It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
.
.
Tim berjalan hendak membuka pintu flatnya begitu ketukan ketiga berbunyi. Ia menebak – nebak seorang pengganggu pasti telah berkunjung ke flatnya di libur pagi yang melelahkan setelah aktivitas trainee kemarin. Dan jika ia tak punya sopan santun mungkin ingin rasanya ia membentak dan mengusir si pengunjung pagi ini.
DUK!
“Ouch!”
Suara dari lantai dua sedikit mengusiknya. Entah apa yang sedang dilakukan oleh Edgar hingga menimbulkan suara gaduh disana. Ia menoleh sebelum sempat membukakan pintu.
“Hyung! Apa kau baik – baik saja?” Teriak Tim ketika tangannya hendak membuka pintu.
“Aku baik – baik saja! Sungguh! Aku tak apa – apa!” Balas Edgar dari lantai dua.
Begitu memastikan Edgar baik – baik saja, Tim segera membukakan pintu. Ia mendapati dua orang asing berbeda jenis kelamin. Salah satunya sangat familiar.
“Anyyeong haseyo. Apa Edgar ada?” Tanya pemuda yang tampak tidak asing. Tim mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya siapa?
“Ah, apa kau lupa padaku? Ini aku, Dong-Joon!”
“Ah,ya! Aku ingat. Kau teman sekampus hyung kan?” Kata Tim akhirnya mengingat wajah Dong-Joon. Lalu matanya melirik perempuan cantik yang wajahnya sangat khas seperti Edgar. Asia Tenggara.
“Aku ingin mengantar noona ini bertemu Edgar. ia mencari Edgar dengan mendatangi kampus kami. Kebetulan hari ini Edgar sedang tidak ada kuliah jadi aku mengantarkannya ke flat.” Kata Dong-Joon tanpa ditanya.
“Kenalkan… aku Eliana.” Sapa wanita itu sambil tersenyum.
Eliana?... hmmm… nama yang familiar… gumam Tim.
“Ah, aku Tim! Jika kau mau menemui hyung, dia ada diatas.” Kata Tim. “Lebih baik kalian masuk dulu sebelum membeku.”
.
.
.
.
“Hyung! Ada tamu untukmu! Cepat turun!” Panggil Tim.
“Ya. Aku segera turun.” Jawab Edgar dari lantai atas.
GDBUK!!
“Auh!”
Sontak semua menoleh kearah suara dan selanjutnya mereka kebingungan. Melihat takjub dan aneh kepada Edgar. Berhenti, mematung, memandang heran dengan pemandangan yang mereka lihat. Menyimpulkan masing-masing, mengolah spekulasi-spekulasi beragam di dalam kepala, dan menyimpannya dengan ekspresi takjub… ah, tidak, bingung lebih tepat, menyimpan dengan ekspresi bingung.
‘Apa lagi yang dilakukan anak itu?’Dong-Joon membatin.
‘Kenapa akhir – akhir ini dia sering membuatku malu, sih?’ Batin Tim
Sekarang semua mata tertuju pada seorang pemuda manis yang berjalan sambil menutup kedua matanya dengan sehelai dasi panjang bercorak kelewat norak. Menggapai-gapai ke segala arah, menabrak apapun yang menghadang sepanjang jalan, sesekali terjatuh, namun kembali lagi berjalan perlahan. Terus… sampai akhirnya—
“Yah, Edgar-ssi! Apa yang kau lakukan?” Teriak Dong-Joon sambil berdiri bersiap untuk segera menghampiri Edgar dan menjitak anak itu. Tim hanya mematung, sementara Eliana membelalakkan matanya.
Edgar berhasil menghampiri mereka dengan susah payah. Dengan hanya mengikuti suara Dong-Joon yang berteriak padanya tadi. Ia duduk, kemudian mengatur napas agar kembali normal. Yang dilakukannya tadi ternyata begitu melelahkan.
Tangannya terulur melepas jalinan ujung penutup mata di belakang kepala. Membawanya kembali pada dunia yang terang benderang. Melegakan sekali.
“Hehe…” Edgar justru meringis bodoh saat menyadari seluruh wajah kini sudah menatap dan mengintimidasinya, menunggu sebuah penjelasan akan kelakukannya sedari tadi.
“Aku hanya sedang berlatih.” ujarnya singkat. Tatapannya kini mulai fokus dan mulai menatap satu persatu tamunya.
“Ah, Dong-Joon dan…” Ia menatap bingung ke arah Eliana. Eliana tersenyum kikuk. “Siapa kau?”
“Kau lupa padaku?” Tanya Eliana. Edgar berpikir sejenak dan mengingat – ngingat. Kemudian ia menjentikkan jarinya seolah mengingat seseorang.
“Ah, Eliana!” Kata Edgar tepat membuat Eliana tersenyum.
“Eliana yang asli?” Tanya Tim kini mulai menyadari kenapa nama Eliana begitu terdengar familiar. ‘Jadi ini Eliana yang asli?’ Batinnya.
“Ummm… ya…” Jawab Edgar agak jengah. Merasa kalau ia bersalah dengan Eliana dengan apa yang sudah terjadi. Memanfaatkan nama orang lain itu tidak baik. “Apa yang kalian lakukan disini?” Tanya Edgar mengalihkan pikiran.
“Aku hanya mengantar noona ini yang ingin bertemu denganmu.” Kata Dong-Joon sambil menunjuk Eliana.
“Ummm… sebenarnya aku hanya ingin meminta maaf atas perlakuan Senja terhadapmu tempo hari…” Kata Eliana canggung dan lupa apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
“Tak apa noona. Kau tak perlu meminta maaf. Justru aku yang harus meminta maaf karena telah memanfaatkan namamu selama ini. Mianhae,” Kata Edgar tulus yang dijawab anggukan canggung dari Eliana. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan Edgar tadi.
“Ummm… Edgar… boleh aku bertanya, tadi kau sedang apa?” Eliana membuka pertanyaan, sudah sifat dasar wanita yang tidak bisa berlama-lama menyembunyikan rasa penasaran akan sesuatu.
“Kau tak mendengarkanku? Aku bilang… sedang berlatih, noona.” Jawabnya dengan menekan kata ‘berlatih’ di sana.
“Iya, aku dengar. Tapi untuk apa?” Eliana masih bersabar. Dia sudah biasa memperpanjang dialog untuk mendengarkan orang bersifat macam seperti Edgar. Bertemu berbagai macam orang dalam dunia fashion yang digelutinya membuat ia langsung mengetahui sifat dasar manusia seperti Edgar yang menurutnya agak menyebalkan dan tipe orang keras kepala. Memang harus seperti itu. Untuk yang tidak tahan, jangan harap bisa mendapatkan informasi yang lengkap dari manusia yang satu ini.
“Aku akan memberikan mataku pada seseorang.”
“Uhuk! Uhuk!...” Tim terbatuk menelan salivanya sendiri. Dong-Joon membelalakkan mata hingga mata sipitnya hendak mengeluarkan bola mata. Eliana seperti sudah tahu alasan dibalik omongan Edgar. ia sudah bisa menghubungkan semua masalah yang terjadi hingga pada akhirnya mempengaruhi keputusan akhir pemuda manis ini. Sungguh ekstrim!
“Yah! Kau bicara apa?!” Tim yang tidak sabaran benar-benar kesal dengan kelakuan salah satu sahabatnya itu. Ingin sekali mencekik dan menamparnya untuk membuatnya agar tak berbicara yang tidak – tidak.
Edgar menutup telinganya, dan menghela nafas. “Ck, kenapa kau harus berteriak seperti itu, sih? Kau juga berbicara kurang sopan pada hyung mu! Kau ini! Aku sedang berlatih tadi. Menjadi orang buta ternyata sangat sulit. Sekarang aku jadi tahu bagaimana perasaan Thomas dan orang-orang yang bernasib sama sepertinya. Benar-benar gelap.Kalian lihat kan tadi? Aku selalu saja menabrak sesuatu—apa saja di depan.”
Ia menggaruk kepalanya sebelum melanjutkannya. “Kalian tahu? Kemarin malam itu aku sudah menemui Thomas, dan dia memaafkanku.”
“Benarkah itu? Kalau begitu syukurlah. Kalian sudah menyelesaikan kesalahpahaman ini.” Eliana tersenyum lega mendengar pernyataan Edgar tadi. Tim masih tampak meragu. Dong-Joon yang tidak tahu siapa itu Thomas hanya terdiam. Namun mendengar kata buta, sepertinya itu adalah orang yang ditemui Edgar saat mereka berada di dekat sungai Han dan mendapati pria buta gila yang ingin melompat.
Namun, Edgar justru menggeleng. “Tidak semulus itu, noona. Aku masih harus membuatnya kembali percaya padaku. Dan aku bersedia memberikan apa saja sebagai jalannya. Dia meminta sesuatu yang… yah, sepertinya memang wajar.” Edgar bicara seakan semua itu bukan hal besar yang harus dipusingkan.
“Memang apa yang dia minta?” Kini suara melengking Eliana terdengar bertanya. Semua orang sudah menebak arah pembicaraan, namun masih saja berdoa bahwa pikiran mereka hanya terlalu jauh. Tidak mungkin meminta ‘itu’ kan?
“Kedua mataku.”
Yeah~ semua orang membelalak tak percaya.
“Kau becanda, kan?” Dong-Joon tak peduli lagi dengan pembicaraan itu. Ia tak tahan lagi dengan semua pemikiran konyol Edgar. Setiap kali pemuda itu bicara, semua orang akan menunjukkan perhatian berlebih dan akhirnya justru kecewa karena hal-hal yang ia bawa hanya sebuah omong kosong.
Dan kali ini? Apa lagi? Mata? Dia akan memberikan matanya untuk seorang gadis buta hanya untuk mendapatkan kembali kepercayaannya? ‘BERLEBIHAN!’ pikir Dong-Joon. ‘Tidak sekalian saja kau bilang akan menyerahkan nyawamu?’
“Hyung! Apa kau sedang mengigau? Tidak mungkin kan kau akan memberikan mata sehatmu itu? Kau akan buta jika menyerahkan mata itu!” Tim yang selama ini sudah menganggap Edgar sebagai kakaknya sendiri merasa keberatan dengan keputusan Edgar. ia sebisa mungkin menahan gejolak amarah berlebihan.
“Aku tahu! In-Ho sudah memberitahunya,” Kata Edgar ringan.
“In-Ho juga terlibat?! Hyung! Ini sudah keterlaluan! Kau itu achluphobia! Kau takut kepada gelap! Bahkan ketika pemadama listrik terjadi kau tidak bisa lepas dari lenganku! Bagaimana mungkin kau menghabiskan sisa hidupmu dengan berjalan dalam gelap?!” Tim mulai tak bisa menahan ketidaksetujuannya. Edgar menghela nafas. Ia tahu pasti reaksi Tim kurang lebih akan sama seperti reaksi In-Ho.
