It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kata – kata itu berhasil membuat Edgar terpengaruh. Semenjak hari dimana ia bertemu dengan In-Ho, pria formal itu tampak tak terlihat lagi batang hidungnya. Itu adalah hal yang sangat wajar bagi seseorang yang telah ditolak cintanya. Bagaimanapun, bukan salah In-Ho telah jatuh cinta pada Edgar. Tidak pernah ada yang salah dalam hal percintaan.
Namun dalam kasus yang berbeda, Edgar lah yang telah menciptakan sebuah kesalahan seperti yang sering dikatakan Tim dan juga pernah dikatakan oleh In-Ho. Namun apa daya, semuanya sudah terlanjur berjalan. Jikapun harus kembali, ada satu orang yang akan merasa sangat sakit dan menanggung beban untuk berjalan terus atau malah menghentikan perjalanannya!
Kini, Edgar benar – benar berada dalam dilema.
“Kau sudah menipunya dan dia terlihat bahagia bertemu dengan ‘gadis bisu’. Kau harusnya melihat senyumnya yang tak pernah ia tunjukkan tiga tahun belakangan ini.”
Teringat kata – kata Senja malam itu. Apakah Thomas benar – benar bahagia bertemu dengannya? Bertemu dirinya sebagai Eliana?! Entah bagaimana responnya kemudian jika ia tahu bahwa Edgar adalah seorang pria!
“Noona…noona…!!” Edgar terkesiap. Bahkan lamunannya dapat membuatnya lupa bahwa saat itu ia sedang berada di Jung’s Café. Mengingat ini adalah hari libur untuknya, jadi ia bisa menemani Thomas seharian.
Suara Thomas menghentak Edgar. Nyaris saja Edgar berkata ‘nee’ sebelum detik kemudian ia sadar bahwa ia sedang menjalani lakonnya sebagai gadis bisu.
Edgar menyentuh tangan Thomas. Seolah berkata ada apa memanggilku?
“Noona baik – baik saja? Sedari tadi kupanggil tapi noona tidak menjawabnya. Kupikir noona sudah pergi entah kemana tanpa sepengetahuanku.” Kata Thomas. Tampak sekali wajahnya menyiratkan raut cemas.
Aku masih disini. Jawab Edgar dengan membuat sentuhan – sentuhan ditangan Thomas. Thomas tersenyum.
Dan saat itu pula baru disadari betapa lepasnya senyum Thomas. Betapa ia tersenyum tanpa beban dan itu terlihat dari sorot matanya yang tak dapat melihat. Berbeda sekali dengan Thomas beberapa minggu lalu yang selalu datang ke Jung’s Café dengan raut wajah kesedihan. Benar kata Senja, Thomas sudah banyak berubah. Karena Edgar. Karena kebohongannya!
“Noona, sepertinya noona banyak pikiran. Jika tidak keberatan, maukah kapan – kapan noona menuliskan sebuah surat lagi untukku dan menceritakan semua masalah noona didalamnya. Aku bisa menjadi tempat curhat yang baik.” Tawar Thomas. Edgar hanya tersenyum membalasnya.
Sunyi.
Seolah mengatakan bahwa saat itu bukan hanya otak Edgar saja yang dipenuhi pikiran. Namun Thomas juga dipenuhi oleh kekhawatiran dan kecemasan. Entah mengapa, saat ini jantungnya makin berdegup kencang.
“Noona… ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu.” Kata Thomas gugup. Edgar mengangkat sebelah alisnya dan menyentuh pundak Thomas seolah berkata apa? Katakana saja.
Thomas menelan ludah. Air mukanya menegang seolah ia takut pada respon yang akan terjadi selanjutnya.
“Noona… aku…” Thomas menelan ludah sekali lagi. Membuat Edgar terbawa suasana paling berdebar. “Aku memang tak sempurna. Aku bahkan tak bisa menjadi mata untukmu melihat masa depan atau menuntunmu dikala kau sedang dilanda masalah. Seperti… sekarang ini!
Tapi… satu hal yang ingin kukatakan padamu adalah… hmmm… sepertinya… aku jatuh cinta padamu.”
DEG!
Darah Edgar serasa berdesir. Ia sungguh tak menyangka bahwa hari ini akan tiba juga. Secepat ini!
“Aku hanya takut ketika namja itu sadar siapa kau sebenarnya, dia akan sakit hati dan meninggalkanmu. Tapi… kau lah sebenarnya yang akan lebih merasakan sakit hati daripada dirinya! Ak hanya takut, jika kebohonganmu terus dilakukan, akan berdampak buruk bagi dirinya dan terutama dirimu!”
Terngiang lagi kata – kata tegas dari In-Ho waktu itu. Kekhawatirannya menjadi sebuah kenyataan. Kenyataan yang membuatnya tak bisa berkata – kata bahkan sekedar untuk mengelak.
“Aku tahu ini terlalu cepat. Bahkan kalau boleh jujur aku juga tak ingin terlalu cepat percaya pada orang…” Thomas melanjutkan kata – katanya. Tak menyadari perubahan mimik wajah pada Edgar. “Tapi… kau telah memberikan pelangi itu padaku! Akhir – akhir ini kau sudah memberikan banyak warna dalam ruang gelapku dan aku tak ingin kehilangan itu. Aku ingin warna – warna itu tetap bisa kulihat ketika kau menciptakannya. Dan…”
Thomas merogoh sakunya. Disana, ia mengeluarkan sebuah kotak merah berbentuk hati. Edgar menelan ludah. Ia tahu pasti apa yang ada didalamnya.
Sebuah cincin putih nan indah tergeletak disana! Cincin yang sangat menawan seolah itu adalah sebuah lambang cinta suci dari pemberinya. Betapa beruntungnya orang yang bisa memakainya di jari manisnya.
“Maukah kau menjadi pacarku?” Thomas berkata dengan penuh harap sambil menyodorkan kotak kecil yang berisi cincin itu ke hadapannya. “Ini tidaklah seberapa dibandingkan rasa suka ku kepadamu.”
Edgar menatap kotak itu dengan mata yang mulai nanar karena airmata telah menumpuk di ujung kelopak matanya. Satu kedipan saja akan berhasil membuat airmata itu terjatuh. Ia begitu merasa bersalah karena telah membuat seseorang jatuh cinta kepadanya lewat sebuah kebohongan!
“Jika aku sudah lama mengagumi hanya lewat jarak, maka bisa dekat dengannya dan tahu namanya saja adalah sesuatu yang langka, bukan? Jika pun kau berkata jujur, apakah bisa menjamin bahwa dia tidak akan membenci dan menjauhimu?”
Kata – kata Tim mengisi ruang otaknya.
