It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@faisalrayhan:sama2 faisal..
hehe sorry @d_cetya krn klau ga dipotong bkl kepanjangan. ^^"
@kiki_h_n: hehe, makasih kiki.. arvand? dia cm cowok berambut putih dgn tampang yang oke tapi sifat lugu, cenderung ke bodoh. hehe.. but i like him.
Mantaf! Seru!
Tinggal nunggu apa aksi si amira atw siapa td tu si cwe peramal.
Jangan lama2 yuaaa updatenya
Alur ceritanya hidup, gak ngebosenin. Daan genrenya sugoiii, fantasy :-D
Lanjuuut yaa ts
Sugeee \:D/
@3ll0
@Adityashidqi
@yuzz
@kiki_h_n
@TigerGirlz
@Tsu_no_YanYan
@d_cetya
@Fuumareicchi
@jacksmile
@rebelicious
@obay
@zuyy18
@egosantoso
@needu
@alvin_021
@Unprince
@faisalrayhan
@octavfelix
@dityadrew2
@shinta056
@Fours
@lulu_75
@keanu_
@unprince
Selamat hari raya idul fitri guys, mohon maaf klo ada salah2 tulis yang menyinggung perasaan temen2.
Cincin 7. Roquen
Wajah Rio memucat. Matanya melirik ke arah belakangnya dengan gemetar, mendapati seorang pria dengan tubuh separuh logam telah menikam punggung Rio hingga tembus ke dada dengan pedang yang juga merupakan bagian dari lengannya.
Tak ada kata-kata yang bisa Rio ucapkan. Ia pun hanya bisa berdecit lirih ketika pria itu mengangkat pedang sekaligus tubuh Rio lalu membuang tubuh Rio ke dinding lorong.
‘Deg..’ jantung Arvand berdetak kencang. Sebuah sensasi aneh dan panas mulai menyebar di seluruh tubuhnya. Kemarahan.
“Hentikaannn..!!” jeritnya, namun sebuah pukulan keras menghantam kepalanya.
Ia tersungkur sejenak lalu menengadahkan kembali wajahnya. Ternyata Laviska kini telah berhasil lepas dari pisau yang menancap di tangannya.
“Setelah ini selesai, kau berikutnya!” bentaknya. Kemudian tanpa menghiraukan Arvand lagi, ia berjalan menuju tubuh Rio yang lemah.
Rio tampak gemetar dan mengulurkan tangannya hendak mencoba untuk bangkit, namun tangannya diinjak oleh sepatu lars Laviska hingga ia menjerit.
‘Deg..’ jantung Arvand kembali berdegub kuat. Tangannya mengepal dan bergetar. Tampak raut para pasukan yang menahannya mulai heran, karena tubuh mereka juga ikut bergetar dan mulai terangkat.
“Tak kusangka, mendapatkan cincin dari seorang anak sma akan memakan sebegini banyak usaha dan darah, Rio Lazuar..” desis Laviska yang kini menghunuskan belati bersimbah darah ke wajah Rio.
Sementara Rio hampir tak mampu merespon lagi. Rasa sakit di dadanya yang berlubang, serta pendarahan hebat yang ia alami, mengaburkan kesadarannya dengan cepat. Namun ia masih bisa melihat samar wajah Laviska dan mendengar suaranya.
“Dengan ini, aku akan memotong jarimu dan mempersembahkan cincin Nilda untuk tuanku, dan kau, bisa istirahat dengan tenang Rio.”
‘Deg..!’
Jantung Arvand berdetak makin kuat. Para pasukan yang menindih dan menahannya mulai kewalahan melihat Arvand yang mencoba untuk bangkit.
“Sekarang, ucapkan selamat tingal untuk cincin dan hidupmu, Rio Lazuar!!”
“Rioooooooooooo!!!!”