“ Itu sebabnya aku berlatih dari sekarang…”
EH?!
“Kau ini—”
“Sudah – sudah! Lebih baik kita sarapan dulu. Kalian semua belum sarapan, kan? Akan kubuatkan sarapan untuk kita berempat.” Kata Edgar sambil berlalu memotong ucapan Tim. Ia tak mau berdebat lebih lanjut pada orang yang telah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri itu.
“Hyung—”
“Tim-yah, sudahlah jangan khawatir. Anak itu pasti hanya main-main. Kau tahu bagaimana dia, kan?” Dong-Joon mengusap lengan Tim untuk menahan pemuda itu memperpanjang perdebatan. Ia mencoba menenangkan wajah yang terlihat cemas itu.
“Justru karena aku tahu siapa dia. Maka dari itu aku sangat mencemaskannya sekarang.” Ucap Tim lirih.
Eliana melihat percakapan mereka. Ia jadi merasa iba pada kisah cinta yang sangat rumit ini. Jika Senja mengetahui apa yang ingin dilakukan Edgar, kira – kira bagaimana reaksinya?
-oOo-
.
.
“Hei! Apa yang kau lakukan disini?!” Senja membentak pemuda yang telah berani mengetuk pintu siang itu. Edgar menghela nafas, sudah pasti jika kesini ia akan bertemu dengan Senja. Jika sudah bertemu dengan Senja, maka untuk menemui Thomas pun akan sulit. Tapi bukan Edgar namanya jika hal tersebut membuatnya menciut. Berbagai peristiwa akhir – akhir ini sudah berhasil membuat pemuda itu semakin tegar dari sebelumnya. Bahkan sudah berani mendatangi lagi flat Thomas.
“Senja… aku… ingin bertemu Thomas,” Edgar terbata.
“Apa tamparanku masih kurang menyadarkanmu, brengsek?” Senja tak habis pikir pemuda ini selalu saja mengganggu pikirannya.
“Aku rela menerima tamparanmu asal aku bisa bertemu dengan Thomas…” Tegas Edgar.
“Apa?! Pecundang gila!” Senja bersiap melayangkan tamparannya lagi. Edgar bahkan sudah menutup matanya—
“Hentikan…” Suara dingin seseorang membuat mereka menoleh. Thomas telah berdiri di ambang pintu dengan wajah datarnya. “Aku tak ingin mendengar keributan sepagi ini.”
“Thomas…” Panggil Senja lirih. Ia tahu bahwa hubungannya dengan adiknya makin hari terasa makin dingin. Semenjak hari dimana ia mengakui kesalahannya, rasanya Thomas semakin tak mempercayainya. Meski begitu ia tetap harus berada disekitar adiknya.
“Ada apa?”
“Edgar…” Senja menggigit bibir bawahnya sambil menoleh ke arah pemuda manis itu. Tak tahu harus berkata apa.
“Biarkan dia masuk.” Jawab Thomas datar.
“Apa?!”
“Aku mempersilahkan dia masuk agar dia segera pergi. Biarkan orang ini tak memiliki malu untuk datang kesini!” Meski tak terfokus, namun tatapan Thomas terasa tajam menusuk. Edgar bisa merasakan itu.
“Tapi…”
“Kau juga, untuk apa ada disini?” Thomas berkata kepada Senja. “Bukan berarti hubungan kita membaik saat kau mengungkapkan semuanya,” Ujar Thomas dingin membuat Senja terasa tertusuk hatinya. Ia tak bisa berkata – kata.
Thomas masuk flatnya. Tanpa perintah ataupun larangan dari Senja maupun Thomas, Edgar mengekor dan ikut masuk kedalam. Menutup pintu dan membiarkan Senja diluar. Jika wanita itu waras, maka lebih baik ia segera pergi dari beranda sebelum mati kedinginan.
“Ada apa?” Tanya Thomas tanpa basa – basi. Edgar tersenyum. Entah mengapa, meski dirundung gelisah dan masalah, ia selalu berdebar dan senang ketika melihat wajah pria itu. Wajah pria yang selalu menghiasi mimpi – mimpi indahnya.
“Ummm… aku…” Edgar mendekati Thomas sambil merogoh saku celananya. “Coba kau pegang ini.” Edgar begitu bersemangat saat memberikan benda persegi itu.
“A-apa?” Tangan Thomas memegang sebuh benda kotak yang sangat kaku dan tipis. Seperti sebuah… kartu? “Ini apa?” tanyanya penasaran.
“Aku sudah mendaftarkan diriku sebagai pendonor kornea yang sehat. Hmm… dan sepertinya besok kita bisa ke rumah sakit untuk melihat apakah aku bisa segera memberikannya padamu. Di sini tertulis bahwa setiap anggota bisa mendonorkan organ tubuh walaupun tidak dalam keadaan… eung… kau tahu lah… In-Ho banyak membantu dalam hal ini, kita akan berterimakasih padanya saat kita sudah berada dirumah sakit nanti.”
Thomas buru-buru melepas benda yang ada dalam genggamannya tersebut, menjatuhkannya kemudian menjauh seakan kartu itu adalah sesuatu yang berbahaya dan harus dijauhi. Sedang Edgar memperhatikan tingkah pria berwajah keras itu dengan raut wajah bingung.
“Thomas? kenapa—”
“Hentikan, Ed! Hentikan semuanya! Kau ingin membawaku sampai kamana kali ini, hah?!” Thomas berteriak. Yang tentu saja membuat Edgar semakin tampak bodoh.
“Aku—” Edgar mencoba bicara lagi.
“Pergilah, aku sibuk.” Ujar Thomas kemudian. Ia berbalik dan mencoba pergi dari situasi itu. Ia tak menyangka jika pemuda itu benar – benar akan memperpanjang perkara mengenai masalah mata itu. Ia tak menyangka jika Edgar benar – benar akan memberikannya.
Edgar segera menahan lengan pemuda itu. Thomas pun tampaknya juga enggan untuk menolak sentuhan pria yang selama ini telah lama menemaninya.
“Kenapa kau malah marah? Bukankah ini yang kau mau? Dua mata yang kau inginkan!” Edgar mulai menahan agar Thomas tak segera pergi. Suaranya sedikit tegas.
“Aku tidak sepicik itu untuk memanfaatkanmu…” Suara Thomas yang dingin terdengar melemah. Agak serak.
“Aku tidak merasa dimanfaatkan olehmu. Aku melakukannya dengan sukarela!” Edgar mulai keras kepala. Thomas terdiam. Tubuhnya berbalik dan menatap nanar ke arah keberadaan Edgar. “Aku menginginkan kamu untuk tetap hidup…” Lanjut Edgar.
“Kenapa?” Thomas mulai tak sabaran. “Kenapa kau lakukan ini padaku?! Kenapa kau berikan harapan palsu padaku seolah – olah aku bisa hidup bahagia seperti pada kisah dongeng?!”
“Lalu kau ingin mati saja dengan menceburkan diri ke sungai Han?! Seperti yang kau lakukan waktu itu?!” Bentak Edgar.
“Apa bedanya?! Jika aku memilih hidup, kau tetap akan pergi! Tidak, kau bahkan sudah pergi!”
Edgar terdiam. Ia memegang bahu pemuda kokoh itu.
“Aku disini, Thom! Aku disini…” Gumam Edgar pelan. “Aku tak pernah bisa lari darimu…”
“Tidak. Kau disini bukan untuk menemaniku. Kau disini untuk memberikan kedua matamu itu! Kau sungguh gila!”
“Lebih baik aku gila daripada dirimu yang mengabaikan mataku dan otakmu!” Edgar kini berani menyumpahi. Membuat Thomas kembali terdiam. Menelan salivanya berat.
“Kau bohong kan?” Edgar melanjutkan kata – katanya.
“Apa?”
“Kau bilang ingin melihat wajahku waktu itu… kau bohong, kan?” Ujar Edgar dingin. Bibir shape M itu memandang angkuh lawan bicaranya. Thomas benar – benar tak berkutik. Ingin rasanya ia lari dari sana.
Tanpa menjawab, Thomas kembali berbalik hendak mengabaikan perkataan Edgar. Namun sekali lagi Edgar mencegahnya.
Thom—”
“Lepaskan!” Kali ini Thomas berani mengibas cengkraman Edgar. mengibas dengan kasar. “Benar! Itu semua bohong! Kau senang? Kau puas sekarang?!”
BUAGH!
“Tidak! Aku tidak senang!” Edgar menjawab dengan nafas yang tersengal – sengal. Ia bahkan mendorong tubuh kokoh Thomas hingga mengapit ke dinding hingga menimbulkan suara berdentam. Thomas terkejut bukan main dengan perlakuan yang dilakukan Edgar. “Aku muak dengan kebohonganmu! Kau terlalu egois untuk mengaku jujur! Kau menginginkan mataku, kan? Kau ingin melihat wajahku, kan? Kau juga ingin terus hidup!”
Thomas terdiam. Matanya terasa memanas. Tapi ia masih kuat untuk dapat menahan tangisan. “Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?” Tanya Thomas terdengar bergetar. Agak sedikit serak terdengar.
Edgar tersenyum. Kali ini sikapnya agak melembut. “Keinginanmu untuk hidup.” Sahut Edgar. “Keinginanmu untuk melihat dunia lagi,” Lanjutnya.
Thomas ternganga. Pemuda ini… bukan hanya permintaan maaf yang ia minta kembali, bukan hanya kepercayaan ia pinta kembali… tapi juga keinginan untuk hidup darinya. Keinginan yang sudah lama hilang dari dirinya. Tapi apa mungkin bisa ia timbulkan lagi untuk dirinya sendiri?
“Lalu apa yang akan berubah?” Tanya Thomas keras kepala. Tapi nadanya sedikit melunak. “Aku akui… aku… juga takut mati! Tapi terlalu naïf jika aku berharap untuk hidup!” Ujar Thomas. Wajahnya mengeras. “Kenapa?... Kenapa kau terus menerus membuatku seperti orang lemah? Kenapa… kau terus menerus membuatku ingin hidup denganmu? Kenapa kau memaksaku untuk menerima matamu?!”
Edgar memandang pemuda menyedihkan itu dengan nanar. Ia merasa jika Thomas terus menerus berdusta dan keras kepala. Melebihi dirinya. Membuatnya membisu. Bukan karena tak bisa menjawab. Tapi karena ia malas untuk menanggapinya.
“Kau akan segera mendapatkan semua jawabannya…” Gumam Edgar. “Besok aku akan menemuimu disini. Kita lihat saja. Aku berjanji kau akan mendapatkan kehidupanmu kembali setelah menerima mata ini.”
Edgar berbalik. Meninggalkan Thomas yang masih terpaku bersender di dinding.