Tidak! Ia tak ingin membangun sebuah percintaan dengan kebohongan! Bagaimanapun, dia bukanlah manusia yang tak punya hati! Yang membiarkan pasangannya hidup dalam kebohongan terburuk dan memanfaatkan kecacatannya!
“Noona…” Panggil Thomas harap – harap cemas. Tak menyadari bahwa tetes air mata telah jatuh disana.
Dengan perlahan, Edgar menggenggam tangan Thomas yang menunggu dengan kedua tangannya. Menyentuh lembut dan dengan sangat pelan menutup kembali kotak cincin itu. Membuat Thomas membelalakkan matanya. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi beberapa saat lagi!
Benar saja! Tangan Edgar mendorong pelan kotak itu untuk menjauhinya. Mengembalikannya pada Thomas tanpa mengambil benda yang ada didalamnya. Sekuat tenaga ia menahan sesenggukannya agar tidak dirasa getarannya oleh Edgar. Bagaimanapun, ia tak pernah mau tangisannya disadari oleh orang lain!
“Wa… waeyo ?” Tanya Thomas berat. Ia masih belum percaya dengan apa yang di putuskan oleh pria yang disangkanya gadis itu. Ia baru saja menolak Thomas?!
Edgar menggeleng dan menunduk dalam. Ia tahu ini adalah keputusan terbaik. Meski ia sangat menginginkan untuk menyematkan jari manis nya dengan cincin itu, tapi ia tak berhak mendapatkannya! Ia bukanlah orang yang selama ini dicintai Thomas. Ia hanya bayang – bayang dari nama Eliana! Hanya tergoda untuk sebuah rasa penasaran akan orang yang dicintainya. Tapi seharusnya, itu hanya sebuah perasaan yang harusnya tak berbalas! Ia tak mungkin tega membiarkan pria polos seperti Thomas berpacaran dengan seorang gay.
“Mwoya?” Ulang Thomas dengan nada bergetar. Kedua alisnya turun. Seolah merasa bersedih akan keputusan yang dibuat Edgar.
Tidak! Edgar harus pergi dari sini! Sebelum ia meratapi keputusannya dan merubah pikirannya!
Edgar langsung berdiri dan dengan kasar mencoba menghapus airmatanya di pipi. Ia menyenggol kecil meja yang berdiri diantara Thomas dan dirinya dan itu membuat Thomas tersadar bahwa Edgar telah beranjak. Thomas terkesiap.
“Noona! Noona! Mau kemana kau? Kenapa tiba – tiba kau ingin pergi?!” Thomas panik. Tangannya menggapai – gapai udara mencari tubuh Edgar. Ia kira ia sudah kehilangan Edgar karena ia tak mendapati tubuh seseorang disana. Namun tangannya akhirnya menggapai sebuah bahu. Ya, itu bahu Edgar.
“Noona! Jangan pergi. Maaf jika kata – kata ku ada yang salah! Kau boleh menolakku. Tapi kumohon jangan pergi!” Mohon Edgar. Wajahnya tampak kalut.
Tidak! Edgar tidak boleh berada disini lagi! Ia tak mau menyakiti Thomas lebih dari ini lagi! Ia takut ia malah benar – benar terobsesi pada Thomas dan enggan untuk melepasnya! Ia harus melepaskan Thomas sebelum ia benar – benar tak terpisahkan darinya.
Edgar menghempaskan tangan Thomas agak sedikit kasar namun itu membuat Thomas terkejut. Edgar merasa bersalah akan hal itu. Namun tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mempertegas bahwa ia tak bisa lebih jauh lagi bersama Thomas. Ia harus segara pergi dari hidupnya!
Edgar melangkahkan kaki meninggalkan meja. Tak peduli pada tatapan para pengunjung lain yang sedang menonton mereka seolah mereka adalah lakon utama dari sebuah pertunjukkan opera. Bukankah terdengar menarik? 'Pria buta yang dicampakkan'?! Benar – benar sebuah judul yang menjual!
“Noona! Noona!!!” Thomas meraba sekitarnya. Mencari – cari dimana kah gerangan orang yang selama ini telah memberinya warna. Apakah dia benar – benar telah pergi?
Ya! Edgar benar – benar pergi. Tubuh itu kini dengan jelas tengah melewati pintu café. Membiarkan Thomas yang sibuk sendiri mencari – cari keberadaannya. Edgar saat itu merasa ia seperti tokoh antagonis yang tak punya hati!
“Noona! Noona! Eliana!” Thomas meraba – raba sekitar. Kakinya bahkan tersandung meja yang ada di dekatnya. Nyaris terjatuh, namun ia berhasil menjaga keseimbangannya. Tapi karena tak sengaja menendang meja, kotak kecil berisi cincin itu terjatuh. Suara gemerincingnya menyadarkan Thomas bahwa cincinnya telah terjatuh ke lantai.
Akhirnya Thomas meraba – raba lantai mencari cincinnya. Entah ada dimana cincin itu berada. Yang jelas kini Thomas harus sesenggukan menahan tangis, malu dan rasa tidak percaya bahwa kini ia sadar tengah menjadi bahan tontonan. Airmatanya tak terbendung lagi. Ia malu luar biasa dengan keadaannya yang buta. Ia kehilangan orang yang memberikannya warna, dan kini harus menahan rona merah hanya untuk mencari sebuah cincin sialan itu!
Orang – orang memandangnya prihatin namun tak ada satu pun dari mereka yang turun tangan untuk membantunya. Membiarkan tontonan seru mereka menderita sendirian seolah tengah berlakon menjadi Upik Abu yang tengah menderita.
“Tuan, ini!” Seseorang membantunya mencari cincin dan kemudian diserahkan kepada Thomas. Thomas menyadari ada orang di depannya. Ia kemudian meraba – raba ke depan dan mendapati cincinnya dalam genggaman orang tersebut.
“Ghamsahamnida.” Ujar Thomas di sela – sela isak tangisnya. “ Tuan…”
“Tim. Aku pelayan disini.” Jawab Tim cepat. Tentu ia telah melihat apa yang telah dilakukan kawannya sedari tadi. Bahkan kini matanya masih menangkap sosok Edgar yang sempat menoleh kearah mereka dari arah jendela kaca. Ia tak habis pikir kenapa Edgar melakukan hal itu pada orang yang dicintainya?!
“Ini.” Tim menyodorkan sebuah sapu tangan pada Thomas. Thomas menerimanya dan segera menghapus airmatanya. Tim membantu Thomas untuk duduk kembali. Setidaknya bantuan kecilnya tidak terlalu membuat Thomas terluka lebih parah lagi.