Sebuah teriakan yang keras dan berat terdengar begitu menggetarkan hati Rio. Dengan pandangan yang semakin kabur ia berusaha untuk melihat. Ia masih bisa melihat, sebuah suasana yang riuh dan kacau. Banyak pasukan yang berlarian, begitu pula Laviska yang menjatuhkan pisaunya dan berlari kabur sambil menjerit histeris. Ia juga melihat pria logam yang menikamnya berlari menuju ke arah kerumunan itu. Rio tak tahu lagi apa yang terjadi, karena pandangannya makin gelap. Perih di dadanya makin tidak terasa, lebih tepatnya ia tidak bisa merasakan apapun lagi. Suara-suara riuh mulai terdengar samar di telinganya. Dan di sebuah celah penglihatannya yang kian menipis itu, ia melihat Arvand. Pemuda berambut putih itu tampak melawan pria logam itu dengan liar, dan sebuah jeritan yang bisa Rio tangkap terakhir kali. “Rioo...!!!”
Rio menggerakkan bibirnya, berusaha memanggil Arvand dalam nafasnya yang terengah-engah. “Ar... vand..”
***
Semua terlihat gelap. Rio tak mendapati apapun dalam kegelapan mutlak itu. Tak ada warna, tak ada cahaya, tak ada udara, tak ada suara, tak ada bau, tak ada sentuhan. Semuanya terasa hampa. Rio sendiri tak mampu bergerak. Ia hanya bisa membujur lemah di ruang itu.
‘Di mana aku?’ batin Rio. ‘apakah aku sudah mati?’
Tidak ada jawaban. Yang ia dapatkan hanya kegelapan dan keheningan yang menyesakkan. Ia bahkan tidak tahu, apakah ia sudah membuka mata atau belum, karena keduanya terlihat sama saja bagi Rio.
Keadaan itu membuat Rio tak sanggup berpikir apa-apa lagi. Ia tidak bisa melihat apapaun, dan ia tidak bisa merasakan apapun. Kini Rio mulai yakin bila matanya sudah terbuka, meski yang ia lihat hanyalah kegelapan. Rio yang hanya bisa pasrah pun perlahan memejamkan matanya, pergi ke kegelapan lainnya. Setidaknya ia bisa mengurangi kepenatannya. Ya, ia lelah. Dan dia takkan keberatan untuk terlelap, sejenak, maupun untuk waktu yang sangat lama.
Dengan tertutupnya mata Rio, membuat tubuhnya makin tenggelam dalam kegelapan itu. Membawanya makin jauh dan mengecil, makin tertelan dalam kegelapan. Hingga tubuhnya tak terlihat lagi.
“Rio..”
‘siapa itu?’
“Rio..”
‘Suara siapa itu? Bukankah aku tidak bisa mendengar apapun tadi?’
“Rio.. bangunlah..”
Suara-suara itu terdengar redam menggema di ruang itu. Perlahan tapi pasti suara itu terdengar makin nyaring, membuat tidur Rio menjadi tidak nyenyak. Kepalanya menggeleng gelisah karena suara itu terdengar cukup dekat dengannya. Dan matanya yang semula dimanjakan dengan kegelapan, perlahan mulai merasa silau. Ya, kelopak matanya mulai membiaskan warna kemerahan silau.
“Rio..”
“Siapa?!” teriak Rio.
Dan kini Rio sudah membuka matanya. Ia membuka matanya lebar-lebar, ketika dihadapannya, kegelapan sudah sirna. Yang ada justru hamparan padang bungan berwarna putih dan beberapa pohon putih dengan daun-daun emas dan perak yang berguguran perlahan.
Pemandangan itu tak membuat Rio mampu berkata-kata. Ia hanya duduk di antara bunga-bunga dengan pikiran yang linglung. Tak mampu mencerna yang ia alami.
“Rio..”
Mata Rio mengerling ke arah atas. Dan dilihatnya sumber suara it berdiri anggun di depanya. Seorang wanita berambut pirang keperakan yang begitu tinggi dan cantik. Ia hanya pernah sekali melihatnya dulu, dan setelah itu ia tak pernah melihatnya lagi.