“Jangan coba mengelak dariku…” Ujar Edgar ketika hendak menyentuh handel pintu. “Aku sudah susah payah mengumpulkan uang bahkan sampai meminjam dari In-Ho. Jangan sia – sia kan kesempatanmu… aku akan membuatmu hidup dengan mata ini!”
Edgar berbalik dan berjalan meninggalkan Thomas yang membeku dan terperangah. Ia mendadak menjadi cemas dengan keadaan Edgar.
“Yah! Kau mau kemana?! Jangan pergi… aku tak ingin mata itu!” Thomas mengejar Edgar dengan tertatih. Ia sedikit tersandung akibat mengejar Edgar. tangannya terjulur – julur kedepan mencari – cari tubuh itu. Namun Edgar tak menoleh lagi.
Edgar segera memutar handel pintu dan keluar dari flat. Ia menoleh sejenak dan menyadari keberadaan Senja yang masih berada di depan beranda. Masih berdiri disana dengan tatapan sayu.
‘sudah berapa lama wanita ini menguping?’ batin Edgar. Tatapan mereka bertemu. Namun tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Edgar maupun Senja. Tidak ada cacian, perdebatan, bahkan ucapa selamat tinggal. Hingga kebisuan sekejap itu mengantarkan Edgar untuk pergi dari flat itu.
“Hey! Edgar! Kembali… kumohon…” Tatapa mata Senja berpaling. Ia menatap Thomas yang keluar sambil meraba – raba udara. Menatap adiknya yang sangat menyedihkan.
Tangan Thomas yang meraba tak sengaja menyentuh tangan Senja. Butuh beberapa sentuhan agar Thomas mengenali siapa yang sedang berdiri di ambang pintu.
“Eonnie! Bantu aku…” pinta Thomas. “Bantu aku!” Tegas Thomas.
“Thom…” Ujar Senja lirih. “Biarkan dia pergi…”
Mendapat jawaban yang tidak diinginkan, Thomas segera melangkahkan kakinya sendiri. Berusaha mengejar meski tanpa bantuan. Ia tak ingin semuanya berakhir seperti ini. Ia tak ingin merasa terhukum seperti ini!
Langkahnya tersandung sehingga ia jatuh di atas pelataran yang licin. Salju membuat lututnya teredam benturan. Ia menyerah. Takkan bisa ia mengejar Edgar. ia menyesal kenapa semua ini harus terjadi.
“Edgar… jangan pergi! Jangan hukum aku seperti ini…”
-oOo-
Keesokan harinya…
Edgar menghubungi ponsel Thomas namun tak ada jawaban. Bocah itu ternyata menepati janjinya. Ia benar – benar nekat akan datang ke rumah sakit membawa Thomas serta dengannya. Dengan baju hangat berkerah melingkar membebat lehernya, Edgar tampak manis untuk ukuran orang yang akan segera menyerahkan matanya. Ia bahkan sudah niat meminjam mobil Dong-Joon untuk sekedar membawa Thomas pergi. Dong-Joon hanya geleng – geleng kepala dan berdo'a semoga Edgar cepat – cepat berubah pikiran.
TOK… TOK… TOK…
Ketukan halus terdengar. Edgar mengetuk pintu. Berharap si empunya rumah segera membuka pintunya.
Namun Thomas yang memang berada di dalam bahkan tak ada niat untuk menyambut kedatangan Edgar. ia bahkan mengunci rapat – rapat dan mengabaikan panggilan Edgar. ia tak menyangka jika pemuda itu benar – benar akan datang menepati janjinya. Tapi Thomas merasa jengah dengan sikap itu. Saat Thomas tak menginginkan pria itu untuk berkhianat, dia malah menepati ucapannya untuk memberikan kedua matanya. Lalu kemana dia selama ini? Kemana dia setahun kemarin?
Tidak! Ini semua juga salahnya! Disaat ia berjanji tidak akan berkhianat lagi, Thomas malah meminta bukti yang tidak masuk akal. Seharusnya ia berikan saja kepercayaan itu pada Edgar. setahun ini juga tidak sepenuhnya salah Edgar. Menurut kabar, Edgar mengalami amnesia, kan? Jadi dia tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan hingga harus memberikan matanya!
But hey! Semua sudah terjadi, kan?
TOK… TOK… TOK…
Edgar menghela nafas. Sudah sekitar tiga puluh menit ia menunggu namun Thomas tak juga membalas panggilannya. Ia yakin jika pemuda itu berada didalam. Namun sepertinya Thomas memang tidak siap menghadapi semuanya. Edgar maklum, kemarin, sekali lagi, mereka berdebat hebat. Jadi sepertinya perdebatan kemarin membuat pemikiran Thomas terpengaruh. Jadi lebih baik ia menunggu saat yang tepat untuk mengunjugi Thomas lagi.
Edgar berjalan menuju halaman flat dimana mobilnya diparkir. Ia sudah siap dibelakang kemudi dan menyalakan mesin ketika ia mendengar suara pintu dibuka. Ia menangkap sosok itu disana. Sosok dengan mata sembab, berjalan menghampirinya dengan meraba serta dandanan yang kumal. Thomas seperti habis menangis.
Langkahnya berhenti ketika ia sampai di sebelah pintu dan memandang Edgar. ingin rasanya ia menangis saat itu juga. Hidungnya memerah dengan nafasnya yang mengembun keluar karena hawa dingin.
“Hentikan... semua ini…” Gumam Thomas. Namun Edgar hanye menghela nafas seolah tak mau berdebat lagi. Ia sudah mantap untuk membawa pria ini kerumah sakit.
“Masuklah…” Gumam Edgar. Thomas mengigit bibirnya. Dadanya terasa sesak.
“Kumohon…”
“Cepat masuk!” Titah Edgar tak terbantah.
“Thomas…” Senja segera mengahmpiri mobil dengan membawa jaket serta sepatu boot. Ia juga membuka pintu depan untuk Thomas. Edgar hanya menatap diam wanita itu. Sementara Thomas sedikit terkejut.
“Maju dua langkah. Pintu mobilnya sudah dibuka.” Ujar Senja. “Masuklah, Thom.”
“Senja… Kau...”
“Masuklah…”
Thomas sedikit berkaca – kaca. Ia tak menyangka jika Senja bahkan tak berusaha untuk mencegahnya. Bahkan ia tak mengusir Edgar meskipun hari sebelumnya ia sangat membencinya.
“Masuk saja…” Senja menuntun lengan Thomas untuk masuk ke kursi dibelakang dashboard. Mau tak mau Thomas hanya menurut. Membiarkan Senja memasangkan sabuk pengaman dan menaruh jaket di pangkuannya dan sepatu boot di dekat kakinya.
“Ini jaketmu. Sepatu di dekat kakimu,” Ujar Senja. Sesaat tatapannya beradu pandang dengan Edgar. ia mengangguk pelan ketika tatapan mereka beradu.
Senja menutup pintu dan membiarkan mobil itu meninggalkan halaman.
“Bajingan…” Umpat Thomas menahan tangis. Edgar tak membalas. Ia hanya fokus pada jalanan. “Bajingan!” ulangnya, “Jika aku bisa melihat… takkan kubiarkan kau melakukan ini…”
“Sebentar lagi kau akan mendapatkan kenginanmu. Seharusnya kau senang.” Jawab Edgar tanpa ada beban sedikitpun. Membuat Thomas semakin merasa bersalah.
.
.
.
Edgar benar-benar membawa pemuda itu ke rumah sakit. Walaupun berkali-kali ditolak, namun pada akhirnya dia bisa membawa Thomas ke tempat itu. Mendaftar, menunggu beberapa menit, kemudian masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
Kejadiannya sudah dapat ditebak, saat mengetahui siapa yang akan mendonorkan mata, pihak rumah sakit terkejut. Pasalnya tak pernah ada kasus yang seperti ini. Pendonor hanya akan diambil korneanya saat sudah meninggal dunia.
.
Tapi ini?
Well, tak ada yang akan percaya. Bahkan dokter di sana menganggap Edgar gila pada awalnya, sampai dibuktikan dengan kesediaan menandatangani sebuah berkas-berkas penting untuk proses transplantasi. Edgar mengesahkan surat-surat itu dengan satu goresan penuh keyakinan di atas selembar kertas.
“Aku sudah membicarakan ini dengan dokter Jo In-Ho. Bukankah dia akan datang lima belas menit lagi?” Ujar Edgar ketika beberapa mata pihak rumah sakit memandangnya aneh. Namun Edgar sangat santai. Seolah ia tak merasa keberatan akan kehilangan matanya.
Tapi Thomas…
Saat pria itu diminta juga untuk membubuhkan stempel di sana, matanya justru mengalirkan sebuah cairan bening yang cukup deras.
“T-Thomas. Ada apa?” Edgar bertanya panik. Sedari tadi pemuda itu memang sudah diam seribu bahasa. Tapi saat ini, ia terisak pelan. Dokter yang memang saat itu tengah berada di ruangan bersama keduanya pun akhirnya memutuskan untuk memberi pasangan itu waktu. Sungguh pemandangan yang aneh. Biasanya adegan seperti ini hanya ada di dalam bagian kandungan. Si lelaki menenangkan kekasihnya yang menangis saat akan melakukan aborsi. Bukan di bagian pemeriksaan mata.
“Aku ingin pulang. Kumohon. Bawa aku pulang dari sini…” Thomas tak kuasa menahan gejolaknya. Ia tak bisa hanya bertahan dan berdoa. Ia tak menyangka jika mereka benar – benar berada dirumah sakit. Edgar benar – benar serius. Bagaimanapun ia harus segera menghentikan semua ini meski dengan paksaan yang keras! Bahkan kini ia tak kuasa menahan airmatanya yang sejak kemarin ia tahan! Yang sejak kemarin ia sembunyikan! Ia menyesal menjadi gengsi.
Tak ada kalimat lain lagi. Thomas semakin terisak dan menangis pilu sekarang. Membuat Edgar terpaku dan semakin panik. Dan solusinya… adalah cepat-cepat membawa pemuda itu pulang!
“Sampai mana kau akan membawaku, Ed! Cukup sudah! Hentikan semua ini! Aku tak mau mengikutimu lagi!” Teriak Thomas membuat semua pengunjung rumah sakit menatap mereka heran dan seolah ingin tahu. Edgar semakin kelimpungan.
“Tapi… kita…”
“CUKUP!!! AKU TAK MAU LAGI!!!” Thomas segera berbalik dan berlari kecil dan sesekali nyaris terjatuh. Senja sepertinya lupa memberikannya tongkat. Mungkin ia berpikir jika Edgar yang akan menuntunnya. Tapi jika kejadiannya seperti ini, sangan merepotkan!
“Thomas, tunggu!” Edgar mengejar langkah Thomas namun tak berusaha untuk menariknya. Itu terlalu kasar dalam keadaan mereka yang seperti ini. “Kenapa? Ada apa? Kenapa malah menangis…”
“BODOH!!!” Teriak Thomas kesal. Ia sedikit berlari hingga ke pelataran rumah sakit.