-oOo-
Edgar tak tak sanggup lagi membendung air matanya. Betul apa yang dikatakan Senja, ia hanya akan melukai Thomas. Betul apa yang dikatakan In-Ho, ia adalah pihak yang paling merasakan sakit hati.
Edgar mencoba untuk tak menatap lagi ke arah Jung’s Café. Setidaknya Tim ada disana untuk membantu Thomas. Kini Edgar berharap ia tak akan bertemu dengan Thomas lagi akibat malu pada dirinya. Ia adalah tokoh terjahat dalam panggung sandiwara. Memanfaatkan kecacatan, membohongi orang buta, dan kini mencampakannya!
Edgar berjalan menuju jalan Insa-dong. Ia tak bisa berlama – lama disana jika ia ingin memantapkan keputusannya. Setidaknya ia yakin kali ini keputusannya sangatlah benar. Yakni dengan pergi dari hidup Thomas agar orang itu tak mencintainya lebih jauh.
Ditengah – tengah berjuta beban pikirannya, tiba – tiba ponselnya bergetar. Sebuah panggilan! Ia merogoh saku paltonya dan segera mengangkat panggilan tersebut. Nomor dari tanah air.
“Halo?” Jawab Edgar ketika ia mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
“Edgar! Ini… ini Edgar?!”
Terdengar suara parau diseberang sana. Suaranya terdengar samar karena panggilan internasional. Tapi ia tahu itu adalah suara ibunya.
“Ya. Ini Edgar. Ini ibu, kan?” Edgar menjawab setenang mungkin agar tak terdengar habis menangis.
“Edgaarr!!...” Tiba – tiba suara ibunya terdengar histeris. Edgar jadi khawatir karena terdengar suara sesenggukan disana.“Cepat… cepat pulang, nak!”
“Ada apa, bu?” Edgar tampak cemas.
“Ayah… ayah…”
“Kenapa ayah?!”
“Ayah masuk rumah sakit! Cepatlah kembali ke Indonesia!”
Sontak dunia Edgar runtuk untuk yang kedua kalinya.
-oOo-
.
.
.
.
.
Kosakata:
1 Mwoya (Korea) Ke… kenapa?
ada beberapa pertanyaan dan krisar yan belom kejawab ya??
1. @totalfreak : anak ff ya? ketauan jelas udah. haha
me: aku bukan anak ff koq qaqa.... cuman sering baca tapi gak pernah nulis ff. itu juga karakter yg di pake biasku di K-POP #Plak!
2. @diyuna :Juga tentang sinopsis.. agak kurang suka ama cerita yg ujungnya terbaca didepan... Tapi kayaknya ceritanya menarik.. Jadi lanjutkan ;;)
me: Sinopsisnya cuman menceritakan latar ceritanya koq qaqa bkn Klimaks cerita.. )
3. @diyuna :Oh ya tentang pakaian wajib musim dingin.... O o o o alamak menurutku itu tidaklah lebay.. Berada disuhu dibawah 5°c belsalju itu sesuatu bgt, apalgi bg kita orang tropis jd kalo mau ttp sehat pakailah pelindung diri
me: oh ya?! saya tidak tahu itu. saya ambil kesimpulan dari episide EXO's Showtime. itu lho pas Luha, Kai, dan Suho nyebur ke Winter Beach cuman pake kaos oblong doang #GakNanya #OkeFix . Belum lagi fakta bahwa dataran Korea gak sepenuhnya tertutup salju kayak di drakor That Winter The Wind Blows.. jadi maaf saja kalo saya salah, referensi saya rata2 cuman dari film.... wkwkwkwkwk.. -_-
@Unprince :Yaps. Lanjut xD coba deh buka novel setting korea, yg kumaksud bukan gaya bahasa. Tp pemakaian istilah asingnya. Mungkin buat kpopers tau apa yg dimaksud, tapi yg engga.
Kata mianhae, hyung, nuna, yg terlalu seringpun adakalanya terlalu pusing diartikan. Coba kalo digunakan dalam 1 kalimat utuh. Misal, Hyung, naega jeongmal mogoshippeoyo, arra!? [1]
nah baru di footnote jadi gini:
footnote :
1. Kakak, aku sangat lapar, mengerti!?
2. Dst, dll, dkk.
Gitu ajasih xD ya mungkin beda aja kali ya tiap orang. Aku seringnya pake gini sih.
me: Saran yang bagus hyung. saya akan melakukan yang terbaik. Hwaiting!
dah... makasih yang udah setia menunggi first season story:winter karangan ku. tapi tampaknya saya harus menunggu respon yang lain biar lebih semangat mengapdet. Semoga aja yang respon banyakan.... wkwwkw. sampai disini udah keliatan kalau cerita sudah akan mencapai konflik...
contoh
iya sih, tp agak krg suka jg dg yg SR, tp mau gmana lagi.. Tp setidakny hargai jg yg sudah komen, lebih baik dripada tidak dikomen sama sekali. *end of contoh
Btw mwoya ni bacany gmana?
dr td kebacanya myowa mulu :-|
kenapa memutuskan pake author pov daripada edgar pov?
Musim dingin. 1 tahun kemudian.
“Yeoboseyo…”
Senja mendekatkan ponselnya dan mendapat sebuah jawaban disana.
“Aah… Park Min-Young. Untunglah kau cepat mengangkatnya.” Kata Senja membuka percakapan dalam bahasa Korea.
“Senja eonnie? Ada apa? Kau ingin bertanya tentang Thomas oppa?” Suara disana menjawab dengan riang.
“Tentu saja. Bukankah itu yang selalu kulakukan kala meneleponmu.” Jawab Senja dengan sedikit mendengus. Min-Young hanya tertawa renyah diseberang sana mendengar sedikit kejengkelan dari nada suara Senja. “Bagaimana kabarnya?” Lanjut Senja.
“Dia baik – baik saja. Eonnie tak perlu cemas. Saat ini dia seperti biasa sedang berada di toko bunga ahjumma.” Jawab Min-Young.
“Ah… oke – oke. Araso, sepertinya tak ada yang perlu di khawatirkan. Ku titip Thomas padamu ya. Oke?” Senja hendak mengakhiri percakapannya.
“Ah… araso… anyyeong.”
“Anyyeong.”
Senja mematikan ponselnya. Ia menghela nafas dan menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi seolah mencoba melepaskan penatnya. Bagaimanapun, satu tahun belakangan ini ia tak bisa konsentrasi di KBRI secara maksimal karena adiknya memutuskan untuk tinggal berpisah dari dirinya.