Kini ia berdiri di depan Rio dengan jarak yang sangat dekat. Ia benar-benar cantik. Wajahnya bercahaya dan bibirnya tersenyum ke arahnya. Entah kenapa ia merasa wajah wanita itu tak asing.
“Siapa kau?” tanya Rio pelan.
Wanita itu hanya tersenyum, tak tampak ingin menjawab pertanyaan Rio.
Tapi matanya tampak mengerling ke arah di belakang Rio.
Rio pun mendengar sebuah suara di belakangnya. Sebuah suara yang memanggil namanya.
“Rioo!”
Tertarik dnegan suara itu, Rio pun memalingkan wajahnya dari wanita itu dan menoleh ke belakang, yang dibarengi dengan cahaya putih menyerang wajah dan matanya.
Dengan mata yang menyipit dan pandangan yang terbatas, ia melihat sosok pemuda datang kepadanya, seraya mengulurkan tangannya ke arah Rio.
“Bangun Rio.. ujarnya.”
Rio ingin tahu siapa pemilik suara itu. Ia tidak mampu melihat wajahnya yang terhalangi cahaya putih. Namun suara itu mengingatkan Rio pada sebuah nama.
“Arvand?”
‘zaap..!!’
Bagai mengalami mimpi berlapis, kini Rio membuka matanya dengan nafas keras. Matanya tampak membulat, melihat langit-langit berwarna putih di atasnya. Perlahan ia memutar pandangan ke sekelilingnya. ia berada dalam sebuah kamar yang cukup luas. Semuanya, baik tembok, langit-langit, pintu maupun perabotnya berwarna putih. Temboknya dipasangi wallpaper dengan motif semacam bulu-bulu angsa yang berjatuhan berwarna keabu-abuan.
Saat Rio menurunkan pandangannya, ia mendapati tubuhnya ditutupi selimut bulu yang terasa begitu nyaman dan hangat. Rio perlahan menurunkan selimutnya, namun dinginnya udara di sana membuat Rio menarik lagi selimutnya. Ah.. nyaman sekali, batin Rio.
Saat Rio tengah menikmati tubuhnya dimanjakan dengan kenyamanan di kamar itu, tiba-tiba ia dikejutkan dengan seekor makhluk berbulu lebat yang melompat ke atas perutnya. Seketika itu juga Rio kaget dan menjerit sesaat.
“hwah,,,! Kucing!?” pekik Rio dengan nada tertahan. Namun saat Rio bangkit dari tidurnya, ia merasakan ngilu di dadanya.
‘Agh..” desisnya.
“Rio?”
Mata Rio kembali membulat. Ia mendengar suara yang ia kenal. Saat ia menoleh ke arah suara, tiba-tiba ia sudah mendapatkan sebuah pelukan yang erat. Dan dalam pelukan orang itu, Rio bisa melihat rambut putih yang berdesir pelan di pipinya.
“Arvand?” gumam Rio.
Dan orang itu melepaskan pelukannya dan menatap wajah Rio. kini Rio bisa melihat wajah orang yang memeluknya tanpa permisi itu, sedang tersenyum sendu ke arahnya. Yah,, alis pria itu memang kadang terlihat turun dan terkesan murung.
“Akhirnya kau bangun Rio.” ujar Arvand.
Rio tersenyum. Senang rasanya saat ia bisa melihat wajah Arvand lagi. Setelah kegelapan dan mimpi yang ia alami. Dan orang yang mendatanginya saat di padang bunga itu... apakah mungkin Arvand datang ke dalam mimpinya?
“Bagaimana perasaanmu Rio?” tanya Arvand, membuat Rio kembali sadar pada keadaannya yang sekarang. Ia juga agak lega saat Arvand mengambil makhluk berbulu putih abu-abu -yang ternyata adalah seekor kucing- ke dalam dekapannya.
“Apa? Err.. yah.. Aku sudah merasa baik. Hanya saja..” Rio perlahan memegang dadanya.
Tiba-tiba Rio tampak terkejut, teringat sesuatu. Ia segera membuka piyama putih yang ia kenakan dan melihat ke arah dadanya. Mata Rio melebar.