“Hey… tunggu!” Edgar tak sabaran dan akhirnya menarik lengan kokoh itu. Membalik tubuh itu untuk menghadapnya dan membuat wajah itu menatap langsung wajahnya. Edgar melihat kelopak sembab itu. Ini pertamakalinya Edgar melihat pria ini menangis begitu pilu dan menyedihkan. Biasanya hanya sekedar mengeluarkan beberapa butir. Tapi kali ini ia mengeluarkan semua cairan bening itu tanpa ragu seolah hatinya benar – benar sedih. Lebih menyakitkan dibandingkan ketika ia buta, atau ditinggal oleh dirinya setahun lalu.
“Hey… sudahlah…” Edgar segera memeluk tubuh Thomas untuk menenangkan pemuda itu. Mengusap pelan surai lembut itu. Mendamaikan hatinya dan membuat tangisnya berhenti.
Butuh beberapa menit hingga Thomas lebih tenang. Setidaknya hingga Thomas bisa kembali berbicara normal dan lebih tenang tanpa tangisan. Meskipun masih terdengar suara sesenggukan.
Mereka berdiri dibawah pohon ek yang membeku. Rantingnya menjulur tajam ke udara dan terlihat putih membeku. Kontras dengan warna langit kelabu yang menghiasi langit bumi Seoul. Salju turun anggun di halaman rumah sakit yang tidak terlalu ramai itu. Mereka hanya berdiri. Saling berpelukan. Thomas masih perlu ditenangkan dalam rengkuhan Edgar. membuat mereka seperti berperan dalam drama Korea Winter Sonata.
Edgar lega karena akhirnya Thomas berhenti menangis. Kini mereka berdiri diam di salah satu sisi halaman rumah sakit. Lengan mereka bertautan. Perkembangan yang sangat pesat, mengingat beberapa hari ini Thomas bahkan tak ingin berlama –lama bicara dengan pemuda itu. Dan kabar baiknya, saat ini cengkeraman mereka didahului oleh Thomas.
“Thom, kau baik-baik saja?” Well, pada level ini Edgar benar-benar terlalu bodoh untuk memahami situasi. Seharusnya pertanyaan seperti itu sudah tak boleh lagi diutarakan. Karena kenapa? Karena siapapun akan sadar bahwa Thomas bukanlah orang jahat yang akan memanfaatkan situasi untuk mendapatkan apa yang tidak ia miliki. Yang dalam hal ini adalah matanya.
“Maafkan aku… sudah cukup hukuman ini. Aku tak sanggup lagi.” Lirihannya tanpa sadar menorehkan luka kecil di dalam hati seorang Edgar Baskoro.
“Apa maksud perkataanmu?” Edgar benar-benar BODOH!
“Pabbo-ya!” Lengan Thomas langsung melingkar lagi di tubuh Edgar dan memeluknya dengan erat. Sangat… kuat! Seakan tak ingin lagi kehilangan. “Bajingan bodoh! Penipu gila!” Kepalan tangannya yang bebas memukul dada bidang Edgar berkali-kali.
Edgar akhirnya menyerah, diam, dan lebih memilih untuk balas memeluk sosok tampan di dekatnya kini. Kerinduan selama beberapa hari akibat kesalahan konyolnya setahun lalu pun langsung terbalaskan. Dia ingin sekali tak melepaskan lagi pelukan itu. Biarlah semua orang memandang mereka tak senang. Toh, bermesraan di tempat umum tak pernah dilarang. Meski akan terlihat aneh jika yang melakukannya adalah sesama pria.
“Berhentilah menghukumku. Aku sudah menyerah. Aku bahkan menyerah jauh sebelum kau mengatakan akan memberikan kedua matamu. Tolong jangan lakukan lagi, Ed. Aku tak akan meminta apapun darimu. Aku percaya padamu. Jadi jangan pernah berpikir untuk memberikan apa-apa lagi padaku. Aku percaya. Aku percaya padamu,” Rengkuhan Thomas semakin erat, membagi semua rasa tak terucap ke dalam hati seorang Edgar. Kini wanita itu sudah tak mau lagi menahan diri. Apalagi menyembunyikan perasaan itu.
Entah anugerah apa yang tiba-tiba masuk ke dalam raga pria manis itu. Edgar seakan baru terbangun dari delusinya. Semua inti sari kejadian selama beberapa hari ini langsung terangkum sempurna di dalam kepala dan jalan pikiran ajaibnya. Benar-benar manusia luar biasa, sangat akurat dan dengan waktu yang tepat. Lihatlah! Thomas sampai dibuatnya tak berdaya dengan kepolosan, keras kepala, kebodohan, kenekatan, serta keanehan Edgar dan pikirannya. Kekerasan hatinya hancur begitu saja hanya dengan bermain dengan bagian tubuh bernama ‘mata’.
“Aku benar-benar akan memberimu segalanya. Apapun keinginanmu. Tapi bukan bermaksud membuatmu menangis seperti ini. Aku minta maaf, aku benar-benar tidak tahu jika hal ini menyakitimu.” Edgar berusaha meredam tangis seseorang di dada. Tidak benar-benar menangis sebenarnya, hanya saja… isakan itu membuatnya tidak nyaman.
“Kau mencintaiku, kan? Katakan saja seperti itu lagi! Semua akan berakhir. Dan aku tak perlu secemas ini. Kenapa kau justru memilih jalan yang sulit? Bodoh! Kau benar-benar bodoh!”
‘Cinta?’ Edgar membatin. Kehangatan yang baru dan lebih melegakan langsung menyergap setiap aliran darahnya. Benar! Sejak dulu Edgar mencintainya. Kenapa sulit sekali mengucap kembali kata itu. Apa karena ia terlalu yakin cintanya takkan terbalas sehingga tak menyadari bahwa cinta yang sama sedang mengakar dalam hati Thomas? Ia terlalu buta oleh ego dan trauma. Ia menjadi lemah dan penakut hanya karena masalah yang ia hadapai karena kebodohan yang ia buat.
Kini berganti Edgar yang memeluk pemuda kokoh itu dengan penuh rasa. Semakin erat dan tak akan sudi melepasnya lagi. “Thomas, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”
“Hm.” Thomas mengangguk dalam pelukan. “Saranghae… Edgar yang bodoh, aku mencintaimu. Ya Tuhan, aku sangat mencintai penipu ini!”
“Thomas… aku… mmmpphh—!”
Edgar tak sempat mengucapkan kata – katanya ketika kedua belah bibir telah menutup mulutnya. Thomas mencium pemuda manis itu. Ciuman yang terjadi diantara angin musim dingin yang berhembus serta salju dingin yang membasahi telapak kaki kedua adam itu. Tak ada jalan lain bagi Edgar kecuali membalas ciuman dingin itu. Ia memeluk tengkuk kokoh berwarna caramel itu dan meyapu pelan surai – surai hitam sehingga menjadi sensasi yang nikmat bagi keduanya. Ciuman manis yang sangat intim dan mendebarkan hati…
Dari kejauhan, Jo In-Ho melihat pemadangan itu dengan senyuman simpul dan sedikit rasa cemburu. Tapi setidaknya, hal tersebut membuat Edgar menghentikan pikiran gilanya seminggu ini… cinta memang membuat orang menjadi gila dan tidak berpikir realisitis…
-NUN-
“Aku udah ngelakuin sebuah kesalahan, El. Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu,” Ujar Senja di balkon apartemennya. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Mencoba menghangatkan diri dengan dirinya apa adanya. Eliana yang semula hanya duduk di sofa mewah keluarga Dhirgantara itu pun beranjak mendekati sahabat sejatinya.
“Gak ada yang salah kalau semuanya udah terjadi. Yang ada hanya memperbaiki kesalahan atau membiarkan apa adanya,” Eliana memberikan nasihat.
“Aku merasa bersalah sama Thomas dan Edgar. Harusnya aku nggak usah ikut campur hubungan mereka berdua,” Senja masih tampak bersedih.
Eliana menggeleng, “Yang kamu lakuin dulu itu udah betul. Kamu itu kan kakaknya.”
Senja tersenyum hambar. “Aku seolah kalah dari Edgar, El. Dia lebih banyak tahu tentang Thomas dibanding aku. Sementara, sebagai kakaknya sendiri saja tidak pernah tahu jika Thomas sekecewa itu sampai nyaris bunuh diri.”
Eliana tersenyum dan memeluk bahu sahabatnya itu. “Edgar itu orang yang baik, Nja. Sangat jarang ada orang yang mau memberikan matanya demi pembuktian cinta.”
Eliana menghela nafas. Ia memikirkan kembali kata – kata Eliana. Ia tahu mengenai masalah mata itu dari Eliana. Eliana menceritakan segalanya tentang mengenai masalah pertemuan mereka di flat Edgar tempo hari. Ya, sebenarnya Edgar orang yang baik. Hanya saja, cara ia mendekati Thomas begitu keterlaluan sebenarnya.
“Besok aku mau pulang ke Indonesia.” Ujar Senja tiba – tiba.
“Sama Thomas?” Tanya Eliana kaget.
“Nggak. Sendirian.”
“Lho? Thomas bagaimana?”
Senja menepuk pundah Eliana. “Aku titip dia sama kamu…” Ujarnya sambil tersenyum.
“Kenapa mendadak banget sih, Nja?” Tanya Eliana seperti hendak protes.
“Aku perlu refreshing. Lagipula Thomas sekarang sudah bisa mandiri sekarang.” Kata Senja.
Eliana mengangkat alisnya. “Sampai berapa lama?”
“Mungkin… tiga bulan…”
“Berarti kita nggak bisa menikmati malam tahun baru bersama, dong.” Kata Eliana merajuk. Senja tertawa simpul disambut oleh Eliana. Mereka berdua tertawa dengan perasaan hati yang lega.
“Hati – hati di jalan, Nja…” Ujar Eliana sambil memeluk Senja.
“Pasti.” Jawab Senja.
-oOo-
But ( bikin sesak nafas sakit bacanya , keren banget sumpah :x :-*
Terus kapan lagi nih mau bikin cerita baru,?
Semoga saja secepatnya ya @alifhollic lope yuhh :-* :x
.
.
2 Bulan Kemudian.
“ … aku mengukir banyak kisah semenjak hari itu. Bersama pria musim dingin yang kini menemani hari – hariku. Menjadi mataku… serta menjadi hidupku…
Kami menghabiskan waktu bersama. Semenjak tahun baru, ia memberikanku sebuah kalung yang sepertinya sangat indah. Dan giliranku untuk membalas hadiahnya di hari Valentine. 14 februari, dimana aku memberikan sebuah buku. Hadiah yang sederhana memang. Namun mengingat dia adalah seorang mahasiswa, kurasa buku adalah hadiah yang wajar untuk diberikan…
Aku merasa pelangi itu hadir kembali. Aku merasa tak ada kesepian ketika aku bersamanya meski aku selamanya akan kehilangan mataku. Pria itu, bernama indah dan manis.
