It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Nice..^^
“Nng… mianhae oppa. Thomas oppa tidak ada di flatnya. Sejak pagi dia sudah berangkat ke toko. Apa kau sudah kesana?” Ujar Mi-Young dengan senyuman cerah. Namun tak urung itu malah membuat Edgar menghembuskan nafas lemah. Pupus sudah harapannya untuk bertemu Thomas. Bahkan di flat nya sendiri, pemuda buta itu tidak ada disana.
“Aniyo. Aku sudah datang ke toko bunga namun dia juga tidak ada disana. Aish, kenapa akhir – akhir ini dia tidak pernah nampak batang hidungnya, sih?! Apa dia marah padaku?” Edgar bergumam sendiri. Tak sadar bahwa ada wanita yang sedang memperhatikannya dan tersenyum melihat racauannya. Tawanya bahkan nyaris lepas ketika Edgar mengerucutkan bibirnya.
“Kau sudah menghubungi ponselnya?” Tanya Mi-Young.
“Tentu saja. Sudah empat hari ini aku terus menerus menghubungi dan mengirimkannya pesan. Tapi tak pernah ada jawaban darinya.” Gumam Edgar sambil menggaruk kulit kepalanya yang tak gatal. “Astaga, apa dia marah padaku?!” Edgar bertanya sendiri. Matanya menerawang ke atas.
“Kapan terakhir kali kalian bertemu?”
“Malam natal kemarin.”
“Apa yang kalian lakukan?” Tanya Mi-Young.
“Hanya jalan – jalan dan makan malam.” Jawab Edgar.
“Jika seperti itu, apa ada yang membuat dia marah padamu?” Tanya Mi-Young lagi. Edgar berpikir sejenak. Namun ia tak menemukan jawaban apapun disana. Hanya kebingungan yang ia dapat.
“Akh! Kurasa tak ada sesuatu yang salah sampai pagi harinya. Kecuali…” Tiba – tiba Edgar mendapatkan sebuah ingatan. Mi-Young membelalakkan matanya penuh tanda tanya.
“Kecuali?” pancing Mi-Young.
“Aku menemukan bad cover di bawah ranjang saat aku terbangun.” Gumam Edgar. ia lalu memandang Mi-Young dengan tatapan horror nya. “Mi-Young, apa mungkin dia membenciku karena aku mendengkur saat tidur disebelahnya?! Atau jangan – jangan aku mengigau sesuatu yang porno sehingga Thomas terbangun dan mendengarnya?! Atau mungkin… oh tidak! Apa aku ngiler saat tidur?!”
Edgar meracau sendiri. Membuat Mi-Young tak tahan untuk menyunggingkan sebuah senyuman, membuat wajahnya memerah karena menahan tawa.
“Aish! Oppa ini! Jika hanya itu yang terjadi, Thomas oppa bukanlah tipe orang yang marah sampai empat hari jika kesalahanmu hanyalah membuat benua di bantal.” Ujar Mi-Young sambil memukul kecil bahu Edgar.
Edgar berpikir sejenak. “Oh, ya. Kau benar.” Ucapnya kemudian. “Aish… kenapa orang itu seperti sedang menjauhiku, sih?!” Rutuk Edgar frustasi.
“Mungkin dia sedang ada pikiran akhir – akhir ini.” Mi-Young berasumsi. “Begini saja, kau datang saja lagi nanti malam. Mungkin dia nanti ada di flat nya.” Mi-Young memberikan usul. Edgar terdiam.
“Hmmm… baiklah. Kurasa kau benar. Nanti malam aku akan kesini. Tolong sampaikan padanya jika ia sudah datang untuk segera menghubungi ku.” Ucap Edgar yang dijawab dengan sebuah anggukan kecil oleh Mi-Young.
Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari pelataran flat Thomas dan meninggalkan Mi-Young yang kini telah masuk kembali kedalam flat rumahnya. Sebenarnya Edgar sedikit risih karena perempuan itu selalu tampak terlihat di dalam flat Thomas. Namun Edgar mencoba ber positive thinking jika dia hanya tetangga yang mau berbaik hati menjaga rumah tetangganya disaat sang tuan rumah sedang pergi.
Edgar menghela nafas. Untuk kesekian kalinya ia menekan tombol calling dan menunggu tanpa harapan karena ia tahu takkan ada jawaban dari seberang sana.