Dadanya terlihat mulus. Tidak ada lubang menganga, darah atau setidaknya perban di sana. Padahal Rio masih yakin dan ingat dengan jelas semua yang ia alami saat itu, sebelum semuanya menjadi gelap. Ia masih mengingatnya. Namun melihat kondisi badannya kini, dadanya yang masih tampak baik-baik saja, tanpa luka, membuat semuanya yang ia alami dalam ingatannya terasa seperti mimpi.
Rio menatap Arvand dengan bingung, sementara Arvand tampak tersenyum tipis kemudian menundukkan wajahnya.
“Kau sudah bangun Rio?”
Rio menoleh ke arah suara wanita yang berasal dari arah pintu, dan di sana, seorang wanita berambut hitam dan wajah tirus tampak berjalan ke arahnya.
“Armitha? Bagaimana kau bisa ada di sini?” gumam Rio.
Armitha tersenyum dan berdiri di samping Rio, membelai pipi Rio.
“Nasib yang membawaku kemari Rio. dan maafkan aku Rio.” ujarnya. “Aku mencoba sekuat tenaga mencarimu dan ingin mengingatkanmu, namun aku sendiri berada dalam keadaan yang sulit.”
Rio mengeryitkan alisnya. “Sebenarnya apa yang sedang terjadi Armitha? Apakah.. apakah yang kualami dalam ingatanku ini.. apakah itu nyata? Kau bisa melihat masa laluku bukan? Katakan padaku, apa itu hanya mimpi?”
Armitha terdiam sesaat, begitu pula Arvand yang memandang kosong ke arah Rio.
“Itu bukan mimpi Rio. Itu nyata.”
Rio terhenyak mendengar kata-kata Armitha. Namun ia tidak bisa mengatakan apapun selain dengan ekspresi wajah yang bingung.
“Kau telah diserang oleh orang yang mengincar cincinmu, Rio.”
Rio tak mampu menahan kebingungannya lagi. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata. “tu..tunggu.. aku sama sekali tidak mengerti Armitha.. Kenapa mereka mengincarku? Kenapa mereka berusaha membunuhku? Apa salahku?”
Armitha tersenyum kemudian memegang bahu Rio, berharap dia menjadi merasa lebih tenang.
“Tenang Rio.. Tenang.. “ ucap Armitha. “Lebih baik sekarang kau membersihkan diri dulu dan sarapan.. “
Perut Rio seketika terasa begitu lapar saat Armitha mengatakan ‘sarapan’. Entah berapa hari Rio tak sadarkan diri sejak kejadian itu. Rio pun menundukkan kepalanya seraya bergumam. “Baiklah..”
“Ayo Rio, kubantu berdiri.” Arvand pun melepaskan kucingnya dan meraih tangan Rio.
Arvand benar. Rio merasakan tubuhnya lemas sekali, sampai ia membutuhkan bantuan Arvand untuk beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.
“Mau kubantu mandi juga Rio?” tanya Arvand saat Rio sampai di pintu kamar mandi.
“No!” ujar Rio tegas. “Aku bisa sendiri untuk yang satu ini.”
Arvand hanya tersenyum kecil dan perlahan melepaskan pegangannya pada tubuh Rio yang mulai berjalan dengan hati-hati memasuki kamar mandi.
“Aku akan siapkan pakaian untukmu di ranjang, Rio..” ujar Arvand ketika Rio hendak menutup pintu.
Rio hanya menjawab dengan anggukan kepala dan senyum simpul. Saat ia hendak menutup pintu, lagi-lagi Arvand menahannya.
“Err.. tapi jika kau butuh bantuan untuk berjalan ke sana, kau tinggal memanggilku.”
Kali ini Rio tertawa kecil. “Haha.. iya.. Arvand..”jawabnya.
Arvand tersenyum polos, memperlihatkan deretan giginya yang kecil, putih dan rapi. Dan Rio pun menutup pintunya.
