It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tetep dilanjut koq
“Aku bertemu dengannya lagi. Di café tempat masa lalu itu terjadi.
Aku seperti biasa selalu duduk di sudut ruangan seperti yang ku lakukan pada hari – hari sebelumnya. Inilah pagiku, dengan secangkir teh gingseng dan buku gambar yang hanya bisa ku isi dalam khayalanku.
Namun hari ini berbeda.
Dia datang dengan sebuah dentingan lonceng yang pernah ku berikan padanya di bianglala Lotte World waktu itu. Sungguh pagi yang berbeda ketika ia datang menyapaku. Suatu kebetulan bahwa itu adalah hari pertama ia bekerja di café itu. Bahkan ia membuat pagi ku bukan hanya tersuguh oleh teh gingseng, tapi memberikanku sebuah red velvet yang lezat.
Selain hidangan pagiku yang berubah, buku gambarku pun kini ada garis yang nyata dan tergores untuk pertama kalinya disana. Ya, dia dengan kepolosan dan sok tahu nya mencoba untuk membuat sebuah gambar disana.
Gambar wajahku!
Dan berkatnya, aku merasa ingin melihat sebuah karya nyata setelah sekian lama kukubur dalam – dalam keinginan itu. Aku ingin melihat apa yang ditorehkan olehnya di atas kertas itu. Aku hanya bisa membayangkannya saja di dalam otakku. Namun begitulah hidup. Tidak pernah indah dan hanya sebuah kanvas kosong tanpa goresan.
Itulah aku dan apa yang kulihat; hampa. Ruang gelap tak bertepi. Ditambah lagi hembusan angin musim dingin yang menambah suasana angker seolah – olah aku sedang berada di dalam pusara. Gelap dan dingin.
Mungkin itu sebabnya aku tak pernah menyukai musim dingin. Karena dari situlah aku merasa benar – benar dalam kematian.
Terimakasih sudah mau membacakan e-mail ku yang ketiga dalam sebulan ini. Kuharap kalian tetap menunggu e-mail tentang kisah fatamorganaku dengan dia… pria musim dingin…”
Tim menghela nafas mengakhiri ceritanya. Lagi – lagi e-mail sambungan dari T.D. Entah apakah nanti dia akan melanjutkan kisahnya. Tapi karena kisahnya ini, setidaknya ada banyak penggemar yang mulai menanyakan siapa T.D. sebenarnya?
Sepertinya Tim mulai menyadari siapa dia sebenarnya.
-oOo-
“Sudah mau pergi?” Tanya Hee-Sun dibalik meja kasir. Jari – jarinya tengah mengetik sesuatu di laptop. Thomas menoleh dan tersenyum.
“Ya. Sepertinya hari ini aku ingin pulang lebih awal.” Kata Thomas sambil mengenakan paltonya.
“Karena ada janji dengan pria musim dingin mu itu, kan?” Tanya Hee-Sun jahil. Thomas hanya tersenyum kikuk.
“Semalam Tim oppa sudah membacakan e-mail mu. Dan kurasa semakin banyak yang menanyai siapa kau sebenarnya. Kau sudah memiliki fans rupanya.” Kata Hee-Sun riang. Thomas memakai jaket dan membentangkan tongkat lipatnya. Sudah bersiap – siap untuk pergi.
“Terimakasih Hee-Sun yah. kau memang teman yang sangat baik. Tapi jangan sering – sering main di depan laptop. Kau bisa menjadi jomblo karena sering pacaran dengan internet. Atau jika kau punya pacar pun, mungkin dia akan memutuskanmu seperti kejadian sebelumnya” Kata Thomas tersenyum menyindir. Hee-Sun merengut.
“Jangan ingatkan kejadian putus ku dengan Tim oppa. Dia hanya sedang sibuk dengan masa trainee nya. Jadi pikirannya tidak fokus untuk pacaran.” Kata Hee-Sun cemberut. Tapi matanya masih menatap layar laptop. Thomas hanya tertawa geli.
“Baiklah. Aku akan pergi dulu. Tetap jaga agar bunga nya tak membeku.” Pesan Thomas sebelum ia keluar dari toko bunga itu. Musim dingin memang terkadang merepotkannya.
“Araso oppa. Jika kau membutuhkan untuk ku ketik e-mail lagi, hubungi saja aku.” Balas Hee-Sun sambil melambai ke arah Thomas meski ia tahu Thomas tidak akan melihatnya.
“Araso.” Hanya itu yang didengar Hee-Sun karena Thomas sudah keluar dari toko bunga.
Thomas merapalkan jaketnya lebih erat. Salju sepertinya sudah mulai turun. Ia merasakan bintik – bintik putih itu mengenai kulit wajahnya. Begitu dingin. Hingga ia bisa merasa bahwa nafas nya membeku. Ia menengadah ke langit. Membiarkan wajahnya basah dengan butir – butir salju yang mengenai wajah tegasnya.
Thomas mengetuk – ngetukkan tongkatnya ke jalan. meraba – raba arah jalannya dan berhati – hati karena trotoar kini sangat licin. Entah mengapa, pertengahan Desember selalu membuat Thomas kesal karena disanalah dimulai siklus musim dingin pada puncaknya terjadi. Dalam hati, ia ingin merutuki lagu EXO yang berjudul Miracle In December itu. Bagaimana bisa terjadi keajaiban di tengah salju yang membekukan ini?! Huh!
Trriiinng…
“Anyyeong!” terdengar suara bass ditambah dengan sentuhan lembut di bahu Thomas. Thomas sudah terbiasa dengan suara yang kini selalu berada di dekatnya hingga otaknya dapat merekam semua ciri khas dari pria manis yang kini tengah berdiri di sampingnya.
“Edgar!” Kata Thomas. Edgar tersenyum.
“Tak baik untukmu jika harus berjalan – jalan sendirian di musim dingin seperti ini.” Kata Edgar. kemudian ia menuntun bahu Thomas untuk kembali berjalan. Mereka kini berjalan beriringan.
“Bodoh. Semua musim sama saja untukku.” Kata Thomas sambil tersenyum.
“Jadi, kita mau kemana?” Tanya Edgar. ia memang sudah punya janji dengan Thomas akan mengajaknya berjalan – jalan lagi.
“Kau mau kemana?” Thomas balas bertanya dengan kuluman senyum. Ada sedikit perasaan menggelitik ketika ia mengingat kembali kejadian saat Edgar menyium pelan pipinya waktu itu.
“Terserah.” Kata Edgar pendek.
“Kalau begitu, aku ikut denganmu saja.” Jawab Thomas. Edgar tersenyum. Untuk beberapa saat ia berpikir. Mencoba untuk mencari tempat berjalan – jalan yang enak di Seoul.
“Sudah menemukan tempat untuk kita kunjungi?” Tanya Thomas saat ia menunggu Edgar untuk berpikir.
“Mau ke Nami island?” Tawar Edgar.
“Aniyo! Itu terlalu jauh!” Kata Thomas menolak. Meski sebenarnya ia juga ingin pergi ke pulau Nami dikala musim dingin. Seolah ia berada ditengah – tengah cerita Winter Sonata. Mungkin akan sangat romantis kalau ia pergi kesana.
“Baiklah. Kita pergi ke tempat yang lain.” Kata Edgar mengangguk. Thomas mendesah tanpa disadari. Karena sebenarnya ia juga ingin ke Nami island. Mungkin kapan – kapan saja lah. Lagipula masih banyak waktu untuk pergi kesana bersama Edgar.
“Namsan Tower?” Tawar Edgar lagi. Kali ini Thomas tersenyum.
“Nee.”
-oOo-
Namsan merupakan sebuah gunung yang berada di tengah - tengah kota Seoul. Di sekitar Namsan terdapat banyak tempat - tempat yang menarik untuk dilewati. Di kaki gunung Namsan terdapat Namsagol Hanok Village yang merupakan perkampungan tradisional orang - orang Korea.
Thomas menggamit lengan Edgar ketika mereka turun dari Cable Car . Edgar menuntun Thomas agar berhati – hati karena saat itu jalanan memang sedang sangat licin. Thomas mengetuk – ngetuk pelan jalan di depannya.
“Jadi sekarang… kau menggunakan tongkat kembali?” Tanya Edgar sambil tersenyum. Thomas hanya tersipu.
“Kurasa aku akan mulai terbiasa untuk percaya pada hal – hal yang bisa ku jadikan tuntunan saat ini.” Kata Thomas. Perkataannya lebih menggambarkan pada seseorang yang kini tengah menuntunnya dibanding dengan tongkatnya. Edgar hanya tersenyum. Tangan kanan nya menggenggam erat tangan Thomas yang menggamit lengan kirinya.