-oOo-
‘Edgar Baskoro Memanggil… Edgar Baskoro memanggil…’
Ponsel Thomas bordering dan meneriakkan suara yang sama untuk kesekian kalinya. Nama Edgar Baskoro sudah sering di sebutkan oleh voice calling dari smartphone nya. Namun tak ada niatan dari wajah datar itu untuk sekedar menjawab ponsel yang akhir – akhir ini sering menggaungkan nama yang sama. Ia membiarkan ponsel itu sampai berhenti dengan sendirinya.
Thomas menghela nafas ketika ponsel itu berhenti berdering dalam genggamannya. Ia kemudian memasukkan kembali ponsel tersebut kedalam saku paltonya. Kemudian ia merapalkan dengan erat syal yang membebat lehernya dengan erat. Langkahnya kembali meyusuri jalan di pinggir sungai Han yang senja itu sedang penuh oleh orang – orang yang sekedar berasyik mahsyuk menikmati winter. Tongkatnya mengetuk – ngetuk seolah memberi tanda seperti ‘permisi. Orang buta mau lewat…’.
Akhir – akhir ini, ia sudah terbiasa pulang dari toko bunga lebih awal namun datang ke flat lebih lambat. Dan juga pergi ke toko lebih pagi dari biasanya sehingga ia seperti sedang merombak daily activity nya. Semua itu ia lakukan untuk menghindari seseorang yang akhir – akhir ini sedang berusaha ia jauhi. Ia bahkan rela merubah jadwal akhir pekannya untuk tidak terlalu sering pergi ke Jung’s Café hanya untuk tidak bertemu dengan pria manis bernama Edgar.
Semenjak kejadian kecupan yang tidak disengaja itu, Thomas menjadi tidak nyaman dan agak canggung dengan kehadiran Edgar disisinya. Ada perasaan kurang nyaman ketika ia mengingat kembali bagaimana tangan itu menggenggam lengannya atau ketika kulit mereka bersentuhan. Bahkan dibalik perasaan tidak nyaman itu, ada sedikit rasa takut yang menggerogoti pikirannya. Bukan takut pada Edgar, namun ia merasa takut pada dirinya sendiri!
Namun sayangnya, ia tak pernah tahu kenapa ia takut.
Thomas menghela nafas. Ia membiarkan langkahnya kini tengah santai menapaki kesejukan winter di tepi sungai Han. Mencoba untuk tak mengubris lagi kejanggalan disudut hatinya.
“Anyyeong…”
Tiba – tiba terdengar seseorang seperti sedang menyapanya. Thomas menolehkan kepalanya secara tidak tepat kepada empunya suara. “Siapa?” Gumamnya.
“Kau… kalau tidak salah, kau Thomas kan?” Tanyanya akrab. Suaranya sangat familiar di telinga Thomas.
“Ne. Apa… saya mengenal anda?” tanya Thomas hati – hati. Orang di depannya tersenyum.
“Aku Tim. Masih ingat? Edgar banyak cerita tentang dirimu.” Kata suara itu lembut. Thomas membulatkan kelopak matanya.
“Tim? Tim Hwang? Pengisi acara radio itu?” Kata Thomas sembari tersenyum.
“Ya. Itu aku.” Jawab Tim lembut.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Thomas.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Sedang apa kau disini?” Tim balik bertanya. “Kau tidak sedang mengalami penolakan cinta lagi, kan?” Tim tersenyum iseng. Thomas hanya tersenyum masam.
“Kau punya ingatan yang tajam.” Kata Thomas pelan. Ia merasa malu saat Tim masih mengingat peristiwa satu tahun yang lalu. Peristiwa pertemuan pertama mereka satu tahun yang lalu. Dan hari ini adalah kedua kalinya mereka bertemu lagi.
“Jadi… apa yang kau lakukan disini?” Tanya Tim lagi. Thomas menghela nafas sambil tersenyum simpul.
“Ceritanya akan sangat panjang.” Jawab Thomas.
“Aku bisa mendengarkan sambil menemanimu berjalan – jalan.” Tim mendesak dengan lembut.
“Kau sungguh – sungguh ingin tahu rupanya.” Sindir Thomas halus. Tim hanya tersenyum ketika mendapati tak ada penolakan berarti dari ucapan Thomas. Pria maskulin itu pun hanya menegakkan kembali langkahnya seolah membiarkan Tim untuk mendengarkan ceritanya. Langkah mereka kembali menyusuri keremangan jalan di tepi sungai Han.
