoyang pelan tertiup angin.
“Nyonya?”
Suara Kamal segera saja menyadarkannya, dan Armitha seketika mengambil nafas dalam. Kejadian tadi bahkan membuatnya sempat lupa untuk bernafas.
Dengan nafas terengah-engah ia duduk dan memegangi dadanya.
“Ada apa nyonya? Apakah... anda melihat sesuatu?” tanya Kamal yang bersimpuh di dekatnya.
Armitha tampak mengangguk kaku.”Ya.. Iya Kamal.. aku melihat buruk.. terjadi pada Rio.”
Mata Kamal tampak membulat. “Rio? Pemegang cincin nilda?”
“Ya Kamal.” Jawab Armitha. Ia pun berdiri dan menatap wajah Kamal dengan serius. “Ayo kita pergi dari sini Kamal. Kita harus peringatkan Rio.” ujarnya. Namun Kamal justru menggeleng pelan.
“Namun di luar mereka masih berkeliaran nyonya.. bahkan aku tidak yakin kekuatan cincinku bisa melindungi kita di luar sana.”
Armitha tersenyum kemudian meraih tangan Kamal. “Kita akan baik-baik saja Kamal.. percayalah padaku. Kita harus keluar dari sini, secepatnya.”
Mata Kamal tampak bergerak-gerak menatap Armitha. Ia pun mengangguk. Ia sendiri merasa heran, bagaimana ia bisa meragukan keputusan Armitha, sang peramal masa depan dan masa lalu? Kamal pun memegang tangan Armitha dengan kedua tangannya. Di jari telunjuknya tampak sebuah cincin perak dengan ukiran seekor bunglon, melingkar di sekitar permata berwarna kuning. Kamal memejamkan matanya sejenak dan kemudian sosok keduanya menghilang.
***
“Rioo!!”
Seketika itu juga Arvand bangkit dari tidurnya. Keringat tampak mengalir di dahi dan lehernya, padahal udara sejuk dari AC terasa begitu dingin menyengat. Dadanya naik turun tidak terkontrol, begitu juga kedua matanya yang bergerak-gerak gelisah. Hingga seekor kucing melompat ke atas ranjang Arvand dan berjalan manja di atas selimutnya.
‘Meong..’
Suara manis kucing itu perlahan membuat hati Arvand menjadi lebih tenang. Arvand pun meraih kucing itu dan mendekapnya di dadanya. Tampak kucing putih itu tak melawan dan mencolek-colek dagu Arvand dengan tangannya.
Lambat laun nafas Arvand kembali normal dan Arvand mulai tersenyum. “Hihi.. Geli.. Dasar manja.” Celetuknya ketika kucing putih itu menjilat dagu dan pipi Arvand.
Dengan tangannya sibuk mengelus dan menggaruk bagian belakang telinga kucingnya, Arvand menerawang kosong ke arah jendela di samping ranjangnya.
Meski hatinya telah menjadi lebih tenang sekarang, namun bukan berarti kekhawatiran itu hilang sepenuhnya. Mimpi yang ia alami baru saja, terasa begitu nyata. Ia melihat tubuh Rio yang berlumuran darah dan tatapan yang kosong.
“Ugh..!”
Arvand buru-buru memejamkan mata dan menggigit bagian bawah bibirnya.
‘Meoong..’
Kucingnya masih memanggil memanja. Arvand pun membuka matanya, menatap mata kucingnya yang berpendar bulat ke arahnya.
“Raama... apa kau sudah bangun? Bukankah kau harus berangkat lebih awal pagi ini?”
Sebuah suara yang santai dan hangat menyadarkan Arvand. Sejenak ia menghela nafasnya dalam-dalam lalu beranjak dari ranjangnya.
“Ya ayah..” sahutnya.
Ia melepaskan kucing putihnya dan segera memasuki kamar mandi.
Suara pancuran shower terdengar riuh. Butiran air hangat mengguyur kepala dan rambut Arvand, lalu jatuh dengan deras di sekujur tubuh Arvand. Di tengah guyuran air yang hangat itu, tatapan Arvand masih kosong dan sendu. Dan suara jeritan pilu yang memanggil namanya, terngiang nyaring dalam kepalanya.
***
Di tempat lain, di rumah kontrakan Rio, suara penggorengan terdengar berpacu dengan waktu. Rio dengan riang menggoyang-goyangkan teflonnya, dan ia menghirup aroma masakannya dengan penuh kepuasan, karena hanya aroma kelezatan yang dapat ia cium. Rio pun mengambil sebuah piring lebar dan meletakkan masakannya di atas piring itu. Piring itu dipenuhi dengan saus teriyaki yang berwarna coklat menggiurkan. Kemudian di atasnya, Rio menyusun banyak potongan nugget yang semalam ia beli.
“Tada... chicken nugget with teriyaki sauce ala chef Rio Lazuar..” batin Rio dengan riang.
