It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gimana ya perasaan thomas kalau tau edgar itu eliana?
Ehehehe. Honestly ya, pengen tau umurmu berapa. Soalnya gaya menulis kaya gini agaknya dibawah 20 tahun, menurutku. Mirip aku dulu pas awal kenal ff. XD
eiya, part 9 si anu (lupa namanya, gak baca, cuma skipping) manggil kakak perempuannya Eonni ya? Dia cowok, kan? Harusnya manggilnya Nuna. Kalau Eonni mah dari adek cewek ke kakak cewek okesip. Gitu aja xD gomawo~.
@prend @Wita @Unprince @ananda1
Iam sorry for late.... sebenernya ada sedikit masalah akhir tahun kemaren sehingga rada - rada mogok n nggak berani buka sosmed. tapi, daripada cerita ini mubazir, mending kita akhiri saja dulu. yah, kemaren sempet ada konflik sama seseorang dengan jatidiri ku sebagai gay yang ketahuan. jadi rada ngedrop and... yah... gitu deh.... ... but... ini dia lanjutan ceritanya... mian terlalu lama menunggu cerita amatiran ini....
.
.
“Disini kan?” Tanya Eliana sambil melambatkan mobilnya ditepi jalan. Senja memandang sekitar dan pandagannya langsung jatuh pada salah satu flat di jalan Cheongdam-dong.
|
“Ya.” Jawab Senja dengan tatapan sendu menatap ke arah flat rumah itu. Beberapa hari ini, ia selalu merasa kalau ada sesuatu hal menyedihkan yang akan terjadi antara dirinya dan adiknya. Perasaan tak nyaman itu membuat dirinya sering melamun dan otaknya mengkhawatirkan Thomas disana. Bahkan tanpa diduga, ia pulang lebih awal dari Busan hanya untuk menyampaikan sesuatu yang akhir – akhir ini membuat pikirannya terganggu karena kenangan itu perlahan mencuat ke permukaan.
Ya. Bagaimanapun dia harus memberitahu semuanya di akhir Desember ini. Adiknya sudah terlalu lama hidup dalam kebohongan dirinya yang menutupi sebuah kebenaran. Meski hal sepele, skandal tentang penipuan Edgar itu seolah – olah terus menghantui dirinya. Apalagi semenjak kecelakaan empat tahun yang lalu yang telah mengambil kedua mata adiknya, Senja bersumpah tidak akan mengecewakan Thomas termasuk dalam hal kecil seperti berbohong.
Namun jika mengingat kejadian satu tahu yang lalu, ia merasa dirinya telah menjadi seperti seorang pengkhianat. Namun meskipun begitu, dia hanya ingin mendapatkan maaf dari adiknya mengenai kebohongan yang selalu mengusiknya. Senja bahkan percaya diri jika Thomas tidak akan terlalu sakit hati karena kejadian itu sudah terjadi begitu lamanya.
“Nja, what happened? Kok malah bengong sih?” Eliana. Gadis yang namanya ~hanya namanya~ juga ikut ambil andil dalam kisah antara dirinya dan adiknya. Senja merasa perlu mengajak Eliana untuk ikut serta mengunjungi Thomas agar apa yang akan dijelaskan Senja nantinya cukup masuk akal diterima oleh Thomas. Bagaimanapun, ia tak ingin adiknya menderita lebih lama lagi karena selalu dalam penantian tak berujung untuk sosok Eliana palsu yang dilakoni oleh si pecundang Edgar Baskoro itu!
Mengingat nama Edgar, membuat sedikit bara tersulut dalam benak Senja.
“Nothing. Cuma mikirin aja bagaimana nantinya reaksi Thomas melihat kakaknya pulang lebih awal.” Kata Senja seperti tak berselera.
“Kamu sudah menelponnya kan kemarin?”
“Tentu.” Jawab Senja.
“Ngomong – ngomong, adikmu itu masih suka memanggilmu eonnie meski dia laki – laki?” Tanya Eliana dengan sedikit senyuman.
“Ya. Itu masih kebiasaannya.” Balas Senja.
“Aish. Dongsaeng mu itu memang tidak mengerti adat di negeri orang.” Kata Eliana dengan wajah yang seperti dibuat cemberut.
