It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tetep konsisten ya TS nya
Ada "pembatasanya" deng ternyata hahahaha
*anyway, baca ulang aja deh. Entar kalau udah gak bingung, tulisan ini saya edit*
Apel yang berlangsung selama setengah jam pun akhirnya usai. Kakak panitia langsung membagi para peserta menjadi sepuluh kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Entah aku harus menyebutnya beruntung atau sial, karena aku berbeda kelompok dengan Alvi. Biarlah, dengan begini aku bisa mengenal peserta lain yang sebagian besar beda kelas denganku.
Kelompokku adalah satu dari tiga kelompok yang lebih banyak ceweknya ketimbang cowok. Dan mereka semua tidak ada yang sekelas denganku. Hanya Hanifa, cewek berkerudung yang mungkin paling kukenal karena waktu kelas 3 SMP kami sempat sekelas.
Dua cewek lainnya kurang kukenal, meskipun aku rajin hadir dalam kegiatan materi organisasi untuk para kader yang diadakan saat pulang sekolah, aku belum terlalu kenal mereka. Hanya sekedar kenal wajah dan nama tapi tidak pernah benar-benar ngobrol atau bercanda.
Mita, cewek kelas 10-C berambut panjang dan selalu pakai bando. Aku ingat waktu ada games yaitu membawa bola dengan beberapa utas tali yang tidak boleh disimpul atau diikat, kelompoknya gagal karena ada senior yang jahil melepas bandonya dan dia dengan entengnya melepas tali yang dipegangnya untuk mengambil bandonya. Bando, ya ampun.
Cewek yang satu lagi berkacamata dan rambutnya sebahu, Reva. Dia adalah salah satu kader yang paling vokal dan kritis sejauh pengamatanku. Alvi adalah saingan beratnya karena mereka sering berbeda pendapat dan berdebat selama kegiatan pengkaderan. Mungkin dia bisa jadi salah satu andalan bagi kelompokku, tapi bisa saja dia jadi bumerang karena kadang kelewat kritis itu tidak baik.
Dan satu-satunya cowok selain aku di kelompok ini namanya Fathan. Bodohnya aku baru tahu nama sebenarnya sekarang. Selama ini aku hanya dengar-dengar saja dari orang yang memanggil dia. Kupikir namanya Nathan, nama yang sering dipakai orang. Kalau dari penampilan, tentu aku menilainya berbeda dibanding menilai tiga cewek tadi. Haha.
Fathan sedikit lebih tinggi dan berisi dariku. Wajahnya lumayan ganteng meskipun hidungnya tidak terlalu mancung, tapi membuat wajahnya proporsional dan manis, kalau mancung malah aneh kebayangnya. Selama ini aku hanya kenal wajahnya saja, benar-benar tidak pernah bertegur sapa, hanya sekali dan itu pun ketika kenalan sesama angkatan. Orangnya pendiam dan cuek. Jarang bicara untuk mengungkapkan pendapatnya ketika sedang diskusi, bisa dibilang Fathan hanya bicara ketika diminta bicara. Selebihnya jangan harap dia mau membuka mulutnya.
Dengan komposisi kelompok seperti ini, akhirnya setelah briefing yang menyuruh para peserta mempersiapkan yel-yel kelompok selama perjalanan, dapat kupastikan Reva akan paling banyak mengatur meskipun tidak ada yang memilihnya sebagai pemimpin.
Kami semua menaiki bis sedang milik TNI yang disewa untuk membawa kami semua ke tempat LDKO. Ada dua bis untuk peserta dan panitia. Kata Aya tempatnya di kawasan Mega Mendung, Puncak, cuma masih jauh ke dalam dan harus berjalan kaki sekitar setengah jam. “Jadi pas kalian baru dateng, langsung tes fisik,” begitu kata Aya waktu aku mengeluhkan akses villa-nya yang harus jalan kaki. Aku hanya bisa pasrah.