Mereka menaiki sebuah tangga menuju puncak yang memang sudah di sediakan untuk pejalan kaki. Sampai disini, Edgar benar – benar harus hati – hati menuntun Thomas. Jangan sampai ia terpeleset di anak tangga yang sepertinya terbuat dari kayu itu.
“Aku sudah mendengarkan e-mail ketiga mu yang kau kirimkan di i nal ui chueog.” Kata Edgar membuat sebuah topik pembicaraan. Thomas jadi salah tingkah. “sekarang kau menyebutku pria musim dingin?” Tanya Edgar menahan senyum.
“Hei, itu lebih baik dari 'orang bodoh yang berlagak keren, kan?.” Ujar Thomas. “Kau… tidak suka?” Tanya Thomas hati – hati.
“Tidak.” Jawab Edgar sambil tersenyum. “Aku hanya penasaran, kenapa kau menyebutku 'pria musim dingin'? Apa aku begitu dingin untukmu?” Canda Edgar. Thomas tersenyum.
“Aku bertemu denganmu ketika awal musim dingin tiba. Hanya itu.” Terang Thomas singkat. Edgar menatap lembut ke arah mata berlian itu.
“Jadi… itu berarti kau tidak menyukai ke hadiranku?” Tanya Edgar.
“Hah?” Thomas mengernyitkan dahi.
“Disitu kau juga menulis bahwa kau tidak menyukai musim dingin, kan?” Lanjut Edgar.
“Oh, itu…” Gumam Thomas. “Setelah kepergiannya, aku memang menjadi tak menyukai musim dingin.” Gumam Thomas sendu.
“Kepergiannya? Eliana maksudmu?” Tanya Edgar. Thomas tak menjawab dan itu diartikan oleh Edgar sebagai jawaban ya. Beberapa menit, sunyi menyeruak diantara mereka.
“Kumohon jangan terlalu sering menyebut nama itu.” Ujar Thomas datar. Seraut wajah yang menggambarkan sakit hati terlihat jelas disana. Edgar terdiam menatap wajah itu.
“Dia pergi ketika salju pertama turun di Seoul. Tepat satu tahun yang lalu.” Kata Thomas seolah ingin berbagi lukanya lagi. Edgar hanya terdiam, berusaha untuk mendengarkan segala kelu kesah yang dirasakan oleh sosok yang mungkin kini sedang dicintainya.
Tak terasa langkah mereka kini telah sampai di puncak. Tepat di depan sebuah bangunan menara yang menjulang di atas gunung Namsan. Menara putih itu memang memiliki fungsi untuk melihat pemandangan Seoul dari ketinggian.
Edgar menuntun Thomas ke tepi. Ia menahan ke inginannya untuk langsung naik ke menara karena masih ingin mendengar keluh kesah pemuda buta itu. Mereka menepi ke sebuah pagar pembatas yang menghadap langsung ke kota Seoul. Tepat menghadap langsung ke sungai Han yang terbentang disana. Dari sini, kedua insan itu bisa merasakan hangatnya mentari yang mengintip dari awan – awan gelap. Membuat semburat oranye yang sangat indah untuk dipandang. Semburat itu menyinari pohon – pohon pinus yang kini hanya tinggal batang dan rantingnya saja. Namun tetap saja itu adalah perpaduan alam yang sangat indah.
“Boleh kutanyakan sesuatu?” Tanya Edgar ketika kedua pemuda itu lama terdiam di tepian pagar pembatas.
“Apa?”
“Apa… kau masih marah kepada perempuan itu?” Tanya Edgar yang seharusnya ia sudah tahu jawabannya apa.
Thomas tersenyum hambar. Seolah sedang meremehkan. “Apa itu masih belum jelas untukmu? Apa pertemanan kita seminggu terakhir ini belum mampu menyadarkanmu tentang masa lalu yang ingin kujauhi?!” Sindir Thomas.
“Jadi kau marah padanya?” Desak Edgar.
“Apa perlu kuperjelas?!” Sungut Thomas.
“Jika kau membencinya, kenapa kau masih memikirkannya?!” Kali ini suara Edgar terdengar naik dari biasanya. Seperti terdengar cemburu disana. Membuat Thomas terdiam hingga detik berikutnya. “Kenapa masih ada dia di otakmu?!”
‘Dia terdengar cemburu…’ Thomas membatin.
“Aku membencinya…” Thomas bergumam. “Sekaligus merindukannya.” Lanjutnya pelan. Ia meneguk ludah hingga jakunnya terasa tercekik.
Edgar akhirnya melihat raut wajah itu. Raut wajah yang dengan setia menunggu pulangnya sang kekasih meski ia tahu kekasihnya takkan pernah kembali. Namun disaat itu juga ia mendapati kebencian karena sakit hati yang menyesakkan.
“Jadi…kau masih mencintainya?” Tanya Edgar serak. Thomas terdiam. Sebelum akhirnya ia menjawab.
“Untuk apa aku masih mencintai seseorang yang meninggalkanku disaat aku telah menaruh kepercayaan padanya?!.” Kata Thomas tegas.
“Tapi kau masih menunggunya, kan?” Tanya Edgar mencoba mendesak.
“Aku menunggunya hanya untuk sebuah kepastian. Bukan sebuah balasan cinta.” Gumam Thomas tegas mengatupkan bibirnya. Garis bawah matanya memerah. Terasa perih. Entah karena dingin, atau karena menahan emosi. “Itulah mengapa aku tak menyukai musim dingin. Dia meninggalkanku dalam ruang gelap ini sendirian! Aku kedinginan dalam penantian! Dia pergi begitu saja membawa semua warna yang dulu ia berikan! Aku membencinya, karena dia membuatku jatuh cinta!” Thomas meluapkan segala kemarahannya, kembali airmatanya menetes. Kali ini ia tidak mencoba untuk menghapusnya. “Tidakkah kau mengerti, Ed? Kenapa ia pergi ketika ia berhasil merebut hatiku?!”
“Itulah mengapa aku tak pernah mau di operasi. Semenjak kejadian itu, aku mencoba untuk bertahan dalam ruang gelap ini! Aku mencoba untuk hidup dalam kebutaan selamanya! Hanya untuk tak melihat orang – orang yang kubenci! Hanya untuk tak melihat dunia yang menjijikkan ini!” Nafas Thomas menderu terpacu. Menyisakan kabut tipis yang terhembus dari mulutnya.
“Itu berlebihan! Hanya karena satu orang saja kau membiarkan dirimu buta selamanya?!” Edgar menahan keterkejutannya. Nadanya meninggi. “Hanya karena sakit hati, kau bahkan rela untuk tak melihat dunia dan semuanya?!”
“Berlebihan?!” Thomas memotong ucapan Edgar. “Kau bilang aku berlebihan?! Apa kau sadar, berapa banyak penderitaan yang kutanggung setelah aku menjadi buta?! Berapa banyak cinta yang hilang saat aku kehilangan mata?! Apakah kau pikir saat aku bisa melihat kembali, semua itu akan kembali?! Apa kau pikir semua yang pergi dan menyakitiku akan membaik ketika aku mendapatkan penglihatanku lagi?! Tak ada bedanya?!” Airmata mulai membanjir di pipi Thomas.
“Karena Eliana! Karena satu orang itu! Telah menyadarkanku bahwa aku tak pernah di pedulikan! Karena wanita itu! Aku tak pernah sudi untuk melihat matahari lagi!” Lanjut Thomas menahan amarah.
Triiinnggg…
Tiba – tiba Edgar memeluk tubuh maskulin itu. Membuat Thomas terhenyak dan agak menenangkan emosinya.
“Aku mengerti Thom. Aku mengerti.” Gumam Edgar berkali – kali. Tubuhnya dirasakan oleh Thomas tengah bergetar. 'Apa Edgar pun tengah menangis?'
“Jangan teruskan lagi. Kumohon! Jangan sebut nama wanita itu lagi. Kuakui aku cemburu ketika ia memiliki segalanya tentangmu. Aku tak ingin mendengar kata – kata penderitaanmu lagi. Aku tak ingin melihat orang yang… orang yang kucintai menangis lagi.”
DEG!
Tiba – tiba Thomas merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia mendorong tubuh Edgar sedikit kasar. Edgar terhenyak mendapati perlakuan Thomas.