Ia pun meletakkan ‘karyanya’ itu di atas meja makan, bersama dengan beberapa menu tambahan lainnya, kemudian menutupi makanan-makanan lezat itu dengan tudung saji.
Rio menggosok-gosok telapak tangannya. Kini ia siap untuk mandi. Menghilangkan aroma dapur dari tubuhnya. Namun baru saja ia memutar kran kamar mandi, ia bisa mendengar namanya dipanggil dari arah luar.
“Arvand?” gumamnya. Ia pun segera berlari membuka pintu dan mendapati sosok Arvand sudah berdiri tepat di depan hidungnya.
“Arvand? Kau.. hahaha... kau pagi sekali.. “ Rio bergumam setengah tertawa melihat Arvand yang tersenyum tipis ke arahnya.
Sementara itu, Arvand hanya diam saja dalam senyum tipisnya. Wajah Rio kini seolah membangkitkan bayangan wajah Rio dalam mimpinya.
Rio menyadari keanehan pada diri Arvand. Senyumnya pun perlahan memudar dan berganti dengan senyum khawatir.
“Arvand?”
“Ah, iya?” segera saja Arvand tersadar dan tersenyum lebar ke arah Rio.
“Kau kenapa? Kenapa hari ini kau tampak...”
“Kenapa? Ah.. aku hanya..” Arvand berpikir sejenak sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. “...sedikit.. mengantuk.. hehe”
Rio tersenyum dan menghela nafas. “Baiklah.. masuklah dulu. Kau bisa tiduran sebentar sementara aku mandi. Atau.. kau ingin sarapan dulu? Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kita berdua.” Tawar Rio sambil melapangkan jalan Arvand memasuki rumah kontrakannya.
“Tidak, aku tunggu kamu selesai mandi saja.” Jawab Arvand sambil duduk di sofa ruang tamu.
“Hmm.. baiklah.. Kalau begitu aku mandi dulu ya.” Rio mengambil handuk dan melampirkannya di bahunya.
“oke..” sahut Arvand sambil menjetikkan jempolnya.
Setelah itu sosok Rio menghilang dan tak lama kemudian suara gemericik air terdengar riuh. Mulanya Arvand tampak tenang di sofa itu. namun lama lama, tampak kakinya bergerak-gerak gelisah. Ia bosan. Akhirnya ia berdiri dan berjalan-jalan di rumah itu untuk mengusir rasa bosannya.
Begitu sampai di meja makan. Ia penasaran dengan apa yang Rio masak di balik tudung saji. Ia pun membuka tudung saji dan matanya tampak berbinar. Mulutnya tampak tersenyum dan menganga. Tangan kanannya sudah ia ulurkan ke arah potongan nugget itu, namun ia tarik kembali.
‘Tidak..tidak... Aku sudah berjanji untuk makan bersama dengan Rio.’ batinnya.
Namun aroma saus teriyaki dan nugget itu begitu semerbak di hidung Arvand. Arvand tak mampu menahan diri lagi. Ia pun mencomot satu potong nugget dengan cepat dan buru-buru menutup kembali tudung saji. Namun sial, potongan nugget yang ia jepit dengan dua jarinya terpental ketika mengenai bibir tudung saji.
Nugget itu jatuh dan menggelinding, tepat, di depan pintu kamar mandi Rio. Arvand menelan ludah. 'Apa kata Rio jika ia melihat sepotong nugget tergeletak di sana? Aku pasti dimarahi’ batin Arvand lagi.
Ia pun berjalan perlahan dan membungkuk di depan pintu kamar mandi untuk memungutnugget itu. Namun, saat ia menyentuh potongan nugget itu, matanya tampak silau akan cahaya yang berasal dari lubang kunci pintu kamar mandi Rio. Perlahan Arvand mengangkat pandangannya ke arah lubang kunci itu dan seketika matanya melebar. Dari lubang kunci kuno yang besar itu, ia bisa melihat pemandangan di dalamnya. Arvand sekali lagi menelan ludah, saat ia melihat punggung yang putih. Tak lama ia juga bisa melihat Rio yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Arvand bisa melihat bagaimana Rio mengeringkan tubuhnya, meski yang terlihat hanya sebatas kepala hingga pusar. Entah kenapa Arvand tak bisa mengedipkan matanya dari pemandangan itu.
Begitu ia terhanyut hingga ia terlambat untuk sadar, bahwa pintu kamar mandi sudah terbuka. Mata Rio tampak membulat ketika mendapati Arvand berada pada posisi membungkuk dengan pandangan tepat ke arah perutnya.
Rio semula membuka mulutnya, tak mampu berkata apapun dan termegap-megap. Sementara Arvand segera berdiri dan menggeleng-geleng. “Ti.. tidak Rio..! ini tidak seperti yang kau lihat!” ujar Arvand gugup, kemudian ia buru-buru mengangkat nugget di tangan kanannya. “Lihat? Aku tadi.. hendak mengambil nugget yang jatuh di sini..”