Di dalam bis, semuanya duduk berdekatan dengan kelompoknya masing-masing. Aku dan kelompokku duduk di bagian tengah bis yang settingan bangkunya 2-2. Alhasil, Reva duduk dengan Hanifa sementara Mita malah modus duduk dengan Fathan. Duh. Mereka berempat duduk di baris yang sama sementara aku duduk di depan Reva, sendirian. Sehingga ketika kami berdiskusi mengenai yel-yel, aku harus memutar badanku dengan kakiku menghalangi jalan supaya dapat bertatap muka dengan mereka semua.
Sepanjang perjalanan kami mencoba beberapa alternatif yel-yel, yang sebagian besar merupakan idenya Reva. Tapi ternyata Hanifa punya nada yel-yel yang lebih bagus dan pada akhirnya menjadi yel-yel final kami. Aku merasa Reva seperti tertekan supaya kelompok kami punya yel-yel yang paling bagus, paling beda, dan paling spektakuler. Padahal menurutku itu hanya yel-yel. Sebagai penghibur, bukan hanya bagaimana bunyinya tapi juga tentang bagaimana menampilkannya dengan baik. Dan aku meragukan Fathan untuk hal itu.
Sementara dari kursi belakang kulihat kelompoknya Alvi malah paling ramai. Mereka tertawa-tawa ketika mencoba yel-yel mereka yang terdengar nyeleneh. Tapi mereka menikmatinya. Seharusnya seperti itulah suasana diskusi yang seharusnya. Ah, Reva bisa jadi pengacau nih. Tapi aku tidak bisa bersuara karena yang lain tampaknya nurut-nurut saja. Huft.
Setelah setengah perjalanan, kami sudah melewati persimpangan keluar kota Bogor. Artinya tidak lama lagi akan sampai Ciawi dan mulai naik-naik ke atas gunung. Hehe. Reva sama Hanifa lagi sibuk ngobrol berdua, ternyata mereka tetanggaan jadinya akrab. Kulihat Fathan malah tidur sementara Mita sedang asyik mainin ponselnya. Mungkin sedang puas-puasin sebelum ponsel kami semua dikumpulin sama panitia. Sementara suara kelompok Alvi masih terdengar seolah mereka tidak ada capeknya nyanyi-nyanyi gak jelas.
Karena duduk sendiri, aku bebas memilih tempat duduk yang dekat gang atau jendela. Dan karena sudah tidak ada hal lain yang perlu dibahas oleh kelompokku, aku memutuskan duduk mojok di jendela dan menikmati pemandangan jalan tol yang sebenarnya itu-itu saja. Pohon di pinggir jalan dan mobil-mobil kecil yang melaju lebih kencang dari bis ini.
“Lho kelompok ini sepi banget,” kata seseorang. Aku langsung mengalihkan pandangan dari jendela dan melihat orang yang bicara. Bima. Astaga, saking sibuknya ngurusin yel-yel, aku sampai gak sadar kalau dia satu bis denganku. Mungkin dia duduk di barisan depan sehingga aku yang naik dari pintu belakang tidak melihatnya.
“Kita kan diskusinya cepet kak, jadi sekarang milih istirahat biar gak kecapekan di jalan,” Reva langsung menjawab sehingga Bima mengalihkan pandangan ke belakangku.
“Ooh. Udah fix emang yel-yel nya?” tanya dia lagi. Sepertinya dia dapat peran jadi senior yang baik nih. Atau pura-pura baik karena ada aku? Haha. Dengan santai dia menduduki kursi di sebelahku yang kosong.
Eh ngapain nih dia? Masa modus di acara kayak gini sih? Pikirku dalam hati. Tapi terima aja deh, biar kunikmati saja.
“Sudah dong,” jawab Reva yang dari suaranya pasti wajahnya menampakkan kepercayaan diri berlebih. Posisi duduk Bima jadi sepertiku saat sedang diskusi yel-yel tadi, kakinya menghalangi jalan.