“Apa yang…” belum sempat Edgar menyelesaikan kalimatnya, seolah baru tersadar dengan apa yang baru saja tak sengaja ia ucapkan. Ia membelalakkan mata dan terkejut bukan main.
“Cinta…?” Gumam Thomas datar. Baru tadi ia merasa emosi, sedetik kemudian ia menangis, dan saat ini ia terdiam bingung. Terkejut bukan main. Edgar mematung mendapati wajah itu. “Kau… jatuh cinta padaku?”
Hembusan angin musim dingin bertiup menerpa rambut hitam kedua pemuda itu. Membekukan airmata yang terjatuh di bumi Seoul.
Triiingg… trinngg… triiinngg…
-oOo-
“Bagaimana menurutmu jika di letakkan disini?” Tanya Edgar sambil meraih tangan Thomas dan membuat Thomas merasakan sebuah benda yang berbentuk seperti gembok dengan sebuah tulisan disana.
“Mmm… ba… bagus.” Kata Thomas gugup. Edgar tersenyum. Mereka kini tengah berada di love pad lock. Atau yang paling dikenal dengan nama gembok cinta. Disini para pengunjung bisa menuliskan nama pasangan pada sebuah kunci dan menggantungkannya di sebuah dinding rendah (atau bisa dibilang pagar teralis) di puncak Namsan.
Thomas terdiam. Ia masih tak percaya dengan pengakuan Edgar di dekat menara Namsan beberapa saat yang lalu. Apa ia bermimpi? Pria itu jatuh cinta padanya?!
“Nnngg… Edgar ssi…”Panggil Thomas gugup.
“Ya?” Jawab Thomas masih memperhatikan gembok yang telah dipasang disana dan tersenyum sendiri.
“Mengenai pernyataan cintamu…” Edgar tercekat begitu Thomas membahas itu lagi. Edgar langsung menoleh pada Thomas yang menatap ke depan tanpa tujuan. “Kurasa… aku… tidak bisa membalasnya.” Kata Thomas sambil tertunduk. Berharap Edgar tidak kecewa dan pergi. Setidaknya ia tak ingin kehilangan seseorang lagi.
“Aku sudah tahu itu.” Ujar Edgar tenang. Ia beranjak dan kemudian duduk di sebelah Thomas. Thomas merasa jantungnya berdegup kencang.
“K-kau… sudah tahu…?” Tanya Thomas heran.
“Ya. Kau sudah mengatakan penolakanmu di Jung’s Café tempo hari. Meski secara tidak langsung, sih.” Kata Edgar. Thomas terhenyak.
“Ma-maaf…” Gumam Thomas. Edgar tersenyum dan mengusap lembut bahu Thomas.
“Tak ada yang perlu dimaafkan. Kau tidak salah. Aku yang salah karena mengungkapkan perasaan itu padamu.” Kata Edgar.
“Eh! Tidak! Maksudku… kau juga tidak salah. Kau memiliki rasa suka ataupun tidak, itu hakmu.” Jawab Thomas. “Aku malah berterimakasih karena ada seseorang yang cinta kepadaku. Yah… meski mustahil aku untuk membalasnya.” Terang Thomas. Edgar tersenyum.
“Kau… tidak kecewa kan?” Tanya Thomas.
“Kecewa? Kenapa?” Edgar balik bertanya.
“Karena aku… menolakmu?” Tanya Thomas gugup. Edgar tertawa.
“Sudah kubilang aku tak apa – apa.” Kata Edgar bijak. “Selama kau masih mau dekat denganku, dan masih mau mempercayaiku, aku lebih baik tak mendapatkan cintamu ketimbang kehilanganmu.”
Thomas tersenyum. Padahal ia lah yang telah berpikir akan kehilangan Edgar saat cinta nya tidak dibalas.
“Jadi. Kita masih bisa berteman seperti biasanya kan?” Tanya Thomas.
“Justru itu yang kuharapkan. Anggap saja aku tak pernah mengutarakan rasa suka ku padamu.” Balas Edgar.
“Apa sebelum ini… kau… juga pernah menyukai… seseorang…” Tanya Thomas sekedar untuk mencairkan suasana. Edgar menerawang menatap cakrawala. Mengenang serpihan masa lalu yang pernah membuatnya sakit hati.
“Pernah. Dua kali.” Kata Edgar. Thomas manikkan sebelah alisnya.
“Siapa saja mereka?” Tanya Thomas penasaran. Edgar memejamkan matanya.
“Yang pertama ku sukai semenjak SMA di Jakarta. Tepat kelas 2, aku mengutarakan perasaanku padanya.”
“Apa dia membalasnya?” Tanya Thomas.
“Tidak. Dia malah mencampakkanku.” Jawab Edgar dingin.
“Aigoo! Benarkah itu?” Tanya Thomas.
“Ya. Selain itu dia bahkan membuatku malu di depan umum. Mempermalukanku dengan membongkar aibku kepada seisi sekolah.” Jawab Edgar sambil menghela nafas. Terdengar sangat berat untuk mengenang masa lalu yang tak ingin di ingat Edgar.
“Kejam.” Gumam Thomas. “Apa orang tuamu tahu mengenai keadaanmu?” Tanya Thomas.
“Tidak. Untunglah kabar gay tentang ku tidak sampai terdengar oleh mereka.” Jawab Edgar cepat. “Begitu ada beasiswa ke luar negeri, aku langsung mendaftarkan diriku dan disinilah aku berada.” Lanjut Edgar. “aku hanya ingin menjauh dari dirinya dan masa lalu. Setidaknya, aku ingin melupakan sakit hati dengan berhijrah ke tanah asing.”
“Bagaimana rasanya?” Tanya Thomas polos.
“Apanya?”
“Menjadi seorang gay? Apakah berat dan sulit?” Tanya Thomas polos. Seolah pembicaraan sesensitif itu adalah obrolan yang menarik untuk dibicarakan sambil berleha – leha.
“Rasanya seperti di asingkan.” Gumam Edgar datar, cadas. Thomas terdiam. Tangannya kemudian menyentuh pelipis Edgar dan membelainya pelan. Seolah ingin menghibur Edgar. toh, Edgar pun pastinya takkan menolak.
“Aku mengerti. Aku juga merasakan hal yang sama.” Kata Thomas dengan tatapan yang nyaris menghadap Edgar.
“Ini tidak seperti kebutaan, Thom.” Kilah Edgar. “Ini sangat memalukan! Kau merasa tersingkirkan dari dunia! Bahkan…” Edgar terdiam beberapa saat. Ia menoleh sekilas pada Thomas. Thomas tampak menunggu kata yang akan dikeluarkan Edgar.
“Bahkan aku rela memberikan apapun agar aku tak bisa melihat semuanya!” Kata Edgar. lebih terdengar seperti sebuah ungkapan hati yang terdalam. Thomas terdiam untuk beberapa saat lamanya.
“Maaf.” Tiba – tiba Edgar bergumam lirih.
“Untuk?” Tanya Thomas.
“Nada suaraku… agak meninggi.” Jawab Edgar. ia menundukkan kepalanya.
“Tak apa. Kau juga butuh tempat untuk melampiaskan emosimu yang sudah lama terpendam, kan?” Jawab Thomas sambil mengelus pelan bahu Edgar. “Bagaimana dengan orang kedua yang kau cintai?” Tanya Thomas untuk mencairkan suasana. Seketika Edgar kembali menguasai perasaannya. Ia menerawang, mencoba mengingat.
“Aku tidak ingat.” Jawab Edgar cepat.
“Tidak ingat?” Thomas tak mengerti.
“Aku lupa.” Terang Edgar meski tak menjawab seluruh pertanyaan Thomas.
“Lalu… darimana kau tahu ada orang kedua yang pernah kau sukai jika kau tak mengingatnya?” Tanya Thomas.
“Aku tahu dari… Tim.” Jawab Edgar sekenanya dan apa adanya. Mengingat obrolan mereka yang terjadi di dalam taksi tempo hari.
Thomas masih belum paham. Namun ia tak memaksa Edgar untuk bercerita lebih lanjut. Membiarkan rahasia kecil itu terjaga dalam sudut ingatannya.
“Baiklah.” Gumam Thomas akhirnya. Beberapa detik, ia menghela nafas. “Kurasa, sudah waktunya kita pulang.” Kata Thomas.
“Sudah mau pulang?” Edgar bertanya dengan ekspresi wajah yang bodoh. Membuat Thomas menahan senyum mendengar pertanyaan yang sangat spontan dari bibir Edgar.