“Kau pernah merasa tidak nyaman pada seseorang, Tim?” tanya Thomas membuka percakapan. Tim berpikir sejenak.
“Tidak nyaman? Maksudmu?” Tim meminta penjelasan.
“Tidak nyaman. Ketika kau mendengar suaranya, ataupun, ketika dia menyentuhmu. Rasanya seperi ada sesuatu yang tidak mengenakan di jantungmu.” Jelas Edgar. Tim mengangkat kedua alisnya.
“Pernah.” Jawab Tim. “Pada orang yang kubenci, juga pada seseorang pernah aku sukai. Disaat bertemu dengan mereka, rasanya ada adrenalin lain yang terpacu di otakku. Rasanya memang tidak nyaman.” Jawab Tim. Thomas terdiam.
“Kau sedang membenci orang?” Lanjut Tim membuat Thomas menggeleng.
“Tidak. Aku rasa aku tidak membencinya. Dia sudah banyak membuatku tersenyum dan tertawa sejak awal pertemuan kami. Kurasa… orang itu tak pantas untuk dibenci.” Gumam Thomas. Otaknya menerawang dalam kegelapan tentang saat – saat pertemuannya dengan Edgar.
“Kalau begitu kau mencintainya.” Sahut Tim mantap.
“Apa?!” Thomas terkejut bukan main.
“Kau jatuh hati padanya.” Ulang Tim santai. Thomas tergugu.
“Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada orang yang membuatku tidak nyaman jika di dekatnya?!” Thomas berkilah. Tim tersenyum.
“Dari responmu, sepertinya kau memang ada rasa dengannya.” Kata Tim simple namun berhasil membuat Thomas terdiam seribu bahasa.
“Rasa tidak nyaman hanyalah perasaan yang tidak disadari dan ingin berontak keluar untuk disadari oleh pemiliknya. Seperti ada gelembung di perutmu yang membuatmu mual, namun merasa lega ketika kau bersendawa.” Ujar Tim terdengar seperti orang yang sok tahu. Namun Thomas diam – diam mengiyakannya.
“Tapi dia itu…” pria. Lanjut Thomas dalam hati.
“Dia kenapa?” Tim meminta kejelasan dari ucapan Thomas yang menggantung.
“Hmmm… tidak.” Thomas menggeleng cepat. Tim menaikkan sebelah alisnya. Namun ia tak terlalu mengambil pusing.
Sesaat kemudian, matanya beralih dan menatap jam tangannya. Tim membelalakkan matanya.
“Aigoo. Thomas~ssi, aku sudah harus pergi sekarang. Aku lupa kalau sekarang aku ada siaran!” Kata Tim cepat. Belum sempat Thomas menjawabnya, Tim sudah berlari menjauhi pemuda buta itu.
“Oh iya…” Dari kejauhan, samar – samar Tim berteriak dan kembali menoleh ke arah Thomas. “Semoga beruntung dengan pria-mu ya…” kata Tim lalu berlalu tanpa menoleh lagi.
Ucapan terakhir berhasil membuat Thomas bersemu merah. Ia sadar bahwa Tim mengetahui sesuatu akan dirinya dan Edgar.
‘Bagaimana dia tahu bahwa orang yang jadi masalahnya adalah seorang pria?’ batin Thomas.
-oOo-
Thomas bergegas mengeratkan paltonya. Ia terlihat terburu – buru ketika hendak membereskan barang – barangnya dan bergegas pergi dari toko bunga. Waktu memang belum menunjukkan jam kerjanya telah berakhir. Namun ia telah meminta Hee-Sun untuk datang lebih awal dan menggantikan posisinya dalam menjaga toko.
“Buru – buru sekali?” Suara Hee-Sun nyaris tak digubrisnya. Sepersekian detik ia baru menyadari ada orang lain di ruangan itu.
“Oh, Hee-Sun~yah. Mian, aku baru menyadari kehadiranmu.” Jawab Thomas enteng. Membuat Hee-Sun cemberut karena ia merasa tidak digubris keberadaannya. Tak peduli pada apapun – bahkan pada sapaan Hee-Sun yang berteriak – Thomas segera melangkahkan kakinya dan keluar dari toko Bunga. Ia berharap – harap cemas semoga saja ia tak menemui Edgar ketika ia keluar dari toko. Untuk kesekian kalinya ia merutuki kebutaannya yang membuat langkah kakinya menjadi lebih lamban daripada orang yang bisa melihat.