Rio kini berdiri di depan cermin kamar Arvand. Sweeter putih yang Arvand siapkan untuk Rio tempak agak kebesaran di tubuhnya, namun masih terlihat cocok dan kehangatannya pas bagi Rio di tempat berudara super sejuk itu. Rio melangkahkan kakinya keluar dari kamar, dan kini ia berada dalam sebuah ruangan yang luas dengan perabotan dan desain yang begitu modern dan elegan. Ruangan itu sebagian besar menggunakan warna putih dan hitam. Wallpaper bermotif bulu-bulu juga tampak menghiasi sebagian besar ruangan itu.
“Rio! sini...”
Mata Rio kini mengarah ke arah Arvand yang duduk di salah satu sisi meja berwarna hitam dengan beberapa piring yang berjajar di atasnya. Rio mendekatinya dan duduk di kursi yang Arvand siapkan untuknya, di samping Arvand. Di depannya tampak beberapa makanan yang sepertinya makanan timur tengah. Ada nasi yang berwarna keemasan dan Rio juga menjumpai menu kari di salah satu piring di meja itu.
“Arvand.. Apakah aku sedang berada di rumahmu?” tanya Rio sambil melihat sekeliling.
“Ini bukan rumah Rio.. ini hanya apartemen tempat aku dan ayahku tinggal.” Jawab Arvand.
Rio mengangguk-angguk pelan. Rio agak kaget saat mengetahui tempat yang begitu mewah itu adalah sebuah apartemen. Pastinya tempat tinggal Arvand itu adalah sebuah apartemen yang sangat mahal. Untuk sesaat, Rio jadi penasaran, bagaimana rupa ayah Arvand. Jika ia benar-benar seorang sutradara yang membuat film di berbagai negara tentu pemandangan di tempat Rio duduk kini bukanlah sesuatu hal yang mustahil.
Tak lama kemudian, Armitha datang dengan membawa sebuah piring dan seorang pria berkulit hitam tampak berjalan di belakangnya, membawa senampan teko dan cangkir-cangkirnya.
Mata Rio mengeryit heran. “Siapa dia?” tanyanya berbisik-bisik pada Arvand.
“Dia Kamal, asistenku.”
Rio kaget ketika Armitha sudah di depannya meletakkan piring berisi beberapa roti canai.
“Asisten? Tapi aku tak melihatnya saat aku di tendamu saat itu?” Rio masih melirik dengan kesan curiga ke arah Kamal yang telah meletakkan nampan di atas meja, lalu menangkupkan kedua telapak tangannya, menghormat ke arah Rio.
“Salamku, kepada pemakai cincin Nilda.” Ujarnya. Untuk sejenak Rio merasa canggung dan mengangguk kikuk.
Armitha menoleh ke arah Kamal dan Rio secara bergantian lalu tersenyum. ia kini membagikan nasi ke piring Rio, Arvand, piringnya sendiri bahkan Kamal.
“Dia hampir sama seperti kita, Rio.” ujarnya dengan tangan yang sibuk membagikan makanan. “Dia adalah pemakai cincin kuasa juga.”
Mata Rio terbelalak dan melihat Kamal dengan tatapan tidak percaya. Kamal hanya mengangguk padanya sambil menunjukkan cincin di jari telunjuknya.
“Tapi jenis dan tingkat cincin kita berbeda, tuanku, Rio. cincinku adalah cincin camelion dari golongan Roquen Celva.” Ujarnya dengan sebuah cincin perak berukirkan bunglon dan permata kuning mengkilat di tengahnya.
“Roquen Celva?” ujar Rio bingung.
Armitha kini duduk di kursinya. “Nanti saja kita bahas lagi Rio.. sekarang waktunya kita makan.” Ujarnya.
Rio pun menunduk dan meraih sendok garpunya.
“Oh iya Arvand, ayahmu tidak makan? Panggillah dia dulu untuk sarapan?” ujar Armitha.
Seketika Rio menoleh, ia bahkan tidak sadar kalau Arvand sudah mengunyah penuh makanan di mulutnya.
Dengan mulut masih sibuk mengunyah, ia menggeleng dan tangannya menusukkan garpu ke potongan daging di dalam mangkok kari di depannya.