“Sudah sore. Jika terlalu larut, udara akan semakin dingin disini.” Jawab Thomas sambil beranjak. Awalnya Edgar ingin menahan tubuh maskulin itu. Namun akhirnya iya mengiyakan dan ikut berdiri. Membiarkan Thomas kembali melingkarkan tangan di lengannya.
Dengan perlahan – lahan, mereka melangkah meninggalkan kawasan gembok cinta itu. Meninggalkan hembusan angin musim dingin yang bertiup diatas ketinggian Namsan.
“Edgar, ssi…” Panggil Thomas.
“Hmm…”
“Itu berarti, aku menjadi orang ketiga yang kau sukai, kan?”
Edgar tak menjawab. Ia hanya menoleh kebelakang. Kearah gembok berbentuk hati yang telah ia sangkutkan disana. Dengan secarik kertas berwarna merah muda yang tertempel disana. Tertulis jelas dan nyata untuk sebuah harapan besar yang ingin ia simpan dan berharap akan terwujud;
EDGAR love THOMAS
Saranghae I love You… Forever…
“Ya. Kurasa begitu.” Gumam Edgar sambil menolehkan tatapannya lagi pada mata jernih Thomas. Thomas hanya tersenyum dan semakin merapatkan pegangannya di lengan Edgar. Tanpa disadari, Edgar membalas genggaman erat Thomas di lengannya.
-oOo-
“… Dia menyukaiku!
Ya, hari ini aku bertemu lagi dengan pria musim dingin. Kembali aku mengeluarkan segala unek – unek ku tentang masa lalu. Ku katakan segala emosi yang kutahan empat tahun ini di Namsan Tower. Bisa kurasakan hembusan angin musim dingin yang mengitari wajahku. Hingga tak kusangka itu membuat kulitku mati untuk merasakan sebuah airmata yang jatuh di pipi.
Aku menyadari bahwa aku menangis ketika ia tiba – tiba memeluk dan merengkuh tubuhku dan mengatakan padaku untuk jangan menangis. Bisa kurasakan bahwa ia juga meneteskan airmata seolah airmata itu di peruntukkan untukku!
Dan dari situlah ia tak sengaja mengutarakan perasaannya….
Aku tak bisa membalas perasaannya! Setidaknya aku masih waras menyadari bahwa ia seorang pria, sama sepertiku. Tapi kurasa penolakanku sama sekali tidak akan merubah kedekatanku dengannya. Namun setidaknya itu menyadarkanku bahwa aku jangan terlalu banyak membahas wanita dari masa lalu itu karena… ya… pria itu akan cemburu! Pasti selama ini ada rasa cemburu terbersit di hatinya dan aku tak mau kehilangan panutan ku hanya karena kecemburuan!
Di e-mail sebelumnya, aku pernah berkata bahwa aku tak menyukai musim dingin. Namun berkat keberadaannya serta dia yang selalu hadir di sisiku itu seolah membuatku sadar bahwa musim dingin tidak terlalu buruk. Justru dia membuat segala hari – hariku indah meski aku hanya melihat hitam di mataku.
Sekarang aku tahu mengapa musim dingin seolah menjadi hal paling romantis di Korea.”
Tim menghela nafas. Ia kembali menyelesaikan e-mail yang dikirim oleh T.D. E-mail yang selalu di tanya – tanya oleh pendengar setianya. Entah mengapa, ia juga merasa bahwa kisah yang di utarakan orang tersebut sangat menarik untuk di ikuti kelanjutannya.
Tim tersenyum dan mengklik menu playlist untuk memberikan request kepada pendengarnya.
“…Baiklah para pendengar, karena natal sebentar lagi akan tiba, kurasa tak ada salahnya kita putarkan lagu yang bertema Christmas. Untuk kalian semua, ini dia… EXO – Miracle In December.”
-oOo-
.
.
.
.
.
Referensi dan Kosakata:
1. Judul bab ini di ambil dari drama Korea yang terkenal pada tahun 2013 lalu. Dengan tokoh utama Jo In-Sung dan Song Hye-Kyo
pertanyaannya sama ma lulu75, gmana yah thomas klo dia tau semuanya?
*loh(?)
*loh(?)
Thomas tengah duduk di kursi dekat jendela rumahnya. Perapian menyala menghangatkan ruangan yang temaram itu. Salju telah membekukan kaca jendela. Heater bahkan nyaris tak mampu menghangatkan seisi rumah. Namun karena Thomas tengah duduk di depan perapian, setidaknya dinginnya winter tidak terlalu menusuk kulitnya.
Thomas meraba – raba novel berjudul Swan Lake: Istorii vi Moskvu. Buku romansa berlatar Moskwa karya penulis ambisius Mario Ramadiansyah. Ceritanya yang cukup menarik dan apik membuatnya sangat tertarik untuk menikmati lanjutan cerita dari penulis tanah air tersebut. Untunglah Senja telah menyalin beberapa buku ke dalam braille sehingga Thomas lebih leluasa untuk dapat membaca cerita yang direkomendasikan oleh kakak satu – satunya itu.
“Thomas oppa, kau yakin akan baik – baik saja menikmati malam natal sendirian? Apa perlu kutemani nanti?” Seorang wanita berambut pendek dan kemerahan tengah sibuk memakai mantel putihnya. Ia hendak pergi keluar rumah.
Thomas tersenyum namun jemarinya masih menjelajahi setiap braille di buku itu. “Tak apa Min-Young yah. Kau sudah seharusnya berkumpul dengan keluargamu di malam natal nanti. Aku akan baik – baik saja disini. Tenang saja.” Jawab Thomas.
“Aish, oppa ini! Seharusnya Senja noona ambil cuti saja untuk sehari dan menemanimu di hari natal.” Min-Young bersungut. Ia kini tengah menyangkilkan tas ke lengannya.
“Ahh, aku tak ingin mengganggu pekerjaan eonnie. Dia memang sedang sibuk – sibuknya di KBRI. Ditambah lagi dia ada panggilan ke Busan selama tiga hari ke depan. Jadi kurasa, dia memang tidak bisa menyempatkan diri untuk merayakan natal di Seoul.” Jawab Thomas.
Min-Youn terdiam. Ia kemudian mendekati Thomas yang berada di depan perapian. Pemuda itu bisa mendengar sepatu boot milik Min-Young yang menghentak halus di lantai. Min-Young menyentuh bahu kokoh Thomas.
“Jika kau mau, kau bisa merayakan natal bersama keluaragku di Myeong-dong.” Tawar Min-Young.
“Aniyo. Tak perlu. Aku disini saja Young-yah. Sampaikan saja salamku untuk ibumu.” Tolak Thomas.
Min-Young tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada Thomas. Thomas bisa merasakan sebuah kecupan tengah mendarat di pipi kirinya. Pria itu sedikit terkejut namun tak memberikan reaksi apapun.
“Araso. Kalau begitu aku akan pergi. Oppa baik – baik lah disini. Jika butuh sesuatu, oppa harus menghubungiku. Aku sudah menyiapkan sup jamur dan teh hijau di dapur untuk makan malam.” Min-Young berpesan untuk Thomas sambil berlalu. Sebelum dia membuka pintu, dia kembali menoleh pada Thomas. “Saranghaeyeo oppa. Jaga dirimu dan selamat natal.” Kata Min-Young riang.
Thomas tersenyum simpul. “Araso, aku mengerti. Ghamsahamnida. Selamat natal juga.” Jawab Thomas. Min-Young tersenyum sambil membuka handel pintu.
“Ah, ada tamu!” Serunya.
“A… anyyeong…”
Thomas mendengar seruan Min-Young. Ada seseorang datang?
-oOo-
Edgar meniup – niupkan telapak tangannya yang terasa membeku. Sudah lebih dari lima belas menit ia berdiri di ambang pintu rumah Thomas namun tak juga mengetuk ataupun menyapa. Entah mengapa, semenjak ia sadar akan rasa sukanya pada Thomas, ia menjadi kikuk dengan pemuda buta itu. Bahkan kali ini tumben sekali ia menghabiskan satu jam untuk berdandan hanya untuk menyambangi Thomas. Ia bahkan sampai harus menghabiskan setengah botol minyak wangi dan hilir mudik selama sepuluh menit hanya untuk mencari baju yang cocok.
Dan disinilah ia berada. Dengan menggunakan sweater berkerah tinggi warna merah maroon dan dilapisi dengan mantel hitam dan syal berwarna krem. Bahkan ia juga sempat membawa kotak hijau berukuran sedang yang di ikat dengan pita merah sebagai hadiah natal untuk Thomas.