Rio tampak tak percaya. bibirnya tampak gemetar menahan marah. Melihat itu Arvand mundur beberapa langkah sambil tersenyum polos. “Err.. Rio.. please jangan berburuk sangka dulu...” belum sempat Arvand selesai berbicara, pakaian kotor Rio sudah terlempar ke arah wajahnya.
“Dasar mesum!!”
***
Rio mengunyah pelan nasi di mulutnya, sementara pandangannya tak lepas dari Arvand yang dengan lahap memakan masakan Rio. Rio sudah melupakan kejadian tadi. Dia juga tidak marah, tapi dia tadi hanya malu. Wajahnya serasa terbakar saat melihat wajah Arvand yang sudah tepat berada di pusarnya. Dan ia melihat wajah Arvand yang bersemu mendongak ke arah wajahnya. Seketika wajah Rio memerah lagi. Buru-buru ia menyendok nasinya dan melahap nasi itu untuk menyembunyikan rasa malu yang tampak di wajahnya.
“Bagaimana Vand? Kau menyukai masakanku?” tanya Rio membuka perbincangan.
Arvand mengangguk-angguk dengan semangat. “iyaa.. enak! Aku suka sekali..!!”
Rio hanya tersenyum geli melihat Arvand yang berbicara dengan mulut setengah penuh.
“Kau mau tambah? Nasinya masih ada, nuggetnya juga masih banyak.” Tawar Rio sambil memegang gagang sendok nasi.
Semula Arvand tampak berpikir sejenak. Rio yang melihatnya hanya tertawa kecil sambil menyendok nasi ke piring Arvand. “Haish... pakai malu-malau segala. Aku sudah melihat porsi makanmu saat di kantin.”
Arvand hanya tersenyum dengan mulut penuh mendengarnya. Ia juga tampak terima-terima saja saat Rio menyendokkan banyak potongan nugget ke piringnya.
Jam dinding sudah menunjuk angka 6.32. Arvand tampak duduk santai di sofa sambil memegangi perutnya. Wajahnya tampak puas. Kemudia datang Rio yang baru saja megambil tasnya.
“Ayo, kita berangkat.” Ajaknya.
“Oke.” Sahut Arvand yang segera berdiri dan berjalan mengikuti Rio keluar dari rumah kontrakan.
Jarak rumah kontrakan Rio sampai ke sekolah tidak terlalu jauh. Cukup dengan berjalan kaki santai selama sekitar 12-15 menit, bisa membuat mereka datang ke sekolah tepat waktu.
Oleh karena itu, Rio menyuruh Arvand untuk menitipkan sepeda motor matic putih yang ia bawa di dalam kontrakan Rio.
“Lebih enak berjalan kaki.”ujar Rio.
Namun saat Arvand hendak menuntun sepeda motornya ke dalam, tiba-tiba ia teringat akan mimpinya. Ia pun berhenti dan menoleh ke arah Rio.
“Tidak Rio.. lebih baik pakai motor saja.. lebih aman.”
Rio tampak sedikit heran dan terkejut melihat perubahan ekspresi Arvand yang kini tersenyum dengan alis sendu padanya. Seolah mengiba.
“Kenapa Arvand? Kau tidak suka berjalan kaki?” tanya Rio.
“Tidak.. Bukan begitu Rio.. Aku suka berjalan kaki bersamamu..”
“Lalu?”
Seketika Arvand terdiam dan memandang wajah Rio dengan sendu. “Aku khawatir padamu.”
Sekali lagi wajah Rio memanas. Kenapa Arvand begitu manis padanya hari ini, batin Rio. namun Rio hanya tersenyum menyikapi kata-kata Arvand lalu berkata. “Arvand, tenang saja.. aku sudah biasa ikut tawuran. Tak perlu khawatir akan keselamatanku. Toh, ada kau juga di sampingku. Untuk apa aku takut? Dan buat apa kau khawatir?”
Arvand termangu. Untuk sejenak ia hanya terdiam dan memandangi Rio, hingga akhirnya Rio kembali meyakinkan Arvand. “Kau akan melindungiku bukan?”
Seketika Arvand terbelalak dan mengangguk yakin. “Tentu saja! Tentu aku akan melindungi Rio!” tegasnya.
Rio pun tersenyum. “Kalau begitu lebih baik kita berjalan kaki saja. Jujur aku agak fobia dengan sepeda motor. Kau tidak keberatan kan Arvand?”
Arvand segera menggeleng dan berjalan sambil menuntun sepeda motornya. “Tidak.. aku tidak keberatan. Baiklah, kalau begitu sepedaku aku titipkan ke kontrakanmu ya..”
“Iya.. masukkan saja.”