“Memangnya kenapa?” Ujar Senja santai. Ia kemudian melepaskan sabuk pengamannya dan bersiap untuk turun. “ Panggilan Korea tidak jadi masalah buatku.” Senja menapakkan kaki di atas jalan yang sedikit licin.
“Kau duluan saja.” Ujar Eliana.
“Apa? Kau tidak ikut masuk?” Tanya Senja.
“Aku akan mencari tempat parkir. Jika parkir mobil disini, akan menghalangi jalanan. Jika di halaman flat adikmu, saljunya terlalu tebal.” Jelas Eliana yang membuat Senja tak menyanggah meski ia ingin agar Eliana juga ikut menemaninya untuk menghadapi Thomas. Eliana menangkap pikiran Senja lewat air mukanya. “Tenang saja, tidak akan lama. Aku melihat di depan jalan raya ada toko yang punya parkiran luas. Tunggu aku lima menit saja.” Kata Eliana.
Senja tak bisa menolak. Ia hanya mengangguk dan membiarkan mobil Eliana pergi mencari parkiran. Sedetik kemudian, wanita berambut sedikit pendek itu berbalik badan dan terpaku pada flat rumah sederhana milik adiknya. Tempat itu terlihat mendamaikan sekali. Furniture nya banyak dibuat dari kayu bahkan hingga ke pagar – pagarnya. Meski buta, adiknya masih bisa membedakan selera seorang seniman rupanya.
Senja melangkahkan dan membuka perlahan pagar rumah Thomas. Jantungnya memompa lebih cepat ketika ia semakin dekat menuju ambang pintu. Ia ingin berbalik dan membatalkan pertemuannya dengan Thomas hari ini, namun pikirannya terus berkata jika semuanya harus diselesaikan hari itu juga.
Ia menghembuskan nafas untuk mengeluarkan rasa tak nyaman di dadanya. Sedetik kemudian, tangannya terayun dan mengetuk pintu dengan perlahan.
TOK… TOK… TOK…
Tak ada jawaban. Sekali lagi Senja mengetuk pintunya.
TOK… TOK… TOK…
Masih tak terdengar tanda – tanda kehidupan dari dalam sana. Senja hanya ber positive thinking jika Thomas masih tertidur didalam. Atau mungkin datang ke toko lebih cepat sehingga ia sedang tidak ada dirumah. Tapi ini kan dalam suasana liburan akhir tahun?! Kecil kemungkinan jika Thomas berada di toko bunga Ahjumma sekarang.
TOK… TOK… TOK…
Rasa khawatir sedikit menyusup kedalam otaknya. Ia takut terjadi sesuatu kepada Thomas hingga ia nyaris berpikiran untuk mendobrak pintunya saja.
“Sebentar…”
Sebuah suara melegakan hati Senja. Ia tahu adiknya sedang berjalan menuju pintu.
Sesaat handel pintu terdengar sedang dibuka membuat Senja berharap – harap cemas. Hanya sepertiga saja pintu itu dibuka, namun Senja sudah dapat melihat siapa yang membukakan pintu. Seorang pemuda berwajah sayu namun manis dengan balutan baju hangat berwarna cokelat.
Seketika senyum Senja yang diperuntukkan adiknya kala menyambutnya, memudar...
Edgar?! Batin Senja tak percaya.
“Siapa?” Tanya Edgar dengan wajah sayu nya.
PLAKK!!!
“Bajingan! Sedang apa kau disini?!” Semprot Senja dengan emosi yang tiba – tiba muncul.
Perlu beberapa saat bagi Edgar untuk dapat menyadari apa yang sedang terjadi. Tamparan yang membuat panas di pipi sudah cukup untuk menyadarkannya dari lamunannya. Dengan rasa tak percaya, Edgar memegang pipinya.
“Hei, noona! Apa yang kau lakukan?! Siapa kau?!” Edgar tak kalah marahnya. Namun amarahnya bercampur dengan kebingungan.
“Apa?! Tidak kah kau ingat denganku?! Oh! Jadi selain kau melupakan janjimu dulu, kau juga berusaha melupakanku ya, hah?! Brengsek?!” Emosi Senja semakin naik pitam.