“Tidak.. Tidak perlu.. Dia tidak mau diganggu dan tidak akan makan minum saat sedang bermeditasi.”
Wajah Rio melongo dengan sendok di dalam mulutnya. “Bermeditasi?” batin Rio.
Dan di salah satu sisi ruangan itu, sebuah sudut yang tidak terlihat oleh mereka, seorang pria duduk bersila di hadapan jendela besar. Kucing-kucing putih dan hitam tampak bergelayutan di pundak dan pangkuannya. Rambutnya tampak berdesir pelan menggelitik pipinya, dan sebuah senyum simpul tampak tertoreh di wajah itu.
***
Rio meletakkan sendok dan garpu di samping piringnya yang sudah bersih. Arvand sedang memimun teh yang dituangkan oleh Kamal, dan Armitha baru saja mengelap bibirnya. Rio menangkupkan jari jemarinya di atas meja dan menatap Armitha dengan serius.
“Sekarang katakan padaku Armitha. Jelaskan semuanya.”
Armitha pun meletakkan kain lapnya di atas meja beserta punggung tangan kiri di bawah telapak tangan kanannya. Rio bisa melihat cincin Hena berpendar di tangannya.
“Bukan aku yang akan menjelaskan, Rio.” ujar Armitha tenang.
“Apa? Lalu siapa?” tanya Rio sedikit terburu.
Melihat ketegangan di meja makan itu, Arvand menggaruk pelan bagian belakang kepalanya lalu berdiri dan tangannya hendak mengumpulkan piring-piring yang kotor. “Err.. baiklah kalau begitu biar aku bereskan dulu...”
“Tidak Arvand” penggal Rio sambil menahan tangan Arvand. “Apa yang aku alami ini memang ganjil untukmu, tapi kau juga harus tahu.”
Untuk beberapa saat mata keduanya saling bertemu. Satu mencoba memohon dan satu lagi mencoba untuk mengerti.
Akhirnya Arvand kembali duduk di kursinya serta mengembalikan piring yang tadi ia raih ke posisinya semula. “Baiklah Rio.” ujarnya dengan sebuah senyuman di bibirnya.
Armitha tampak terhenyak sesaat melihat kejadian itu. Pria yang ia lihat dalam penglihatan masa depan Rio kini muncul di depannya. Ya, senyum Arvand baru saja mengingatkan ia pada bayangan wajah pria yang tak bisa disentuh oleh kekuatan cincinnya. Seorang pria yang polos dan murah senyum. Armitha masih tidak mampu memprediksi apa yang ada dalam pikirannya. Selama Armitha tidak menyentuh tubuh arvand, ia tak kan mampu melihat masa lalu maupun masa depan pria itu. Armitha bisa saja menelusuri nasib seseorang walau melalui perantara orang lain atau benda-benda yang pernah disentuh oleh orang yang pernah Armitha ramal nasibnya, namun tidak dengan Arvand. Mungkin ia bisa melihatnya apabila ia sudah bisa menyentuh bagian tubuh Arvand. Entah kenapa ada sesuatu yang membuat Armitha penasaran dengan Arvand. Suatu dorongan dari cincinnya untuk mencari tahu.
“Armitha?”
Armitha mengerjapkan matanya dan pandangannya kini sudah kembali ke arah Rio yang mengeryitkan alis heran padanya.
“Jangan diam saja. Katakan pada kami, siapa yang akan menjelaskan kejadian lalu?”
Armitha menengok ke arah jam dinding sejenak, lalu menoleh kembali ke arah Rio.
“Tampaknya dia datang terlambat Rio. kalau begitu aku akan jelaskan padamu apa yang aku ketahui.” Ujarnya.
Rio menelan ludah sesaat sebelum Armitha meneruskan kata-katanya. Tampak antusiasme yang besar dari sorot matanya.