Jadilah kedua pemuda SMA itu berjalan kaki menyusuru jalan trotoar yang agak rusak, menuju sekolahnya. Tampak keduanya terlibat dalam perbincangan yang seru dan sesekali tertawa.
“Harusnya kau bilang sejak awal kalau kau punya fobia dengan sepeda motor..” ujar Arvand.
“Ah, tidak. Aku malu. Aku sudah mengatakan banyak ketakutanku padamu. Aku tidak ingin dibilang penakut.”
“Tapi.. bukankah memang...”
“Memang apa?” solot Rio.
Arvand hanya tertawa, dan melihat itu Rio hanya bisa tersenyum kecil. Ia tidak bisa marah. Lagipula udara dingin membuat tangannya enggan lepas dari posisinya menyilang di dada Rio. Udara dingin membuat Rio terlalu malas menggunakan tangannya untuk memukul Arvand.
Arvand menyadari perilaku Rio yang tampak kedinginan. “Kau kedinginan Rio?”
Rio menggeleng pelan sambil tersenyum. “Tidak.. tapi.. entahlah.. Biasanya tidak sedingin ini. haha.. huuft” Ujarnya sambil meniup telapan tangannya.
Melihat itu, Arvand kemudian melepas jaket putih yang biasa ia pakai ke sekolah, lalu ia pakaikan di tubuh Rio.
‘Deg..’
Kini wajah dan tubuh Rio menjadi hangat. Bukan hanya karena jaket yang Arvand sampirkan ke kedua bahunya, namun lebih pada sikap Arvand yang membuat jantungnya berdegub lebih kencang dan menghangatkan darahnya.
“Ti.. Tidak Arvand.. Lebih baik kau pakai lagi jaketmu.. Udaranya dingin..” ucap Rio sambil mencoba melepaskan jaket Arvand. Namun tangan Arvand menahannya dan memakaikan lagi jaket itu pada Rio.
“Aku sudah terbiasa dengan udara dingin.. Lebih baik kau saja yang pakai. Lebih baik lagi kalau kau pakai dengan benar. Masukkan kedua lenganmu ke dalamnya..”
Rio hanya diam dan tertunduk malu. Ia pun hanya bisa pasrah dan memakai jaket itu.
“Tapi.. Kenapa kau selalu memakai jaket, Arvand?” tanya Rio setelah ia memakai jaket Arvand dengan nyaman.
“Err... Aku suka saja.. Hahaha..”
Rio mengeryitkan alisnya dan tertawa kecil. “Ah, kau pria paling aneh yang pernah kutemui, Arvand.”
Arvand menanggapinya hanya dengan senyuman tipis. lalu keduanya pun berjalan masih dalam obrolan yang hangat seperti saudara yang sudah lama tidak bertemu.
Sementara itu, di belakang mereka, tampak seorang gadis dengan kacamata hitamnya memperhatikan mereka.
***
Tanpa terasa mereka sudah sampai di sekolah. Rio bisa melihat gerbang sekolah yang dipenuhi dengan siswa dan guru yang hilir mudik. Namun langkah Rio terhenti ketika melihat sosok yang ia ‘takuti’. Rio menelan ludahnya. Di sana, di tembok sekolah, tampak Don memandangnya dengan kedua tangan bersilang di dadanya. Untuk sejenak Rio tak bergeming, hingga Arvand yang beberapa langkah di depannya, menoleh ke arahnya. “Hey, ada apa Rio?”
“Ti.. Tidak apa-apa Arvand. Eer.. lebih baik kau masuk saja dulu. Aku ingin bertemu dengan seorang teman dulu.”
“Hmm? Kau yakin?” tanya Arvand heran.
Rio mengangguk. “Ya.. Pergilah dulu.”
Arvand tampak termenung sejenak lalu mengangguk pelan.
“Baiklah Rio. sampai jumpa di kelas.” Pamitnya. Ia pun segera memasuki gerbang sekolah, sementara Rio, ia menghela nafas dalam kemudian berjalan menghampiri Don di tembok pagar sekolah.
“Hai..” sapa Rio dengan senyum lemah ke arah Don.
“Hai.” Jawab Don singkat. Masih dengan posisi tangan bersilang di dada.
Melihat ekspresi Don, Rio menelan ludah, kemudian melanjutkan kata-katanya. “Sedang apa kau di sini Don?”
"Menunggumu.” Lagi-lagi dijawab dengan singkat oleh Don.
Rio tampak mengeryitkan alisnya. “Menungguku?”
Don seketika melepaskan posisi tangan dan sandarannya pada tembok. Kini ia berdiri menghadap Rio.
“Ke mana saja kau seharian kemarin? Aku mengirimi pesan singkat, tidak kau balas. Aku telfon tidak kau angkat.” Don berkata dengan nada yang halus, namun entah kenapa begitu menusuk bagi Rio. Rio hanya bisa tertunduk dalam diam.