Drrrt…
Getaran ponsel tiba – tiba membuatnya seperti orang terkejut karena tersetrum aliran listrik kecil. Jantungnya berdebar – debar berharap bahwa Edgar tidak sedang mengikutinya dan sengaja meneleponnya.
'Senja eonnie memanggil… Senja eonnie memanggil…'
Voice call berbunyi nyaring membuat Thomas bernafas lega. Dengan ringan, ia menjawab panggilan ponsel yang terus saja berbunyi di saku paltonya.
“Hallo…” Sapa Thomas.
“Thomas? Kaukah itu?”
“Ya, ini aku. Ada apa?” Jawab Thomas tak sadar bahwa suaranya sedikit memburu.
“Thomas? Kau sedang terengah – engah?! Apa kau sedang berlari?” Tanya Senja di seberang sana.
“Ah, tidak. Aku hanya sedang ‘bersembunyi’ dari seseorang. Ada apa?” Tanya Thomas terdengar menuntut. Kentara sekali ia tak mengharapkan agar Senja membahas keadaannya sekarang ini.
“Aish… kau ini!” Gerutu Senja.“Aku hanya ingin bilang, urusanku di Busan sudah selesai. Jadi mungkin besok pagi aku akan mengunjungi flatmu.” Ujar Senja.
“Hmmm… baiklah - baiklah. Akan kutunggu kau besok pagi.” Kata Thomas hendak mengakhiri pembicaraannya.
“Tunggu!” Senja mencegah.
“Mwo?!”
“Aku akan membawa seorang teman besok. Kuharap kau tidak terkejut. Dan kuharap hubungan kita setelahnya akan baik – baik saja.” Senja terdengar sendu. Membuat Thomas bertanya – tanya mengapa tiba – tiba nada suara Senja berubah.
“Kau… kenapa?” Tanya Thomas. Terdengar helaan nafas disana.
“Tak apa. Akan kujelaskan besok pagi.” Ujar Senja kemudian langsung menutup ponselnya membuat Thomas bertanya – tanya. Beberapa saat kemudian dia hanya mengedikkan bahu dan bergumam ‘tunggu saja besok’.
Lima belas menit berlalu dan Thomas kini telah berada di perumahan Cheongdam-dong, tempat flatnya berada. Ia kini bisa bernafas lega karena sepertinya Edgar tidak mengikutinya lagi seperti kemarin – kemarin. Entah mengapa ia lupa seharusnya ia pergi dulu ke sungai Han untuk memastikan bahwa Edgar tidak menunggunya di flat. Namun tak ada pesan singkat ataupun missed call darinya yang belakangan ini sering bertengger di ponselnya. Bahkan pesan singkat dari Park Mi-Young yang biasanya memberitahu jika Edgar mencarinya, tidak ada di ponselnya. Bisa di pastikan bahwa hari ini Edgar memang tidak berkunjung ke flatnya.
Kali ini langkah Thomas lebih santai. Lenyap sudah kekhawatirannya. Ia berjalan melewati perempatan jalan di dekat flatnya yang sekarang bisa dibilang sudah didepan mukanya. Ia hanya perlu mengingat setiap jalan untuk sampai di rumahnya itu dengan selamat.
“Thomas!”
DEG!
Sebuah suara kini membuat Thomas meneguk salivanya. Kekhawatiran yang tadinya menguap kini malah bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Suara Edgar?! benarkah?
“Thomas!” Suara itu terdengar semakin mendekat ke arahnya. Thomas pura – pura tak mendengarnya. Hingga kini ia bisa mendengar suara langkah pria manis itu disebelahnya.
“Hei, Thomas!” Edgar masih berusaha memanggil. Thomas tampak gugup dan memaksakan sebuah senyum kaku.
“Ed… Edgar!” Ucapnya terdengar serak. Kini bayangan kecupan malam itu kembali mengisi otaknya. Tanpa permisi membuat benaknya terganggu dengan bayangan – bayangan yang akhir – akhir ini membuatnya merasa tak begitu nyaman.
“Hei, kemana saja kau. Kau harus berterima kasih padaku karena aku sudah sabar menunggumu di persimpangan jalan. bahkan sejak kemarin kau seperti menghilang dan tak ada kabar.” Edgar berbicara tanpa jeda seolah tak merasakan masalah yang tengah terjadi.
“Umm… maaf, Ed. Aku… sedang sibuk akhir – akhir ini…” Thomas mencari – cari alasan. Bagaimanapun ia tidak ingin terlihat jika ia sedang menjauhi pemuda manis itu karena ciuman yang tak sengaja ia lakukan malam itu.
