It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dinda menata makanan di atas meja makan dengan cekatan. Beberapa kreasi masakan dari telur hasil karya nya terhidang lezat diatas meja. Tak lupa ia menanak nasi serta membuat minuman hangat yang cocok untuk di jadikan bahan minuman di kala musim dingin. Setelah selesai menyiapksan segala makanan, tak lupa ia membersihkan dapur untuk menghilangkan jejak eksperimen nya. Bagaimanapun, ini masih terhitung rumah orang asing dan akan sangat tidk sopan jika ia membiarkan dapur orang berantakan.
Ia melirik jam dinding. Sudah pukul satu. Seharusnya Edgar sudah pulang dari KBRI untuk makan siang. Entah mengapa abang nya itu belum juga muncul. Tapi bagaimanapun, Dinda merasa wajar jika abang nya sedikit pulang telat dari biasanya. Toh, sejujurnya Seoul telah menjadi rumah kedua bagi Edgar setelah Indonesia.
“Anyyeong…”
Terdengar suara pintu yang di buka lalu di tutup kembali. Dinda mengelap tangannya dan hendak menyambut orang yang baru pulang.
“Ah… Tim oppa. Anyyeong haseyo.” Kata Dinda dengan bahasa Korea yang kaku. Dinda sebenarnya lebih bisa berinteraksi dengan menggunakan bahasa Inggris. Namun karena ia menghargai tuan rumah, maka sebisa mungkin ia menyapa Tim dengan bahasa Korea yang di pelajarinya secara kilat lewat drama Korea dan juga lewat abang nya.
Tim menggantung palto hitamnya di gantungan pintu. Ia juga melepaskan sepatu boot dan menaruhnya di rak sepatu.
“Ah… Dinda ssi.” Sapa Tim sambil tersenyum. “Apa hyung belum pulang?” Tanya Tim sambil berjalan melalui Dinda menuju ruang makan. Sepertinya perut dan hidungnya telah mengantar nya untuk bersegera mungkin ke ruang makan. Sedang lapar rupanya.
“Belum.” Jawab Dinda. Menyusul Tim menuju ruang makan. “Malah kupikir abang yang datang tadi. Ternyata malah kau!”
“Aku sengaja pulang lebih cepat. Sonsaengnim pelatih trainee sedang ada keperluan ke Tokyo. Jadi tidak ada latihan choreo hari ini.” Kata Tim seolah tahu akan Dinda yang bingung kenapa ia pulang lebih cepat dari biasanya. Mata Tim langsung tertuju pada meja makan. Di sana sudah ada berbagai hidangan masakan yang telah membuat perutnya bersorak gembira.
“Kau memasak ini semua?” Tanya Tim. Ia langsung mengambil kursi dan duduk menghadap makanan yang sudah menggoda untuk dilahap.
“Ya.” Kata Dinda dan dia ikut mengambil kursi di seberang Tim. “Aku tidak bisa memasak masakan Korea dan lagipula kupikir bang Edgar yang akan datang lebih dulu.” Terang Dinda.
“Maaf aku mengacak – acak kulkasmu. Tapi… kau tidak apa – apa kan memakan masakan khas Indonesia?” Tanya Dinda sambil memandang harap – harap cemas ke arah Tim.
Tim tersenyum lagi. “Tak apa. Lagipula hyung sudah sering mengajakku untuk mencicipi masakan Indonesia.” Kata Tim. “Jadi… boleh kumakan sekarang?” Tanya Tim. Dinda mengangguk.
Tim kemudian mengambil sumpit perak dan mengambil salah satu lauk yang membuatnya tergiur; Sayur Sabun (Sawi dan Buncis). Ia mencomot sawi dan langsung melahapnya. Sesaat, lidahnya mencoba merasakan rasa asin-gurih yang memang tak biasa ia temukan pada masakan – masakan Korea. Agak pedas.
Tim tersenyum.
“Enak.” Katanya sambil menatap Dinda. Mata Dinda berbinar.
“Sungguh?” Dinda bertanya meyakinkan. Tim mengangguk pasti. Ia segera menciduk nasi dan mengambil beberapa potong telur dadar dan sayur.
“Omo! Tak kusangka kau menyukai masakan ku.” Kata Dinda senang.
“Kau pandai memasak juga rupanya.” Puji Tim.
“Saat di Indonesia aku memang sudah terbiasa mandiri ketika kakak ku berangkat ke Korea. Jadi kurasa urusan memasak kini bukan hal yang sulit.” Jawab Dinda.
“Percayalah, hyung bahkan tidak pandai memasak sepertimu. Dia pernah memasak kimchi dan rasanya sangat hambar.” Kenang Tim sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. Dinda tertawa.
“Tapi… ngomong – ngomong…” Tim tiba – tiba berubah serius. Seolah baru ada sesuatu yang disadarinya. “Sebenarnya apa yang terjadi ketika hyung pulang ke Indonesia?” Tanya Tim penasaran.
Air muka Dinda langsung berubah. Otaknya terpaksa mengingat kembali kejadian yang membuat dia dan ibunya menangis histeris. Kejadian itu terjadi satu jam kemudian setelah ayah mereka dinyatakan wafat. Kejadian itulah yang akhirnya membawa Dinda ikut serta ke Seoul.
“Kau benar – benar ingin tahu?” Tanya Dinda menyakinkan.
Tim mengangguk. Tentu saja ia ingin tahu apa yang sudah terjadi pada Edgar. Ia cukup penasaran dengan sedikit perubahan yang ia rasakan pada diri Edgar.
Dinda menghela nafas sebelum memulai cerita.
-oOo-
“Selesai.”
Seru Thomas sambil memasukkan kembali betadine dan obat antiseptic ke dalam kotak P3K nya. Edgar menatap sikutnya yang kini sudah diberi kain kasa dan hansaplast. Meski buta, Thomas cukup mahir juga dalam membalut lukanya.
Thomas meraba – raba siku Edgar dan kemudian ia tersenyum.
“Terpasang sempurna, kan?” Tanya Thomas.
“Ya. Terimakasih tuan.” Kata Edgar sambil tersenyum. Ikut menatap sikunya.
“Jangan memanggilku tuan. Panggil saja aku Thomas.” Kata Thomas sambil beranjak dan berjalan pelan. Tangannya menggapai dinding seolah ia tengah mencari penuntun di dalam flat nya sendiri.
Edgar menaikkan sebelah alisnya. Ia cukup bingung kenapa pemuda itu tidak gunakan tongkat saja? Apa tongkatnya hilang sehingga saat di jalan tadi ia tak menggunakannya?
Sambil menunggu Thomas kembali, Edgar berjalan – jalan ke ruang tengah. Memandang berkeliling flat Thomas yang ternyata berada dekat dengan flat Tim. Itu sebabnya ia bertemu dengan pria itu di Cheongdam-dong, jalan tempat flat Tim dan Thomas berada.
Beberapa menit ia baru menyadari bahwa ia tengah berada di kediaman orang asing. Padahal ia baru bertemu dengan pria itu tadi pagi. Namun entah mengapa ia mengiyakan ajakan Thomas untuk berkunjung kerumahnya. Bukan apa – apa, mana mungkin ia membiarkan seorang buta tanpa tongkat berjalan sendirian di tengah – tengah pemukiman?!
Edgar menatap satu per satu benda yang berada di ruang tengah. Meja, kursi, perapian, lampu kecil diatas meja, dan selebihnya… kosong. Hanya ada kanvas – kanvas yang di gantung di dinding. Dan anehnya kanvas itu kosong! Tidak ada lukisan disana! Edgar mengernyitkan dahi tak mengerti. Untuk apa kanvas – kanvas itu di letakkan disana jika tidak ada lukian di dalamnya?!
“Edgar ssi.” Panggil Thomas. Edgar mendapati Thomas tengah meraba – raba dinding dan tangan satunya lagi terarah ke depan. Seolah sedang mencari seseorang.
“Aku disini.” Kata Edgar. Thomas tersenyum.
“Kupikir kau sudah pulang.” Gumam Thomas. Edgar tersenyum.
“Rumah ku dekat dari sini. Jadi jika lama pun, aku tidak akan pulang terlambat.” Jawab Edgar. Ia kemudian menggapai lembut tangan Thomas dan memandu nya untuk duduk di sofa. Sofa itu cukup unik karena diletakkan menghadap jendela sehingga siapa saja yang duduk disana, akan langsung menghadap keluar jendela dengan segala pemandangannya. View dari tempat mereka duduk cukup menarik. Dari situ mereka bisa langsung melihat anak – anak yang tengah bermain di taman. Kebetulan sekali flat ini bersebelahan dengan taman. Sepertinya sofa ini memang sengaja di letakkan seperti itu.