Kulihat Bima hanya mengangguk-angguk pelan lalu memutar badannya ke depan supaya duduk dengan normal. Aku hanya memperhatikan saja gerak-geriknya tanpa bersuara, lalu tiba-tiba dia menoleh padaku dan nyengir lebar sampai deretan giginya yang rapi kelihatan. Aku memicingkan mata tidak mengerti, kenapa tiba-tiba duduk di sebelahku dan nyengir aneh begitu.
Tanpa kuduga dia mengangkat tangan kanannya dan mendaratkannya di pahaku. Serius! Di paha kiriku. Wah, terlalu nih! Aku sih senang saja dia pegang-pegang begitu, ups, tapi gak disini juga kali. Di bis sedang yang isinya ada dua puluh orang lebih. Bahaya kalau ada yang lihat. Dengan cepat kusentil saja tangannya supaya enyah dari pahaku.
Dia hanya terkekeh pelan melihat tingkahku sambil menarik tangannya. Aku pura-pura kembali melihat ke luar, sekarang sudah melewati hampir sampai pertigaan yang mempertemukan kendaraan dari tol dengan kendaraan dari arah pasar Ciawi. Entahlah, aku tidak tahu namanya. Kemudian paha kiriku terasa menempel sesuatu dan menekan-nekan. Aku menoleh lagi pada Bima yang sedang melihat-lihat foto di kamera digitalnya. Dia dengan sengaja menyenggol-nyenggol pahaku dengan pahanya. Huft. Ya sudahlah, kubiarkan saja. Mungkin dia lagi kangen dan sekarang adalah kesempatan terakhir dia bisa melakukannya sampai selesai acara nanti.
Sambil melihat pemandangan jalan raya Puncak diiringi udara yang mulai sejuk, aku teringat kembali saat itu. Saat dimana dia modus padaku dan membuatku tahu siapa dia sebenarnya. Suatu waktu yang menjadi titik balik hubungan kami berdua dari sekedar senior-junior menjadi pasangan yang saling sayang.
Siang itu, aku melihat sebuah mobil yaris hijau parkir di depan rumah. Aku tidak kenal mobil siapa itu. Tidak ada satu pun saudaraku yang kukenal punya yaris warna hijau. Aku dan Alvi yang baru saja selesai main basket di lapangan basket dekat rumahku langsung masuk rumah sambil memandangi mobil itu.
Pintu depan terbuka, artinya ada tamu, dan kemungkinan tamu itu menggunakan mobil yang terparkir di depan. Aku membuka sepatu dan langsung masuk. Hatiku langsung bergetar begitu melihat orang yang sedang duduk di sofa. Dia, bagaimana bisa dia ada di rumahku?
Kehadiran Aya membuatku menemukan jawabannya. Ah iya, Aya kan temannya. Alasan apa lagi dia berkunjung kesini? Terlalu berkhayal kalau aku berpikiran dia ke rumahku untuk menemuiku. Dia seniorku, dan kami hanya ngobrol atau bercanda sekedarnya. Dan kebanyakan topiknya mengenai organisasi atau sekolah.
“Udahan main basketnya?” tanya Aya yang muncul dari dalam sambil membawakan dua gelas sirup dingin.
“Udah lah, masa mau main seharian,” jawabku sambil ingin cepat-cepat berlalu dari ruang tamu. Aku kikuk karena ada Bima disana. Dia melemparkan senyuman manisnya padaku dan juga Alvi. Senyuman menyapa, tidak lebih sepertinya.
“Baik banget kakak lu Mil langsung siapin minum buat kita,” cerocos Alvi sambil bergerak maju untuk merain minuman yang masih berada di atas nampan yang dipegang Aya. Aku tahu Alvi hanya bercanda.
“Eh enak aja,” elak Aya sambil meletakkan nampannya di meja. “Ini buat tamu kali,” tuturnya.