“Aish… kau sedang tidak menjauhiku, kan?” Tanya Edgar membuat Thomas tersentak. Ia mengehentikan langkahnya sejenak.
“Tidak?! Aku tidak menjauhimu?! Kenapa kau berpikir seperti itu! Aku baik – baik saja! Hahahaha…” Thomas jadi salah tingkah membuat Edgar menaikkan sebelah alisnya. Bingung.
“Baiklah. Anggap saja begitu.” Gumam Edgar terdengar tidak meyakinkan. Thomas merasa bodoh karena ia tidak seharusnya merespon berlebihan seperti tadi. Ia kembali menelan salivanya dengan berat sambil merutuki kebodohannya.
Thomas kembali melangkahkan kakinya. Mencoba untuk mengendalikan pikirannya yang mulai mengganggu.
“Thom, apa aku melakukan kesalahan padamu?” Tanya Edgar mengikuti langkah Thomas.
“Tidak.” Jawab Thomas cepat.
“Lalu kenapa kau tidak membalas SMS ku atau menelepon balik?”
“Ponselku… sedang rusak?” kata Thomas beralasan.
“Rusak?” ulang Edgar tak percaya. Thomas hanya membalasnya dengan anggukan.
“Lalu… akhir – akhir ini kau jarang ke Jung’s Café. Tidak pernah terlihat di flatmu, bahkan ketika aku menyusul ke toko bunga, kau sudah pergi.” Desak Edgar.
“Sudah kubilang, aku sedang sibuk.” Kata Thomas. Kini mereka sudah sampai di depan pintu pagar. Thomas hendak membuka pintu pagar namun ditahan oleh Edgar.
“Biar aku saja.” Kata Edgar lalu membukakan pintu pagar itu untuk Thomas. Thomas tak mengubris dan hendak berjalan. Namun ia terkejut ketika tangan itu menyentuh pergelangan tangannya. Membuat rasa tidak nyaman itu kembali muncul.
“Ed… apa… yang kau lakukan?” Tanya Thomas. Kali ini langkahnya terhenti. Terdiam seperti membatu. Edgar menoleh tanpa melepas genggamannya.
“Biar aku yang menuntunmu. Kau juga biasa menyentuh lenganku untuk jadi panutan berjalan, kan?” Kata Edgar. Thomas kembali terdiam. Rasa tidak nyaman itu seperti memaksanya.
“Jangan begini. Kumohon.” Gumam Thomas seperti hendak melepaskan tangannya. Edgar sangat sadar sebuah perubahan pada diri Thomas. Ia hanya terdiam namun tak membiarkan tangan Thomas terlepas dari cengkramannya.
“Ini… tidak nyaman.” Gumam Thomas memohon. Namun Edgar masih tak melepaskan cengkramannya.
“Lepaskan!” Tegas Thomas kali ini tanpa bisa ditolak karena ia juga mengibaskan tangannya secara kasar, membuat cengkaram Edgar otomatis terlepas. Keduanya terdiam. Mencoba memahami situasi. Thomas tampak memejamkan matanya, antara menyesal telah melakukan demikian, namun sulit untuk mengungkapkan kata maaf.
Edgar juga hanya terdiam. Sikap Thomas akhir – akhir ini memang telah memmbuatnya sadar bahwa ada sesuatu antara Thomas dan dirinya. Bodohnya, hanya Thomas yang mengetahui sesuatu diantara mereka berdua. Dan sore ini menjadi penjelas bahwa Edgar seperti orang yang ingin dihindari Thomas.
“Kita harus bicara.” Edgar berbicara lebih dulu. Thomas menggigit bibir bawahnya.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan. Jangan ganggu aku.” Ujar Thomas sambil berlekas pergi menuju pintu dan menutupnya. Edgar tak memiliki niatan untuk mengejar langkah Thomas meski ia buta dan pasti langkahnya bisa terkejar oleh dirinya yang mempunyai kelebihan di matanya. Namun itu hanya akan memperburuk keadaan saja. Pada akhirnya ia hanya kembali menunggu meski Thomas mungkin takkan pernah membuka pintu itu.
“Thom! Aku akan menunggu hingga kau membukan pintu ini untukku! Kumohon! Bicaralah padaku! Aku tersiksa dengan sikapmu yang seperti ini!” Teriak Edgar didepan pintu flat Thomas.