Edgar…
Indah bukan? Jika kau mengejanya, kau akan merasa ada kemanisan di setiap ejaan namanya, serta kelembutan di setiap suaranya. Jika aku bisa menggambarkan wajahnya, maka mungkin ia mempunya wajah tirus serta hidung mungil. Mata yang memiliki obsidian gelap lentik serta bibir merah yang membentuk shape M. Surai lembut itu terasa begitu wangi bak aroma bayi dan… hey, sepertinya aku sedang dimabuk asmara olehnya…
Aku ingin menceritakan banyak mengenai tentang diriku dan dirinya. Terutama dengan surat cinta yang ia kirim untukku lewat hadiah natal. Kau tahu, itu adalah tulisan braille terburuk, namun maknanya begitu mendalam. Tapi sepertinya akan sangat panjang jika aku juga harus membacakannya di email ini.
Dan terakhir, kurasa ini akan menjadi surat terakhirku di acara ini. Mungkin selepas ini kalian akan kehilangan ceritaku. Namun aku berterima kasih kepada para penggemar yang selalu mau menunggui kisahku selama empat bulan terakhir ini. Aku berterima kasih pada Hee-Sun yang telah mau membantuku untuk mengetik e-mail lewat komputer toko. Aku juga berterima kasih padamu Tim, yang telah sudi membacakan kisahku. Serta takkan kulupakan pertemuanku denganmu waktu itu yang telah menyadarkanku akan cintaku padanya. Aku berterima kasih pada Eliana yang menyuruhku untuk mendekatinya disaat dunia menyuruhku untuk menjauhinya. Juga eonnie-ku, Senja. Apa kabar di Indonesia sana? Aku merindukanmu…
Serta untukmu, pria musim dinginku, Edgar. terima kasih sudah mencintaiku dan menerimaku apa adanya. Kau adalah semangat yang mengalir di setiap nadi. Kau tunjukkan cintamu dengan cara yang lain… aku mencintaimu… selalu…
Tertanda dariku…
T.D”
Tim mengakhiri ceritanya di radio on air. Ia tersenyum sambil menerawang menatap langit di luar sana. Ia menopang dagunya, merasa lega dengan kisah cinta yang berakhir bahagia. Sangat melegakan.
“Baiklah, sepertinya ini surat terakhir dari T.D. sajangnim seperti yang dikatakannya dalam e-mail nya. Akhir yang bahagia untuk menutup akhir musim dingin ini dan… hey… apa kalian telah melihat keluar? Matahari sedang menghangatkan bumi dan itu berarti musim semi akan segerat tiba. Untuk kalian semua, kuputar lagu ini untuk sahabat sejati, hyung yang berjasa serta orang terkasih…
“Moonlight Sonata…”
-oOo-
Trrriiinng… Trrriiinnggg… Trriiinnggg…
Thomas memasang kembali lonceng hadiah natalnya dari Edgar di dekat jendela. Kala angin berhembus, lonceng itu berbunyi syahdu. Angin musim dingin tak sebeku kemarin. Udara mulai menampakkan kehangatan. Pertanda musim dingin akan segera berakhir. Namun meski begitu, sisa – sisa salju yang turun bak kapas masih terlihat. Menurut kabar cuaca, salju itu akan turun sampai besok malam. Dengan kata lain, salju terakhir akan turun dalam hitungan jam lagi.
Thomas mundur beberapa langkah hingga ia menyentuh ranjang dan duduk disana. Ia bisa merasa angin segar berhembus dari jendelanya yang terbuka. Suara tupai yang berlari – lari di dahan cemara bisa terdengar dalam suasan syahdu ini. Ditemani dengan suara lonceng kaca yang berdenting nyaring dan indah.
Sungguh suasana yang sempurna.
“Thomas…”
Thomas tersenyum. Ia sudah hafal betul suara orang yang menyeru memanggilnya. Suara tenor yang sudah ia tahu siapa pemiliknya.
“Ed… kau terlambat…” Ujar Thomas. Edgar tersenyum. Ia mendekati Thomas disana. Suara sepatu pantopel nya berkeletak beradu dengan lantai kayu. Langkah seorang pria matang yang sangat khas.
“Aku harus menemui In-Ho dulu tadi,” Kata Edgar sedikit serak.
“Ada apa? Kau sakit?” Tanya Thomas cemas. Ia bisa mendengar suara desahan ketika ia menanyakan kenapa Edgar menemui dokter itu. Perlu beberapa detik hingga akhirnya Edgar menjawab.
“Tidak. Bukan masalah penting…” Kata Edgar seperti ada yang disembunyikan. Thomas mendesah.
“Kenapa kau selalu menyembunyikan sesuatu dariku?” Thomas memprotes. “Kita sudah jadian beberapa bulan ini dan kau masih menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Aku tidak menyembunyikan apapun, sayang…” ujar Edgar sambil mencubit hidung Thomas secara gemas, “Kau cemburu ya aku dekat dengan In-Ho?” Tanya Edgar usil.
Thomas tersenyum. Menyunggingkan bibir tebal yang selalu menggoda Edgar untuk melumatnya. “Sedikit.” Gumamnya.
“Dasar!” Kata Edgar sambil terkikik. Ia kemudian mendekatkan duduknya. Menyenderkan kepalanya di bahu Thomas. Ikut menatap keluar jendela. Memperhatikan salju – salju putih yang perlahan mencair.
“Ngomong – ngomong soal cemburu, dulu kau juga pernah membuatku cemburu.” Edgar mulai mencari bahan obrolan.
“Oh ya? Kapan?”
“Saat aku menjemputmu untuk merayakan natal bersama. Gadis itu… gadis yang kudapati berada di flatmu dan membukakan pintu untukku.”
Thomas berpikir sejenak. Mencari seseorang. “Min-Young maksudmu? Kenapa memangnya?”
“Dia bilang dia adalah pacarmu.” Kata Edgar sambil merungut. Thomas tertawa.
“Dia memang suka mengada – ada jika bertemu dengan orang baru.” Kata Thomas sambil terkulum menahan tawa.
“Tetap saja aku cemburu…” Jawab Edgar.
Thomas melingkarkan lengannya di leher Edgar. membuat pria itu lebih erat dengannya. Lebih dekat. Sehingga ia bisa menciumi aroma terapi dari surai lembut itu. Aroma coklat manis dari surai lembut milik pemuda manis ini. Thomas merasa beruntung akhirnya bisa memiliki dan tanpa batas menempel pada pria manis ini. Memilikinya sebagai kekasih bukanlah perkara mudah. Jadi sebisa mungkin ia takkan pernah menghilangkan pemuda ini dari hidupnya. Meski pada akhirnya ia takkan bisa melihat wajah Edgar, namun cukup dengan membayangkannya dipikiran saja sudah membuat Thomas begitu hidup.
“Jangan cemburu, Ed. Kau tahu kan aku adalah milikmu. Raga ini, hati ini, perasaan ini—”
“Bahkan… penis mu?” Edgar menggoda nakal sambil menyentuh ikat pinggang Thomas.
“Hey, jangan coba – coba menggodaku…” Thomas tersenyum sambil mencium pipi Edgar gemas.
“Aku tak menggodamu. Hanya… ummm… penasaran…” Entah mengapa wajah Edgar memerah menyadari bahwa pikiran nakal itu sempat terlintas di pikirannya. Mengintimi orang buta? Ia merasa tertantang!
“Penasaran bercinta dengan orang yang tak bisa melihat?” sahut Thomas seolah bisa membaca pikirannya. Edgar tengsin.
“Kau membuatku gugup…” Edgar melepas rangkulan Thomas seolah tak mau tergoda lebih jauh oleh jalan pikirannya yang labil. Thomas terkekeh.
“Aku senang mendengarmu tergila – gila denganku…” Thomas tersenyum jahil. “Membuatku yakin kalau kau benar – benar menginginkanmu…”
“Aku memang menginginkanmu. Sejak dulu! Bahkan sebelum kau menyadari keberadaanku.” Tegas Edgar. Seolah mempertegas akan kekuatan cintanya pada Thomas. Thomas menghela nafas. Ia tergugu untuk beberapa saat. Rasa penasaran yang selalu hinggap di pikirannya. Perasaan yang beberapa hari ini kian mengusiknya.
“Kenapa kau selalu menggodaku, Ed…” gumamnya nyaris tak terdengar.
“Menggodamu untuk mencumbuiku?” Tanya Edgar polos.
Thomas tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. Ia menggeleng pelan dan mendengus. “Pikiranmu binal.”
“Oke. Maaf. Keseksianmu membuatku tak bisa berkonsentrasi pagi ini.” Edgar merajuk dengan alibi sebuah pujian. Ya, sepertinya ia harus belajar menahan tentang pikiran kotornya yang blak – blakan. Dunia gay memang terlalu bebas dalam mengekspresikan nafsunya. “Lalu… kau tergoda kenapa?”
“Aku tergoda... untuk melihatmu.”
Edgar terdiam. Kali ini ia mengesampingkan pikiran kotornya. Untuk beberapa saat ia kembali merasa bahwa keinginan Thomas untuk mempunyai mata baru yang sehat itu masih ada meski ia mencoba memendamnya.
“Aku yakin suatu saat nanti kau akan melihatku, Thom.” Ujar Edgar terdengar netral. Ia mendekati Thomas dan mengelus pelan rahangnya. Thomas tersenyum dan membalas mengelus pipi Edgar yang terasa berkeringat.
“Kau demam?” Tanya Thomas cemas sambil memegang kedua pipi Edgar.
“Apa?”
“Kau berkeringat banyak. Apa kau sakit?” Tanya Thomas masih dengan nada khawatir.
Edgar tersenyum dan melepas sentuhan Thomas. Ia mencoba menenangkan Thomas. “Kau membuatku gugup pagi ini sampai membuatku berkeringan dingin…” Kata Edgar terdengar ragu.
“Benarkah?” Thomas terdengar memastikan.
“Ya. Lagipula akhir – akhir ini aku hanya sedikit mengalami pusing.” Kata Edgar enteng. Namun hal tersebut malah membuat Thomas semakin khawatir.
“Mau mendengarku bermain piano?” Edgar mencoba mengalihkan kecemasan Thomas. Dan itu berhasil ketika Thomas tersenyum dan mengangguk. Edgar menarik telapak Thomas dan menuntunnya berjalan. Menuju ke ruang kosong tempat grand piano milik mendiang ayah Thomas berada. Ruangan yang sudah sering dimasuki oleh mereka. Dengan jendela lebar yang masih menampakkan titik – ttik salju putih dan menempel di sebagian bidang bening itu.