“Gue kan juga tamu, Ya,” ujar Alvi bersungut. Dia memang memanggil Aya tanpa sisipan ‘kak’ karena aku memanggil Aya demikian kecuali saat acara OSIS. Melihat tingkah Alvi, aku jadi ingin tertawa. Bagaimana bisa dia mendapatkan hati Aya kalau kelakukannya di depan Aya memalukan begini.
“Udeh buru yuk ke kamar gue, lu kan tamu gue, bukan tamunya Aya,” kataku sambil menarik tangan Alvi supaya segera meninggalkan ruang tamu. Ah bener-bener kikuk, apalagi sepertinya dari tadi Bima memperhatikan terus. Haha PD.
“Suatu saat gue bakal jadi tamunya Aya kok, Mil,” katanya dengan penuh percaya diri sambil mengedipkan sebelah matanya pada Aya. Bodoh, mana mungkin Aya akan terkesima, yang ada dia jadi illfeel.
Baru beberapa langkah kaki ini berjalan, aku dan Alvi kembali berhenti karena Bima mengatakan sesuatu, “kalian abis ini ada acara apa? Ikut aja yuk. Biar rame,” katanya. Aku menoleh melihatnya, seolah ingin memastikan apa benar dia yang bicara barusan.
“Kemana kemana?” tanya Alvi bersemangat. Duh nih anak, lupa kali kalau rencana kami setelah main basket adalah ngerjain tugas karya ilmiah. Bahkan sebenarnya mengerjakan tugas adalah alasan pertama dia ke rumahku, main basket hanya bonus karena dia sekalian reuni dengan teman-teman SMP yang satu komplek denganku.
“Ngajak mereka? Bau gitu,” cibir Aya tampak tidak senang.
Aya pasti ingin berduaan saja dengan Bima. Aya suka sama Bima, aku tahu itu. Sementara aku tidak tahu apakah Bima punya rasa yang sama pada Aya. Saat awal kami berkenalan dia bilang dia hanya temannya Aya, dan sampai sekarang aku tidak pernah menanyakan apakah sudah ada perubahan status pada hubungan mereka. Atau mungkin aku yang tidak berani bertanya karena aku tidak akan bisa menerima jawaban paling pahit yang ada?
“Iya udah kak Bima sama Aya aja,” timpalku yang membuat Alvi menyenggol lenganku dengan cepat. Ah dia memang maunya. Dengan ikut mereka, artinya dia bisa mendekati Aya dan tebar pesona pada kakakku satu-satunya. Memang manusia satu ini mental baja muka tembok.
“Gak pa-pa. Gue kan lagi ulang tahun nih, Mil. Jadi makin rame makin asyik,” ujarnya seperti begitu menginginkan keikutsertaanku. Mengingatkanku pada kejadian di depan ruang sekretariat OSIS waktu itu.
“Wah, ditraktir donk kak?” seru Alvi bersemangat. Duh nih anak bener-bener lincah kalau ada traktiran. “Kita ikut deh ya!” imbuhnya. Sejak kapan aku bilang setuju sehingga seenaknya saja dia memakai kata ‘kita’.
Bima menangguk sambil tersenyum pada kami. Aya memandangnya seolah tidak percaya bahwa awalnya yang pasti dikiranya kencan menjadi acara traktir biasa dimana aku dan Alvi si pengganggu baginya turut serta. Seolah ada dua kubu sekarang, aku dan Aya yang hanya ingin mereka berdua yang pergi, kubu yang satu lagi Alvi dan Bima yang ingin kami semua pergi. Tapi tetap saja, biarpun kami tuan rumah, aku dan Aya seolah tidak berkutik dengan kubu Alvi-Bima. Apalagi Bima yang berulang tahun. Dialah rajanya dalam sehari ini.