Teringat bagaimana hari itu, tepatnya akhir musim dingin tahun lalu. Ia pulang dengan wajah yang ditekuk dan mata yang terlihat ingin menangis tapi di tahan. Bagaimana palto nya sangat lusuh, tak kalah lusuh dengan seluruh penampilannya. Sejak hari itu Thomas menjadi sangat tertutup dari sebelumnya. Ia bahkan enggan menceritakan segalanya pada Senja, tidak seperti biasanya.
Seminggu setelah hari itu, ia memutuskan untuk tinggal sendiri di flat murahan yang berada di jalan Cheongdam-dong. Entah apa yang membuatnya berpikir untuk dapat hidup sendiri tanpa pengawasan Senja. Tapi yang jelas, keputusan Thomas seolah sudah bulat dan Senja tak bisa berbuat apa – apa lagi meski ia mengamuk sekalipun. Seolah Thomas sedang ingin memiliki waktu sendirian saat ini.
Namun bagaimanapun, sebagai kakak yang over protective, Senja tak bisa tenang jikalau ia jauh dari adiknya yang buta. Untunglah ia bisa menyewa jasa seorang tetangga di Cheongdam-dong untuk mengawasi Thomas di flat nya. Bagaimanapun, satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membiarkan Thomas sendirian di luar sana.
Apa ini semua ada hubungannya dengan pria itu? Siapa namanya? Edgar?
Semenjak hari itu Edgar pun tak tampak batang hidungnya. Rupanya benar, omongan pria itu tak dapat di percaya. Kini ia pergi entah kemana. Tepat saat Thomas membawa mendung itu pulang ke rumah. Senja sangat yakin Edgar telah melakukan sesuatu yang buruk pada Thomas.
Senja tertawa sinis. Teringat kembali bagaimana Edgar berasalan karena cinta ia mendekati Thomas. Bahkan gay sialan itu memakai embel – embel penyakit ... entah apa namanya itu... untuk merebut simpati Senja pada malam mereka di Myeong-dong.
Ya! Edgar memiliki penyakit! Namun sayangnya kali ini, Senja tidak akan pernah percaya apa yang akan di katakan pemuda itu jika mereka bertemu kembali. Alasan yang membual! Dan parahnya, Senja dengan leluasa membiarkan Edgar menyakiti Thomas tanpa bertanggung jawab!
Senja mendengus. Emosinya naik – turun ketika mengingat wajah manis yang memyimpan kebusukan itu. Tidak kah Edgar tahu bahwa Senja pun sakit hati di khianati kepercayaannya?! Bahkan mungkin, rasa sakit hatinya melebihi Thomas.Dan bodohnya lagi, sampai hari ini pun, ia tak pernah memberitahu kepada Thomas tentang Edgar yang berkedok menjadi Eliana saat itu!
Apakah Edgar akan mendapat karmanya? Senja berharap itu akan segera terjadi.
-oOo-
Tim tengah duduk di salah satu kursi penjemput di Incheon International Airport. Sesekali ia menengok ke arah jam tangannya dan kembali menoleh kearah pintu kedatangan internasional. Sudah jam 11:00 KTS. Seharusnya orang yang ditunggu – tunggu sudah datang sejak tadi. Tapi entah mengapa tiada satupun orang yang memang mirip dengannya. Atau memang wajahnya sudah kian berubah untuk di kenali? Bagaimanapun, satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk banyak perubahan, kan?
Seseorang yang mengenakan jaket kulit dan membawa ransel besar di punggungnya serta koper di jinjingannya tengah melewati pintu kedatangan. Ia menunjukkan passport dan boarding pass kepada petugas bandara dan membiarkan petugas itu memeriksanya.
Tim mengamati dengan seksama sebelum akhirnya ia menyadari siapa orang tengah berdiri di pintu kedatangan. Ia lekas berdiri dan mendekati pemuda berparas asia tenggara itu. Benar saja, itu adalah kawan lamanya!
“Edgar hyung!” Panggil Tim. Edgar tak mendengar karena suara berisik di sekitarnya. Ia dengan santainya menerima kembali passport dan boarding pass yang ia terima dari petugas. “Edgar hyung!”
Kali ini Edgar mendengar namanya dipanggil seseorang. Ia mencari – cari arah panggilan karena ia yakin Tim telah menjemputnya sesaat setelah ia mengirimkan SMS satu hari sebelumnya. Jadi mungkin ia mendengar suara Tim yang kebetulan sudah ada di sekitar sini.
Ia mendapati seseorang tengah tersenyum kearahnya dan melambai – lambaikan tangannya. Cukup lama hingga akhirnya ia menyadari bahwa itu memang Tim!
Sudah banyak perubahan antara mereka berdua.
“Ahhh… Anyyeong Tim yah.” Edgar langsung menghampiri dan memeluk erat sahabatnya yang selama ini telah banyak membantunya di Korea itu. Entah mengapa ia sangat rindu pada kawannya di negeri gingseng tersebut.
“Anyyeong hyung~yah. Astaga kau sudah banyak berubah sekarang!” Kata Tim sambil melepas rangkulan dan menatap Edgar dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Kulitmu lebih cokelat sekarang. Lebih tinggi. Dan badanmu…” Tim memegang bahu Edgar. “Badanmu lebih berisi dari sebelumnya. Aigoo! Kau bukan lagi namja cantik yang kukenal dulu. Kau sekarang tampil lebih maskulin dan manis.”
“Benarkah?” Jawab Edgar dengan sedikit senyuman. “Saat di Indonesia aku memang banyak bekerja di lapangan dan menjadi buruh kasar. Apalagi matahari di Indonesia lebih terik dibandingkan di Korea.” Jelas Edgar. “Kau juga lebih berbeda sekarang. Dan… kenapa kau mewarnai rambutmu?!” Tanya Edgar menunjuk rambut Tim yang agak kemerahan.
“Ini?” Tanya Tim sambil memegang rambutnya yang bergaya spiky. “Haha... Kau tidak akan percaya hyung. Aku lolos menjadi seorang trainee.” Kata Tim bangga. Edgar mengangkat sebelah alisnya.
“Trainee?” Tanya Edgar tak mengerti.
“Ya. Trainee. Kau tahu? Bintang hallyu masa depan.” Jelas Tim. Edgar membelalakkan matanya.
“Astaga? K-POP star?!” Tanya Edgar tak percaya. Tim mengangguk senang. “Di agensi mana?”
“SM entertainment. Hebat kan?” Kata Tim bangga. “Itu sebabnya aku sering kelelahan karena jadwal latihan yang super ketat.”
“Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu? Apa kau masih bekerja di Jung’s Café?” Tanya Edgar. Tim hanya tersenyum
“Nanti akan kuceritakan.” Kata Tim. “Lebih baik kita masuk mobil terlebih dahulu. Ayo.” Kata Tim sambil menarik lengan Edgar dan membantu mengangkat koper yang dibawanya.