“Apa semua benda di rumah ini… diletakkan rendah?” Tanya Edgar ke arah Thomas. Namun Thomas hanya menatap lurus kedepan. Ke arah jendela.
“Ya. Kakakku cukup khawatir dengan keadaan ku. Jadi dia meletakkan semua benda begitu rendah agar tidak membahayakan ku.” Jelas Thomas.
“Kau punya kakak! Jadi kau tidak tinggal sendirian disini?” Tanya Edgar.
“Tidak. Aku memang tinggal sendirian disini. Kakakku tinggal di Gangnam District.” Terang Thomas. Edgar membelalakkan matanya.
“Kau yakin tinggal sendiri? Apa itu… tidak apa – apa?” Tanya Edgar. Thomas tersenyum simpul.
“Aku tidak lemah, Ed. Jika itu maksud dari pertanyaanmu.” Kata Thomas singkat. Namun itu membuat Edgar salah tingkah karena telah menanyakan pertanyaan itu pada Thomas. Thomas memandang berkeliling. Ia mencari sebuah bahan obrolah yang tidak menyinggung kecacatan Thomas. Namun ia tidak mengenal dekat seorang Thomas Dhirgantara. Sehingga beberapa menit lamanya mereka hanya terdiam, bingung mau menanyakan apa.
“Apa kanvas – kanvas itu… sengaja di biarkan kosong?” Tanya Edgar menunjuk tiga kanvas yang di pajang rendah. Thomas tersenyum masam. Membuat Edgar merasa bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan pahit manisnya hal yang dialami Thomas mengenai kanvas - kanvas itu.
Kenapa pria asing ini ingin sekali tahu, sih?! Batin Thomas.
“Maaf. Bukan maksudku tak sopan.” Kata Edgar salah tingkah. Thomas tersenyum simpul
“Tiga kanvas kosong itu adalah hidupku. Masa lalu yang ingin ku lupakan tak bersisa. Masa kini yang hampa. Serta masa depan yang tak bisa kugambarkan keindahannya.” Terang Thomas memaksakan sebuah senyum. “Setidaknya tiga kanvas itu adalah lukisan terakhir yang bisa kubuat selama empat tahun aku kehilangan mata ini. Dan itu bisa menjadi pengingat ku bahwa tiada yang indah di dunia ini meskipun telah kau tuangkan ke dalam lukisan dengan warna – warna cemerlang. Kau sudah mengerti, kan?”
DEG!
Edgar terhenyak. Entah mengapa ia menangkap sorot menderita dari mata indah Thomas. Seolah – olah ia bisa merasakan sakit hati dari tubuh maskulin itu. Sorot mata yang menggambarkan kesakitan. Sorot mata indah yang kini tengah buram akibat awan kabut yang tengan menyelubunginya. Sorot mata yang sepertinya membuat Edgar ingin selalu berada di dekatnya untuk dapat menghiburnya setiap waktu.
Tiba – tiba Edgar merasa dejavu. Entah perasaan darimana, namun ia merasakan bahwa ia pernah merasakan rasa ini kepada seseorang. Otaknya berpikir keras namun tak ada siapapun di ruang kosong itu. Seolah ada lembaran yang sobek dalam buku ingatannya. Dimana lembaran itu?Kenapa rasa itu kian kuat seolah – olah mengatakan bahwa rasa itu ada namun Edgar melupakannya?!
“Bagaimana denganmu, Ed?” Suara Thomas membuyarkan lamunan Edgar yang tengah berpikir keras. Edgar langsung menatap kembali wajah yang tegas itu. “Kau sudah mendesakku untuk sedikit banyak menceritakan hidupku di awal pertemuan kita. Kini giliranku bertanya tentang hidupmu. Apa yang membuatmu datang ke Seoul?”
Tampak sekali Thomas mengalihkan obrolan mereka. Terlihat bagaimana raut wajahnya cepat berubah meski masih menyisakan perih akibat teringat masa lalu.
“Aku kesini untuk kuliah.” Kata Edgar singkat.
“Kuliah?” Thomas tampak tertarik. “Dimana? Fakultas apa?”
“Seoul National University. Aku mengambil ilmu management. Sekarang aku memasuki semester keempat program magister.” Terang Edgar.
“Semester empat?! Berarti kira – kira sudah dua tahun kau di Korea.” Kata Thomas antusias.
“Ya. Tapi di tahun kedua ku, aku harus kembali ke Indonesia.”
“Kenapa?” Tanya Thomas. Membuat Edgar kembali menundukkan wajahnya. Entah mengapa setiap orang yang di temuinya, selalu ingin tahu tentang peristiwa yang ingin ia lupakan itu.
“Ayah ku kecelakaan. Dan aku harus menemuinya.” Kata Edgar singkat.
“Kasihan.” Gumam Thomas menunjukkan ekspresi berbelasungkawa. “Apa sekarang dia baik – baik saja?” Tanya Thomas.
Edgar tersenyum pahit. “Sekarang dia baik – baik saja. Dia bahagia karena telah menemui Tuhan disana.” Kata Edgar tersenyum masam. Ia menerawang, memandang langit – langit ruang tengah. Terdiam untuk beberapa saat sehingga menyadarkan Thomas tentang situasi yang tengah terjadi.
“Kuharap ayah ku bertemu dengan ayah mu disana.” Kata Thomas. Edgar menghela nafas dan tersenyum. Seketika ia melingkarkan tangannya pada bahu Thomas dan mengusap – usap pelan bahunya. Sedikit menghibur orang asing yang tengah dilanda kesedihan sepanjang hidupnya itu.
“Kuharap mereka bertemu. Seperti kita.” Kata Edgar. Thomas tersenyum mendengar ucapan pria di sampingnya. Entah mengapa, ia merasa sangat hangat ketika pria itu melingkarkan tangannya di bahu.
Krrriiiiuuukkk~
Oops!
Edgar salah tingkah. Pasalnya ia lupa pada perutnya yang sedari pagi meminta untuk diisi. Ia baru sadar bahwa pada saat ia mengantar Thomas ke flat nya, ia tak membeli sosis panggang padahal sempat mengantri. Tentu saja! Bagaimana mungkin ia membiarkan pria buta seperti Thomas berjalan sendirian menuju kediamannya setelah nyaris tertabrak sepeda motor?!
“Su… suara apa itu?!” Tanya Thomas. Ternyata suara perutnya sampai bisa didengar oleh Thomas. Edgar malu sendiri dan merutuki perutnya yang mengganggu suasana. Karena pada akhirnya alarm alami di dalam perut mengingatkan bahwa ruang di dalam sana masih ‘kosong’. Belum diisi apapun.
“Edgar ssi, apa tadi suara perutmu? Kau baik-baik saja.” Tanya Thomas cemas.
Edgar menggeleng sambil merutuki lambungnya dalam hati. ‘Aku tidak baik-baik saja!’ Tentu saja Thomas tak bisa melihatnya. Itu juga yang membuat pria tersebut lega karena wajahnya kini pasti terlihat menyedihkan. Edgar benar-benar lapar sekarang.
“Ya Tuhan!” Thomas menutup mulutnya karena terkejut. “Di sana… kau tadi pasti juga sedang mengantri, kan? Sosis panggang?”
Edgar hanya mengangguk lemah. Kini ia sungguh berharap bahwa pria di hadapannya tidak sedang pura-pura buta. Wajahnya yang meringis pasti sangat jauh dari kata tampan.
Karena tak kunjung mendengar jawaban, lengan Thomas menggapai dan meraba bahunya perlahan, mencari lengan Edgar yang masih bertengger disana.
‘Ketemu.’
Edgar begitu terkejut karena tiba-tiba lengan kirinya yang masih bertengger di bahu Thomas merasakan sebuah kehangatan. Thomas menggenggam tangannya, meremasnya sedikit, dan yang membuat pria itu terbelalak adalah Thomas membawa tangannya untuk menyentuh daerah sekitar leher tebal dan hangat milik Thomas disana. Perpaduan bunyi perut yang berkontraksi dan degup jantung kelewat cepat dirasa bukan sesuatu yang baik untuk mentalnya saat ini.
“Kau gemetar! Ternyata memang belum makan, ya? Maafkan aku. Seharusnya kau tidak mengantarku pulang tadi.” Thomas menunjukkan raut wajah cemas karena merasa bersalah.