“Dan kebetulan pagi ini aku melihatmu berjalan dengan lelaki lain.” Sambungnya. Seketika itu juga Rio mendongakkan wajahnya.
“Tidak Don.. Jangan berprasangka buruk dulu..!”
Don pun terdiam, seolah menunggu alasan yang tepat dari bibir Rio.
“Kemarin aku mengejakan tugas kelompok dengan cowok itu di rumahnya, dan aku lupa membawa handphoneku.”
Don tampak mengangkat alisnya. Sementara Rio menatap kedua mata Don dengan harap-harap cemas.
“Dan kau menginap di rumahnya, sampai kalian berangkat berdua?” tanyanya lagi.
“Tidak.. Aku pulang ke rumah, dan karena terlalu capai, aku tidak sempat membalas pesan singkatmu. Rencananya ingin aku jelaskan saat di sekolah.” Rio menghentikan kata-katanya, melihat reaksi Don yang ternyata masih diam dan mendengarkannya. “.. dan tadi pagi, kami secara tidak sengaja bertemu di jalan.. jadi ya.. kami berjalan kaki bersama-sama.”
Itu saja yang terlintas dalam benak Rio dan hanya itu saja yang bisa ia sampaikan. Ia tidak menemukan alasan yang lebih baik lagi dari itu. Kini ia hanya bisa menatap mata Don dengan mengiba. Berharap ia tidak marah dan percaya padanya.
“Kumohon.. Kau percaya padaku kan?” sebuah amunisi pertahanan terakhir yang bisa Rio lontarkan. Dan kata-kata Rio itu seketika meluluhkan hati Don.
Don yang semula menatapnya tanpa ekspresi kini mulai tersenyum. “Ya.. aku selalu percaya padamu.”
Mata Rio yang semula mengiba kini tampak berbinar. “Sungguh? Kau tak marah kan?”
Senyum Don kian mengembang. Ia mengelus rambut Rio dan mendekatkan wajahnya ke arah Rio, membuat wajah Rio memerah seperti tomat.
“Bagaimana aku bisa marah, pada orang yang kucintai?”
‘deg!’ Rio tak mampu berkata apa-apa lagi. Tubuhnya seakan lumer oleh kata-kata Don. sementara Don tampak tersenyum lebar melihat reaksi Rio.
“Wajahmu selalu tampak manis ketika kau malu, Rio.” ujarnya sambil mendekatkan bibirnya ke bibir Rio.
Hampir saja bibir keduanya bersentuhan, sebuah suara deheman terdengar di dekat mereka. Keduanya buru-buru mengambil jarak, dan mendapati orang yang berdehem tadi ternyata adalah anggota geng Don sendiri yang kini tengah berjalan melewati pagar sekolah.
“Ow.. fyuhh.. Baiklah Rio.. Bel akan segera berbunyi. Lebih baik kau segera masuk.”
Ujar Don yang dibalas dengan anggukan oleh Rio. Rio masih belum bisa berkata-kata.
“Oh iya Rio.”
Suara Don sekali lagi menghentikam langkah kaki Rio.
“Ada apa Don?” tanya Rio.
“Err.. Nanti siang sepertinya aku tidak bisa mengantarmu pulang lagi.. Jadwal melatih..”
Rio hanya tersenyum mendengarnya. Don memang senior yang melatih siswa-siswa yang menjadi petugas upacara. Dia juga yang memiliki hak untuk memilih siswa-siswa yang berpotensi mengikuti paskibra untuk di sekolahnya.
“Baiklah Don.. tidak apa-apa.” Jawab Rio. kemudian Rio terdiam sejenak hingga ia memanggil nama Don kembali. “Don..”
“Ya?”
“Sepulang sekolah nanti dan mungkin seterusnya, mungkin kau akan melihat aku berjalan pulang bersamanya.. karena rumah kami kebetulan searah.” Rio menghentkan katanya sejenak dan melihat ekspresi Don yang tampak serius sekarang. Rio pun segera menambahi. “Tapi aku berjanji padamu bahwa kami tidak ada hubungan apapun.”
Mendengar itu, Don tertawa, membuat Rio menjadi heran dan merasa bodoh.
“Hahaha.. Baiklah Honey.. Aku percaya padamu.” Ujarnya. “Lagipula aku lihat cowok tadi tidak terlihat pintar, dan aku tahu itu bukan seleramu sekali, honey..”
Mata Rio sedikit melebar dan bergerak sesaat. Namun ia hanya bisa tersenyum dengan getir. “Iya Don.. Benar-benar bukan seleraku.”
Rio melangkah dengan risau di koridor menuju ruang kelasnya. Ia memikirkan kata-kata Don tadi. Don memang seorang pemimpin geng yang suka tawuran, namun ia bukanlah orang yang kasar, terutama pada Rio. ia adalah orang yang sabar dan pendengar yang baik. Ia selalu percaya pada setiap orang dan bersikap hangat pada orang-orang di sekitranya. Itulah kenapa Rio sangat segan padanya.