“Malam sebelum insiden yang menimpamu itu terjadi, tendaku dikepung oleh pasukan militer yang dipimpin oleh seorang lelaki bertubuh jangkung dengan sebatang cerutu di bibirnya. Ia mencariku. Beruntung Hena telah memperingatkan aku tentang hal itu, sehingga sebelum pria dan pasukannya itu menemukanku, aku bisa mempersiapkan diri.”
Untuk sejenak, Armitha menoleh ke arah Kamal. “Cincin yang dipakai Kamal memiliki kekuatan untuk membuat tubuh pemakai dan orang yang ia sentuh menjadi tidak terlihat. Dengan kekuatan cincin Kamal itulah aku bisa selamat dari kejaran pasukan itu. Tapi, aku juga mendengar bahwa ia mengincar cincin firima yang lain. Karena itu, aku berniat untuk mencarimu dan memperingatkanmu.”
Rio tampak menyimak dengan seksama penjelasan Armitha. Sedikit demi sedikit ia mulai memahami apa yang terjadi. “Jadi, Kamal adalah pemakai cincin Tàren juga?” tanyanya.
“Bukan Tuanku.” Jawab Kamal. “Cincin ini adalah cincin yang dibuat untuk melindungi para pemakai cincin Tàren. Ini adalah golongan cincin Roquen.”
Kamal memperlihatkan cincin perak berukirkan bungln ke hadapan Rio. “Cincinku ini dibuat berdasarkan kemampuan hewan bunglon yang dapat menyamarkan tubuhnya dengan lingkungan sekitar. Dan karena cincin ini memiliki kemampuan yang merepresentasikan kekuatan hewani maka cincinku ini dimasukkan dalam kategori cincin Roquen Celva.”
Rio mengangguk-anggukan kepalanya perlahan. “Jadi selain cincin Eldar dan Tàren, masih ada lagi cincin-cincin kuasa yang lain.” Gumamnya.
“Ya Rio. Setelah tercipta dan digunakannya cincin-cincin kuasa, lambat laun bermunculan benda-benda ajaib yang diciptakan untuk menandingi kekuatan cincin kuasa. Kebanyakan penciptanya adalah para penyihir dan ahli alkimia di masa lampau. Di tangan mereka, muncullah beberapa benda berkekuatan magis yang dianggap bisa membahayakan keselamatan dan keamanan para pemakai cincin Tàren. Oleh karena itu, demi menjamin keselamatan dan keamanan para pemakai cincin Tàren, para eldar menciptakan benda-benda gaib lain yang bertugas menlindungi para pemakai cincin Tàren. Benda-benda itu tak selalu berupa cincin, namun bisa berupa banyak benda. Benda-benda gaib itu selanjutnya disebut sebagai Roquen. Dan roquen-roquen itu, dibuat berdasarkan tiga kategori elemen. Kategori pertama adalah kategori roquean yang dimiliki oleh Kamal, yaitu roquen celva. Roquen yang mewakili kekuatan hewan. Yang kedua adalah roquen Menel, yaitu roquen yang mewakili kekuatan langit dan roquen arda adalah roquen yang mewakili kekuatan bumi.”
“Bagaimana dengan Firima?” tanya Rio. “Kenapa hanya Firima yang tidak memiliki roquen?”
Armitha menggeleng. “Aku tidak tahu Rio. Namun, para eldar tidak membatasi para pemakai roquen untuk melindungi tuan dalam kategorinya saja. Dan Kamal memilih untuk melindungiku yang merupakan pemegang cincin Firima.”
Mendengar hal itu, Kamal menangkupkan telapak tangannya dan menghormat ke arah Armitha.
Rio hanya melihatnya sejenak. Sebenarnya ia agak penasaran bagaimana mereka bertemu dan kenapa Kamal memilih untuk melindungi Armitha, namun ada pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab. Dan Rio ingin mengarahkan Armitha pada pertanyaan itu.
“Jadi, berkat kekuatan roquen milik Kamal, kalian bisa lolos dari kejaran mereka? Lalu, bagaimana cara kalian menemukanku? Dan...” wajah Rio tampak gugup. Ada rasa tidak enak saat Rio akan mengucapkannya. “.. dan kenapa kalian terlambat?”