“T-tidak apa. A-aku baik… baik saja. Bukan masalah… besar.” Sementara Edgar kesulitan menjaga deru nafasnya yang tiba-tiba menjadi satu-satu. Ia merutuki tubuhnya yang begitu tidak toleran dengan rasa lapar. ‘Apa salahnya sih menunggu sampai aku pulang? Kenapa harus bunyi di saat yang tidak tepat?’ kembali ia menyumpah dalam diam.
“Tunggu sebentar. Sepertinya aku punya sesuatu yang bisa dimakan.” Thomas berucap saat akhirnya melepas genggaman tangan pada telapak Edgar.
“Tidak usah. Aku tak ingin merepotkanmu!” Edgar berseru cepat.
“Tapi tubuhmu gemetar.” Thomas bertahan.
‘Tentu saja gemetar! Kau membuatku menyentuh lehermu tadi!’Edgar betul-betul frustasi dibuatnya.
“Aku sudah akan pulang. Aku bisa mampir ke kedai dekat sini sebelum sampai rumah.” Edgar masih berbasa-basi. Padahal jika bisa bicara, perutnya mungkin akan berteriak ‘Edgar bodoh! Aku sudah tidak tahan!’
“Aku akan semakin merasa bersalah kalau kau menolak.” Thomas berucap lembut. Membuat Edgar akhirnya mengalah telak.
“Baiklah~” ujarnya lemah. Ia benar-benar lelah menjadi Edgar yang ‘jaim’. Tidak ada untungnya sama sekali.
Akhirnya makanan itu tersedia di meja makan. Semangkuk kimchi dan sepiring nasi menggoda perut Edgar untuk segera melahapnya. Bahkan Thomas juga memberikan teh hijau untuknya.
“Untunglah Min-Young sudah memasak ini untukku. Tapi lebih baik ini untukmu saja karena aku masih punya persediaan sosis panggang yang kubeli tadi.” Kata Thomas menjelaskan sambil membawa semangkuk kimchi itu. Edgar membantu membawakannya karena Thomas terlihat sangat kerepotan.
Siapa pula itu Min-Young?!
Edgar menyuap kimchi hangat ke dalam mulutnya, diikuti dengan sesendok besar nasi, kemudian mengunyah dua jenis makanan tersebut sekaligus. Pipinya yang tirus memperlihatkan tonjolan besar ketika setiap suapan baru.
Benar-benar rakus! Sesekali ia akan menyeruput teh hangat yang manis jika kerongkongannya hampir tersedak. Jika sedang begitu, Edgar benar-benar punya dunia sendiri. Ia bahkan tak sadar bahwa saat ini ada pria buta yang… ehem… tampan bersamanya.
Beberapa menit berlalu. Edgar menghabiskan semuanya. Makanan yang disediakan memang tidak banyak, namun efek teh hijau yang masuk ke dalam lambungnya akan mampu menahan rasa lapar, setidaknya sampai waktu makan malam nanti.
Dan sebagai hidangan penutup, Edgar kembali menikmati pemandangan seorang pria tampan bermata indah yang sedang menungguinya makan. Tanpa sadar bahwa noda merah masih tersisa di sekitar mulutnya.
Untung saja Thomas tidak melihat!
“Thom, terimakasih.” Gumam Edgar. “Untuk hari ini.” Ia melanjutkan kata – katanya. “Kurasa aku bisa membalas jasamu dengan… yah… kapan – kapan mau pergi denganku?” Entah mengapa kalimat tawaran itu keluar begitu saja dari bibir Edgar. Edgar menggigit bibir bawahnya. Efek lapar dan gugup benar - benar membuatnya tampak seperti orang dungu.
Thomas tersenyum, membuat darah Edgar berdesir. Sungguh pria itu sangat tampan bukan kepalang.
“Tak apa.” Kata Thomas singkat. “Kau tak perlu membalasku. Itu hanyalah makanan. Justru itu adalah balas budi ku karena kau telah membantuku di jalanan tadi.” Kata Thomas tenang. Namun suara baritone itu telah membuat jantung Edgar berdegup. Entah mengapa ada sesuatu yang beda di sisi hatinya.
“Nngg… ta... tapi… aku tak ingin ini menjadi pertemua terakhir kita!” Edgar bodoh! Ia segera mengatupkan bibirnya begitu menyadari alis Thomas terangkat. Beberapa saat mereka terdiam. Tentu saja! pertanyaan macam apa yang keluar dari bibir orang asing seperti Edgar?! Aneh!
“Bukankah katamu tadi rumahmu dekat dari sini?” Sela Thomas logis. Edgar masih memukul – mukul mulutnya. “Kita masih bisa berjumpa.”
“Kalau begitu, aku akan kembali lagi lusa.” Kata Edgar kali ini mencoba berbicara setenang mungkin.
“Tak usah terburu – buru.” Kata Thomas. “Jangan mencoba untuk terlalu dekat dengan orang asing.”
“Tapi, aku merasa... kita seperti sudah mengenal lama.” Gumam Edgar. Ya, seperti sudah mengenal lama…
Thomas tersenyum lembut. “Terakhir kali aku mempercayai orang asing, dia mencampakkanku begitu saja dan tak pernah kembali. Jadi, apa mungkin aku bisa percaya padamu?” Gumam Thomas terdengar seperti sebuah sindiran. Edgar tergagap.
“Hmmm… kau bisa mempercayaiku.” Sergah Edgar.
“Itulah kata – kata yang ku ingat dari orang yang akhirnya mencampakkanku.” Jawab Thomas enteng.
“Aku berbeda darinya. Sungguh!” Jawab Edgar sungguh – sungguh membuat Thomas terdiam untuk beberapa saat. Ia tak habis pikir dengan pria dihadapannya itu.
Orang ini… kenapa begitu yakin, sih?! Batin Thomas.
“Kuharap begitu.” Hanya itu yang diucapkan Thomas. Dengan senyuman yang anehnya tak pernah luntur dari wajahnya. Senyuman yang sebenarnya Edgar tahu sarat akan meremehkan dan keangkuhan. Dibalik senyum itu, tersimpan dinding yang sengaja dibangun dalam dirinya. Seolah tak ingin ada orang lain yang memasuki hidupnya.
Perasaan apa ini?! Apa dulunya ia juga mengagumi sosok laki – laki tampan meski ia juga seorang pria? Apa yang sebenarnya ia lupakan?!
-oOo-
“Apa?! amnesia parsial ?”
Dinda mengangguk yakin. Tim masih melongo tak percaya. Tentu saja, siapa yang menyangka bahwa orang yang terlihat normal seperti Edgar ternyata ingatannya hilang sebagian. Dan parahnya lagi ia baru tahu hari ini! Setelah kejadiannya terjadi sebelas bulan yang lalu!
“Waeyo? Ba… bagaimana bisa?” Tanya Tim tak percaya.
“Itu terjadi ketika ayah kami meninggal jam dua dini hari. Abang tentu sangat terpukul hingga ia tiba – tiba pergi meninggalkan aku dan ibu yang masih menangis di rumah sakit. Dua jam setelah itu, aku langsung menerima kabar bahwa abang mengalami kecelakaan karena mobil yang di kendarainya menghantam bahu jalan. Dia koma selama lebih dari satu bulan hingga kami merasa kami tak memiliki harapan karena semakin hari kondisi abang semakin lemah.
Namun ternyata Tuhan masih menginginkannya hidup. Tepat dua bulan setelah terbaring koma, abang siuman dan itu tentu membuat kami bahagia. Namun aku merasa ada sesuatu yang beda dari abang. Saat ia terbangun, ia mengatakan bahwa 'seharusnya aku dan ibu tak disini'!” Dinda menghela nafas panjang. Cukup lama hingga membuat Tim cukup penasaran dengan lanjutan ceritanya.
“Apa maksud dari kata – katanya ketika ia terbangun?” Tanya Tim.
Dinda menelan ludah. “Dia bilang kami tak seharusnya berada di Korea. Padahal… ia di rawat di tanah air.” Ujar Dinda. Kini Tim mulai mengerti kenapa seperti ada sesuatu yang hilang dari pikiran hyung nya. Edgar lupa ingatan!
“Lalu mengapa dia mengingatku?! Mengingat tempat kerjanya di Jung’s Café? Juga flat lamanya di Myeong-dong?” Tim bertanya logis. Masih tak paham dengan apa yang didengarnya.
“Itulah mengapa dokter mengatakan abang menderita amnesia parsial, amnesia sebagian. Dia mengingat segalanya tentang kedatangan pertamanya ke Korea. Dia ingat aku dan juga ibuku. Dia juga mengingat secara baik siapa dirinya. Tapi…” Dinda menggantung ucapannya.