“Tunggu sebentar. Ada yang ingin ku kenalkan kepadamu. Dia sedang pergi ke toilet sebentar.” Kata Edgar menahan Tim. Tim menaikkan sebelah alisnya.
“Kau bawa seseorang hyung?” Tanya Tim. Edgar memberikan seulas senyum termanisnya. Lalu pandangan nya mengedar ke arah pintu masuk dan disanalah Edgar mendapati orang tersebut.
“Nah! Itu dia!” Tunjuk Edgar. Sontak pandangan Tim langsung menuju arah yang ditunjuk Edgar. Di sana ia mendapati seorang perempuan Asia Tenggara dengan rambut panjang hitam mengkilat, manik mata yang indah, wajahnya yang oval, serta memiliki hidung mancung mungil dan dua lesung pipi yang tengah menyembul keluar karena kini ia tengah tersenyum ke arah mereka berdua.
Tim balas tersenyum. Wanita yang manis.
“Tim, kenalkan! Ini Dinda, adikku. Dan Dinda, ini sahabat abang di Seoul, Tim.” Kata Edgar memperkenalkan satu sama lain. Tim langsung menyorongkan tangan kanannya.
“Hwang Young-Min. Tapi kau bisa memanggilku Tim.” Kata Tim memperkenalkan diri sambil memperlihatkan killer smile nya. Dinda tersenyum dan membalas jabatan tangan Tim.
“Dinda. Aku adiknya bang Edgar.” Kata Dinda sambil tersenyum dan menunduk. Tampak sekali ia tersenyum malu – malu ketika Tim memberikan killer smile nya.
“Hey, hey! Sudah selesai kah sesi perkenelannya? Ayo kita pergi! Aku sudah cukup menggigil nih!” Edgar menggerutu. Lebih tepatnya untuk menjahili mereka berdua yang sepertinya tengah fallin ini love in the first sight.
Tim tergagap. Buru – buru ia melepaskan jabatan eratnya dan kembali menatap Edgar. Ia kemudian mengajak mereka menuju parkiran sambil membantu membawakan koper mereka.
Untunglah Tim membawa mobil pribadi. Entah bagaimana jadinya jika Edgar harus menunggu taksi yang biasanya memang jarang jika winter sedang terjadi di negeri gingseng tersebut.
Jikapun ada taksi, mereka sering melontarkan kalimat ‘Odi Koyo? ’ (Mau Kemana?). Tetapi tiba-tiba si supir taksi pergi dengan mengucapkan ‘wegugin andwe’ yang artinya ‘Oh, orang asing, nggak deh!.’ mungkin maksudnya si supir taksi daripada nanti jadi ribet nggak jelas lebih baik nggak usah diantar! Merepotkan!
“Aku turut berduka cita atas kabar ayahmu, hyung.” Kata Tim sesaat setelah mereka masuk mobil dan meninggalkan kawasan Incheon Airport. Edgar duduk di kursi depan dekat kemudi. Sementara Dinda duduk manis di kursi belakang.
Edgar menghela nafas. Sebisa mungkin ia tak mengingat lagi masa sulit itu. Ia tersenyum ke arah Tim seolah mengatakan aku baik – baik saja. Dinda yang mendengar nama ayahnya disebut – sebut melirik pembicaraan dua sahabat di depannya itu.
“Tak apa. Kematian memang hal yang wajar bagi manusia.” Kata Edgar mencoba untuk tegar.
“Apakah itu sebabnya kau lama di Indonesia?” Tanya Tim sambil fokus kepada jalan yang kini memasuki kawasan tol.
“Aku harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup ibuku dan adik perempuanku selepas kepergian ayahku. Setidaknya, sampai mereka punya modal sendiri untuk membuat usaha kecil – kecilan. Dan baru setelah itu aku bisa fokus lagi kepada kuliahku.” Kata Edgar. “Lagipula aku juga harus menjalani perawatan dan kemotherapy.”
“Tunggu! Perawatan?! Hyung, apakah di Indonesia hyung sakit sehingga harus di rawat?” Tanya Tim cemas. Edgar melirik ke arah Dinda lewat kaca spion. Sesaat ia juga mendapati Dinda tengah memandangnya dari sana.
“Aku tidak terlalu ingat tentang itu. Kau bisa menanyakannya pada adikku nanti jika kita sudah sampai. Cerita nya akan panjang.” Kata Edgar tenang. Tim menaikkan alis. Seolah merasa bahwa Edgar tidak ingin menceritakan apapun mengenai sebuah kejadian saat ia di Indonesia yang tidak diketahui Tim.
“Kau sudah terlalu lama meninggalkan kuliahmu disini. Apa kau yakin Seoul National University akan mau menerimamu lagi?” Tanya Tim mengalihkan pembicaraan.
“Aku akan mengurusi fellowship ku di KBRI. Lagipula aku bisa belajar disini adalah dari hasil beasiswa ku, kan? Jadi kurasa aku akan bisa diterima lagi meski aku harus mengejar tugas semester yang sangat menumpuk. Kurasa akan sangat melelahkan nantinya.” Kata Edgar membayangkan rencana dan perjalanan berat yang akan ia tempuh selama belajar di Korea.
“Hwaiting hyung!” Dukung Tim. Edgar tersenyum.
“Gomawo.” Kata Edgar singkat.
“Kau sudah punya rencana untuk tempat tinggal?” Tanya Tim. Edgar menggeleng.
“Belum. Tapi sepertinya aku akan mengecek flat ku yang lama.” Kata Edgar yakin.
“Percayalah, tempatmu kini sudah diisi orang lain.” Tim memberitahu Edgar. Edgar kembali berpikir. “Jika belum menemukan tempat tinggal, kalian bisa tinggal denganku di Cheongdam-dong. Saat hari dimana kau pergi, aku sudah memindahkah barang – barangmu ~yang sengaja di tinggal~ ke flat ku. Karena nyaris setiap hari aku harus latihan, kurasa ada baiknya jika ada orang yang menjaga rumah di siang hari.” Tawar Tim.
“Boleh juga.” Kata Edgar. “Tapi ngomong – ngomong kau belum bercerita tentang pekerjaanmu yang sekarang!”
“Aku seorang penyiar radio, hyung. Semenjak aku jadi trainee, aku tak bisa membagi waktuku untuk bekerja di Jung’s Café jadi aku memutuskan untuk berhenti dan kebetulan agensi menawarkanku untuk menjadi MC di jaringan radio mereka.” Terang Tim.
“Keren. Program apa?” Tanya Edgar.