Aku dan Alvi langsung bergegas ke kamarku untuk bersiap-siap membersihkan diri. Alvi yang paling semangat sampai-sampai ngajakin mandi bareng. Dih, gak ah. Ama kak Bima baru aku tidak bisa nolak. Haha. Terbersit di benakku, setidaknya aku dan Alvi memberikan waktu pada Aya untuk berduaan dengan Bima sekarang.
Hanya dalam setengah jam, aku dan Alvi sudah berubah dari dua remaja dekit penuh keringat karena habis main basket menjadi remaja keren yang siap hang-out kemana pun yang traktir mau ngajak.
“Kita mau kemana nih?” tanya Alvi sambil senyum-senyum tidak jelas.
“Nonton,” jawab Aya terdengar ketus. Sepertinya waktu yang aku dan Alvi berikan belum cukup buat dia. Haha, jangan salahkan adiku ini ya, Aya. “Yuk, masih keburu nih nonton yang jam dua siang,” imbuhnya setelah melirik jam tangannya.
Tanpa basa-basi kami semua langsung pergi keluar meninggalkan pembantuku seorang diri karena mama dan papa sedang pergi ke pesta pernikahan teman papa. Kamu naik mobil yaris hijau yang ternyata dipinjam Bima dari kakaknya. Ya iyalah, masa iya baru kelas 2 SMA sudah dibelikan mobil, KTP aja belum punya. Saat kutanyakan soal SIM dan tilang, Bima bilang tenang saja karena dia sudah pegang surat tilang dari kakaknya yang kemarin lusa kena tilang. Jadi biarpun kena razia pun tidak akan kenapa-kenapa. Aku hanya mengangguk-angguk saja mendengar jawabannya.
Tidak lama, kami sampai di mall yang berada di dekat komplekku. Ah kalau kesini doang sih mana perlu SIM, seingatku tidak pernah ada polisi yang melakukan razia disini. Setelah parkir, Aya memaksa untuk jalan buru-buru karena 15 menit lagi filmnya mulai.
“Nonton film apa sih emang?” tanyaku penasaran. Kami baru saja menaiki lift menuju ke bioskop.
“Insidious 2, udah buruan, siapa tahu masih dapet tempat bagus,” kata Aya yang berjalan di depan dan mempercepat langkah kakinya.
“Ya kalau gak dapet yang jam dua, kita nonton yang jam selanjutnya aja, Ya,” kata Bima dengan santai. Bener tuh, daripada harus jalan cepet gini kayak lagi lomba 17-an. Aku hanya menggerutu dalam hati.
“Gak bisa, Bim. Nanti nyokap keburu pulang, gue kan gak boleh pulang malem-malem sekarang, apalagi mau UTS,” kilah Aya cepat.
“Kan perginya sama Emil,” cerocos Alvi menemukan celah untuk mematahkan asumsi Aya.
“Iya, kan sama Emil ini,” timpal Bima satu paham dengan Alvi.
Aya menoleh kepadaku dan aku hanya nyengir bodoh karena aku tidak tahu harus berkata apa. Dua orang itu dari awal memang sudah satu kubu, pasti bakalan selalu sepaham deh.
Setelah berjalan cepat selama beberapa menit dari parkiran dan hanya istirahat saat naik lift tadi, kami pun tiba di bioskop. Aya dan Bima sedang antri untuk membeli tiket, sementara aku dan Alvi hanya menunggu. Kalau dilihat dari jamnya, seharusnya filmnya sudah mulai. Artinya kalau kami dapat tiket, kami akan ketinggalan beberapa menit awal film.
“Insidious film apa sih?” tanyaku pada Alvi. Jujur aku tidak pernah mendengar nama film ini dan tiba-tiba sudah ada sekuel keduanya saja. Bahkan aku baru tahu bagaimana tulisan judul filmnya yang benar ketika membacanya di daftar Now Playing karena jawaban Aya tadi terdengar olehku sebagai Insedyus. Jauh banget ya? Hmm.
“Film komedi kok,” jawab Alvi tanpa memandangku. Matanya berkeliling memperhatikan sekitar, lobi bioskop yang ramai pasangan muda-mudi berpacaran.