Namun setelah ia berdandan rapih seperti ini, ia malah membiarkan dirinya membeku di luar selama hampir dua puluh menit hanya karena gugup.
Aish, Edgar! kau ini…
Seketika Edgar nyaris terjerembab begitu handel pintu terbuka perlahan. Jantungnya nyaris copot ketika pintu rumah itu terbuka ketika dirinya masih menimang untuk menemui Thomas atau tidak.
Sesosok wanita berambut pendek kemerahan dengan wajah imutnya tampak terkejut mendapati Edgar dihadapannya. Ia membelalakkan mata dan bingung untuk beberapa saat.
“Ah, ada tamu!” Jawabnya riang.
“A… annyeong…” Edgar tergagap. Ia buru – buru menyembunyikan kotak hadiahnya ke balik punggung.
“Siapa?” Tanyannya dengan senyuman yang riang.
“Aku… teman Thomas.” Jawab Edgar mencoba untuk menetralkan debaran jantungnya.
“Ah, araso.” Jawab wanita itu.
“Dan kau siapa?” Kali ini Edgar yang bertanya.
“Aku?” Jawab perempuan itu. “Aku Park Min-Young, pacarnya Thomas oppa.” Jawab Min-Young riang.
‘Mwo? Pacar?!’
Edgar terkejut. Belum sempat ia menjawab, suara seseorang di belakang Min-Young menyela percakapan mereka.
“Min-Young, apa ada orang yang datang??” Thomas berjalan sambil meraba – raba dinding. Ia mendekati Min-Young disana.
“Hmmm… ne. Dia bilang dia adalah teman oppa.” Jawab Min-Young sambil menyentuh pergelangan tangan Thomas. Wajah Edgar memerah ketika Min-Young menggenggam lengan Thomas.
“Teman? Siapa?” Tanya Thomas.
“Dia…” Min-Young menoleh dan menatap Edgar. seolah meminta kejelasan akan identitas Edgar. Edgar mengangguk paham.
“Edgar.” Jawab Edgar mantap.
“Ah, Edgar yah. Masuklah.” Jawab Thomas riang. Min-Young menatap Thomas dan Edgar secara bergantian.
“Kau mengenalnya oppa?” Tanya Min-Young.
“Ne. Dia temanku.” Jawab Thomas namun Min-Young masih belum yakin. Ia bahkan sempat menatap penuh selidik kepada Edgar. “Aish… Sudahlah. Tak perlu securiga itu. Aku tidak apa – apa koq. Dia bukan orang asing yang akan menculikku.” Jelas Thomas seolah mengerti apa yang tengah di pikirkan Min-Young.
Min-Young mendesah. Ia akhirnya membiarkan pemuda itu bersama Thomas meski masih tak yakin. “Baiklah oppa. Kalau begitu aku pamit dulu.” Kata Min-Young sambil berlalu. Thomas tersenyum mengantar kepergian Min-Young.
“Ehem…” Edgar berpura – pura batuk ketika Thomas masih mengantar Min-Young dengan senyuman. Leher tebal itu menoleh ke arah suara dan tersenyum.
“Edgar, kau masih disini? Kupikir kau sudah masuk.” Kata Thomas.
“Kau belum mempersilakanku.” Jawab Edgar.
“Kalau begitu, silakan masuk.” Thomas lalu menggamit tangan Edgar dan merasakan dingin pada kulit pemuda itu. Ia berjalan menuntun Edgar untuk masuk kedalam.
“Aigoo! Sudah berapa lama kau diluar sana. Kulitmu dingin sekali. Ayo ke perapian.” Kata Thomas tak menyadari bahwa Edgar tengah gugup ketika tangan maskulin itu menyentuhnya.
‘Aku kedinginan diluar sana karena aku gugup…’ batin Edgar.
Mereka sampai di ruang tengah. Perapian memang membuat ruangan sedikit lebih hangat. Edgar langsung menghempaskan bokongnya untuk duduk di dekat perapian. Sementara Thomas kembali ke sofanya untuk menandai buku bacaannya dan menutupnya. Edgar meletakkan hadiah natal di atas meja. Ia memandang sekitar dan mengangguk maklum ketika mendapati ruangan itu tak berhiaskan ornament – ornament natal. Tak ada pohon cemara kecil dengan bintang perak diatasnya. Atau kaus kaki merah yang menggantung diatas perapian. Semuanya tampak sama saja.
‘Mungkin Thomas sengaja tak mengubah ataupun menambahkan benda – benda agar dia tak harus mengenali rumahnya lagi…’ Batin Edgar berasumsi.
“Kau lapar?” Tanya Thomas. “Kurasa Min-Young tadi sudah bilang kalau ia memasak sup jamur.” Lanjut Thomas menawarkan.
“Sedikit.” Kata Edgar tanpa menoleh. Matanya kembali menatap tiga kanvas kosong yang masih tergantung disana, ditempat yang terakhir kali ia lihat.
“Kalau begitu, tunggulah disini. Aku akan mengambilkannya untukmu.” Kata Thomas. Edgar langsung beranjak.
“Perlu kubantu?” Tawar Edgar.
“Aniyo. Aku sudah terbiasa menyiapkan hidangan sendiri.” Jawab Thomas yakin. Edgar menatap khawatir namun tak ada yang bisa ia perbuat. Ia membiarkan Thomas berjalan keluar ruangan.
Edgar melangkahkan kakinya. Berkeliling kesudut ruangan selama ia menunggu Thomas kembali. Flat rumah Thomas terkesan sederhanan namun rapih. Sebagian dinding rumahnya bahkan terbuat dari kayu – kayu kokoh dan hanya beberapa ruangan yang menggunakan batu bata. Flat rumahnya memang memiliki dua lantai tapi Edgar berani bertaruh jika lantai dua nyaris tak pernah dipijaki Thomas mengingat lampu ruangannya yang tak pernah menyala.
Edgar berjalan ke salah satu ruangan yang terletak tak jauh dari ruang tengah. Ruangan itu cukup luas dan terang karena tak ada tirai yang menutupi jendela. Dan anehnya diruangan itu hanya ada satu benda yang diletakkan ditengah – tengah ruangan. Sebuah grand piano yang terlihat usang dan nyaris lapuk karena tidak pernah di bersihkan. Edgar terkesima melihat benda hitam itu yang berada di rumah seorang buta. Apakah Thomas bisa bermain piano?
“Thomas! Apa piano ini milikmu?!” Tanya Edgar sedikit berteriak. Ia mengarahkan suaranya ke arah Thomas yang masih berada di dapur.
“Apa?... oh… piano tua itu… bukan, itu milik mendiang ayahku.” Jawab Thomas dengan sedikit berteriak dari arah dapur.
Edgar memperhatikan dan menyentuh tubuh piano yang sebenarnya masih sangat kokoh itu. Bahkan Thomas juga memiliki kursi yang tersimpan di bawah piano.Tuts putih dan hitam sangat menggoda untuk ditekan dan dimainkan.
Edgar akhirnya menghempaskan bokongnya dikursi dan menghadap piano. Ia kemudian memulai sebuah dentingan pertama. Tak peduli apakah ia sopan atau tidak karena telah memainkan piano tanpa meminta izin pemiliknya. Tanpa sadar, ia memainkan sebuah nada – nada yang tak asing namun tak ia ketahui lagunya. Ia hanya memainkan apa yang ada didalam kepalanya dan membiarkan itu mengalir kedalam gerak jemarinya dan menghasilkan sebuah dentingan yang menghujani sanubarinya.
Ting… ting… ting… ting…
Sebuah dentingan yang membuat telinga terlena untuk mendengarkannya lebih dalam. Seperti pusaka yang tersimpan, piano yang tak pernah dimainkan itu akhirnya dapat dimainkan secara sempurna setelah sekian lama terdiam di sudut ruangan. Tuts nya masih bekerja, dentingannya masih nyaring terdengar, dan dimainkan dengan nada yang menghentak jiwa. Membuat sang pemain memejamkan mata tanda telah tenggelam dalam penghayatan melodi. Itu mengalir begitu saja.
Ting…
Edgar membuka matanya. Ia kembali ke alam nyata ketika ia telah menyelesaikan lagunya. Ia menghela nafas seolah nada yang ia mainkan barusan telah membuat beban pikirannya terangkat dan menguap. Ia menyentuh kembali tubuh piano yang usang itu.