“i nal ui chueog (Kenangan Hari Ini...) dari KBS world radio. Jika kau ingin mendengarkanku siaran, kau bisa mendengarnya setiap hari sabtu dan minggu jam 6 sore.” Jawab Tim. Edgar mengangguk – angguk paham.
“Bagaimana denganmu hyung? Kau sudah punya rencana untuk bekerja?” Tanya Tim.
“Sepertinya aku akan kembali ke Jung’s café.” Kata Edgar pasrah. Seolah itu adalah pilihan satu – satunya.
Tiba – tiba pikiran Tim terarah pada Jung’s café. Entah mengapa ada sekelebat bayangan Thomas dalam pikiran Tim yang tiap harinya duduk memandang keluar jendela dengan buku gambar dan sebatang pensil yang tak pernah ia gunakan. Juga teh gingseng yang tak pernah habis diminumnya.
Thomas. Apa kabar orang itu? Apa semenjak hari itu dia masih di Seoul? Dia tak pernah terlihat lagi setelah hari perpisahan nya dengan Edgar.
“Hyung.” Panggil Tim.
“Mwo?” jawab Tim.
“Apa kau tahu tentang kabar dari… Thomas?” Tanya Tim hati – hati. Edgar mengernyitkan dahi. Seolah berpikir keras untuk mengingat nama itu.
“Thomas?” Edgar berpikir sejenak. Mencari – cari sebuah nama dalam otaknya. Namun ia tak menemukan serpihan memori tentang orang itu.“Apa aku mengenal orang itu?”
“Apa?! Kau lupa padanya?!” Tim terkejut. Edgar menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung. “Apa kau benar – benar ingin melupakannya?”
“Aku tidak tahu. Sepertinya… aku memang melupakannya.” Kata Edgar sambil menoleh ke arah Dinda. Tim juga menoleh ke arah dua bersaudara itu. Seolah ada yang mereka sembunyikan. Tim tak mau bertanya lagi. Meski ia tahu kini ia tengah penasaran bukan main.
Apa yang sebenarnya terjadi?
-oOo-
Edgar berjalan di trotoar Cheongdam-dong. Ia baru saja pulang dari KBRI untuk menuntaskan masalah Imigration Card nya serta membicarakan kembali masalah fellow kuliahnya yang belum tuntas. Hari ini adalah hari ketiga nya di Seoul setelah dua hari kemarin ia gunakan untuk beristirahat penuh. Selepas lima jam perjalanan, Edgar merasa dirinya tengah jetlag dan lagi – lagi seperti kedatangan pertamanya di Seoul dulu, ia kembali mengalami culture shock.
Tapi itu semua tidak terlalu lama ia alami karena ia sudah tahu bagaimana harus bersikap ketika tiba di tanah asing. Ditambah lagi, Tim kurang lebih banyak membantunya dalam mempersiapkan kelanjutan hidup nya di Korea.
Ia jadi teringat sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali Korea. Bagaimana dengan sisa kepayahan, ibunya tetap menuntut agar Edgar segera kembali ke Korea dan menuntaskan segala study nya yang terbengkalai. Sebelumnya Edgar juga bersikeras untuk menemani ibu dan adik perempuannya di Indonesia selepas kepergian ayah. Namun mereka tetap ngotot dan meminta Edgar untuk segera menyelesaikan program magister nya di Seoul.
Akhirnya di pilih lah jalan tengah. Mengingat Edgar telah mengalami kecelakaan saat di Indonesia, ibunya menyarankan Dinda untuk ikut bersama abang nya. Menjaga nya hingga Edgar benar – benar mampu untuk berjalan sendiri. Dan hal itu membuat mereka harus meminjam uang kepada paman mereka untuk bekal perjalanan Dinda dan Edgar kembali ke Seoul.
Tunggu?! Edgar mengalami kecelakaan?! Kenapa bisa?!
Sabar, santai saja. Kisah nya akan di utarakan. Yang jelas sekarang biarkan Edgar beradaptasi lagi dengan Korea.
Edgar sudah memantapkan hati. Kali ini ia hanya ingin fokus menuntaskan kuliahnya, menyelesaikan pendidikannya untuk kemudian kembali ke tanah air dengan gelar yang sudah di dapat. Mencoba untuk menjauhi segala sesuatu yang berbau cinta dan kekaguman. Apalagi mengorek – ngorek informasi tentang apa yang ia lupakan dan apa yang pernah tertinggal di tanah Korea tersebut.
Krrriiiiiiuuukkkk!!!!~~~~
Pikirannya terpecah ketika suara ghaib dari dalam perutnya menjerit. Edgar ingat bahwa ia memang tidak makan dari kemarin. Bukan apa – apa, namun mengingat jadwal Tim yang kini lebih sibuk dari yang dulu serta ketidak berdayaannya dalam memasak membuat Edgar harus tersenyum masam. Setidaknya ditawari sebuah tempat tinggal telah membuat Edgar berterima kasih banyak pada Tim. Jadi agak riskan juga jika ia meminta makan.
Sebenarnya Dinda bisa memasak. Tapi ia lupa untuk meminta makanan pada Dinda karena terlalu sibuk mengurusi segala keperluannya di Korea.
Belum lagi urusan KBRI yang belum selesai membuat Edgar harus menahan uangnya untuk dibelanjakan. Bagaimana pun dia ke Seoul dengan uang yang bisa di bilang pas – pasan. Dibagi dua bersama Dinda pula! Setidaknya sampai ia mendapatkan pekerjaan lagi, hidupnya harus dibiasakan untuk berhemat.
Tapi, rasa lapar ini tentu tidak bisa di ajak kompromi. Apalagi ketika ia berjalan melintasi kedai sosis panggang yang baunya sangat menggoda. Edgar terdiam dan berpikir sejenak. Menimbang apakah sebaiknya ia membelinya atau tidak.
“Aku harus makan. Aku lapar!” ucapnya sembari merogoh ransel, berharap ada beberapa receh uang yang bisa ia gunakan untuk membeli sesuatu yang bisa dimakan.
Beberapa detik kemudian, tubuh tropisnya kini berbaur di tengah lautan manusia yang juga mengantri sosis panggang di pinggir jalan. Telapak kakinya menepuk-nepuk tanah dengan gelisah. Perutnya sudah begitu ribut minta di isi, dan dari sepenglihatannya, ia masih harus menunggu sekitar dua puluh lebih pelanggan.
“Ingin makan saja sulitnya minta ampun.” rutuk Edgar dalam hati. Sementara wajahnya semakin masam, dan para gadis-gadis yang sedari tadi memperhatikannya langsung memutuskan untuk pergi.
Yeah—kau benar-benar tidak tampan jika seperti itu, Ed.
“Hey cepat menyingkir dari sana! Masih banyak yang mengantri di belakangmu! Lambat sekali,sih!”