“Tapi…?” Pancing Tim tak sabar.
“Tapi dia tak mengingat kematian ayah atau bagaimana dia bisa pulang ke Indonesia. Dia sangat terpukul karena merasa tidak bisa mengingat ayah untuk yang terakhir kalinya! Dan menurut dokter, abang melupakan semua kejadian yang ia alami selama sebulan sebelum kecelakaan itu terjadi. Atau mungkin, ia lupa akan kejadian lebih dari sebulan. Entahlah! Itu masih sebuah kemungkinan. Tapi yang pasti, sebagian memorinya hilang.” Terang Dinda. Ia mengakhiri ceritanya dengan satu helaan nafas. Tim meneguk ludahnya.
“Lupa… segala kejadian selama sebulan sebelum kecelakaan…” Tim menggumam tak percaya. “Apa itu bisa disembuhkan?” Tanya Tim.
“Aku tidak tahu. Amnesia adalah keadaan dimana cara penyembuhannya melalui si penderitanya sendiri. Bukan lewat obat – obatan dokter. Itu tergantung dari keinginan pasien apakah ia ingin mengingat kembali apa yang hilang, atau membiarkannya hilang! Mengerti, kan?” Tanya Dinda di tengah – tengah penjelasannya. Tim hanya mengangguk.
“Dan menurut dokter, apa yang dilupakan oleh penderita amnesia adalah apa yang tengah dipikirkannya ketika kecelakaan itu terjadi. Pikiran yang menjadi beban berat seolah pasien ingin lari dari kejadian yang membuat pikirannya terasa berat. Aku bisa mengerti kenapa abang tidak mengingat kematian ayah karena itu memang sangat memukul. Tapi… kejadian di Korea yang ia alami sebelum pulang ke Indonesia… itu…” Dinda berhenti bercerita. Ia tak tahu harus bercerita apa lagi karena cerita itu sangat menggantung.
Namun Tim paham tentang kisah akhirnya. Ia tahu persis apa yang ingin dilupakan Edgar karena ia menjadi saksinya! Ternyata benar, Edgar ingin melupakan pria itu. Melupakan segala kebohongan dan kesalahan yang telah ia perbuat kepada pria itu. Thomas!
“Apa dia mengingat seseorang yang bernama… Thomas?” Tanya Tim hati – hati. Dinda tersenyum hambar.
“Itu yang ingin kutanyakan padamu ketika kau menanyakan pada abang tentang ingatannya pada seseorang yang bernama Thomas.” Kata Dinda menatap lurus ke arah Tim. “Aku punya intuisi bahwa seseorang yang bernama Thomas adalah orang yang ingin abang lupakan! Entah apa masalah nya dengan orang itu. Tapi kurasa, kau lebih tahu Tim oppa.” Kata Dinda. Menatap serius pria Korea di depannya.
“Aku memang mengetahui ada hubungan apa antara Edgar hyung dan Thomas ssi. Tapi… aku tak bisa menceritakannya padamu. Mian.” Ujar Tim tak terbantahkan. Dinda menunduk dan mengangguk maklum.
“Aku mengerti. Kuyakin itu memang masalah yang sangat berat.” Kata Dinda.
“Oppa! Waktu ku di Korea hanya sebulan atau lebih. Aku di sini hanya untuk memastikan bahwa abang baik – baik saja saat sampai disini. Setelah ia bisa menyesuaikan diri lagi dengan Korea, tugas ku menemaninya selesai dan aku harus kembali ke Indonesia. Aku hanya minta satu hal padamu…” Dinda menatap penuh harap pada Tim. “Maukah kau menjaganya?” Tanya Dinda.
“Tentu. Aku akan selalu menjaga hyung.” Kata Tim tersenyum mantap. Dinda tersenyum simpul.
“Tidak. Maksudku…” Dinda menghela nafas pelan. “Maukah kau menjaga Edgar dari masa lalunya? Masa lalu yang telah hilang dari pikirannya? Aku tak mau melihat pikiran abang penuh beban seperti yang terlihat ketika ia pulang ke Indonesia setahun yang lalu. Bisakah kau… melindungi Edgar agar tak mengingat seseorang bernama Thomas?”
Tim terdiam. Cukup lama. Entah mengapa ia merasa bersalah jika harus memisahkan dua pasangan itu. Namun jika pun ia menolak Dinda, itu juga membuatnya merasa bersalah pada adiknya Edgar.
“Aku akan mencoba.” Kata Tim. Hanya itu yang bisa ia janjikan.
-oOo-
.
.
.
.
.
Kosakat:
1. Sonsaengnim (Korea) Guru / Pelatih
2. Kimchi Semacam masakan khas Korea yang pedas. mau tahu? tanya mbah google.
sudah mengenal lama .” Gumam
Thomas. Ya, seperti sudah mengenal
lama…
itu maksudnya Edgar kali ya?^^
Karakter Thomas cocok sama first movement Moonlight Sonata. Seperti Beethoven yg ingin mengubur masa lalunya..
Nice..^^
Oh iya... hehehe... :P. udah aku edit. kalo ada yang typo lagi tolong kasih tau lagi ya...
niat hati tak ingin sang kakak terbebani tapi yg terjadi justru sebaliknya, takdir sang ts mempertemukan mereka sang beban pikiran telah kembali,,
*chayo edmas ganbatte
.... *lanjutin baca*
SEONsaeng bukan SEsaeng. Seonsaeng adalah guru. Dipanggilnya seonsaengnim.
Saat menjawab telfon bukan annyeong, tapi YEOBOSEYO yng berarti halo pada percakapan telfon. Annyeong digunakan pada percakapan tatap muka saja.
Kimchi adalah BUKAN sup. Kimchi rasanya pedas karena dibuat dgn pasta cabe. Sawi, lobak, dan sayur lain dicampur dg pasta cabe yg disimpan di tempayan untuk fermentasi.
Nah, untuk sesama orang Nusantara yg tinggal di Koreapun, embel2 -ssi, -ya/-ah tidak berguna lagi karena budaya Indonesia masih menjadi identitas.
Begitu ajasih hati2 dengan pemakaian budaya beda negara. Bisa saja terlihat keren, tapi kalau salah jatuhnya tuh sakitnya disini *tunjukdada*
juga masalah riset tempat. Gangnam sama cheongdam jauh lho ya. Jgn karena nama2 itu terkenal seenak jidat make itu tempat.
Sekian! Sori kalo pedes, soalnya masih ada yg kurang tepat penggunaannya. Belajar lagi ya! ^^b
hahaha... dimarahin ama anak fanfic.. . tpi biasa aja sih gak bikin sakit disini #Tunjukdada... iya - iya, udah dibenerin, kan?? ~kk~.
Iya, saya tahu Kimchi. tapi gak tahu itu versi indonesianya apaan(?). temen saya bilang itu mirip kayak soto, kakak saya bilang itu mirip kayak asinan(?), ada lagi yang bilang itu mirip kayak pasta. -_- jadinya saya ambil opini saya sendiri, karena berkuah, saya anggap itu sup nya orang korea... -_- #Gampar!Plak!
Gangnam ama Cheongdam emang jauh, makanya saya tempatin kakak beradik itu saling berjauhan tinggalnya....
Oke Ahjussi... ^_^ makasih kripik pedesnya. silakan nikmati kisah selanjutnya kalo masih berminat. ~xoxoxo~
.
do not like, do not read. NO BASH!
.
8. He Is a Monalisa
“Aku masih tidak mengerti kenapa orang mengatakan senyuman Monalisa itu penuh dengan misteri dan membuat bulu kuduk setiap orang berdiri.” Edgar memandang modul kuliah milik seorang teman dengan tatapan memelas. Di sana, di antara rentetan tulisan-tulisan berbahasa asing, sebuah gambar lukisan paling fenomenal milik Leonardo Da Vinci terpampang. Membuat seorang pemuda lain membuat ekspresi begitu sedih di wajah tirusnya. “Haaahhh~ jika dibandingkan dengan wajah ibuku, dia tidak ada apa-apanya.” Kemudian menggeleng pelan.
Seseorang yang sedari tadi berada di sampingnya hanya memandang dengan tatapan tak lebih baik, benar-benar sedih. Pasalnya sudah setengah jam Edgar ‘meratapi’ buku miliknya. Namun yang keluar dari mulut besar tersebut hanya kalimat tidak berguna.