“Apa… yang kau mainkan?” Sontak sebuah pertanyaan membuat Edgar menoleh ke arah suara. Di pintu, ia tak menyadari bahwa Thomas sedari tadi mendengarkannya bermain piano dengan sebuah nampan di tangannya. Sup jamurnya terlihat sudah tak mengepulkan asapnya lagi. Pertanda bahwa Thomas sudah lama berdiri disana.
“Thomas? Kau tidak bilang jika kau datang.” Hanya itu yang mampu di ucapkan Edgar. ia kemudian berdiri dan menghampiri Thomas. Serta merta ia menuntun Thomas ke kursi piano dan mengambil nampan dari kedua tangannya.
“Maaf aku memainkan pianomu tanpa izin.” Lanjut Edgar sambil dengan santainya menikmati sup jamur dan teh hijau yang telah tersaji.
“Kenapa kau memainkan lagu itu?” Tanya Thomas datar. Tatapannya tak terfokus.
“Aku hanya memainkan apa yang ada didalam otakku.” Jawab Edgar sambil menyuap sup kedalam mulutnya.
“Apa kau tahu lagu apa yang barusan kau mainkan?” Tanya Thomas. Terdengar seperti mendesak.
“Tidak.” Jawab Edgar enteng.
“Moonlight Sonata. Karya Beethoven.” Thomas menjawab pertanyaannya sendiri. “Lagu patah hati yang sebenarnya tidak ingin kudengarkan.”
Edgar mengangkat wajahnya. Tak sadar jika ia menggantung sendok tepat didepan mulutnya yang terbuka. Ia terdiam beberapa saat dan merasa bahwa ia kembali menyentuh sisi sensitifitas Thomas. Wajah sendu itu kembali mengawan di wajah rupawan Thomas.
“Ouh… mmm… mian. Aku tak tahu kau membenci lagu itu…” Jawab Edgar penuh penyesalan. Ia kini merutuki otaknya yang seolah memaksanya untuk memainkan nada Moonlight Sonata. Lagu yang ternyata dibenci oleh orang yang dicintainya.
Thomas menyimpulkan sebuah senyuman datar.
“Tak apa.” Jawab Thomas datar membuat Edgar semakin salah tingkah. “Kau bisa memainkan piano rupanya?” Tanya Thomas terdengar sedang ingin mengalihkan topik pembicaraan.
“Begitulah.” Jawab Edgar sekenanya.
“Bisakah kau mainkan lagu yang lain?” Tanya Thomas. Edgar tersenyum.
“Tentu. Tapi tunggu hingga aku menghabiskan makananku dulu.” Jawab Edgar sambil menyuap sup nya lagi.
-oOo-
Ting… ting… ting… ting… ting… ting… ting…
Suara dentingan itu terdengar mengalun dalam melodi. Sebuah intro dari lagu yang sedang banyak dibicarakan di kalangan anak muda Korea saat itu. Edgar memainkannya dengan sangat cekatan dan penuh penghayatan.
~Jangan kau menoleh dan pergilah…
Jangan kau kembali dan hiduplah…
Mencintaimu, tak akan kusesali…
Bawa kenangan yang indah saja…
Bagaimanapun akan bertahan…
Bagaimanapun bisa bertahan…
Meski begini kau harus bahagia…
Haru Haru (Hari ke Hari) Ku pasti kan memudar…~
“Haru haru… yeeaahh…”
Ting…
Edgar mengakhiri lagunya. Tepukan halus tanda pujian terdengar disebelahnya. Thomas tersenyum ketika Edgar menyelesaikan lagunya.
“Ternyata kau pandai menyanyi juga.” Puji Thomas.
“Ah, aku tidak sepandai yang kau pikirkan. Suaraku masih sangat pas – pasan.” Edgar merendah.
“Tapi itu sangat keren bagiku.” Ujar Thomas.
“Ah, ghamsahamnida.” Jawab Edgar. “Ngomong – ngomong, apa malam ini kau ada rencana untuk merayakan malam natal?”
“Tak ada. Sepertinya aku hanya akan berdiam diri dirumah malam ini.” Kata Thomas. Edgar tersenyum seketika.
“Mau keluar bersamaku?” Ajak Edgar to the point. Thomas mengangkat alisnya.
“Malam ini? Merayakan malam natal?” Tanya Thomas sedikit tak percaya.
“Tentu saja.” Jawab Edgar pasti.
“Kemana?” Tanya Thomas.
“Ada deh…” Kata Edgar tersenyum penuh arti. Thomas tersenyum simpul.
“Araso…” Jawab Thomas. “Apa aku perlu mandi dan mengganti pakaian?”
“Tak apa. Begini saja kau sudah tampan.”
-oOo-
Pukul delapan malam waktu setempat.
Thomas merapatkan syalnya lebih erat untuk menghindari hipotermia berlebihan karena malam ini udaranya sangatlah dingin. Ia menggenggam lengan Edgar untuk menuntunnya berjalan agar tak kehilangan arah.
“Maaf, aku membuatmu berjalan kaki.” Edgar sebenarnya sudah berulang kali mengucapkan ini. Ia merasa bersalah membuat orang yang disukainya itu berjalan kaki di malam natal yang ramai dan dingin seperti sekarang ini.
Thomas tersenyum dan menggeleng. “Ahniyo. Tidak masalah Edgar. kenapa kau sering kali mengucapkan maaf sih?”
“Nnng… aku hanya tidak enak hati padamu.” Jawab Edgar sekenanya.
“Ah! kau terlalu menganggapku lemah, Ed. Aku sudah terbiasa berjalan kaki.” Ujar Thomas.
“Aish, seandainya Tim atau Dong-Joon mau meminjamkan mobil mereka, mungkin takkan berakhir seperti ini.” Edgar masih merutuk membuat Thomas tersenyum lembut.
“Wajar saja, ini kan malam natal. Mungkin saja teman – temanmu sedang sibuk pergi bersama keluarganya atau pacarnya.” Jawab Edgar diplomatis.
Edgar memutar bola matanya. Ia berpikir jika Thomas terlalu berpikiran optimis. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Thomas yang emosinya memuncak saat di Namsan Tower waktu itu. Aish, pria ini begitu penuh dengan misteri.
“Kita sampai.” Ujar Edgar. setelah sekian lama perjalanan dan mesti berdesak – desakan di kereta, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
“Kita dimana?” Tanya Thomas bingung. Edgar tersenyum.
“Hangang Park.” Jawab Edgar riang. Thomas menyernyitkan dahi.
“Hangang Park?” Thomas mengulang. “Kita… mau main luncuran salju?” Tanya Thomas.
“Ahniyo… kita main ice skating saja.” Jawab Edgar. Thomas mengangkat alisnya. Belum sempat ia membuka mulutnya, Edgar telah menarik tangannya untuk bersegara menuju arena indoor.
Hangang Park adalah salah satu taman di pinggir sungai Han dengan berbagai aktifitas yang menarik untuk dilakukan. Yang terkenal dari sini adalah Tteuksom Theme Park yang pada saat winter berubah menjadi medan untuk meluncur salju.
“Aish… susah sekali…” gerutu Thomas ketika ia mencoba berdiri diatas sepatu skating nya. Edgar dengan cekatan menggenggam kedua tangan Thomas agar tak terjerembab. Menuntun Thomas untuk dapat berdiri seimbang. Mirip mengajarkan seorang bayi untung berjalan di langkah pertamanya.
“Mmm… sepertinya permainan ini cukup sulit untukmu. Lebih baik kita cari permainan yang lain saja.” Usul Edgar dengan sedikit canggung. Ia merasa bersalah memilihkan ice skating untuk orang buta seperti Thomas. Ini benar – benar merepotkan.
“Ah! tidak – tidak! Aku bisa melakukannya. Aku hanya tidak pernah bermain ice skating sebelumnya. Jadi maafkan aku jika merepotkanmu. Tapi aku sedang berusaha jadi jangan mengganti permainan seenakmu saja, ya!” Kata Thomas keras kepala. Ia bahkan masih mencoba untuk berdiri tegak selama lima belas menit ini.
Edgar tampak tak yakin. “Kau yakin?”
“Aku tak pernah seyakin ini.” Jawab Thomas sambil tersenyum seolah sedang meyakinkan Edgar bahwa dia benar – benar ingin bisa bermain ice skating. Edgar membiarkan pemuda itu susah payah menegakkan keseimbangannya. Sementara Edgar tanpa lelah memegangi kedua tangan Thomas.