Ia masih ingat dulu, ketika masa-masa orientasi siswa baru, Rio dibully oleh kakak-kakak senior. Hanya Don saat itu yang datang dan membelanya. Dia yang membantu Rio berdiri saat kaki Rio terasa begitu lelah setelah squad jump sebanyak 100kali. Hanya Don yang senantiasa menanyainya, ‘Apakah kau lelah?’, ‘Apakah kau sakit?’, ‘Kau haus? Mau kuambilkan air?’, ‘Kau sudah sarapan?’
Bila Rio teringat masa lalunya dengan Don, membuat hatinya trenyuh. Don begitu baik. Sungguh tidak bijak rasanya saat Rio ingat ia membohonginya tadi. Demi orang itu.
Langkah kaki Rio kini terhenti di sisi kelasnya.
Dari jendela di dekatnya, ia bisa melihat Arvand sudah duduk di sebelah kursinya. Satu meja dengannya. Ia terlihat mengenakan earphone dan kepalanya tampak mengangguk-angguk menikmati irama musik yang Rio tidak tahu, apa yang ia dengarkan.
Rio menelan ludah.
Meski hatinya juga berat karena teringat pada Don, namun Rio juga tak bisa membuang perasaan kagumnya pada Arvand. Pesona Arvand terlalu kuat untuk ia tolak, dan Rio sendiri seakan tak mau berlama-lama lepas darinya. Bahkan Rio belum bisa memberitahu Arvand tentang statusnya yang sudah menjalin hubungan dengan orang lain. Bagaimana reaksi Arvand bila tahu, aku sudah memiliki kekasih? Apakah ia akan marah padaku? Apakah ia akan mejauhiku?
Seketika Rio memejamkan matanya rapat-rapat. Mencoba membuang semua pikrian itu.
‘Tidak! Aku tidak ingin itu terjadi. Setidaknya saat ini.. ya.. saat ini saja.. aku ingin tetap bersamanya. Lebih lama lagi, aku ingin tetap berada di sampingnya dan menghabiskan hari bersamanya.’ Batin Rio.
Suara bel tanda masuk sudah berbunyi. Rio segera berjalan memasuki kelas, dan melihat Arvand yang tersenyum padanya sambil melepas earphonenya. Rio pun membalas senyum Arvand dan duduk di sampingnya. Dan saat ia melihat kolong mejanya, ia melihat sebungkus cokelat hitam tergeletak dengan manisnya. Rio pun tersenyum. Ia tahu siapa yang meletakkan cokelat di kolong mejanya, dan kini ia tengah menoleh ke arah orang itu. Dan dalam senyuman Arvand yang begitu cerah ke arahnya, Rio hanya bisa membatin.
‘Ya.. kumohon maafkan aku Don, berilah aku kesempatan, lebih lama lagi..’
***
Jam-jam di sekolah Rio habiskan dengan keceriaan bersama Arvand. Tingkah Arvand yang polos dan cenderung tidak pintar membuat Rio seringkali tertawa terbahak-bahak. Bayangkan saja, ketika suasana sedang begitu hening dan kaku karena diajar oleh pak Ivan yang kejam dan membosankan, Arvand justru menyodori Rio secarik kertas yang bergambarkan karikatur jelek yang bertuliskan,
‘saya tekankan sekali lagi..
saya buang air besar di celana’.
Kata-kata ‘saya tekankan sekali lagi’ memang idiom khas pak Ivan, dan kata-kata di belakangnya membuat Rio spontan tertawa. Otomatis pak Ivan menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam.
“Ada apa Rio? Ada yang lucu?”
Buru-buru saja Rio meremas kertas dari Arvand dan membuangnya ke kolong mejanya.
“Tidak apa-apa pak.. tadi saya... hanya ingin bersin, tapi tidak jadi.”
Pak Ivan tampak mengeryitkan alis, sementara siswa yang lain menahan tertawa, termasuk juga Arvand yang menutupi mulut dan memegangi perutnya karena menahan tawa.
Rio benar-benar beruntung bertemu dengan Arvand. Dengan rambut putihnya, justru ia bisa mewarnai hidup Rio dengan warna-warna yang cerah.
Namun tidak untuk waktu yang lama. Karena pada akhirnya Rio akan bertemu dengan warna yang ia benci. Merah.
Bunyi bel tanda kelas berakhir sudah berbunyi 10 menit yang lalu. Kini Rio dan Arvand tampak belum berhenti tertawa dan membahas kejadian-kejadian lucu yang mereka alami selama sekolah. Tampak Rio yang tertawa dan sesekali menggigit batang coklat di tangan kanannya.
“Kau mau?” Rio menyodorkan coklatnya pada Arvand, karena ia tahu Arvand tidak membawa coklat untuk dirinya sendiri dan Rio tahu Arvand sangat menyukai cokelat.