Kenalkan, Kang Dong-Joon. Sahabat Edgar yang lain selain Hwang Young-Min alias Tim. Berbeda dengan Tim, Dong-Joon terlihat lebih pendek namun memilik tubuh yang berisi jika dibandingkan Edgar ataupun Tim. Awal pertemuan nya dengan Edgar adalah karena mereka berada di satu kampus (tentunya) namun berbeda fakultas. Jika Edgar di management, maka Dong-Joon berada di filosofi. Mereka berkenalan secara tidak sengaja saat buku mereka tertukar satu sama lain.
Aneh memang, tapi begitulah yang terjadi!
Alasan Dong-Joon menjadi teman dekat Edgar adalah, Edgar seorang mahasiswa asing sehingga ia membutuhkan orang Korea yang bisa membantunya beradaptasi di tahun pertamanya kuliah. Dan Dong-Joon lah orang Korea yang pertama kali ia kenal, jauh sebelum Tim yang baru ia kenal ketika melamar kerja di Jung’s Café.
Alasan kedua adalah, Edgar ternyata memiliki sisi pria yang sangat bawel apalagi mengenai sejarah dan filosofi. Ia selalu berkomentar mengenai sejarah yang tidak ia mengerti. Contohnya apa yang indah dari sebuah sastra klasik orisinil seperti Romeo dan Julia karangan Shakespeare jika bahasanya membuat mata berat.Bukan kah lebih baik jika disampaikan secara lugas sesuai bahasatren anak muda masa kini?
Atau…
Faktanya, orang yang pertama kali pergi keluar angkasa bukanlah Neil Amstrong! Tapi seekor anjing bernama Laika! Itu membuktikan bahwa ternyata anjing lebih maju daripada manusia. Buktinya saat Amstrong mencapai bulan, Laika sudah bisa mencapai Mars untuk pertama kali.Benarkah?
Dan yang ketiga adalah ucapannya sekarang mengenai lukisan Monalisa.
Aneh bukan?! Saat bersama Tim, Edgar sering menjadi korban kejahilannya. Namun ketika bersama Dong-Joon, justru Edgar lah yang menjadi gila dan sok jenius.
Namun begitulah sifat Edgar yang sesungguhnya. Setidaknya sebelum ia bertemu dan mengagumi seseorang yang sering duduk di meja dekat jendela Jung’s Café dengan membawa buku gambar dan pensil tanpa membuat sebuah karya. Dan juga dengan teh gingseng yang mengepulkan asap di iringi musik Moonlight Sonata pada pagi dingin di Seoul. Yup, Edgar berubah menjadi sosok yang pendiam dan melankolis ketika jatuh cinta pada Thomas.
Tapi… sekarang tidak ada orang itu di pikarannya, kan? Jadi kita biarkan Edgar kembali ke alter ego nya yang dulu.
Dong-Joon mengunci pandangan pada pria gila di sebelahnya. Matanya menyiratkan sebuah raungan seperti ‘Kau gila?! Bagaimana bisa membandingkan senyum ibumu yang menakutkan itu dengan Monalisa?!’ Begitu intens.
“Wae? Kau tahu ibuku, kan?” Edgar menyadari dirinya yang ditatap aneh. Matanya menyipit, sambil wajahnya didekatkan pada teman belajarnya saat itu, berusaha menunjukkan raut keseriusan, namun lebih terlihat seperti ekspresi seseorang yang sedang diare. “Senyumnya itu… kau tahu? Aku, adikku dan mendiang ayahku seperti sedang dalam bahaya. Begitu banyak kejutan di balik senyuman itu.” Edgar mengucapkannya sambil berbisik untuk menambah kesan ‘horor’ dengan pernyataanya tadi.
Dong-Joon diam sambil menaikkan sebelah alisnya. Ia sedikit menjauh saat dirasakan wajah Edgar hampir menempel di wajahnya.
Mengerjap…
“Edgar yah,” panggilnya.
“Hmm?”
“Ibumu tidak tersenyum. Dia mungkin—menyeringai.”
“Huh?” Edgar seperti tersadar. Ia terlihat berpikir.
Pemuda itu langsung menghela napas. “Kau benar. Selama ini yang bersikeras ibuku suka tersenyum adalah dirinya sendiri.” Ujar Edgar sambil mengagguk lemah. Ia kemudian kembali menatap modul filosofi milik Dong-Joon. Menatap gambar monalisa
“Aaaahhhh!” Edgar tiba-tiba berteriak. “Aku sudah tidak tahan. Apa-apaan profesormu itu?! ‘Selami matanya hingga titik terdalam, kalian akan menemukan rahasia itu.’ Sudah kulakukan! Tapi aku justru merasa ingin mimisan sedari tadi. Memangnya apa yang bisa dilihat dari matanya?!” Telunjuknya menghentak-hentak keras tepat di atas gambar lukisan yang sedari tadi menjadi sumber masalah bagi akal sehat Edgar untuk bekerja.
“NAH!”
Dong-Joon, pemuda tampan bertubuh sekel di sebelahnya hanya merubah wajahnya menjadi terkejut. Walaupun sudah biasa teman dekatnya bertingkah seperti pengidap epilepsi seperti ini, tetap saja ia tak bisa setiap saat waspada. Seperti saat ini. Dong-Joon hampir terjungkal karena teriakan Edgar.
Dong-Joon menggelengkan kepala ketika ia membiarkan Edgar kembali menyelami modul nya. Ia hanya tersenyum melihat tingkah aneh teman dekatnya yang seperti jenius gila. Bagaimanapun, Edgar termasuk orang yang jenius karena ia mampu mendapatkan beasiswa untuk belajar di sekolah favorit Korea ini. Menjalani program magister pula!
Seoul National University memang menjadi incaran mahasiswa luar negeri. Selain kurikulum umum nya bertaraf internasional, universitas ini juga mencanangkan pengajaran mata kuliah menggunakan bahasa Inggris. Wajar saja banyak mahasiswa luar negeri yang berseliweran selain Edgar.
“Kang Dong-Joon, apa kau tidak berpikir hal yang aneh dari lukisan perempuan ini?” Tanya Edgar mengamati dengan mimik serius.
‘Dia mulai lagi’ Batin Dong-Joon dalam hati.“Aneh apanya?” Kini ia sedikit menggeser tubuhnya ke samping Edgar. Ikut melihat lukisan Monalisa.
“Matanya~”
“Kau bilang tak lihat apa-apa dari matanya!” Protes Dong-Joon.
“Justru itu. Apa kau tidak berpikir bahwa matanya tidak memandang siapapun?”
Dong-Joon menggeleng. Ia masih berusaha untuk dapat melihat apa yang dilihat Edgar. 'Matanya? Apanya yang aneh?'
“Aku rasa—Lisa ahjumma ini… buta.”
Dong-Joon menatap aneh pada rekannya. Sedetik kemudian ia langsung mengambil modulnya agar otak Edgar tidak menggila lagi dan tidak lupa ia menjitak kepala Edgar.
“Jangan mengada – ada.” Kata Dong-Joon datar namun galak. Edgar meringis sambil mengusap – usap kepalanya.
“Auch! Aku hanya menyampaikan apa yang ku pikirkan hyung!” Kata Edgar seolah merasa benar dengan teorinya bahwa Monalisa itu buta. Tunggu dulu… 'buta?! Ia jadi teringat pada seseorang'.
Sedang apa dia sekarang?
“Hyung, kau bawa mobil, kan?” Tanya Edgar yang kini mimiknya berganti serius. Dong-Joon mengangguk.
“Boleh kupinjam?”
-oOo-
‘Kenapa sepi sekali?’
Ujar Edgar dalam hati. Edgar akhirnya memutuskan untuk datang lagi ke tempat pria buta yang beberapa hari lalu ditemuinya tanpa sengaja. Entah untuk apa ia menemui pria itu tapi semenjak hari itu, ada rasa rindu menelusup kedalam kalbunya.
Rindu? Apa benar?
Ia kembali memperhatikan sekeliling. Satu deret perumahan itu memang cukup sepi. Sepanjang jalan ini hanya ada beberapa rumah penduduk serta taman yang memang sengaja didirikan di sebelah flat Thomas. Entah kemana semua orang, semuanya sangat sepi dan sepertinya flat yang di tujunya juga tak ada tanda – tanda kehidupan disana.
Edgar menghentakkan kakinya kesal. Padahal ia sudah bersusah payah meminjam mobil dari Dong-Joon yang pelit nya minta ampun. Untung akhirnya Dong-Joon mau memberikannya dengan bayaran bahwa Edgar harus membantunya menyelesaikan tugas yang diberikan oleh profesor. Dan parahnya lagi, Dong-Joon berasal dari fakultas yang dimana Edgar tidak berkecimpung disana!