“Ooh.” Aku manggut-manggut lagi.
Tidak lama berselang, Aya dan Bima datang dengant tiket di tangan mereka. Wah ternyata kami beruntung karena masih dapat tempat duduk di baris tengah. Aku baru sadar ternyata Aya yang sepertinya begitu bernafsu pada film ini. Buktinya saat Bima ingin beli popcorn dulu, dia tidak mau menemani sehingga akhirnya aku yang menemani Bima. Sementara Aya dan Alvi bersama-sama masuk ke dalam bioskop. Wah, asik. Aku dan Alvi sama-sama bisa modus dengan target kami masing-masing nih. Hahaha.
“Tumben-tumbenan kak ngajak Aya nonton,” kataku ketika kami sedang menunggu popcorn dan softdrink yang kami pesan.
“Bukan gue yang ngajak, Mil. Dia yang minta,” jawabnya sambil terkekeh pelan. Aku manggut-manggut lagi. Entah kenapa rasanya aku tidak bisa membuka topik yang bisa dibicarakan dengan Bima padahal kesempatannya ada dan sekarang sedang berlangsung. Kalau aku bisa telepati, sudah kuperintahkan petugas yang melayani kami supaya lebih lama mengambil popcorn-nya. Ngayal deh.
“Minta traktir karena lu ulang tahun ya, kak?” tanyaku. Aku memang sudah biasa menggunakan kata sapa lu-gue dengannya. Kecuali saat acara OSIS, aku menghargainya sebagai seniorku dengan tidak menggunakan kata sapa tersebut.
“Iya.”
“Berdua doang?” aku bertanya lagi. Hemm, sepertinya mulai mengalir nih obrolannya.
“Berempat kan ini,” jawabnya sambil menoleh padaku. Oh iya, bodoh. Tapi bukan itu maksud pertanyaanku.
“Awalnya cuma mau berdua aja kan?”
“Iya sih, haha. Biar gak jebol terlalu dalam dompetnya,” candanya. Aku tertawa kecil dengan candaannya yang sedikit garing. Kalah jauh dibanding candaannya Alvi. Tapi kadang Alvi malah nyeleneh dan terlihat aneh.
Kemudian pesanan kami datang, 4 soft drink dan 4 popcorn medium. Semuanya Bima yang bayar. Enaknya jalan-jalan di traktir. Rejeki dadakan meskipun pada awalnya aku menolah. Aku kebagian bawa popcorn karena Bima keukeuh mau bawa soft drink yang jelas-jelas lebih berat. Aku nurut.
“Hobi main basket?” tanya Bima saat kami berjalan melintasi lobi bioskop menuju studio dua dimana film kami diputar.
“Gak terlalu sih. Tapi sering main aja sama anak-anak SMP,” jawabku. Lagi-lagi perasaan kikuk datang menghampiriku. Langkah kaki terasa goyah, pandangan mata kemanapun terasa salah, dan tangan kiriku yang bebas karena tidak membawa apa-apa terasa kebas, tidak bisa diam. Rasa ini yang sering muncul saat aku dekat dengannya. Semuanya terasa serba salah, padahal hanya ada satu hal yang salah, yaitu aku menyukainya.
“Main basket lawan anak SMP? Gak malu?”
“Bukan itu maksudnya kali,” kataku meralat. Dia salah sangka, atau jangan-jangan pura-pura salah sangka untuk meledekku. “Maksudnya lawan temen-temen SMP dulu,” jelasku.
“Iya paham kok, becanda doang tadi,” katanya sambil tertawa pelan.
“Bilang dong kak kalau bercanda, jadi gue bisa pura-pura ketawa,” aku balas meledeknya dan dia malah tertawa sendiri. Dih, aneh.