Ting…
Ketika mereka mulai duduk, Edgar mulai melakukan pemanasan diatas tuts untuk meregangkan jari jemarinya. Ia menatap Thomas yang tersenyum menantikan permainannya. Membuat Edgar begitu terenyuh menatap wajah tegas itu.
“Kau ingin aku bermain apa?” Tanya Edgar.
Thomas tersenyum. “Mainkan lagu yang menjadi cirikhas mu.”
“Cirikhas ku?” Tanya Edgar bingung.
“Lagu yang membuat aku kagum kepadamu. Dimanapun aku mendengar lagu itu, aku selalu yakin jika itu adalah kau yang selalu berada disampingku. Mengawasiku. Seperti saat kau mengawasiku di café itu dulu.”
“Edgar berpikir sejenak. Kemudian ia tersenyum. “Moonlight Sonata?”
Thomas tersenyum. Tak perlu kata – kata untuk menjawab kebenaran. Karena memang itulah yang ia maksud. Edgar mengangguk mengerti dan mulai memainkan dentingan itu. Dentingan nada yang akan selalu menjadi sejarah mereka.
Ting… Ting… Ting… Ting…
Thomas menyenderkan kepalanya di bahu Edgar yang sedang memainkan dentingan indah itu. Meresapi setiap nada yang dihasilkan oleh piano tua itu. Merasakan setiap kemanisan yang ia rasakan indahnya. Sungguh, surga seolah sedang mengunjungi mereka berdua. Menempatkan mereka pada firdaus tertinggi dilangit dan menciptakan mimpi indah dalam kelelapan yang memabukkan.
“Apa kelak nanti kau akan pergi meninggalkanku lagi, Ed?” Tanya Thomas dalam pejamannya. Edgar terdiam untuk beberapa saat. Namun jemarinya masih tetap lihai memainkan piano itu.
“Aku akan tetap disampingmu…” Jawab Edgar pelan.
“Jika kau pergi untuk waktu yang lama. Dan… kau kembali dan aku tidak mengenalimu…” Thomas membuka matanya. Menerawang dalam lirihannya. “Mainkan lagu ini untukku. Maka aku akan bisa mengenalimu. Bahwa kau adalah pria musim dinginku.”
Edgar terdiam. Begitupula Thomas. Mereka hanya tenggelam dalam buaian nada yang mengantarkan mereka semakin hanyut dalam dekapan cinta yang memabukkan.
"Jika ada kata yang tak bisa terucap, maka melodi ini akan mengatakannya padamu. Dengarkan dan resapi. Maka kau akan bisa merasakan apa yang ingin ku katakan padamu...'"
Thomas memejamkan matanya. mencoba mengartikan isyarat yang diberikan oleh Edgar lewat sebuah melodi ringan. Ia tersenyum begitu ada perasaan menggelitik.
"Apa yang kau dengar...?"
"Kau mencintaiku..."
Gumamnya pelan tanpa menghapus senyumnya.
"Lalu?"
"Kau akan selalu disampingku meski kau tidak akan pernah ada lagi..."
-oOo-
2 hari kemudian…
Malam itu Thomas memakai kemeja yang dibalut rompi hitam. Membuatnya begitu tampan dengan balutan yang begitu rapih. Ia memadukannya dengan celana bahan berwarna hitam. Membuat kaki jenjangnya terlihat semakin panjang dan membuatnya tambah tinggi. Malam ini ia seperti sedang mempersiapkan diri untuk kencan.
“Wow… kau terlihat tampan, Mr. Perfect!” Eliana yang tak sengaja lewat didepan kamarnya memuji penampilannya. Ia mendekat untuk melihat pemuda yang sedang mematut dirinya di depan meja rias. Semenjak Senja pergi, Eliana jadi sering datang ke flatnya hanya untuk sekedar memastikan keadaan Thomas.
“Terimakasih.” Ucap Thomas sambil tersenyum.
“Apa kau akan pergi kencan dengan pacarmu?” Goda Eliana.
“Kami hanya akan makan malam. Menikmati salju terakhir yang turun.” Kata Thomas yang membuat Eliana sedikit bertanya – tanya.
“Apa istimewanya salju terakhir turun. Lebih istimewa jika kita menyaksikan salju pertaman turun bersama orang terkasih.” Kata Eliana sambil menerawang.
“Ya.” Thomas tersenyum, “tapi aku dan Edgar berpendapat bahwa salju yang terakhir lah yang berkesan. Karena menandakan berakhirnya kebekuan dan menuju ke musim yang paling indah.” Ujar Thomas mengutarakan alasan yang sederhana.
“Terserah kalian berdua saja.” Kata Eliana memutar bola matanya. “Ngomong – ngomong kalian akan berangkat jam berapa?” Tanya Eliana.
“Seharusnya ia sudah datang menjemputku. Tapi sepertinya ia agak sedikit terlambat.” Thomas agak sedikit cemas. Namun ia mencoba mengusir rasa itu.
“Kau telepon saja dan tanyakan dia ada dimana.” Eliana sepertinya bisa membaca kecemasan itu. “Aku akan pergi ke dapur. Jangan lupa untuk meneleponnya, Thom.”
Thomas segera mengambil ponselnya begitu Eliana berlalu. Ia menyebut nama Edgar dalam calling voice cencored nya alias sensor suara dalam ponselnya. Seketika nada tunggu berbunyi cukup lama. Membuat Thomas semakin cemas. Entah mengapa ia begitu cemas padahal baru beberapa detik belum diangkat.
“Ha… hallo…”
Suara diseberang sana membuatnya lega. Edgar masih menjawab panggilannya. Pertanda semuanya baik – baik saja.
“Ed, kau dimana? Kenapa kau lama sekali, sih?” Tanya Thomas tak bisa menyembunyikan kelegaannya.
“Ma-maaf… Thomas… aku… aku… ahrrggghh!!” Suara disana tiba – tiba membuat Thomas kembali khawatir. Edgar terdengar kesakitan. Entah apa yang sedang terjadi disana.
“Ed… Ed! Jawab aku! Kau kenapa?! Apa terjadi sesuatu?! Ed?!” Thomas mulai panik.
“Thom… rrrgghh!... aku harus pergi… maaf…”
Klik!
“Halo! Edgar!” Thomas mendengar nada putus sambungan. Ia kembali menghubungi lagi kekasihnya itu. Namun percobaan kedua dan seterusnya tidak ada jawaban apapun. Malah Edgar langsung mematikan ponselnya. Membuat Thomas semakin bertanya – tanya.
“Ed… kumohon jawablah…” racau Thomas ketakutan. Ia berkali – kali menghubungi ponsel Edgar namun hasilnya nihil. Membuat dia bertanya – tanya kemana dan kenapa pria itu terdengar kesakitan…
Pikiran Thomas tak tenang…
-oOo-
Edgar terbangun ketika mencium bau obat bius dan antibiotic khas rumah sakit. Tubuhnya sangat lemah sehingga ia merasa sedang dibebat keras dengan posisi berbaring. Ia bisa mendengar suara alat pendeteksi detak jantung dan kabel – kabel inhalase yang mengganggu. Kepalanya terasa pening. Ia tak habis – habisnya mengucurkan keringat dingin. Merasa dehidrasi dan seakan – akan membuat tenggorokannya begitu kering. Kupingnya seperti berdenging dan matanya terasa samar – samar. Seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti otaknya.
“Ed, kau sudah sadar?” suara yang ia kenal berada di dekatnya. Ia merasa seseorang mendekati wajahnya. Lebih dari satu orang.
“Tim… Dong-Joon…” Suara Edgar terdengar lemah dan serak.
“Dong-Joon! Cepat panggil In-Ho!” Titah Tim pada Dong-Joon. Tanpa disuruh dua kali, Dong-Joon bergegas keluar ruangan.
“Apa yang terjadi… dimana aku?” Perlahan kesadaran Edgar mulai membaik.
“Kau berada di ICU rumah sakit Taeyang. Kau ditemukan terjatuh di kamarmu tiga hari yang lalu.” Ucap Tim.
Tiga hari?
Pikiran Edgar langsung melayang pada wajah Thomas. “Bagaimana dengan Thomas?”
Tim menggeleng. “Aku belum memberitahunya. Kupikir kau takkan memberi izin untuk memberitahukan hal ini padanya.” Ujar Tim. Edgar mengangguk.
“Bagus.” Jawabnya lemah. Ia tak ingin Thomas khawatir mendengar kabarnya. Apalagi ia sudah terbaring disana selama tiga hari! Astaga! Itu berarti dia melewatkan acara kencan mereka.
“Tapi… aku sudah menghubungi keluargamu. Mereka akan tiba besok pagi.” Kata Tim sambil menunduk. “Hyung… kau tidak bilang jika kau mengidap tumor otak…”
“Maaf…” Gumam Edgar. entah mengapa ia berusaha untuk terbangun. Tim menyadari itu. Tiba - tiba sja rasa panik meyelusup kedalam benaknya. Seharusnya ia tak mengatakan bahwa Edgar telah terbaring koma selama tiga hari. Pikirannya jadi terpengaruh.
“Tak apa. Tapi… kau tak perlu bangun. Kau masih dalam keadaan lemah.” Kata Tim cemas. Namun Edgar bersikeras dan hanya menggeleng.
“Aku tidak apa – apa.” Jawab Edgar sambil menepis tangan Tim. “Aku harus segera menemui Thomas. Aku tak ingin kehilangan kepercayaannya karena aku tak menepati janji lagi…”
“Eh!” Tim mulai panik. “Kau tak perlu senekat ini hyung! Kau masih sakit. Jika kau mau aku bisa meneleponnya dan membuat dia datang kemari.”
“Tak perlu!” Edgar segera menahan Tim. “Aku masih bisa berjalan sendiri…”
“Hyung! Kau bisa mati!”
Edgar tak peduli dengan perkataan orang yang usdah ia anggap sebagai adik sendiri itu. Ia malah dengan sangat nekat mencopot kabel infus yang tertanam di lengan kanannya. Memutus kabel inhalase yang menempel di badannya. Edgar benar – benar ingin berusaha sendiri menemui Thomas.
“Hyung!”
Tim berkali – kali menarik tangan Edgar namun Edgar juga berkali – kali mengibasnya dan mengabaikannya. Kondisinya sudah sangat lemah. Tumor nya tanpa diduga lebih cepat menggerogoti sistem syaraf di otaknya. Itu sebabnya akhir – akhir ini ia merasa pusing dan seperti orang demam. In-Ho sudah memperingatkan hal ini namun ia tak peduli. Di pikirannya yang ingin ia temui pertama kali adalah Thomas, kekasihnya. Ia tak peduli pada beberapa pengunjung rumah sakit yang menatapnya heran.
“Edgar!! Hey!!” Terdengar suara orang lain mengejarnya yang berlari di koridor. In-Ho~bersama Dong-Joon~ berhasil mengejar tubuh Edgar yang lemah sehingga mudah ditangkap.