Arena seluncur es itu masih ramai oleh pengunjung yang ingin merayakan malam natal bersama pasangan dan keluarga. Lagu Winter Wonderland terdengar jelas melalui speaker suara, diantara pekikan dan tawa anak – anak yang menceriakan suasana.
Perlahan tapi pasti, Thomas mulai bisa menegakkan keseimbangannya. Ia tersenyum senang saat perlahan ia bisa menguasai keseimbangannya meski masih sangat kaku. “Aku… bisa…” Gumam Thomas dengan wajah yang menyiratkan ketidak percayaan. “Sekarang lepaskan aku.”
Edgar terbelalak. Tak menyangka jika Thomas akan senekat ini. “Apa? Kau gila? Kau bisa terjerembab!” Kata Edgar yang semakin mengeratkan genggamannya. Tak mau melepas tuntunannya dari Thomas.
“Aku bisa. Percayalah padaku.” Jawab Thomas enteng.
“Itulah mengapa aku tak percaya padamu.” Jawab Edgar.
“Edgar, aku bisa! Sudah lepaskan saja!” Thomas memaksa. Ia benar – benar ingin meluncur sendiri.
“Kau yakin?” Edgar tampak tak yakin.
“Aku sangat yakin.” Kata Thomas sambil tersenyum dengan mata yang begitu cerah. Namun Edgar sangat khawatir dengan keputusan yang akan diambilnya. “Lepaskan saja.” Thomas mendesak.
Perlahan Edgar melonggarkan gandengannya. Dengan sangat hati – hati, ia membiarkan Thomas berdiri tanpa tumpuan. Melepasnya secara perlahan – lahan. Dan berharap – harap cemas agar Thomas tak terjatuh.
Thomas tersenyum ketika ia merasa Edgar tak menuntunnya lagi. Namun berbanding terbalik dengan Edgar yang masih memberi jarak tangannya dengan tubuh Thomas takut – takut jika Thomas benar – benar tergelincir dan kehilangan keseimbangan.
“Aku bisa, kan?” Seru Thomas bangga ketika ia benar – benar bisa berdiri dengan bertumpu pada kakinya sendiri.
“Eeh..!” Namun belum sempat Edgar tersenyum, Thomas terantuk kedepan dan hilang keseimbangannya.
Edgar dengan cekatan menangkap tubuh maskulin itu yang tak sengaja terjatuh kedalam dadanya. Kedalam dekapannya. Telat beberapa menit saja, Thomas pasti sudah terpelanting kedepan dan terantuk arena es.
Tring… tring… tring…
Thomas terdiam. Tubuh itu tengah memeluknya. Tubuh itu menyelamatkannya! Edgar telah menyelamatkannya agar tak terjatuh! Namun perasaan aneh menjalar di dalam hatinya. Perasaan yang hangat sehingga ia kini hanya terdiam seribu bahasa. Tangannya tak sengaja menggenggam erat siku Edgar saat ia nyaris terjatuh tadi. Dan kini entah mengapa ia malah semakin mengeratkan genggamannya disana.
“Sudah kubilang kan aku tidak percaya padamu.” Ujar Edgar pelan. Namun desah nafasnya begitu terasa di telinga kirinya. Desah nafas yang menggelitik saraf – sarafnya sehingga membuat jantungnya bertambah berdebar tak karuan. Ditambah lagi tangan Edgar yang menahan di punggung Thomas sehingga mereka memang tampak seperti orang sedang berpelukan.
Tapi tak ada yang peduli kan?
“Mi— mian…” Hanya itu kata yang bisa diucapkan Thomas. Tapi ia tak berusaha untuk melepas pelukan Edgar. bisa dirasakan di kulit wajahnya Edgar menghembuskan nafas pendek. Tersenyum simpul.
“Bagaimana kalau aku yang menuntunmu?” tawar Edgar pelan. “Disini sangat ramai dan akan sangat merepotkan jika kau meluncur sendirian. Jadi… tetaplah dalam pelukanku. Biar aku yang meluncur untukmu. Aku cukup mahir dalam meluncur kebelakang, jadi jangan khawatir.” Terang Edgar.
Edgar tak sempat menjawabnya karena ia merasa tubunya telah terserert secara halus menuju ketengah arena seluncur es. Ia bahkan tak memberontak ketika posisi meluncur mereka cukup aneh; berpelukan. Edgar meluncur pelan sambil berputar – putar membiarkan Thomas terbawa suasana dalam dekapannya. Gerakannya seperti sedang berdansa waltz.
Satu lagi talenta yang membuat Thomas begitu terpesona dengan Edgar. setelah Edgar menunjukkan talentanya akan bermain piano dan bernyanyi, kini ia tak tahu jika Edgar juga pandai bermain ice skating.
Lagu dari speaker kini memutar sebuah lagu yang sangat menyentuh jiwa. Lagu milik leader SNSD; Tayeon – Can you Hear me, seolah menjadi orkestar bagi kedua insan itu. Suara emasnya mampu membuat Thomas, Edgar, dan ribuan pengunjung lainnya juga ikut mengikuti gerakan waltz, berdansa diatas es seperti yang dilakukan Edgar dan Thomas. Seolah – olah mereka tengah menjadi lakon utama dalam pesta dansa.
“Kau bukan mengajakku untuk meluncur. Tapi… kita berdansa, kan?” tanya Thomas. “Kita… menari diatas es?” Tanyanya lagi.
Edgar tersenyum. “Anggap saja begitu.”
Sebuah ingatan masuk kedalam pikiran Thomas. Ingatan tentang dansa romatis. Dansa diatas sungai Han dan siraman air Banpo Bridge. Dansa yang nyaris serupa dengan apa yang ia lakukan malam ini. Ia merasa DeJavu dengan semua ini. Seolah Edgar adalah orang yang telah lama ia kenal.
Tanpa disadari, Thomas menangis dan menenggelamkan kepalanya ke dada Edgar.
-oOo-
Pukul sebelas malam.
Sudah sangat larut ketika Edgar memulangkan Thomas ke flatnya kembali. Semalaman ini mereka sudah pergi ke berbagai tempat. Selain Hangang Park, mereka juga pergi ke Banpo Bridge, Insa-dong, dan berbagai tempat menarik lainnya. Sebenarnya itu belum memuaskan dahaga Thomas untuk berjalan – jalan mengelilingin Seoul. Tapi karena takut pulang larut, apalagi mereka menaiki kendaraan umum, jadi ada baiknya pulang sebelum jam dua belas malam.
Kini Edgar mengantar Thomas kekamarnya. Thomas sendiri telah mengganti pakaiannya menjadi piyama dan bersiap untuk membawa kenangan manis malam itu kedalam mimpi indahnya.
Edgar menyalakan heater. Kemudian ia menghampiri Thomas dan membaringkannya serta menyelimutinya. Persis seperti seorang ibu yang mengantar anaknya untuk pergi tidur. Edgar kini tengah duduk di atas ranjang seperti hendak membacakan dongeng untuk anaknya. tapi ia hanya melihat wajah maskulin itu dengan mata indah yang bahkan lebih indah dari ribuan bintang dilangit sana. Ia tersenyum dan tanpa sadar membelai lembut surai hitam milik Thomas.
“Menginaplah malam ini.” Pinta Thomas pelan. Edgar tersenyum.
“Kenapa harus?” Tanya Edgar.
“Aku ingin saat ini ada yang menemaniku disaat tidur.” Ujar Thomas. Ia kemudian menggeser tubuh dan bantalnya. Kemudian mengambil satu bantal lagi dan menaruhnya disisi kanan ranjang yang kini agak lega, kecuali jika ditiduri dua orang. Thomas menepuk – nepuk kasur seolah menyuruh Edgar untuk tidur disana. “Berbaringlah disini. Aku mohon.” Thomas meminta lagi.
Edgar tersenyum simpul. “Aku ini gay Thom. Apa kau tak takut aku akan melakukan hal yang tidak normal disaat kau sedang terlelap?”
Thomas balas tersenyum. “Bodoh. Jika kau memang ingin memperkosaku, kau sudah melakukannya dari tadi.” Jawab Thomas diplomatis. “Kumohon. Tidurlah denganku.” Thomas sedikit merajuk.
Edgar tersenyum. “Tidurlah.” Hanya itu perintahnya. Sama sekali tak menjawab permintaan Thomas. Thomas sedikit mendesah kecewa. Ia menghela nafas dan memejamkan mata. Ia tahu bahwa Edgar memang tak mau menemaninya tidur.