“Sial!” Rutuk Edgar menggunakan bahasa Indonesia. Hal yang biasa dilakukannya ketika ia sedang sebal.
Ia kembali menuju mobil yang sengaja di parkir di depan flat Thomas. Segera ia membuka handel dan memasang sabuk pengaman serta menyalakan mesin mobil. Edgar menghela nafas. Ia tak bisa berbuat apa – apa jika ternyata orang yang dicari tidak ada dirumah. Dengan semangat turun, ia menginjak pedal gas dan pergi.
Mobilnya melintasi sebuah kawasan pertokoan di Cheongdam-dong. Kebetulan sekali itu adalah tempat dimana ia dan Thomas pertama kali bertemu. Kawasan pertokoan itu banyak di isi oleh toko kelontong dan beberapa supermarket. Dan disana juga ada sebuah toko bunga yang tepat berada di perepatan jalan.
Seseorang keluar dari sana.
'Tunggu! Itu, kan…?!'
“Thomas ssi.” Gumam Edgar mendapati pemuda itu tengah berjalan perlahan dan lagi – lagi tanpa tongkat. Edgar langung memutar mobilnya dan memarkirnya di bahu jalan yang kebetulan saat itu sedang sepi. Dengan sedikit berlari, ia menghampiri Thomas yang baru saja keluar dari toko Bunga itu.
“Thom! Thomas ssi!” Panggil Edgar sambil menghampiri Thomas.
Merasa namanya ~ walau tak yakin ~ disebut, kepala Thomas langsung bergerak-gerak gelisah.Terkejut lebih tepatnya. ‘Siapa?’ begitulah kira-kira yang ada didalam kepalanya. Orang itu memanggilnya dengan menggunakan bahasa Korea. Detik berikutnya, ia merasa lengannya disentuh.
Lengan ini… sentuhan ini… apakah dia datang lagi?!
Thomas segera menjauhkan tangannya dari orang tersebut dan tatapannya berubah penuh amarah. Sontak itu membuat Edgar terkejut.
“E…Eliana! Itu kah kau?!” Gumam Thomas. Edgar makin tidak mengerti.
“Eliana?! Siapa itu? Ini aku! Edgar! Yang lusa kemarin mengantarmu dari Cheongdam-dong.” Kata Edgar menjelaskan. Kali ini menggunakan Bahasa Indonesia. Mendengar itu, Thomas langsung terhenyak. Entah mengapa ia jadi salah tingkah kala telah salah mengenali orang.
Seharusnya ia sadar dari suara Edgar yang memanggilnya!
“Up… Edgar ssi. Maaf, kupikir kau… orang lain.” Kata Thomas sambil membungkuk yang tentu saja salah arah.
“Siapa itu Eliana?” Entah mengapa pertanyaan itu yang di lontarkan oleh Edgar. dan aneh nya lagi, Edgar merasa dejavu dengan nama itu. Thomas tentu saja terdiam karena ia tak ingin membahas orang itu. Namun semua ini tentu saja karena kesalahannya menyebut nama orang secara tiba – tiba.
“Dia… hanya bagian dari masa lalu yang ingin ku lupakan.” Kata Thomas sendu. Namun Edgar dapat merasakan kesedihan itu. Kesedihan yang membuat berlian itu di tutupi kabut. Dan kata – kata itu; masa lalu yang ingin dilupakan! Apakah itu ada hubungannya dengan filosofi kanvas kosong yang di buat Thomas mengenai kehidupannya?
“Mau apa kau?” Sontak pertanyaan itu membuat Edgar tersadar dari lamunannya.“Apa yang membuatmu datang kemari? Ingin membeli bunga?” tanyanya begitu sopan dengan tatapan tegas yang membuat Edgar salah tingkah.
Edgar mengerjap dan menggeleng, fantasinya seperti diputus begitu saja dengan paksa. “O-oh… itu… aku tidak sengaja lewat sini… dan ingat padamu. Jadi… aku mampir. Kupikir tadi tidak ada orang di rumah. Sepi sekali. Tidak kusangka ternyata kau keluar dari kios ini.” semakin banyak kalimat yang keluar itu bagus untuk perlahan menekan degup jantungnya agar kembali normal. “Apa yang kau lakukan?” walupun kembali pertanyaan bodoh yang keluar. Payah kau, Ed!
“Aku?” Thomas tersenyum. “Hmm…aku bekerja disini.” Tangannya yang tanpa navigasi menunjuk sekitar tempat itu. Bunga-bunga indah dengan berbagai warna dan aroma menyejukkan seperti lamb’s ear dan lavender. Sepertinya tengah menjual berbagai bunga khas winter.
“Oh…” sahut Edgar pendek. Ia tak tahu harus mengucapkan apa lagi karena hatinya sibuk merutuki kebodohan pertanyaan tadi.
“Oh?” Thomas menyelidik. “Hanya itu?”
Edgar menghela napas, “Aku pasti terlihat bodoh lagi, ya?” Akhirnya Edgar memutuskan untuk tidak menahan sikap lagi. Menjadi ‘berhati-hati’ sama sekali bukan dirinya. “Maafkan aku.”
Hey, jangan lupakan jemari Edgar yang masih menyentuh lengan maskulin milik Thomas. Thomas pun tak berusaha melepaskannya. Dan itu berarti, ia tak keberatan. “Aku tidak bisa melihat, Edgar ssi. Jadi kau tak perlu khawatir akan perubahan wajah tampanmu itu.” Ujar Thomas sambil tersenyum lagi.
“Eh? Kenapa kau bisa tahu kalau aku tampan?” Ya Tuhan, Edgar!
Thomas tertawa kecil. “Seseorang yang baik sepertimu pasti tampan. Aku benar, kan?”
Edgar ‘sumringah’ mendengar pernyataan tadi.
“Eeeeyy~Thomas, kau membuatku malu.”
“Edgar ssi—“
“Hey, jangan panggil aku seperti itu lagi. Kau juga tidak perlu bicara seformal itu padaku. Bukankah umur kita sama? Buat dirimu nyaman. Lagipula kenapa kita tak gunakan bahasa Indonesia saja?! Dengan begitu kita bisa ngobrol dengan santai dan…Oh, Thom mian… aku tidak bermaksud lancang…” Edgar kikuk.
“Bukankah dirimu sendiri yang tidak nyaman bicara denganku. Lihat saja… sebentar-sebentar kau sudah mengatakan ‘maaf’. Tidak lelah?” Kini Thomas yang sudah mulai tidak canggung dengan keadaan diantara mereka. Mendengar pernyataan itu, Edgar terperanjat dan menggaruk – garuk belakang kepala nya yang tidak gatal. Seolah ia tersadar bahwa sesungguhnya dialah yang sedari tadi tidak nyaman. Setidaknya sejak Thomas memanggilnya dengan nama ‘Eliana’.
“Nngg… Mian…” Lagi – lagi Edgar meminta maaf dan membuatnya harus memukul – mukul kecil bibirnya. Thomas tersenyum.
“Geurae! Haebooja ! ("Baiklah! Kita lakukan saja!"—banmal/informal)” Thomas berseru riang. Hal ini membuat pemuda yang ada di dekatnya berbunga-bunga. Oke! Tidak seberlebihan itu, hanya saja… Edgar sangat bahagia. Sejenak ia melupakan apa tujuannya datang menemui Thomas. Terjebak dalam kepolosan hatinya yang mungkin akan membuat seorang lelaki tunanetra bersarang lama di hatinya yang paling dalam. Tentu saja Thomas terlalu bodoh untuk menyadarinya saat ini. Pria itu cukup tahu bahwa saat bersama seorang bernama Thomas Dhirgantara, dia bahagia. Mudah kan?
“Jadi, apa yang membuatmu datang kerumahku?” Tanya Thomas. Edgar seketika tersadar bahwa ia tengah punya tujuan untuk apa ia menemui Thomas bahkan sampai harus meminjam mobil Dong-Joon.
“Nnng… apa kau masih bekerja?” Tanya Edgar.
“Tidak. Sekarang sudah saatnya aku pulang.” Jawab Thomas.
“Bagus! Mau menemani ku?” Tanya Edgar. Thomas mengernyitkan dahi.
“Kemana?”
“Kau akan tahu.” Kata Edgar penuh rahasia dibalik senyumnya. Thomas tampak ragu.
“Sudah, kau ikut saja.” Bujuk Edgar ketika melihat Thomas meragu.
“Tapi, kakakku menyuruhku untuk tidak pulang terlambat.” Kata Thomas.