“Apa maksudmu? Siapa kau? Apa aku mengenalmu?” Edgar menuntut sebuah jawaban. Tanpa sadar, tiba – tiba saja kepalanya mulai terasa pening. Seperti ada yang sedang menyeruak masuk kedalam pikirannya.
Tentang sebuah jalan di malam Myeong-dong… Gadis yang hampir mirip dengan Thomas…
Thomas? Ya… gadis ini begitu mirip dengan Thomas. Mungkinkah…
“Eonnie…Kau kah itu?”
Suara Thomas membuat perdebatan antara Edgar dan Senja berhenti sementara waktu. Senja langsung berlari dan memeluk Thomas. Seolah sudah bertahun – tahun ia tak bertemu adik semata wayangnya itu. Tidak! bukan! ia seolah ingin melindungi adiknya lagi dari pemangsa buas yang ia anggap itu adalah Edgar.
“Eonnie… apa yang terjadi? Kau memelukku terlalu erat!” Ujar Thomas sambil mencoba melonggarkan lengan Senja yang melingkar di lehernya dan terasa agak mencekik.
“Apa? Kau memanggil kakakmu dengan sebutan eonnie? Kau pikir kau adik perempuannya?” Ujar Edgar yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibahas saat ini. Tentu saja ia mendapatkan tatapan tajam dari Senja.
“Hmmm… eonnie. Kau sudah berkenalan dengan Edgar?” Tanya Thomas tak memedulikan pertanyaan Edgar sebelumnya.
“Si pecundang itu…” Gumam Senja yang membuat Thomas maupun Edgar menatap Senja bingung.
“A… apa maksudmu dengan berkata seperti itu?” Tanya Thomas meminta kejelasan. Ia merasa ada kejanggalan yang terjadi antara kakaknya dan Edgar.
“Thomas dengar… aku…”
“Senja…”
Satu orang yang hadir lagi kembali menjadi pusat perhatian ketiganya. Orang itu berdiri di belakang Edgar. gadis dengan rambut panjang sepunggung dan tampak begitu anggun dengan balutan palto hitam yang terlihat glamour.
“Semua… baik – baik saja, kan?” Kata Eliana merasa ada atmosfir yang tidak mengenakan diantara mereka semua.
“Si… siapa itu eonnie?” tanya Thomas kepada Senja. Senja menelan berat salivanya. Kemudian tatapannya menatap dalam kepada wajah tegas Thomas.
“Eliana.” Gumam Senja.
“E… Eliana?” Thomas tampak tak asing dengan nama itu. Apakah orang itu adalah wanita yang ditungguinya selama ini. Orang yang telah membuatnya sakit hati di hari terakhir mereka bertemu dan berpisah.
Di pihak lain, pikiran Edgar semakin terasa berat dengan hal yang memaksa masuk kedalam kotak kenangan yang tersimpan di sudut otaknya.
“Apa… Eliana yang… itu?” Tanya Thomas hati – hati. Senja menghembuskan nafasnya berat.
“Ya.”
DEG!
“Tapi… Eliana kan—…”
“Bisu?! Ya, aku tahu.” Kata Senja segera memotong membuat Thomas makin kebingungan.
“A…apa yang sebenarnya terjadi? Aku masih tidak paham…” Thomas mundur beberapa langkah mencoba untuk menghubungkan semua yang terjadi. Namun tampaknya semua hanya sia – sia karena ia tak menemukan jawaban disana.
“Dengar Thomas. Ada sesuatu yang sebenarnya ingin kuceritakan semuanya padamu hari ini. Tentang kejadian satu tahun yang lalu antara aku, kau, Eliana dan si brengsek ini!” Senja menoleh tajam pada Edgar di kalimat terakhirnya.
“Satu tahun yang lalu. Kau seharusnya menemui Eliana di café itu bukan. Tapi rupanya, saat itu Eliana tak bisa datang dan ponsel mu tertinggal untuk ku hubungi,” Kata Senja.
“Tapi… bukankah saat itu Eliana datang? Dia… duduk dihadapanku…”
“Tidak!” Senja memotong dengan cepat. Seolah ingin segera menuntaskan apa yang ingin ia bicarakan.