“Iya, kenapa berjalan tidak pakai tongkat? Dia buta, kan?”
“Merepotkan orang saja!”
Telinga Edgar menangkap hiruk pikuk yang tidak biasa di antrian depan. Semua orang menggerutu akan sesuatu—seseorang.
Sedikit melupakan rasa kesal tadi, ia menarik lehernya lebih tinggi untuk melihat siapa sebenarnya sumber keributan di sana. Edgar begitu percaya diri karena tubuhnya memang terlihat lebih tinggi dari kebanyakan pelanggan yang mengantri, hingga tak perlu merenggangkan otot lehernya lebih keras untuk bisa melihat ke depan. Ternyata benar kata Tim, ia lebih tinggi sedikit sekarang.
Ia tak berkomentar seperti yang lain. Hanya memperhatikan seseorang di depan sana, dengan balutan mantel putih, wajahnya tidak terlalu keliahatan dari jarak pandang Edgar. Tapi dari gaya rambutnya, sepertinya ia pria pribumi. Pria itu tengah berjalan begitu hati-hati saat keluar dari antrian. Ia menjinjing barang bawaan yang sepertinya bahan pangan untuk kebutuhan sehari – hari. Wajah pria itu tidak serta merta menunduk seperti yang kebanyakan orang lakukan ketika tengah jadi perhatian. Tatapannya lurus ke depan, hanya sesekali mengerjap sebagai bukti bahwa saraf refleks masih bekerja dengan baik di tubuh itu.
“Dia benar-benar buta ternyata”. Sebuah rasa iba sekaligus salut langsung memenuhi dadanya. Tentu saja, ini pertama kalinya Edgar melihat orang buta yang berjalan-jalan di pusat kota tanpa bantuan tongkat ataupun seekor anjing penuntun.
Tampan! Apa dia warga pribumi? Tapi warna kulitnya tidak seperti orang Korea kebanyakan. Pikir Edgar.
Kkrrrriiuuukkk~~~
Sontak Edgar tersadar kembali akan kenyataan bahwa perutnya sudah harus segera diisi. “Tinggal sepuluh orang di depan. Kumohon bersabarlah~” Edgar berujar pada perutnya sendiri!
Srraaakkkk!!!
“Hei! Hati – hati kalau jalan! kau buta ya, huh?!”
“Mian.”
Edgar menoleh ke arah percakapan yang tengah berlangsung itu. Pria buta itu lagi! Kali ini ia menabrak seseorang hingga barang belanjaannya terjatuh tercecer ke mana – mana. Orang yang menabraknya hanya bisa mengomel tanpa peduli untuk membantunya. Setidaknya membantu memunguti barang belanjaannya yang terjatuh.
Pria buta itu memunguti barang – barangnya dengan meraba – raba aspal trotoar. Sesekali tangannya terinjak atau kepalanya terantuk karena ramainya orang yang berlalu – lalang. Tapi anehnya, tak satupun ada orang yang sudi membantunya!
“Orang itu lagi. Benar-benar!” Sinis salah seorang yang berada di depan antrian Edgar.
Edgar mengedarkan pandangannya. Ia begitu terkejut karena tak ada satu pun yang beranjak untuk sekedar menolong pria buta itu di sana. Semuanya masih berdiri di tempat semula, mengomel, bahkan sebagian ada yang sudah mengalihkan wajah tak peduli.
Satu… dua… tiga…
‘Ah! Persetan dengan perutku!’
Menjadi satu-satunya yang beranjak, Edgar langsung menghampiri pria buta yang masih memunguti barang belanjaannya dengan menyedihkan dan menjadi bulan-bulanan kalimat kasar para pejalan kaki yang terganggu olehnya.
Edgar membantu memunguti barang belanjaannya dengan cepat ketika pria itu masih meraba – raba mencari nya. Ia memasukkan semua barang belanjaan kedalam kantong plastik dan menyerahkannya ke tangan pria itu.
“Ini.” Kata Edgar menggunakan bahasa Korea yang fasih.
“Ah… ghamsahamnida.” Jawab pemuda itu kemudian berdiri dan membungkuk. Arah bungkukan yang salah membuat Edgar yakin bahwa pria itu benar – benar buta.
“Kau butuh bantuan?” Tawar Edgar merasa simpatik padanya.
“Ah… aniyo. Aku bisa sendiri.” Jawab pemuda itu. Kemudian ia segera berbalik menuju zebra cross.
Apa?! Dia ingin menyeberang jalan dalam keadaan seperti itu?!
Lampu merah menyala dan sekonyong – konyong pria buta itu menyeberangi jalan.
“Sajangnim ! Awas!”
TIIIIN! TIIIIIN! TIIIIIIIIINNN! ..... CYIIITT!
“Hei! Kau ingin mati ya, huh?!”
“Mianhaeyo. Teman ku yang satu ini memang buta jadi dia tidak tahu kalau ada motor yang melintas di depannya.” Kata Edgar sambil memeluk pria buta itu yang nyaris tertabrak pengendara motor. Untung Edgar masih sempat menarik tubuh pria itu sebelum pria buta itu menjadi korban kecelakaan sepeda motor.
“Kalau begitu, jaga temanmu baik – baik! Merepotkan saja!” Pengendara motor itu masih saja mengomel.
“Ne. Mian, sekali lagi aku minta maaf.” Kata Edgar sekali lagi sambil menundukkan kepalanya. Pengendara motor itu hanya menggelengkan kepala dan langsung berlalu tanpa mempedulikan mereka lagi.
“Kau tidak apa – apa?” Tanya Edgar sambil menoleh ke arah pria yang ada dalam pelukannya. Pria itu ternyata lebih pendek sedikit dari Edgar. Atau bisa dibilang, pria itu sebenarnya sepantaran tingginya dengan Edgar.
Yang ditanya hanya diam. Edgar mendeteksi aura ketakutan di wajah itu. Dan tiba-tiba…
“Sajangnim!” Suara Edgar meninggi. Pasalnya kini tubuh itu terjatuh lemas seperti tak ada lagi tenaga di kaki kokoh itu untuk menahan berat tubuhnya! “Kau kenapa?”
“K-kakiku… mian… tiba-tiba saja kakiku lemas.” Ujar pria itu lirih, masih dengan tatapan hampa dan wajah cemas.
“Kau tenang saja. Sudah tidak apa-apa. Kau mungkin hanya syok. Ah! Kalau tak keberatan, kita bisa duduk dulu di sana.” Edgar memapah pria tersebut ke arah sebuah bangku kayu tanpa penghuni. Cukup jauh dari antrian orang-orang yang tengah menikmati jajanan yang kini antriannya semakin panjang.