“Hey, hey! Kita ini sudah dewasa. Jadi seharusnya kita sudah bisa menentukan sendiri apa yang mau kita lakukan, kan?” Kata Edgar sambil merangkul pundak Thomas. Thomas berpikir sejenak. “Ayolah. Lagipula aku bawa mobil.” Kata Edgar.
Sesaat kemudian, Thomas mengangguk.
-oOo-
Lotte World, salah satu tempat rekreasi ternama di Seoul, Korea Selatan. Tempat ini terdiri dari taman bermain didalam ruangan (indoor) terbesar di dunia (hingga masuk dalam Guinness World Record). Lotte World ini terbuka sepanjang tahun, selain taman bermain indoor juga terdapat taman bermain di luar ruangan (outdoor) taman hiburan tersebut disebut dengan sebutan”Magic Island”, sebuah pulau buatan di tengah-tengah danau yang dihubungkan dengan jalur monorail.
“Ouch, mian!” Thomas mengaduh kesakitan. Tidak sengaja ia menabrak beberapa… oke… banyak orang yang saat itu sedang berekreasi disana.
“Auh! Mian.” Ini sudah kesekian kalinya ia menabrak orang. Seharusnya ia tak ketempat ramai seperti ini! Oh tidak juga, sebenarnya ia yang sering ditabrak karena kecanggungannya dalam berjalan.
Edgar mengahmpir Thomas yang kerepotan berjalan. “Kenapa tidak bawa tongkat saja, sih?!” Protes Edgar. ia kemudian menggiring Thomas untuk menjauh dari tengah – tengah keramaian. Hari ini lagi – lagi Thomas sengaja tak membawa tongkat. Seperti saat mereka bertemu pertama kali waktu itu.
“Aku hanya ingin… terlihat sama.” Kata Thomas.
“Sama?!” Edgar mengernyitkan dahi.
“Aku tak ingin orang lain bersimpati kepadaku karena kebutaanku.” Ujar Thomas datar. Edgar masih bingung. Namun untuk sesaat sebuah kesimpulan membuatnya sadar apa yang tengah di rasakan Thomas. Setidaknya bersama Thomas beberapa hari ini telah membuatnya sadar apa yang sebenarnya Thomas rasakan.
Kanvas itu… cerita itu… masa lalu itu… si Eliana itu… simpati itu…
“Biar kutebak! Kau pernah sakit hati hingga kau merasa kau tak perlu percaya pada siapapun?! Bahkan… apapun.” Tanya Edgar skakmat.
Thomas terdiam. Kalimat itu kurang lebih telah membuat pria itu terhenyak. Apakah begitu transparan sehingga Edgar yang orang baru sekalipun bisa membacanya. Apakah ia terlalu banyak memberikan Edgar petunjuk mengenai hidupnya sehingga seorang Edgar dapat menyadarinya?
Lalu apa yang terjadi setelah ini? Hidupnya sama seperti kanvas ketiga, tidak bisa membayangkan keindahan masa depan.
“Aku… ingin pulang.” Thomas hendak berbalik meninggalkan Edgar disana. Namun Edgar menahan lengan Thomas. Ia sadar bahwa kata – katanya telah membuat makhluk rapuh itu salah tingkah.
“Thomas. Kumohon, lupakan saja semuanya…” Kata Edgar berbisik namun dapat didengar secara peka oleh Thomas. “Hari ini… hanya hari ini… biarkan kuganti semua penderitaanmu dengan keberadaan diriku.” Gumam Edgar. Thomas hanya terdiam. Tak berbalik dan tak bereaksi.
“Thom…” Edgar menarik pelan lengan Thomas. Membuat tubuh maskulin itu berbalik meski masih tetap menunduk. Seolah ia tak ingin ada orang lain tahu kesedihannya. “ Thomas… sekarang biar aku yang jadi penuntunmu…” Edgar membujuk dan meletakkan lengan Thomas di tangannya. Namun Thomas tak bereaksi sama sekali.
“Percayalah padaku…” Kata itu. Hanya kata itu! Namun itu membuat Thomas seolah mendapatkan harapannya. Thomas menghela nafas dan menggenggam erat pergelangan tangan Edgar. membiarkan pria itu menuntunnya kemanapun ia pergi.
-oOo-
“AAAAAAA!!!!”
Thomas dan Edgar berteria sekencang – kencangnya ketika mereka menaiki wahana perahu Viking. Wahana yang dibuat seperti perahu raksasa dan bergerak maju mundur seperti ayunan raksasa. Yang menjadi daya tarik permainan ini adalah dapat memicu adrenalin dan histeria karena kecepatan dan ayunan yang sangat besar.
Kedua pria itu berteriak sekeras – keras nya bersama dengan pengunjung lain. Meneriakkan dengan semua kekuatan yang mereka punya dan membiarkan tubuh mereka lelah karena adrenalin namun menghilangkan segala penat dan beban.
“Edgar! aku merasa ada gelembung di perutku!” Kata Thomas sambil tertawa,sesaat setelah mereka turun dari perahu Viking.
“Oh tidak! Jangan muntah dulu, Thom. Petualangan kita belum selesai.” Kata Edgar semangat.
Benar saja, mereka tidak hanya menaiki perahu Viking, tapi juga ikut merasakan ketegangan naik roller coaster, ketegangan masuk ghost house (Meski hanya Edgar yang berteriak, sementara Thomas hanya terkejut mendengar teriakan Edgar), menaiki tornado, dan juga merasakan gyro drop (Di dufan namanya hysteria).
Namun satu hal yang pasti, kemanapun mereka pergi, Thomas tak pernah melepaskan tangan Edgar.
-oOo-
CTAK!!
“Oh, sialan!” Edgar merutuk menggunakan bahasa Indonesia. Ia bergumam pelan karena sasarannya tak juga di dapat. Kali ini mereka bermain tembak sasaran. Yakni menembak sebuah hadiah yang berputar – putar di seberang sana dengan menggunakan senapan (yang pelurunya adalah bola pingpong).
“Apa kau mendapatkannya?” Tanya Thomas yang berdiri di sebelahnya. Edgar mendengus.
“Nnng…sasarannya terlalu jauh.” Edgar beralasan.
CTAK!
“Kyaaa!! Aku mendapatkannya!”
Kedua pria itu mendengar suara seorang wanita yang berteriak kegirangan tepat di sebelah mereka. Ia berhasil menembak sasaran dengan sempurna dan mendapat sebuah boneka. Wanita itu langsung memeluk pria yang sepertinya adalah kekasihnya. Edgar salah tingkah. Thomas hanya tersenyum mendengarnya.
“Kurasa orang itu mendapatkannya.” Kata Thomas sambil tersenyum.
“Nnnng… mereka hanya mendapatkan boneka binatang yang jelek.” Kata Edgar masih mencoba berkilah. Kenapa ia harus payah di depan Thomas?!
“Aku ingin mendapatkan gelang lonceng itu untuk mu.” Lanjut Edgar sambil menatap sebuah kotak putih. Thomas tersenyum.
Ia mengokang kembali senapannya dan menekan pelatuknya.
CTAK!
Sekali lagi ia gagal. Edgar mendengus mengakibatkan nafasnya mengeluarkan asap karena hawa dingin di Seoul. Musim dingin akan segera mencapai puncaknya!
Thomas menahan tawa. Ia tahu pasti Edgar gagal lagi dalam permainan itu. Namun ia tak mungkin menertawai nya.
“Ahjussi, aku minta peluru lagi! Cepat!” Kata Edgar sambil mengeluarkan beberapa uang logam. Ia cukup kesal sehingga ia menjadi tak sabaran. Itu terdengar dari kata – katanya.
Paman penjaga toko memberikan tiga peluru bola kepada Edgar. Edgar lansgung memasukan salah satu bola itu dan kembali mengokang senjata. Ia membidik dan siap menarik pelatuk.
CTAK!
Gagal lagi.
“Kenapa aku payah sekali!” Rutuk Edgar dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tentu saja Thomas mengerti dan itu membuat Thomas tertawa.
“Tak ada yang lucu, Thom!” Sungut Edgar kesal.
“Aku juga.” Gumam Thomas.
“Hm?” Edgar tak mengerti.
“Aku juga ingin mencobanya.” Kata Thomas menjelaskan. Edgar menaikkan sebelah alisnya. Ia cukup ragu dengan apa yang di katakana Thomas barusan. 'Memangnya bisa?'
“Kenapa tidak menjawab? Apa tidak boleh?” Tanya Thomas. Ia memasang gloomy face sambil mem-pout kan bibirnya.