“Apa?!”
“Orang yang menghampirimu, tak lebih dari seorang penipu yang memanfaatkan kebutaanmu hanya untuk bisa dekat denganmu! Mengaku – ngaku sebagai Eliana dan menyembunyikan suaranya dengan menjadi gadis bisu!” Ucap Senja lalu kemudian menatap Edgar. Edgar tampak mengernyitkan dahinya. Ia ingin mendebat tudingan Senja namun sesuatu seperti sedang menahannya. Bibirnya beku dan lidahnya kelu. Bahkan ia merasa seperti ada gambaran memori serta peristiwa yang memaksa untuk masuk semakin dalam. Kejadiannya begitu nyata. Inikah ingatannya yang hilang?
“Senja… apa… kenapa…?” Thomas nyaris tak bisa berkata – kata. Bahkan ia terlalu serius dan khawatir hingga lupa pada kebiasaannya memanggil eonnie.
“Kau telah ditipu olehnya! Si gay itu!” Kalimat penegas Senja seolah membuat Thomas tertampar. Kenangan – kenangan masa lalu saat ia merasa bersama Eliana setahun lalu tampak terhubung dengan jelas di kepalanya.
Sentuhan itu… binglala itu… bentuk wajah itu… kesamaan yang nyaris tanpa beda. Bahkan kembar identik pasti memiliki perbedaan. Namun Edgar dan Eliana… surat braille itu… berinisial E…
E untuk Eliana atau…
Edgar…
Thomas mundur perlahan seolah ada yang sedang mendorongnya hingga ia nyaris tak bertenaga. Semua yang terjadi seolah saling terhubung menjadi satu ikatan kejadian yang tengah meremehkan kebodohannya. Dadanya berdegup dan nafasnya terasa kalap. Matanya memanas namun ego untuk tetap kuat memaksanya untuk tetap tegar meski pada akhirnya ia sudah tak tahan menahan beban rasa. Ia merasa telah ditipu habis – habisan…
Senja maju selangkah hendak menggapai adiknya yang tampak syok. “Thomas! Aku—”
“Jangan! Hentikan! Aku tak mau mendengar apapun lagi,” Thomas mengangkat tangan kirinya menginstruksikan agar mereka tak mengganggu dunianya yang tengah retak. Eliana hanya memandang beku kejadian itu. Ia tak menyangka bahwa dirinya pun ikut terseret dalam masalah antara Thomas, Senja dan pemuda tirus bernama Edgar.
Sementara Edgar sebisa mungkin untuk menahan peningnya. Ia merasa bayangan – bayangan yang tampak samar itu kini tergambar jelas dalam otaknya. Wajah – wajah yang ia tinggalkan setahun yang lalu. Kini mereka tengah hadir di detik ini juga.
“Th – Thomas… a – aku….” Suara Edgar terdengar bergetar. Langkahnya terasa terpaku dan berat. “A – Aku…”
“Ed…” Thomas menghentikan ucapan Edgar sambil menggit bibirnya. Ia memaksakan sebuah senyuman. Senyuman palsu yang membuatnya terlihat tegar sekaligus menyedihkan.
“Tak apa. Aku tak apa – apa. Kau tak perlu menemuiku lagi…”
-oOo-
Tim bingung bukan kepalang. Pasalnya ia mendapati Edgar pulang ke flat dengan wajah masam dan bahkan nyaris tanpa senyum. Wajah dan tubuhnya terlihat seperti dehidrasi padahal mereka sedang berada di puncak musim dingin. Lingkar mata bawahnya berwarna merah dan hidungnya merah seperti pilek. Selain dehidrasi, ia bahkan bisa terlihat seperti orang hyphotermia. Ia menduga – duga sudah berapa jam ia berada di jalan menuju kemari. Namun lebih tepatnya, alasan apa yang membuat Edgar pulang dengan keadaan nyaris tanpa jiwa seperti itu.