Namun dugaannya meleset. Ia merasa bahwa ranjangnya kini berderit dan tengah dinaiki seseorang. Dan orang itu kini tengah berbaring di sebelahnya. Ia bisa merasakan wangi papermint terhembus pelan dari desah nafasnya.
“Aku menang.” Gumam Thomas sambil tersenyum. Ia bisa merasakan bahwa Edgar juga tengah tersenyum disana.
“Sekarang tidurlah.” Perintah Edgar. Thomas terdiam beberapa saat.
Sesaat kemudian, tubuhnya merapat ke tubuh Edgar. ia mengaitkan tangannya kepinggang Edgar dan memeluk tubuh pemuda manis itu. Kini posisi mereka berhadap – hadapan. Membuat jantung Edgar berdebar tak menentu apalagi ketika Thomas membenamkan kepalanya ke dada bidang Edgar.
‘apa – apaan ini?’ batin Edgar.
“Thom, kau membuatku tidak nyaman…” Gumam Edgar serak. Suaranya telah kalah dengan debar jantungnya.
“Kenapa?” Tanya Thomas lemah. Ia perlahan mulai tenggelam kedalam alam mimpi.
“Aku itu… gay… perlakuanmu membuatku sedikit… tidak nyaman.” Ulang Edgar. ia masih merasa kikuk.
Thomas tersenyum. “Aku tak peduli kau gay atau bukan. Semuanya sama saja dimataku. Tak ada bedanya.”
“Tapi… pernah kukatakan kalau… aku menyukaimu, kan? Apa kau tidak… takut pada perasaanku?” Tanya Edgar hati – hati.
“Aku tak pernah takut pada perasaanmu. Aku akan mulai takut jika perasaan yang sama juga muncul dihatiku.” Jawab Thomas sambil memejamkan mata. Edgar terdiam.
“Jadi… kau tidak merasakan apa yang kurasa?” Tanya Edgar.
“Berdoalah agar itu tidak terjadi. Aku lebih nyaman begini saja.” Jawab Thomas. Ia kembali memeluk erat pinggang Edgar. Edgar tak berkata – kata lagi. Pikirannya melayang tak tentu arah dan tak tahu harus berbuat apa lagi.
Perlahan, tangannya juga ikut memeluk tubuh Thomas. Dan perlahan, mereka terlelap kedalam dunia mimpi.
-oOo-
Jam satu, Thomas membuka matanya.
Masih terlalu malam untuk bangun pagi memang. Namun sepertinya insomnia nya kembali mengganggu lagi. Ia merasa ada sedikit beban yang menghimpit diatas tubuhnya. Dan baru ia sadari ketika ia meraba – rabanya, sebuah tangan yang tengah memeluknya. Tangan Edgar.
Ingatannya kembali mengingat kejadian hingga pria itu terlelap di sebelahnya. Dengkuran halus terdengar lembut di telinganya. Ia bisa merasakan sedikit hangat menggelitik bulu roma di sekitar wajah kanannya. Ia bahkan tak tega untuk menggerakkan sedikit anggota tubuhnya agar tidur Edgar tak terusik disebelahnya. Namun apa daya, sedetik berikutnya ia sudah terduduk di atas ranjangnya dan menoleh ke arah Edgar berada.
“Kau… sudah tidur?” Gumam Thomas. Hanya dengkuran halus sebagai jawabannya membuat seulas senyum ringan tersungging di wajah tegasnya.
Thomas menghela nafas dan mencoba berbagi selimutnya pada Edgar yang tubuhnya tak tertutupi benda hangat itu. Dengan hati – hati Thomas menaruh selimut itu sampai menutupi bahu Edgar.
Namun ada sesuatu yang mengganjal di benaknya yang menjadikan sebuah rasa penasaran. Saat ia menyelimuti Edgar, tak sengaja punggung tangannya menyentuh kulit wajah pria manis itu. Ada sedikit rasa yang menggelitik saat tak sengaja kulit mereka bersentuhan. Ia meremas buku – buku tangannya dan berpikir sejenak.
Selama ini ia belum pernah mengenali wajah Edgar dengan jelas. Belum pernah menggambarkan wajah Edgar lewat sentuhan yang biasa ia lakukan untuk mengenali orang lain. Ia belum pernah melihat wajah Edgar lewat telapak tangannya.
‘Seperti apa wajahnya?’ Thomas membatin.
Dengan ragu – ragu, jemarinya terjulur menuju surai – surai lembut milik Edgar. ada sedikit getaran lagi saat kembali surai itu bisa ia rasakan halusnya. Dengan sangat pelan, tangannya turun kebawah, mengarah ke dahi Edgar yang agak sedikit lebar. Ia bisa merasakan halusnya kulit pria itu meski agak sedikit kasar.
Tangannya beralih ke pelipis, telinga, bagian – bagian mata dan pangkal hidung. Ada sedikit warna kenangan yang redup tenggelam dan secara tiba – tiba muncul dalam kegelapan matanya. Kenangan yang sangat nyata dan telah lama terjadi namun ia rekam baik – baik kenangan itu dalam ujung ingatannya.
Tangannya menjalar ke arah hidung dan… saat itulah ia merasakannya! Thomas lekas menarik tangannya ketika perasaan dejavu itu muncul. Ia terkejut bukan main saat menyadari gambaran kenanganyang ia dapat.
‘Bentuk wajahnya… mirip sekali dengan Eliana…’ batinnya.
Namun Thomas cepat – cepat membuang perasaan itu. Ia tahu pasti bahwa itu hanya intuisi tanpa sebab yang pasti. Mereka adalah orang yang berbeda meskipun… sudah sering Thomas merasakan dejavu dengan Edgar seperti ini.
Thomas menghela nafas. Rasa penasarannya masih membuncah. Dengan perlahan, ia kembali menjulurkan jemarinya dan menyentuh setiap senti wajah Edgar. jemarinya turun pada bibir ranum disana. Terasa begitu lembut dan lembab. Membuat sebuah rasa penasaran semakin menggoda Thomas untuk melakukan hal yang lebih jauh lagi.
‘Apakah dibagian ini… Edgar melakukan ciuman pertamanya?’ Thomas membatin sambil menyentuh buah bibir tipis itu.
Tanpa disadari akal sehat, ia memajukan wajahnya dan menyentuh bibir itu dengan kedua bibirnya. Awalnya hanya menyentuh saja. Namun perlahan – perlahan, sentuhan itu berubah menjadi sebuah lumatan lembut. Ia melumat pelan bibir Edgar yang masih terlelap. Sensasi debaran yang begitu mengharukan membuatnya semakin tergoda untuk mencicipinya lebih jauh. Bahkan tangannya mulai bergerilya secara lembut menyusuri surai – surai rambut Edgar.
DEG.
Thoamas terkesiap dan segera menarik ciumannya dari Edgar. ia syok bukan main dengan apa yang telah ia lakukan. Ia tak pernah tahu perasaan yang membuat jantungnya berpacu dan nafasnya terengah seperti ini.
‘Apa yang telah kulakukan?! Apakah aku… jatuh cinta?!’ Thomas terbelalak tak percaya. Ia tak menyangka bahwa ia dengan kurang ajarnya melumat bibir orang yang tengah terlelap. Ia bahkan merutuki pemikarannya sendiri yang seperti tengah dirasuki oleh setan yang membuatnya penasaran pada ciuman pertama.
Ciuman pertamanya yang tanpa sadar ia berikan untuk Edgar!
Thomas menggelengkan kepalanya dengan syok. Alih – alih ia perlahan menurunkan langkahnya dari atas ranjang untuk mengambil sebuah bad cover dan bantal dari dalam lemari yang tak jauh dari ranjangnya. Ia menggelar bad cover tepat di samping ranjangnya dan ia membaringkan tubuhnya disana. Perasaan tidak nyaman tiba – tiba saja muncul jika ia harus tidur satu ranjang dengan Edgar.
Merepotkan!
-oOo-
Referensi:
-Sengaja saya memakai lagu haru - haru; Bigbang. Setelah melihat video dibawah ini, sepertinya lagu itu cocok untuk dimainkan dengan piano.
- Sementara lagu Taeyeon - Can you hear me, itu saya pilih setelah saya menonton film beethoven virus.... . bisa di check di youtube.com.
n, kalo misalnya terjadi keterlambtn gak disengaja kyk gini lagi, para hadirin sekalian bisa check di blog saya untuk melihat kelanjutan ceritanya.... . oiya, yang mesen mention di atas cerita... MAAF, SAYA LUPA.... :P >_<.... heheehe..... tapi setidaknya masih updet udah cukup, kan???