“Minggir!”
“Edgar-ssi! Kau gila!” Dong-Joon tak habis pikir melihat tingkah temannya yang sudah kelewat batas.
“Ed! Kau masih lemah! Tumor itu mulai berkembang dengan cepat dari perkiraan sebelumnya! Kau harus segera mendapat perawatan!” In-Ho bersikeras menahan Edgar untuk pergi.
“Tidak. Aku harus menemuinya. Aku tak ingin kehilangan kepercayaannya lagi!”
“Tunggu hingga keadaanmu membaik!”
“Keadaanku tidak akan membaik! Aku harus segera menemuinya sebelum terlambat!” Edgar bersikeras.
“Ed! Dengarkan aku—”
“Tidak kau yang dengarkan!!” Edgar memotong membuat In-Ho terdiam. “Kita sudah pernah bicarakan ini! Bagaimanapun akan kuwariskan mata ini untuk Thomas! Jadi jangan halangi aku…”
“Tapi Ed! Kau punya kesempatan lain untuk bertemu dengannya…” Tim memohon. Sangat jelas wajahnya begitu khawatir dengan keadaan hyungnim nya itu. Ia sangat tahu jika kondisinya sudah sekarat. Ia tak ingin kehilangan Edgar apapun yang terjadi…
“Tak ada kata lain kali, Tim…” Kata Edgar lemah. Ia merasa tumor itu seperti sebuah penghalang. Seolah membuat dirinya semakin lama semakin lemah. Namun ia harus berdo’a agar dirinya tetap kuat sampai ia bertemu dengan Thomas. “Aku sangat menyayangimu sebagai adikku… dan… aku bersyukur bisa dipertemukan oleh kalian bertiga dan menjadi sahabat bagi kalian…” Edgar menatap satu persatu wajah teman – temannya. Menatap nanar kepada wajah yang sekarang terlihat khawatir kepadanya itu.
In-Ho menyadari sesuatu. Ia merasa jika pemuda ini akan segera pergi selamanya. Malam ini. Ia bisa melihat bagaimana pada akhirnya Edgar terbangun hanya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka semua. Ia terbangun dari komanya untuk menemui kekasihnya meski hanya akan menjadi salam perpisahan. Meski In-Ho sudah berusaha menyembuhkan, namun Edgar telah memilih jalan yang dikehendakinya.
"Edgar.... jika kau menemui Thomas, kau hanya akan membuatnya bersedih lagi..." Ujar In-Ho. Kali ini ia mendapati Edgar terdiam terpaku. "Kau hanya akan membuatnya sedih dengan kepergianmu nantinya..."
"Kalau begitu... bantu aku... untuk yang terakhir kalinya..."
“Edgar… kau—”
“In-Ho… aku…” Edgar memotong dan untuk sesaat tubuhnya roboh. Sontak semua yang ada disana panik melihat tubuhnya terbujur lemah dan tak sadarkan diri.
-oOo-
Ini sudah sekitar seminggu. Thomas sama sekali tak mendapat petunjuk apapun mengenai keadaan Thomas. Ia sudah mengunjungi flatnya namun flat itu seolah kosong. Di radio, Tim yang merupakan orang terdekat Edgar juga tak siaran selama seminggu ini. Di Jung’s Café pun ia tak mendapati keberadaan Edgar. pemuda itu benar – benar bagaikan hilang di telan bumi.
Hari berganti, dan daun – daun di dahan mulai tumbuh menandakan musim semi yang tengah menghampiri bumi Korea itu. Namun keadaan diluar yang cerah tak mampu mencerahkan hati Thomas yang menggalau. Semenjak malam dimana ia kehilangan kontak dengan Edgar, dari sanalah seolah ia tak pernah mendengar kabar kekasihnya lagi.
Apa ia harus bersikap tak mempercayainya lagi? Tidak! Rasa cemas dan cintanya kini mengalahkan egonya. Yang dilakukannya kini hanya menunggu kepastian. Piano yang hanya ia mainkan asal kini mulai berdebu karena lama tak ia bersihkan. Ia hanya hilir mudik tanpa arah tujuan menunggu kekasihnya kembali. Ia selalu berharap saat itu juga seseorang masuk ruangannya dan memainkan piano itu lagi. Moonlight Sonata yang selalu mendamaikan jiwanya seolah orang yang dicintainya berada didekatnya.
Siang kini telah berganti kembali menjadi gelap. Thomas kini menggenapi malam semenjak Edgar tidak kunjung pulang ke sisinya.ia takkan pernah lelah untuk menunggu lebih lama bahkan jika perlu ia akan menunggu selamanya. Ia takkan memperumit masalah seperti dulu lagi. Ia tahu pasti bahwa Edgar akan datang seperti dulu.
Krriiieeettt…
Thomas menahan nafas. Dari kamarnya ia bisa merasa ada seseorang yang tengah masuk kedalam flatnya. Suara langkah kaki yang sangat familiar. Ia berharap – harap cemas apakah orang itu Edgar atau orang lain. Suara langkah kaki itu berjalan melewati kamarnya dan menuju… ruang piano!!
Ting… ting… ting… ting… ting… ting…
Thomas terperangah. Hatinya terasa sejuk sekaligus lega. Ia begitu bisa merasakan seseorang yang dicintainya lewat nada ini. Ia mengenal nada yang membuatnya mengenal seseorang. Ia tak bisa menahan senyum ketika nada itu terus berdenting.
Moonlight Sonata…
Sebuah dentingan nada yang ia tahu Edgar akan memainkannya untuknya ketika ia datang. Ia akan memainkan nada – nada itu untuk memberitahukan keberadaannya dan menyatakan bahwa ia takkan pernah pergi. Ya… Edgar disini! Takkan pernah pergi.
'Aku mencintaimu... segala tentangmu... takkan kutinggalkan dirimu... aku...' begitulah denting yang disampaikan Edgar lewat melodi. Thomas tersenyum ketika menyadari akan kata - kata yang di sampaikan Edgar lewat melodi.
Ting… ting… ting… ting… ting… JRENGG!!
Terdengar lagu Moonlight Sonata berhenti sebelum berakhir. Bisa Thomas rasakan sesuatu seperti menimpa keras tuts piano hingga mengakibatkan suara keras dari piano. Kata - kata yang terpotong sebelum selesai diucapkan.
Tiba – tiba tak ada suara…
Semuanya kembali sunyi…
Sepi…
Membuat Thomas terperangah dan membelalakkan mata. Sekali lagi, perasaan was – was dan bayangan sesuatu yang buruk menghantuinya. Ia berharap Edgar akan meneruskan permainannya…
Meneruskan apa yang ingin ia sampaikan...
-oOo-
In-Ho menatap tubuh Edgar yang dibopong oleh Tim dari ruang piano Thomas. Hidungnya telah mengucurkan darah segar dari sana. Ia tahu sangat salah mengantar Edgar kesini hanya untuk sekedar memainkan lagu terakhir untuk Thomas. Tubuhnya terbujur tak sadarkan diri diatas piano.
Dia sadar jika Edgar memainkan piano untuk menyampaikan perasaannya dan tak ingin membuat Thomas cemas dan sakit hati di sisa nafasnya. Jadi alih-alih mengungkapkannya lewat kata-kata, Edgar mengungkapkannya lewat melodi. Edgar ingin memberikan pesan terakhirnya melalui melodi yang dibuatnya lewat piano.
Tim membawa tubuh itu keluar dengan panik. Dong-Joon telah menunggunya diluar dan membukakan pintu mobil untuk membawa jasad Edgar yang menyedihkan. Tim menahan tangis dan berdoa semoga semuanya baik – baik saja.
In-Ho masih terdiam. Ia menatap piano didepannya dan terpejam beberapa saat. Setitik airmata menetes dan membasahi tuts. Ia mengusap tubuh piano itu. Piano yang menjadi saksi bisu kisah cinta terlarang antara Edgar dan Thomas. Bahkan disisa nafasnya, Edgar masih mampu mempersembahkan lagi cinta untu kekasih sejatinya.
Kini sebagai penghormatan terakhir, In-Ho duduk dan mulai memainkan kelanjutan Moonlight Sonata yang terpotong. Ia memutuskan menggantikan Edgar memainkan nada terakhirnya. Untuk saat ini biarlah ia menjadi seorang penipu. Ia membiarkan Edgar tetap hidup dalam permainan pianonya yang juga lihai. Memainkannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Mengatakan pada kekasih hati bahwa Edgar akan tetap hidup selamanya.
Membiarkan Thomas menyangkan bahwa Edgar masih ada disini...
Ting… Ting… Ting…
-oOo-
Ting… Ting… Ting…
Thomas tersenyum ketika mendengar dentingan itu berlanjut. Ia bernafas lega sambil memejamkan matanya. Meresapi alunan sedih yang perlahan membuat airmatanya meleleh. Ia sangat merindukan Edgar dan tak ingin ia pergi. Ia selalu tahu jika lagu dimainkan maka Edgar akan berada disana untuk menemaninya.
Ia tak pernah menyadari bahwa Edgar tak pernah menyelesaikan lagu itu. Ia tak pernah tahu bahwa penipuan itu terjadi lagi meski itu adalah penipuan yang diperuntukkan untuk kebahagiaan Thomas. Bibirnya bergetar dan matanya sembab. Membiarkan semuanya mengalir apa adanya…
Namun sesaat, tangisannya menjadi pilu dan terisak. Ia tersungkur jatuh ketika menyadari pesan terakhir yang di sampaikan lewat lagu yang di lanjutkan itu. Ia tersenyum begitupula menangis.
Karena ia mendapat pesan melodi itu berbunyi...
"Dia Mencintaimu...
.
.
.
.
.
.
Karena cinta, membuat segalanya tetap hidup…
-NUN-
4 Tahun kemudian…
“… hey monsieour! Kapan kau akan mengunjungi Paris lagi? Kau tahu… disini sedang musim gugur! Aku akan mengajakmu berjalan – jalan lagi di sekitar Rue De Rivoli!...”
“Aissshh… Sandy-ssi… kau ini selalu memaksaku untuk pergi kesana lagi?! Kau tahu kan bahasa Perancis ku buruk? Dan di Perancis, mereka tidak menerima orang yang jago bahasa Inggris!”
“Monsieour Thomas! Namaku Sandy Ourville! Bukan Sandysi! Nama jelek macam apa itu?!”
“Itu panggilan hormat di Korea…”
“Kupikir kau takkan mau ke Korea lagi. Hey, kau tahu? Sepertinya aku sudah mampu memecahkan misteri tatapan Monalisa yang menyeramkan itu…lukisan yang kau tatap lama di Paris waktu itu...”
“Oh ya? Apa itu?”
“Monalisa itu… Buta!”
“Ah… aku sudah tahu lama tentang hal itu. Kau membicarakan hal yang tidak penting!”