Tim bahkan membopong Edgar yang tampak lemah itu menuju kamarnya. Namun Edgar menolak dan bahkan dengan entengnya merajuk manja untuk pergi ke warung shoju. Bukan kepalang, wajah Edgar terlihat seperti orang mabuk sebelum menenggak alkohol. Dengan sedikit memaksa, Edgar berhasil mengajak Tim yang awalnya menolak. Itupun karena Tim berpikirian bahwa Edgar sedang membutuhkan pelampiasan dan Tim siap menjadi teman pendengar yang baik. Setidaknya sebelum Edgar belum benar – benar menjadi orang gila dan menceburkan diri ke sungai Han.
Dan disinilah mereka berada. Di sebuah warung shoju tak jauh dari Cheongdam-dong. Dalam suasana kikuk dan rancu di benak Tim ketika memandang wajah Edgar yang memaksakan sebuah senyuman meski matanya tampak berkaca – kaca. Senyuman canggung yang tak dapat menyembunyikan kesedihan di benak pemilik wajah tirus itu.
“Ayolah… aku sudah jauh – jauh mengajakmu kesini.” Kata Edgar sembari menuangkan sebotol shoju kegelas Tim. Tim tak bereaksi sama sekali. Bahkan setelah Edgar menuangkan botol ke gelasnya, ia malah membalas menuangkan kembali segelas shoju miliknya ke gelas Edgar. seolah sedang menuntut pembicaraan sebelum ia benar – benar mabuk.
“Aish, kau ini!” Gerutu Edgar sambil menuangkan kembali sebotol shoju kedalam gelas Tim. Kali ini Tim lebih memilih untuk mendiamkannya.
“Bersulang.” Ujar Edgar sambil menaikkan gelasnya tinggi ke tengah – tengah meja. Tim mau tak mau membalasnya dan mendentingkan kedua gelas itu lalu meneguk oneshot hingga shoju digelas mereka habis. “Ahhh… nikmat sekali!” Kata Edgar dengan mimik wajah yang berkerut menahan rasa pahit-sepat shoju.
“Hyung… kau—”
“Tim, bagaimana trainee mu?” Tim tak mengira jika Edgar segera memotong ucapannya. Ia harus cukup bersabar menghadapi teman yang sedang dalam masalah itu.
“Baik.” Jawabnya datar. Edgar tersenyum agak menyeringai.
Kali ini Tim harus ekstra bersabar hingga Edgar benar – benar ingin menceritakan segalanya. Ia harus menunggu dengan pasti kapan pemuda itu mau berbagi masalahnya. Ia hanya menemai Edgar mabuk hinga shoju itu bahkan sampai habis hingga lebih dari Sembilan botol. Menunggu hingga merasa pengaruh antidepresan telah mempengaruhi jalan pikiran dan insting seseorang sehingga tidak merasa ada beban yang mengganggu ketika mereka bercerita.
“Hyung…” Sebelum kesadaran Tim benar – benar hilang, mau tak mau ia harus mulai bercerita. Setidaknya ia harus menjadi yang paling sadar untuk bisa membopong tubuhnya dan tubuh Edgar pulang kerumah. “ada apa lagi dengan dirimu dan Thomas? Bermasalah lagi?”
Edgar tersenyum hambar. Ia meneguk segelas shoju lagi sebelum menjawabnya. “Si buta itu…” gumamnya. “si buta itu telah berhasil membuatku menjadi seorang penjahat…”
“Sudah kubilang dari awal bukan? Seharusnya kau tidak usah terlibat terlalu jauh dengannya! Kau pikir kau wanita dengan payudara sebesar Hyorin sistar? Kau hanyalah gay sialan yang mengandalkan bakat aktingmu untuk menipu…” Ujar Tim seperti telah terpengaruh sepenuhnya dengan alkohol.
“Kau benar… kau benar…” Edgar mulai kelimpungan. “Aku… aku hanya gay sialan… itu yang dikatakan perempuan sundal itu!” mata mabuk Edgar mulai menerawang. “Kenapa aku bisa jatuh cinta dan tersiksa olehnya.” Gumam Edgar pelan.
“Persetan dengan cinta, hyung,” Seloroh Tim membuat Edgar terlihat menahan tawa.