“Ehmm.. Tapi itu kan bekas air liurmu.” Ujar Arvand.
Melihat itu, Rio justru tersenyum nakal. “Ohya? Lalu kenapa? Justru coklat ini akan terasa lebih manis..”
“Ah bohong..” kilah Arvand.
“Benar. Coba saja..” Rio makin agresif menyodorkan coklat ke mulut Arvand. Hingga akhirnya Arvand menyerah dan menggigit coklat yang ditawarkan Rio.
“Wah... wah.. wah... Manis sekali..”
Sebuah suara wanita yang terdengar sinis membuat Rio langsung menoleh ke arah sumber suara itu.
“Kau..” alis Rio tampak terangkat melihat sosok gadis yang menjadi kasir minimarket semalam kini berdiri di depannya dengan menggunakan seragam militer dan diikuti oleh beberapa pasukan militer. Pasukan itu tampak berjajar rapi menutupi akses keluar lorong yang harus ditempuh Rio.
“Kau, kasir semalam bukan?” tanya Rio.
Arvand tampak bingung dengan apa yang terjadi. Ia hanya bisa menggigit putus coklat yang Rio lepas di mulutnya, dan membiarkan coklat yang tersisa jatuh ke tanah.
“Ya.. aku telah beberapa hari menyamar menjadi kasir karena aku mendapat informasi, ada seseorang pemegang cincin kuasa di daerah ini.”
Mata Rio melebar. Segera saja ia menyembunyikan jari kanannya di balik pinggulnya. ‘Bagaimana dia bisa tahu tentang cincin kuasa?’
“Siapa kau?”
Wanita itu terdiam sesaat kemudian menjawab dengan nada yang tegas. “Kami adalah pasukan khusus yang ditugaskan untuk mengambil cincin-cincin Firima dari tangan rakyat sipil. Saya sendiri, adalah Erin Laviska. Letnan Laviska.”
‘Deg’ jantung Rio bereaksi. ‘Mengambil cincin Firima??’
Tampak Arvand kebingungan dengan apa yang terjadi. Namun melihat corak seragam militer pasukan itu, Arvand seketika teringat akan mimpinya.
‘Arvaaannd..!!’
Mata Arvand terbelalak. Tangannya gemetar. Dan tanpa pikir panjang lagi, ia meraih tangan Rio dan membawanya berlari ke arah berlawanan. Rio sempat kaget, namun ia hanya menurut dan mengikuti langkah kaki Arvand yang kini berlari menuju sisi lorong satunya. Namun pelarian mereka terhenti ketika serombongan pasukan dengan seragam yang sama tiba-tiba muncul dan menutup akses mulut lorong yang satunya. Arvand dan Rio terjebak.
“Ini tidak baik Rio.. Kita harus pergi dari tempat ini segera.” Ujar Arvand.
Rio bisa merasakan genggaman tangan Arvand pada tangannya begitu kuat dan terasa dingin.
“Aku tahu Arvand, tapi kita terkepung. Sekarang percayalah padaku. Aku akan coba berbicara dengannya.” Ujar Rio.
Arvand segera menoleh ke arahnya. “Tapi Rio..”
“Sstt...”
Arvand terdiam saat Rio menempelkan telunjuk di bibirnya.
“Semua akan baik-baik saja. Kau tenang saja ya..”
Mendengar ucapan Rio, Arvand hanya menghela nafas dalam dan melepaskan tangan Rio.
“Anda tidak bisa lari, Rio Lazuar.” Ucap Laviska.
“Ya, aku tahu.” Ujar Rio. “aku tahu aku tidak mungkin kabur, tapi setidaknya, aku ingin kau jelaskan padaku, apa maksud semua ini? Kenapa kau menginginkan cincinku?”
Laviska terdiam sesaat. Begitu juga dengan Arvand yang kini melirik ke arah cincin yang melingkar di jari manis Rio.
Setelah beberapa saat laviska akhirnya membuka bibirnya. Kali ini ia berjalan mendekat ke arah Rio. “Maafkan kami Rio Lazuar, tapi itu bukan urusan anda dan karena itu adalah rahasia kami, para milisi.”
“Hah??” gumam Arvand.
Sementara mata Rio tampak memicing mendengar jawaban itu. Itu bukan jawaban yang ia harapkan.
Ia pun menunjukkan tangan kanan yang sedari tadi ia sembunyikan di balik pinggulnya seraya memamerkan cincin di jari manisnya di atas dadanya.
“Ini kah yang kau cari?” tanya Rio.
Wanita itu tampak tersenyum dan mengangkat sedikit wajahnya. “benar. Nilda ring dari Firima.”
Benar dugaan Rio. wanita ini tahu sesuatu tentang cincin kuasa. “Tapi, harusnya kau tahu, bahwa cincin ini takkan bisa dilepas dari jari pemakainya.”