Dibalik pintu, Thomas hanya menyenderkan punggungnya dan terduduk. Setitik airmata membasahi pipinya.
-oOo-
Edgar beranjak dari penantiannya ketika pintu itu tak pernah terbuka lagi untuknya. Hari pun semakin gelap, sudah lebih dari empat jam ia menunggu disini. Namun, pemuda maskulin yang berada dibalik pintu itu sepertinya enggan untuk menampakkan diri lagi dihadapannya. Atau mungkin, berharap Edgar lah yang tak menampakkan diri dihadapannya?! Entahlah…
Edgar mulai menapakkan langkah pertamanya untuk pergi ketika suara pintu berderit terdengar di belakangnya. Ia menoleh kebelakang dan mendapati pemuda yang sedang berdiri di ambang pintu.
“Edgar…” Panggil Thomas. Edgar hanya terdiam sambil memandang sendu ke arah Thomas.
“Edgar? Kau… masih disini, kan?” Tanya Thomas memastikan. Matanya mencari – cari ke segala arah. Edgar tersenyum.
“Kupikir kau tidak akan membuka pintu itu lagi.” Ujar Edgar membuat tolehan kepala Thomas mengarah ke arah Edgar berada. Namun wajahnya masih sama datarnya seperti sebelumnya.
“Masuklah. Sebelum kau mati membeku diluar sana.” Gumam Thomas akhirnya mempersilakan Edgar untuk masuk.
Kata – kata Thomas yang terakhir seolah membuat Edgar tersadar. Ia baru menyadari bahwa kini tubuhnya seperti sedang di serang hipotermia. Bibirnya terasa kering dan hidungnya merah. Belum lagi kulit lehernya yang kini seperti mati rasa. Sepuluh menit lagi mungkin saja dia akan hilang kesadaran jika tak menyadari dirinya kini nyaris membeku.
Edgar bergegas masuk ke flat Thomas begitu pemuda itu mempersilakannya. Tanpa di beri aba – aba, pemuda manis itu langsung bergegas menuju kursi di dekat perapian. Ia melepas sarung tangannya dan mengarahkan telapak tangannya ke arah perapian.
“Mau kubuatkan minuman hangat?” Tawar Thomas datar.
“Tak perlu.” Sergah Edgar cepat. “Aku tahu kau menyuruhku masuk hanya untuk membicarakan sesuatu padaku, kan?” Tebak Edgar yang membuat Thomas berdiri mematung dengan wajah yang benar – benar datar.
“Bukan aku, tapi kau.” Bantah Thomas. “Apa yang ingin kau bicarakan?”
Edgar menghela nafas dan mendudukkan tubuhnya menghadap Thomas. “Kenapa?” Tanya Edgar membuka percakapan. “Kenapa kau lakukan ini padaku? Apa aku membuat sesuatu yang salah padamu?”
Thomas masih memasang wajah datarnya. “Apa maksudmu dengan ‘kenapa’? aku baik – baik saja.” Ujarnya. Edgar tersenyum sinis. Terlihat jelas Thomas masih berusaha menutupi apa yang ia rasakan sebenarnya.
“Kau menghindariku. Apa sekarang kau takut padaku?” Tanya Edgar sarkastik.
“Kenapa aku harus takut padamu?” Thomas bertanya balik. Seolah meminta pernyataan lebih rinci.
“Karena aku menyukaimu.” Edgar segera memperjelas praduganya tanpa basa –basi. Membuat Thomas terdiam untuk beberapa menit dan menelan berat salivanya.
“Aku tak pernah takut pada perasaanmu, Ed.” Gumam Thomas untuk beberapa saat. Menjedanya dengan helaan nafas berat. “Tapi aku takut pada perasaanku.”
Edgar menaikkan alisnya tak mengerti. Namun sebelum ia menyela ucapan Thomas, pemuda itu kembali membuka suaranya.
“Aku takut jika nantinya aku akan menyukaimu. Kumohon, bantulah aku agar perasaan terlarang itu tidak muncul, Ed. Aku tidak ingin menganggapmu lebih dari seorang teman.”
Edgar terdiam. Seolah kata – kata itu membuat dirinya tertampar.
“Aku tak nyaman saat di dekatmu. Ada rasa yang mengganggu saat tanganmu menyentuhku. Aku hanya takut itu adalah rasa yang aku takutkan selama ini. Kuharap aku bisa berpura – pura untuk tak mengetahui perasaan itu, Ed.” Kata Thomas sarkastik.