“Kau!” Tuding Edgar kedepan wajah Tim. “Kau sudah tahu semua ini! Kau sudah tahu tentang masa laluku… kenapa tak memberitahuku, huh?! Aku seperti orang bodoh tadi! Kau mengetahui apa yang seharusnya kuketahui. Tentang peristiwa satu tahun yang lalu…”
“Jadi… kau mendapatkan otakmu lagi hyung?” tanya Tim meremehkan. “Jangan salahkan aku… salahkan adikmu…”
“Dinda!” Potong Edgar. “Sudah kuduga ini adalah permintaan darinya. Cih! Adik kurang ajar!” rutuk Edgar menatap langit – langit.
“Salahkan dirimu hyung… kau yang memulai semua karma ini. Kau yang meninggalkan namja buta itu di Café.” Bantah Tim. Ia mendapati Edgar tengah tersenyum menyedihkan mengingat masa lalu.
“Ketika aku meninggalkannya, aku pergi dengan harga diri. Aku pergi karena aku mencintainya, begitupula ia mencintaiku…” Edgar mengenang. Matanya yang berair kini tampak menggalau mengingat kejadian itu. “Untuk membuatnya melihatku suatu hari nanti, dia harus tetap hidup, kan?” Edgar menggigit bibir bawahnya. Menahan mata yang terasa mulai memanas. Tim diam mendengarkan sambil menyaksikan hyung nya itu.
“Karena itu, kami berpisah seperti ini. Setidaknya sekali lagi… kami bertemu lagi secara kebetulan… pada akhirnya kami akan bertemu.” Edgar mengeluarkan semua gejolak didalam dadanya. Gejolak yang telah lama ia simpan untuk setahun lamanya. “… mengingat kembali tentang hari dimana aku pergi meninggalkannya, bukan hanya harga diri yang kubawa, tapi juga rasa bangga. Bahkan denga berani tanpa mengucapkan ‘maafkan aku’,” Edgar menghela nafas. Setitik airmata menetes disana.
“Tapi… melihat Thomas yang berkata ‘tak apa’… serta mengingat kembali bahwa dia pernah mencintaiku.” Edgar tersenyum dengan mata yang berkaca dan suara yang bergetar. “Ya… dia pernah mencintaiku. Bahkan alih – alih menyesal telah jatu cinta padaku, dia hanya mengatakan ‘tak apa’ dan… ‘kau tak perlu menemuiku lagi’…” Edgar mendengus. Bibirnya tetap tersungging. Matanya kembali menerawang.
“Kau suka hal itu?” Tanya Tim pelan sambil menggigit bibirnya. Edgar tertawa pahit. Kemudian sebuah gelengan menjadi jawabannya.
“Bagaiamana… menurutmu… perasaan Thomas ketika ia mengucapkan itu?” Tanya Tim pelan.
Pemuda tirus bermata sendu itu hanya tersenyum pahit. Menerawang kembali kejadian yang kira – kira enam jam yang lalu terjadi. “Dia bilang dia ‘tak apa’… tapi…” Edgar tak mampu menahan tangisnya bahkan untuk melanjutkan kalimatnya. “Dia terlihat kesepian…” Gumamnya nyaris seperti bisikan. Suaranya bahkan tenggelam oleh serak tangis yang mencekat tenggorokannya.
Tim memandang pemuda yang kini tengah menangis pilu. Edgar memalingkan wajahnya merasa malu bahwa ia tengah dilihat oleh orang lain ketika ia sedang bersedih hingga mengeluarkan bulir airmata. Ia mengambil gelas dan menuangkan shoju lalu segera menenggaknya. Berharap kesedihannya akan berkurang seiring dengan arak Korea yang mengucur mengairi kerongkongannya. Namun itu malah terasa membuat hatinya berat. Kesakitan.
“Hhhh… bajingan gila!... Bajingan…” racaunya gamang. “Seharusnya… seharusnya aku mempermainkannya saja waktu itu! Seharusnya aku menipunya saja! Tak perlu membuatnya jatuh cinta! Tak seharusnya aku membutnya mencintaiku saat itu!... mencintaiku sebagai gadis bisu yang dungu!... Tak seharusnya di mencintai penipu seperti aku…” Edgar meracau sendiri.
Tim kemudian menuang shoju kembali kegelasnya dan gelas Edgar. mengajak Edgar untuk kembali bersulang dalam merayakan karma yang sedang mereka derita kini.
-oOo-