“Nnng… tentu. Kemarilah.” Kata Edgar akhirnya. Thomas tersenyum ketika Edgar menuntunnya untuk berdiri di depan senapan.
“Ini dia.” Edgar memberikan senapan itu pada Thomas. Edgar membantunya dari belakang dan membimbing Thomas memegang senapan. Seketika Thomas mencium bau papermint yang sangat segar dari tubuh Edgar. Aroma yang menyegarkan!
“Aku yang mengarahkan, kau yang menembak!” Kata Edgar sambil mengokang senapan itu di depan dada Thomas. Dengan jarak sedekat ini, bisa dilihat bahwa ternyata Thomas lebih tinggi sedikit dari Edgar. Edgar tersenyum kecut. Pasalnya Tim pernah bilang bahwa ia sudah lebih tinggi sekarang. Tapi di dekat Thomas, entah mengapa dia tetap saja tampak pendek.
“Pegang disini.” Kata Edgar sambil mengarahkan jari Thomas ke pelatuknya.
“Tarik yang ini?” Tanya Thomas ketika jarinya merasakan bagian pelatuk.
“Nee…” Jawab Edgar.
“Siap. Mari kita coba.” Bisik Edgar. “Jangan kecewa jika kita tak mendapatkannya.” Kata Edgar menatap fokus ke arah sasaran. Thomas terlihat tegang.
“Siap…” Thomas berdebar. Edgar memberikan aba – aba. “Tarik!”
CTAK!
Sebuah kotak terjatuh dari papan sasaran!
Edgar terdiam. Matanya membelalak tak percaya. Thomas menunggu respon Edgar karena ia tak tak tahu apa yang tengah terjadi.
“Wah…” Hanya itu yang mampu Edgar ucapkan.
“Apa… kita mendapatkannya?” Tanya Thomas.
“Kita berhasil.” Kata Edgar sambil tersenyum.
“Su… sungguh?!” Thomas terbelalak tak percaya. Bibirnya mengguratkan tawa. “Kita benar – benar mendapatkannya?!” Tanya Thomas untuk meyakinkan dirinya.
“Ya.” Kali ini Edgar tertawa. Thomas pun ikut merasa ceria karena ia berhasil menembaknya. “Kau berhasil! Kau hebat!” Lanjut Edgar sambil mengusap – usap bahu Thomas.
“Aniyo! Kita yang berhasil.” Koreksi Thomas. Edgar tersenyum memandang wajah yang kini tampak ceria itu.
-oOo-
Triiingg…
Thomas menggerak – gerakkan gelang yang baru mereka dapatkan itu. Gelang yang di kepalanya terdapat sebuah lonceng kaca kecil yang ternyata sangat nyaring dan indah bunyinya. Ia terus membunyikan lonceng itu tanpa bosan seolah itu adalah lagu paling indah yang pernah ia dengar.
Mereka sekarang berada di sebuah bianglala. Sebuah kincir raksasa di luar ruangan wahana bermain Lotte World. Dalam bilik itu, hanya mereka berdua yang tengah duduk lelah di dalam kincir raksasa menikmati sisa – sisa tenaga setelah seharian bermain. Tadinya mereka ingin segera pulang. Namun tidak ada salahnya beristirahat sebentar, kan?
Posisi mereka berada di 25 derajat dari titik terbawah. Atau dengan kata lain, bilik mereka tengah menaiki posisi teratas.
“Kau suka dengan gelang itu?” Tanya Edgar di samping Thomas.
“Aku suka dengan suara lonceng nya.” Jawab Thomas. Ia kemudian menghela nafas ketika kembali ia dendangkan suara lonceng itu.
“Ini, untukmu saja.” Kata Thomas sambil memberikan gelang itu. Edgar mengernyitkan dahi.
“Tapi… aku memberikan lonceng itu untukmu.” Kata Edgar.
“Aku tahu.” Jawab Thomas. “Setidaknya jika kau memakai gelang ini, aku bisa tahu dimana kau berada. Dan dengan itu, aku takkan kehilangan seorang penuntun lagi.” Kata Thomas. Edgar terhenyak. Sebuah kata – kata romantis keluar dari bibir itu. Dari bibir yang selalu menggoda Edgar untuk melumatnya.
"Aish, kau hanya menganggapku sebagai seorang 'penuntun' saja?!" Edgar berpura - pura marah. Thomas tertawa mendengarnya.
Lagi – lagi, ia merasa dejavu.
Edgar menerima pemberian Thomas. Ia memakai gelang itu di tangan kirinnya. Dan kemudian dengan sekali gerakan tangan, lonceng itu berbunyi.
Triinng… triiinng…
“Bagus. Setidaknya aku takkan merasa kehilanganmu jika mendengarnya.” Kata Thomas. Sesaat kemudian, ia merebahkan kepala di pangkuan Edgar. Edgar berdebar, tak dapat berucap. Entah mengapa perasaan yang aneh itu kembali menelusup. Perasaan yang tidak bisa diketahui oleh Edgar. “Aku tidak ingin kehilangan lagi.” Kata Thomas sambil memejamkan matanya. Namun suara tadi terdengar bergetar.
Tidak! Thomas tak boleh sedih lagi!
Edgar membiarkan Thomas menaruh kepalanya di pangkuannya. Sementara tangannya mengusap lembut bahu dan kepala Thomas. Membiarkan pemuda itu merasa nyaman di dalam pangkuannya.
“Aku lelah. Lelah sekali.” Kata Thomas. Suaranya kini semakin merendah. Sepertinya ia mengantuk. “Kau tahu beberapa orang buta tidak pernah bisa tidur, kan? Karena… saat terbangun hanya gelap yang kami dapat.”
“Kami pikir, kami sudah mati.” Racau Thomas. “Saat terbangun, tak ada bedanya ketika kami mati. Itulah sebabnya beberapa orang buta lebih memilih untuk terjaga ketika ia tidur. Karena sebenarnya kami sudah terpejam.” Thomas merasa matanya kini berat.
“Tapi bersamamu, entah mengapa ku yakin setelah aku terbangun… aku akan tetap hidup.” Kata Thomas. Edgar terdiam. Mengelus pelan tubuh rapuh itu. Membiarkan Thomas terlelap di pangkuannya.
Ya, kau akan tetap hidup hingga masa kini mu tak lagi hampa.
“Kau tahu, sebelum aku menemuimu tadi siang, aku sempat berdebat tentang lukisan Monalisa.” Kini Edgar yang berbicara.
“Oh ya? Ceritakan…” Pinta Thomas dengan mata terpejam dan kesadaran yang mulai hilang.
“Aku disuruh memperhatikan lukisan itu secara seksama dan ada sesuatu yang beda yang kudapat dari Monalisa. Kurasa, Monalisa itu... buta. Sama sepertimu.” Kata Edgar sambil menoleh ke arah Thomas yang mulai terlelap. Namun sepertinya Thomas sama sekali tak tersinggung dengan perihal kebutaannya yang dibahas.
Pelan – pelan Thomas menyentuhkan salah satu jemarinya ke kelopak mata Thomas. Lipatan matanya sedikit bergerak karena merasa sebuah sentuhan. Namun rasa lelap itu masih menguasi Thomas.
“Aku merasa, biasanya seseorang akan digambarkan dalam lukisan memiliki tatapan dengan visi yang tepat di mata orang yang melihatnya. Layaknya pemangsa yang fokus pada mangsanya.” Kata Edgar pelan. Ia seperti bercerita sendiri. Namun ia tak peduli.
“Kurasa aku mulai mengerti dengan kata – kata yang di ucapkan professor; ‘Selami matanya hingga titik terdalam, kalian akan menemukan rahasia itu.’” Edgar berujar sambil menatap mata Thomas yang kini terpejam. Namun ia dapat menembus kelopak yang sedang tertutup rapat itu. Benar – benar hingga titik terdalam.
“Tapi sekarang kurasa… aku menyadari bahwa kau tak mirip Monalisa, sekalipun kau buta.” Ujar Thomas. Ia membelai pipi kasar nan tegas milik pemuda maskulin di pangkuannya itu. Entah mengapa ia selalu berdebar – debar memperhatikan wajah Thomas.
“Karena kini kusadari, ada orang yang sedang kau tatap.”
Bilik mereka dari bianglala itu mencapai titik terpuncaknya ketika kata – kata itu terucap dari bibir Edgar. dengan siluet matahari senja yang menjadi angin segar bagi dua insan di bumi Korea yang membicarakan tentang dalamnya hati.
Triiinng… Triiiinnng… Triiinnngg…
Dan begitulah, hari berakhir~….
-oOo-