“Ah, masa bodoh! Tapi jangan lupa, kau harus segera mengunjungiku lagi di Paris. Apa tidak bosan dengan Negara yang penuh dengan Boyband itu?!”
“Ah! kau ini terlalu banyak bicara, San! Apa kau tidak sayang dengan pulsamu ini? Panggilan luar negeri bukankah lebih mahal di setiap Negara?”
“Kau menceramahiku tentang panggilan luar negeri?! Dasar… tapi kau benar juga. Lebih baik kusudahi dulu teleponnya. Jangan lupa bawakan oleh – oleh saat kau berkunjung ke Rue de Rivoli, monsieour Dhirgantara…”
“Baiklah – baiklah! Sudah dulu, ya. Aku tengah sibuk.”
Klik!
Thomas kini dapat memandang langit musim gugur di pulau Nami itu sambil memasukkan ponselnya. Pohon – pohon ek dan maple tampaknya sedang meranggas sehingga sangat jelas terlihat hingga titik terjauh di dominasi oleh warna kuning – oranye. Dulu ia ingin sekali pergi kemari dengan kekasihnya. Namun sepertinya hal itu sudah tidak akan terjadi lagi mengingat Edgar takkan pernah kembali lagi.
Thomas menghela nafas. Ia menunduk dan membiarkan angin musim gugur meniup surainya. Ia tertunduk sambil menatap jemarinya yang terbalut sarung tangan hitam khas autumn. Terduduk disalah satu kursi dipinggir jalan umum pulau Nami. Memperhatiakn lalu lalang muda - mudi yang menikmati pulau tempat drama Korea Sonata itu berlangsung.
Matanya menoleh dan mengambil buku gambar yang tua dan nyaris berjamur. Ia membuka – buka kembali buku gambar itu. Sebuah goresan wajah yang pernah digambar Edgar. sungguh, Thomas berani taruhan jika gambar Edgar tidak lebih bagus dari gambar anak SD. Tapi meskipun begitu, goresan yang nyaris luntur itu begitu sangat mendalam maknanya.
Diantara lipatan halaman buku gambar, terselip sebuah kertas kecil bertuliskan braille. Thomas menerawang, mengingat ketika Edgar menyelipkan kertas tersebut dalam kado natalnya. Ia tersenyum ketika menatap kertas tersebut.
Triinng… Triiinng… Tringgg…
Telinga Thomas terasa menegang ketika ia mendapati suara yang sangat familiar. Suara yang sepertinya adalah gelang kaca yang pernah ia berikan untuk Edgar. kini suara itu terasa semakin mendekati duduknya.
“Thomas-ssi…? rupanya benar ini kau!”
Wajah tampan itu tersenyum lembut. Dengan rambut pendek bergaya jambul klimis serta wajah yang sangat dewasa. Kacamata kini bertengger terselip diantara hidung bangir dan mata teduhnya. Mengenakan jaket khas autumn berwarna hitam dan syal merah yang tampak membuatnya lebih menawan.
Ia duduk disebelah Thomas. Membuat Thomas dapat melihat gelang yang pernah dipakai Edgar kini bertengger di pergelangan tangannya.
“In-Ho…” Sapa Thomas sambil tersenyum. In-Ho menoleh dan tersenyum berwibawa.
“Setelah selesai kemotherapy kau tidak pernah mengunjungiku lagi.” Kata In-Ho tanpa basa – basi.
“Mianhae…” Ucap Thomas dan menghela nafas untuk mejeda kalimatnya. “Aku perlu pulang ke Indonesia untuk mengurusi beberapa asset perusahaan ayah yang kutinggalkan. Juga membangun kembali sanggar lukis yang pernah kuabaikan.” Kata Thomas sambil tersenyum mengenang. Tatapannya kini mengarah pada In-Ho. “Kau tau darimana aku berada disini?”
“Tim memberitahuku…” Kata In-Ho sambil tersenyum.
“Anak itu,” Thomas mengenang “Apa kabarnya?”
“Tim mengundurkan diri menjadi trainee setahun lalu. Ia bilang, ia akan ke Indonesia untuk menikahi wanita bernama Dinda. Kau mengenalnya?”
Thomas menggeleng. In-Ho mendesah. Sepertinya ia juga tak tahu siapa itu Dinda.
“Bagaimana dengan teman Edgar yang satunya lagi?”
“Dong-Joon? Anak itu lulus dua tahun yang lalu. Kini bekerja di salah satu perusahaan terbesar di negeri ini.” In-Ho mendesah. Ia memandang daun maple yang meranggas di kejauhan sana. Warna keemasan yang memanjakan mata. “Wanita itu, apa kabarnya?”
“Eliana? Sepertinya sudah sukses menjadi perancang busana di Paris. Dan Senja, bulan depan dia akan menikah.” Kata Thomas sambil tersenyum membayangkan wajah kakaknya.
“Bagaimana denganmu?” Kini In-Ho menanyakan Thomas. Thomas terdiam beberapa detik.
“Semenjak aku mendapatkan mataku lagi, aku mulai membangun lagi cita – cita yang aku tinggalkan.” Ujar Thomas sambil mengigit bibir bawahnya. “Mata yang ia berikan ini, takkan kusia – siakan,” Thomas menoleh kepada In-Ho. “Edgar seharusnya bersamamu agar dia lebih bahagia.”
In-Ho tersenyum. Jemarinya dengan sopan dan tanpa segan menelusup kesela – sela telapak tangan Thomas. Menggenggamnya erat seolah ia adalah kekasihnya. Menatapnya dalam. Membuat Thomas merasakan sensasi kelembutan iu. “Dia jauh lebih bahagia ketika bersamamu, Thom.”
“Aku tahu itu.” Ujar Thomas. “itu sebabnya aku sangat mencintainya…”
In-Ho tertunduk. Tiba – tiba saja dadanya berdebar. Entah mengapa ia jadi merasa salah tingkah ketika ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Mata kelam milik Edgar kini tengah berbinar di tubuh pemuda kokoh didepannya. Ia seperti melihat Edgar dalam diri Thomas.
“Ada apa, dokter?” Tanya Thomas menyadari perubahan sikap In-Ho.
“Thomas. Jika kau mengizinkan seseorang untuk mengisi hatimu lagi. A… apa mungkin—”
“Kau menembakku?” Tanya Thomas langsung. Membuat In-Ho tersipu.
“Ummm… tidak… aku hanya sedang berusaha mendekatimu…”
Thomas tersenyum. Ia kemudia menggenggam tangan In-Ho dan menyingkirkannya dari lengannya. Menaruhnya di atas pangkuan dokter muda itu. “Aku masih butuh waktu untuk itu, In-Ho.” Gumam Thomas. Ia kemudia berdiri. Hendak untuk pergi.
“Apa empat tahun belum cukup untukmu?” Tanya In-Ho. Seolah tahu dirinya akan ditolak.
Thomas tersenyum. “Jika kau bersedia untuk menungguku sedikit lagi, maukah kau melakukannya?”
In-Ho balas tersenyum dan mengangguk. “Aku akan menunggumu hingga kau siap menerima cinta yang baru…”
Thomas berjalan meninggalkan bangku itu. Diantar oleh tatapan In-Ho yang mengantarnya untuk berlalu. Mata Thomas kini melayang mengamati apapun disekelilingnya. Ia telah keluar dari ruang gelap itu. Seseorang telah memberikan donor mata empat tahun yang lalu. Meski tidak diberitahu siapa yang memberikan mata itu, tapi ia yakin bahwa Edgar lah yang merencanakan semua ini terjadi.
Sebuah mata. Adalah bukti kisah cinta terbesar mengenai kekuatan cinta yang sesungguhnya. Dengan mata ini, Edgar telah berhasil membawa Thomas melihat kembali warna – warni dunia secara nyata. Meskipun pada akhirnya, ia tak pernah tahu seperti apa wajah Edgar yang sesungguhnya. Pada akhirnya ia hanya dapat melihat gambaran Edgar dari foto – foto tanpa bisa melihatnya secara langsung.
Thomas menatap kembali secarik kertas bertuliskan braille itu. Ia tersenyum ketika membaca apa yang tertera disana. Sebuah analogi tentang cinta yang diberikan semesta untuk dirinya dan Edgar…
- Jika kelak kau kehilangan diriku, maka dengarkan ini dan ingatlah semua tentang kenangan itu. Aku akan hadir, dimanapun dan kapanpun, saat kau merindukan diriku-
E
Triiing... triiing... trrinnnggg....
-NUN-
TAMAT
Maaf bagi yang gak suka sama sad ending. Tapi kayaknya ini endingnya nggak terlalu mewek – mewek banget, kan? Akhir cerita ini sebenarnya udah ditetapkan semenjak saya nonton MV JIN-Gone. Kalau para pembaca mau, bisa dicek biar paham kenapa saya terinspirasi untuk membuat cerita yang terkesan drama korea banget ini. Selain itu, referensi juga bergantung pada drama korea (That Winter The Wind Blows, Winter Sonata) lagu – lagu Korea (Miracle In Desember, Gone, Can you hear me, dll) serta fanfiction yang berbau Korea. Intinya, semua serba Korea. -___-
Untuk yang bertanya tentang gambaran wajah mereka (Edgar dan Thomas), saya akan mencoba mengasih gambaran dari salah satu fanart. Semoga BF gak error pas gua masukin nih gambar. Untuk yang bertanya mengenai blog, sebenarnya blog itu di privasi karena sedang diperbaiki untuk saat ini. Jadi cerita saya yang lain belum bisa di publikasikan. Dan jika ada yang mau bertanya lagi, silahkan! Saya haus akan pertanyaan. Itu berarti menunjukkan kalau kalian semua lumayan excited dengan cerita ini.
Jika ada yang bertanya kapan mau membuat cerita lainnya. Jawabannya; cerita sudah jadi. hanya saja belom siap untuk publish. Arc kedua setelah winter story, yakni autumn story. Tinggal tunggu waktu kapan mau diterbitin karena masih banyak typo disana sini. Serta agak sedikit rumit untuk saya karena bukan berlatarkan Korea lagi. Tebak sendiri tempatnya akan dimana itu sebabnya terjadi pemadatan cerita dalam Lost Sonata. Mungkin akan ada beberapa yang sadar kalau bagian akhir agak terburu – buru. Namun sebisa mungkin saya coba untuk tetap bisa dinikmati oleh pemirsah…. #Plakkk!!
And last, thx for all. I love you. Saranghamnida. Sampai jumpa Edgar dan Thomas. Selamat tinggal Korea… bye…
tunggu kisah saya selanjutnya. terimakasih
panggil tante @Yuzz: tante, ceritanya dah selesai. maskuin ke daftar cerita yang udah hatam ya tan....
hehehe... maaf ya kalau nggak suka Sad Ending... tapi kayaknya nggak terlalu sadly juga kan???
hmmm????
urwell...