“Benar Rio, kami tahu akan hal itu.”
Rio tampak mengeryitkan alis saat Laviska mengatakan hal itu dan merogoh sesuatu di bagian belakang pinggulnya. Dan mata Rio dan Arvand terbelalak, ketika Laviska menyodorkan sebilah belati ke arah Rio.
“Karena itulah kami menyiapkan ini untuk anda.”
Tak bisa lagi menahan diri, Arvand segera melesat di depan Rio dan membanting tubuh Laviska ke dinding lorong. Baik laviska maupun Rio sama sekali tak menyadari gerakan Arvand yang tiba-tiba itu, dan pisau belati Laviska itu jatuh tak jauh dari kaki Rio.
Laviska sendiri tampak susah payah berdiri dan beberapa pasukan menolongnya. “Cepat, tangkap anak itu!” jari laviska menunjuk ke arah Rio dan segera saja pasukan yang terdiri atas banyak lelaki bertubuh tegap itu berlari ke arah Rio dan Arvand.
Melihat kondisi keduanya terkepung, Rio segera mengambil pisau di dekat kakinya dan langsung menyerang pasukan yang datang ke arahnya dengan pisau itu. Sementara Arvand dengan tangan kosong terus berusaha memukul mundur pasukan yang datang menerjang. Entah kenapa pasukan itu tidak dibekali dengan senjata api, mungkin supaya tidak terlihat terlalu mencolok dan mungkin juga meremehkan status Rio yang masih pelajar. Namun tak semua sejalan dengan yang Rio perkirakan. Laviska kini sudah berhasil memulihkan keseimbangannya. Segera saja ia mengeluarkan sebuah pistol dengan peredam di ujung pistolnya lalu mengarahkankan pistol itu ke arah Arvand yang tengah sibuk bergelut dengan lima pasukan bersenjatakan baton.
“Beraninya kau menyakiti seorang wanita, anak beruban..” geramnya seraya menarik pengaman pistolnya.
Rio melihat aksi Laviska tampak terkejut. ‘Ia mengincar Arvand juga!’ batinnya. Refleks ia melemparkan pisau belati di tangannya dan menancap tepat di pergelangan Laviska, tembus hingga menancap di dinding. Arvand yang mendengar jeritan Laviska spontan menoleh dan melihat tangan Laviska penuh darah dan menjatuhkan pistolnya. Sekilas ia melihat Rio dan tersenyum padanya sebagai ungkapan terima kasih. Namun sebuah hantaman keras baton pada tengkuknya membuat ia tersungkur jatuh.
Mata Rio melebar. “Arvand..!!!” jeritnya.
Dalam kondisi tubuh yang melemah, Arvand melihat Rio yang berlari ke arahnya. Mendorong dan melesak di antara gempuran pasukan yang menyerangnya. Arvand ingin sekali menolongnya namun tubuhnya pun sudah ditahan oleh beberapa pasukan Laviska.
Sementara Laviska, dengan nafas terengah-engah memberi pesan melalui HT yang terkait di bagian bahunya. “Jogan..!! kami butuh bantuan..!”
dan tak lama kemudian, dari bibir lorong, tampak seorang lelaki berbadan tegap datang menuju ke arah Rio yang tengah sibuk melepaskan diri dari cengkraman pasukan Laviska.
Gerakannya begitu liar hingga mereka kewalahan. Dan saat pria itu makin dekat, dari jarinya, perlahan warna kulitnya berubah menjadi mengkilat seperti besi. Saat lengannya secara utuh berubah menjadi layaknya besi, lengan itu berubah bentuk menjadi sebuah kerucut panjang dan berujung tajam. Dan saat itu pula mata Arvand melebar dengan pupil hitam yang menyempit.
Ia bisa merasakan waktu melambat dan suara teredam. Ia bisa melihat sosok lelaki itu berjalan tergesa dan makin dekat di belakang Rio. tampak pedang di lengannya terhunus di udara.
Arvand mencoba melepaskan diri, namun sia-sia. semakin banyak pria bertubuh besar menahan tubuhnya dan menindihnya di tanah. sementara itu, pria logam sudah berada tepat di belakang Rio dan mengayunkan pedangnya ke arah punggung Rio.
“Riooooo.... di belakangmuu!!” Arvand menjerit sekeras yang ia bisa, namun terlambat.
Basah. Wajah Arvand terasa basah. Mata biru Arvand tampak bergerak-gerak pilu, saat melihat pemandangan di depannya terlihat begitu merah. Tanah lorong itu, wajahnya, rambutnya.. dan tubuh Rio. Tubuh Rio yang terbujur tak berdaya, persis seperti sosok yang ia lihat dalam mimpinya. Rio yang bersimbah darah dan sekarat.
***
seru bgt ini.. >.<
tetep masih tanda tanya sama arvand.
*getok @robi_is_a_goodboy unyel2 kepalanya