Edgar menunduk. Ia merasa malu dengan Thomas. Ia tahu kini Thomas tengah bersusah payah agar tak jatuh cinta padanya karena itu terlarang. Ada sedikit rasa bersalah sekaligus kebanggaan yang membuat perasaannya dilema.
“Thomas… aku…” Edgar menggumam ragu sambil menunduk. Ia cukup malu untuk bisa melihat wajah Thomas yang padahal tidak bisa melihat wajahnya. Untuk berkata – kata saja rasanya seperti ada yang mengganjal tenggorokannya. “Aku…”
BLAM!
“Aaahhh!!” Edgar tiba – tiba berteriak ketakutan membuat Thomas bingung sekaligus khawatir. Ia bertanya – Tanya apa yang terjadi pada Edgar kini.
“Ed, kau kenapa? Kenapa kau berteriak?!” Tanya Thomas sambil meraba – raba mencari Edgar. Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara rahang yang saling beradu. Namun suara itu sudah cukup bagi Thomas untuk mengetahui posisi duduk Edgar. Ia bisa merasakan kulit dingin dari pemuda yang sedang terduduk ketakutan.
“Ed…” Panggil Thomas lagi. Ia bisa merasa kalau tangan Edgar sedang gemetar. “Ada apa? Kau ketakutan?” Tanya Thomas.
“Gelap.” Gumam Edgar terdengar serak. “Lampunya… tiba – tiba mati.”
“Apa?” Thomas langsung bangkit. “Sepertinya daya listriknya sedang turun. Aku akan memeriksanya.” Baru saja Thomas hendak beranjak, tangan dingin Thomas segera menahannya.
“Tidak, kumohon!” Edgar terdengar memelas. “Jangan tinggalkan aku disini. Aku… takut sendirian dalam gelap.” Gumam Edgar membuat Thomas menaikkan sebelah alisnya.
“Apa?” Thomas masih tak mengerti.
“A… aku pengidap achluphobia.” Kata Edgar singkat sambil mengeratkan genggaman di tangan Thomas kuat. Thomas terdiam sejenak. Kata – kata tersebut membuat Thomas iba. Apalagi rasa tangan yang sebeku es membuat Thomas yakin jika Edgar benar – benar seorang pengidap phobia ruang gelap.
“Kumohon…” Edgar memelas lagi. Kali ini berhasil membuat Thomas duduk di sebelahnya. Untuk beberapa detik mereka benar – benar terdiam dalam ketakutan. Edgar terus mencengkeram erat lengan kokoh Thomas. Sementara Thomas tak tahu harus berekasi seperti apa.
“Kau benar – benar takut gelap?” Tanya Thomas namun Edgar begitu berat untuk menjawab pertanyaan Thomas.
“Aku mengerti. Kegelapan memang terasa mencekik.” Kata Thomas seolah menjawab pertanyaannya sendiri. Ia kemudian menggenggam telapak tangan Edgar untuk menenangkannya. Rasanya dingin dan sedikit bergetar.
“Kau hanya perlu membiasakan dirimu untuk hidup didalam kegelapan.” Ujar Thomas. “Sepertiku.” Lanjut Thomas.
Edgar menoleh dan mengernyitkan dahinya. “Apa… aku bisa…” Gumam Edgar. “Apa aku bisa sepertimu…” Tanya Edgar tercekat. Mendapat tanggapan dari Edgar membuat Thomas tersenyum.
“Mau mencobanya?” Tanya Thomas. Edgar tak menjawabnya. Namun bukan berarti dia menolaknya.
Thomas tersenyum. “Rileks saja… kau tak perlu takut.” Bisik Thomas. Nafas Edgar menderu ketika Thomas pelan – pelan melonggarkan genggamannya. Mencoba untuk membiarkan Edgar terbiasa sendiri dalam kegelapan.
Namun, baru beberapa detik jemari Thomas terlepas dari kulit Edgar, tangan Edgar segera menyambarnya lagi. Kali ini cengkramannya lebih erat dan lebih kuat hingga membuat buku – buku jarinya memutih.
“Jangan tinggalkan aku. Kumohon…” Gumam Edgar sambil bergetar. Kini tangannya terasa keringat dingin. Membuat Thomas tercenung.
Thomas tersenyum menenangkan. Sebelah lengannya melingkar di bahu Edgar dan menepuk – nepuk pelan.