“Apa… apa aku sudah salah menyeberang tadi?” Edgar kembali mendengar dentingan suara indah di sebelahnya. Untuk beberapa saat pandangannya terkunci pada sesuatu yang begitu indah di sana. Wajah tegas yang membingkai mata, hidung, dan bibir tipis, terekam tanpa izin ke dalam kepalanya. Dan matanya… matanya bagai berlian! Edgar merasa seperti mengalami de javu. Telinganya pun menjadi tak bisa mendengar apa-apa selain gemerincing indah tadi. Sesaat otaknya menjadi gila akan ‘rasa’ aneh yang tiba-tiba saja disuguhkan.
“Ahjussi ?”
Ting!
Dentingan kedua langsung menyadarkannya kembali.
“N-ne?” Edgar tergagap. Begitu malu dengan sikapnya barusan yang terkesan tidak sopan. “Oh! Tidak… kau tidak salah. Lampunya memang sudah merah tadi. Pengendara motor itu saja yang terlalu memaksakan kendaraannya untuk maju mencuri jalan sepersekian detik. Kau… hanya sedikit terlalu awal menyeberang.” Edgar menjelaskan. Suaranya sedikit dibuat riang untuk menutupi kecamuk yang tiba-tiba memporak-porandakan debaran jantung pemuda tersebut.
“Apa kau orang yang menyelamatkan ku? Apa tadi kau juga yang membantuku memungut barang belanjaanku?” Tanya pria itu. Kali ini ia bisa lebih rileks dibandingkan beberapa detik yang lalu.
“Begitulah.” Jawab Edgar.
“Ah… ghamsahamnida.” Kata pria itu sambil membungkukkan tubuhnya meski arah bungkuknya lagi – lagi salah. Edgar tersenyum. Entah mengapa ia merasa pria ini memang sangat tampan.
“Apa… ada yang terluka?” Tanya pria buta itu. Ia kemudian menyentuh lengan Edgar. Edgar membiarkan pria itu meraba – raba tubuhnya. Mencari luka – luka yang mungkin saja ada ketika Edgar menyelamatkannya di jalan raya tadi.
“Tidak ada yang terluka.” Kata Edgar. Namun pria itu masih terlihat cemas pada penyelamat nya. “Auch!”
“Oops! Ternyata ada yang terluka!” Kata pria itu cemas. Tidak sengaja ia menyentuh sikut Edgar. Edgar menyentuh dan melirik sikut kirinya. Ternyata ada luka disana! Mungkin keserempet ketika ia tengah menyelamatkan pria buta itu tadi.
“Tak apa. Hanya berdarah sedikit. Mungkin karena keserempet.” Kata Edgar menenangkan. Namun pria itu malah kalut sambil membelalakkan matanya.
“Da-darah!” Katanya cemas. Ia kemudian mengambil syal yang ia kalungkan di lehernya kemudian ia segera menggamit lengan Edgar. “Untuk sementara biar aku balut luka mu dengan ini.”
“Ah! Aniyo… tidak perlu sajangnim. Nanti syal mu kotor!” Kata Edgar mencoba menolak. Namun ternyata tenaga pria itu cukup kuat untuk menahan lengan Edgar agar tidak menolak bantuannya.
“Tak apa – apa. Setidaknya ini yang bisa ku lakukan untuk membalas kebaikan mu.” Kata pria itu sambil membalut luka di sikut kiri Edgar.
Jarak mereka terlalu dekat hingga sekali lagi tatapan Edgar enggan untuk berpaling dari pancaran indah mata pria itu. Entah mengapa, dalam keadaan seperti itu ia tergoda untuk mencumbui pria yang baru ditemuinya hari ini. Matanya yang sayu, serta garis wajahnya yang terkesan sangat tegas! Membuat pria itu tampak maskulin dan tampan.
“Sudah.” Kata – kata itu menyadarkan kembali Edgar yang sempat berimajinasi tinggi. Edgar memandang sikutnya. Memuji akan balutan yang sempurna untuk ukuran orang buta.
“Sajangnim, boleh aku bertanya?” Tanya Edgar. Pria itu mengarahkan telinganya, bukan matanya. Manik hitam itu tengah memandang entah kemana. Jauh dari lawan bicaranya.
“Apa?” Tanya pria itu.
“Kau sepertinya bukan orang Korea.” Kata Edgar. Pria itu tersenyum.
“Nee… aku memang bukan orang asli Korea.” Kata pria itu menjelaskan. “Aku berasal dari Indonesia.”
“Indonesia?! Benarkah?!” Tanya Edgar tak percaya.
“Ya. Kenapa?”
“Aku juga dari Indonesia!” Kata Edgar semangat. Pantas saja, rahang tegas itu, kulit cokelat itu, pria didepannya memang tidak seperti pria Korea kebanyakan yang memiliki rahang tirus, mata sipit dan kulit putih.
“Sungguh! Wow, ternyata dunia sangat sempit.” Kata pria itu sembari tersenyum. “Ngomong – ngomong, boleh aku tahu siapa namamu?”
“Edgar. Edgar Baskoro.” Sambut Edgar cepat. “Kalau kau?”
“Thomas. Thomas Dhirgantara.”
~Dan takdir kembali mempertemukan dua hati.~
-oOo-
.
.
.
.
.
Kosakata:
1. Hwaiting (Korea) Semangat!
2. Sajangnim (Korea) Tuan
3. Ahjussi (Korea) Paman / pak / om
Oke deh qaqa... tuh udah....
Iya mending ama In-Ho, udah kaya, ganteng, dokter lagi... #plak.... udah di mention kakak. critanya diatas
aku udah tau kok eonnie untuk balas koentar gimanah. iya, ini untuk menghargai kalian yang komen jadi aku posting. meski kali ini bakal pelan - pelan apdetnya. jadi tunggu kelanjutannya paling lama sampai 2 atau tiga hari.... skali lagi itu trgantung respon...
Mwoya dibaca Mwoya... :P #sama aja koq. aku tahu kata tanya itu dari film snowpiercer...
Karena di cerita yang lama, udah terlalu sering pake POV para karakternya. jadi coba - coba pake author POV. biar semua pembaca juga tahu perasaan semua karakternya... hhehe... gapapa kan???
wah dikutip sama qaqa senior.. senangnya., hihi.
iya sih, buat penulis, komentar jadi tolak ukur buat tulisannya. tapi tulisan yang sepi komentar bukan berarti ga diminati dan tidak menarik. hehehe. ^^.
apakah nanti ada part yang menjelaskan part ini? soalnya part ini penuh tanda tanya. :-)
Hah?! manah?! :O nggak ah, Thomas nggak tau.... -_-