Armitha memandang Rio dengan tatapan sayu dan helaan nafas dalam. “Maafkan aku Rio. kami sudah berusaha menemukanmu. Dengan kemampuan Hena, aku bisa melacak keberadaanmu melalui benda-benda yang telah kau sentuh. Malam itu, aku menyentuh cangkir yang kau gunakan untuk minum teh, dan aku melihat kau dalam bahaya. Dan melalui cangkir itu pula aku bisa melacak masa lalumu dan melihat lokasi tempat tinggalmu. Namun.. “ Armitha menghentikan kata-katanya sejenak seraya menoleh ke arah Kamal.
“Kemampuan roquen sangat terbatas tuan Rio.” sambung Kamal. “Bahkan meski saya telah mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menyamarkan keberadaan kami, pasukan masuh masih tetap dapat menemukan kami. Kami terjebak.”
“Terjebak?” seru Rio.
“Ya, tuan. Saat kamu mulai meninggalkan tenda, semua tampak baik-baik saja. Tak ada yang menyadari keberadaan kami. Namun, saat kami sudah hampir keluar dari taman, kami baru menyadari bahwa salah seorang anggota pasukan itu berhasil melacak keberadaan kami dan mengejar kami.”
“Siapa? Pria dengan cerutu itu?”
“Bukan, tapi bawahannya. Tampaknya ia juga memiliki roquen, sehingga bisa melacak keberadaan kami.”
“Betul sekali.”
Tiba-tiba suara yang dingin terdengar dari seberang ruang itu, dan ketika semua mata mengarah ke arah ambang bilik pembatas ruang, muncul sebuah wajah yang tak asing di ingatan Rio. seketika Rio memicingkan matanya dengan tangan gemetar, mencengkram garpunya.
“Woo wow wow.. Hey siapa saja tolong tahan tangan anak itu! Aku tidak ingin dilempari peralatan dapur lagi kali ini.”
“Apa?” geram Rio tertahan, namun ia kembali tenang saat Arvand memegang tangannya. Perlahan Rio pun melonggarkan cengkraman pada garpunya itu.
“Hehe.. Anak baik.. Tidak baik melempar-lempar pisau atau garpu atau peralatan makan lainnya ke wajah orang lain. Terlebih lagi pada orang yang sangat baik padamu.” Pria itu tampak berjalan berlenggak lenggok layaknya orang mabuk. Seakan dia begitu bangga akan apa yang telah ia perbuat pada Rio.
Rio hanya bisa mendengus pelan dan menoleh ke arah Armitha. “Apakah dia, orang yang kau maksud Armitha?”
Armitha mengangguk. “Ya Rio.. dan dialah yang akan menjelaskan banyak hal kepadamu.”
“Bagus.” Sahut Rio. ia kemudian menoleh ke arah pria yang hendak duduk di salah satu ujung meja hitam tempat mereka makan. “Sekarang katakan padaku, tuan eldar.”
Pria itu tampak terkekeh mendengar kata-kata Rio. Ia menggeser pelan kursi yang duduki ke arah depan, sehingga ia bisa memposisikan badannya lebih dekat dengan meja. “Kau bisa memanggilku Varos. Dan orang hitam itu serta orang yang berhasil mengendusmu, dan juga orang yang mengejarmu, adalah para pemakai benda-benda mistik yang aku ciptakan.” Ucapnya dengan telunjuk mengarah ke arah Armitha dan Kamal. Kamal tampak menghormat ke arahnya.
Seketika mata Rio melebar. “Ja..jadi kau..”
Pria itu tersenyum, dan dengan jari telunjuk, serta jari tengahnya yang dilingkari oleh sebuah cincin hitam mengkilat, menurunkan sedikit kacamata hitamnya, sehingga sepasang bola mata hitam tampak berkilat dingin. “Ya.. benar sekali Rio... aku Celvaros. Pencipta cincin Tàren dan roquen yang menggunakan sebutan yang sama dengan namanya. Celva corma dan roquen celva.
***