“Jangan takut. Ada aku disini.” Gumam Thomas yang tanpa disadari membuat ketenangan di hati Edgar. Membuat kepala itu tersandar di bahu Thomas dan tanpa ada penolakan berarti dari Thomas.
“Aku mungkin takkan bisa sekuat dirimu dalam menghadapi kegelapan.” Gumam Edgar. Thomas tersenyum mendengar bisikan itu di sebelahnya. Matanya tertuju pada perapian yang perlahan mengecil apinya meski tak fokus disana.
“Aku tak pernah mampu menghadapi kegelapan, Ed.” Gumam Thomas terdengar seperti sebuah pengakuan.
Perlahan, malam semakin larut mengantarkan keduanya dalam kegelapan yang lebih indah.
-oOo-
TOK… TOK… TOK…
Suara pintu yang diketuk berkali – kali itu membuat Edgar terbangun. Belum sempat kesadarannya terkumpul, ia mendapati Thomas tertidur disebelahnya. Perapian telah lama padam. Selimut kini bertengger ditubunya. Sepertinya Thomas memberikannya selimut saat ia tertidur di sofa semalaman.
Melihat wajah Thomas yang sedang tertidur lelap disebelahnya membuat Edgar tersenyum. Ia pun kemudian menyelimuti pemuda itu dan membiarkan Thomas tetap dalam mimpinya. Thomas menggeliat perlahan ketika selimut telah bertengger di tubuhnya. Terangnya pagi menusuk pandangan Edgar yang masih sayu. Ia tak henti – hentinya tersenyum simpul melihat wajah Thomas yang sedang terlelap.
TOK…TOK… TOK…
Pikiran Edgar buyar saat suara ketukan kembali terdengar. Ia baru sadar bahwa ada sebuah pintu yang harus segera dibuka. Edgar berpikir mungkin saja Mi-Young, tetangga Thomas yang datang sepagi ini.
“Tunggu sebentar.” Gumamnya sambil mengucek mata. Ia berjalan santai ke arah pintu. Tak memedulikan kakinya yang dingin karena lantai kini sedingin es akibat musim salju. Ia terus saja berjalan ke arah pintu yang terus minta dibuka.
TOK… TOK… TOK…
Edgar segera membuka pintu dan menyipitkan matanya karena matahari pagi yang menusuk. Ia mendapati seorang wanita berwajah oriental yang wajah cerahnya berubah ketika mendapati Edgar membuka pintu didepannya!
Ekspresi hangat nya berubah kaget dan Edgar bisa merasa pandangan tak suka dari matanya.
“Siapa?” Tanya Edgar santai.
PLAK!!!!
Sebuah tamparan yang ia terima sebagai jawabannya. Edgar terkejut bukan main pada wanita yang kini dimatanya tersulut kebencian menatapnya. Ia memegangi pipinya yang panas sambil menatap bingung ke arah wanita yang matanya sangat mirip dengan Thomas itu.
“Keparat! Mau apa lagi kau datang kesini?!” Omelnya pedas. Membuat Edgar mendapati bayang – bayang samar tentang wanita didepannya itu. Kepalanya sedikit pening.
-oOo-
.
.
.
Kamus:
-Hipotermia: Keadaan saat tubuh mengalami penurunan daya tahan tubuh akibat keadaan dingin yang ekstrem. Bisa mengakibatkan kebekuan atau juga bahkan kematian.
-Achluphobia: Phobia pada ruang gelap.
Karena The Lost Sonata juga kepaus, terpkasa saya mesti ngetik ulang chapter ini. sebenarnya perjalan menuju konflik masih tiga chapter lagi. tapi berhubung saya males ngetik ulang lagi, jadinya konflik kayaknya bakalan dimulai dari chapter 12 ini... -_-... #fiuh...
Sepanjang jalan saya ngetik nih chapter, udah kepikiran apakah para readers pada menunggu kelanjutannya, pada protes minta kelanjutannya yang udah lama gak di apdet, dan akhirnya meninggalkan lapak ini...
Tapi sepertinya... tidak ada yang menunggu! YEAY!!! :'D ~Ketawa Sakit hati~.....
But, well... berharap semua masih menikmati cerita ini...
katanya ada blog.. nama blognya apa...
Itu yg edgar membulatkan mata.. Harusnya Thomas kan ya TS..?
Aku masih setia kok.^^
ditunggu kelanjutannya.
gimana ya perasaan thomas kalau tau edgar itu eliana?
gimana ya perasaan thomas kalau tau edgar itu eliana?