Setelah kami melewati proses pengecekan tiket, aku langsung mencari dimana Aya dan Alvi duduk. Kami memesan empat bangku sederet. Saat sudah di baris tempat duduk kami, kulihat Alvi dan Aya duduk bersampingan, sementara dua bangku sisa yang kami pesan ada di sebelah kiri Aya.
Aku mempersilakan Bima duduk di sebelah Aya dan aku duduk di sebelah kirinya. Sedikit salah sih rasanya posisi duduk seperti ini. Harusnya aku duduk sebelahan dengan Alvi juga, tapi biarlah daripada ribet. Lagipula di sebelahku ada Bima.
Saat mulai menonton aku merasa aneh. Kok film komedi tapi filmnya gelap begini?
Sial!! Kena tipu lagi sama cunguk satu itu. Pantas saja tadi dia tidak mau melihatku dan malah melihat-lihat sekitar saat menjawab pertanyaanku. Kalau dia melihatku, aku bisa tahu bahwa dia berbohong. Cunguk!
Aku memajukan badanku sedikit dan menengok pada Alvi. Dia menyadari aku melihatnya dan hanya cengengesan sendiri. Pasti sedang senang karena berhasil mengerjai aku yang polos begini. Huh.
Kucoba kembali fokus pada film. Tidak, bukannya aku takut pada film horor. Hanya saja ekspektasiku sebelum masuk studio aku akan tertawa-tawa karena film komedi. Dan bukan hanya aku yang tertawa, Bima juga. Jadi kesimpulannya kalau kami nonton komedi, aku bisa melihat tawa dan senyum Bima yang manis itu. Awas saja kau Alvi! Pekikku dalam hati.
Tiba-tiba sesuatu menyentuh tangan kananku yang kuletakkan di sandaran kursi. Dengan cepat aku langsung menarik tanganku karena aku tahu yang tersentuh tadi ada tangan Bima. Pasti tidak sengaja, dan reflekku menarik tanganku adalah tindakan yang tepat. Bima pasti tidak sengaja.
Beberapa menit kemudian, tanpa sadar tangan kananku sudah kembali ke sandaran kursi lagi. Dan sesuatu mengenainya lagi. Tangan kiri Bima! Tapi kali ini lain, saat aku hendak menariknya, dengan cepat dia menggenggam tanganku mengisyaratkan supaya tanganku tidak kemana-mana. Beberapa detik kemudian, saat aku sudah tidak berniat menarik tanganku dari genggamannya, pegangan tangan Bima mulai melembut dan perlahan dia menggerak-gerakkan tangannya.
Tuhan, aku sungguh tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi! Hatiku bergemuruh, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Konsentrasiku pada film buyar dan teralihkan pada rangsangan yang diberikannya di tanganku dengan lembut. Leherku terasa kaku sehingga aku sama sekali tidak bisa menoleh dan hanya menatap lurus kosong.
Aku mencoba mengatur nafas. Jangan sampai apa yang sedang terjadi ini membuatku lupa bernafas dan mati. Ah, tidak mungkin. Ngaco lu, Mil! Otakku berputar-putar mencari tahu apa yang harus aku lakukan selain bernafas dan menikmati setiap belaian tangan Bima di tanganku. Tangan idolaku yang selalu kuidam-idamkan.
Kupikir aku harus menoleh sedikit, hanya sedikit saja supaya aku bisa melihat dia. Bagaimana ekspresinya, bagaimana aura wajahnya, pokoknya aku harus melihatnya. Perlahan, kepalaku berputar ke kanan seperti robot. Pelan dan kaku. Duh, memalukan banget sih ini.
Dia terlihat biasa saja. Bibirnya tersenyum, ah senyuman itu yang begitu menggoda. Matanya menatap lurus pada layar bioskop. Lalu kulihat dadanya naik sebentar kemudian turun. Dia menghela nafas panjang lalu dengan lembut menoleh padaku. Sama sekali tidak ada gerakan robot. Dan dia tersenyum lagi. Aku meleleh. Bukannya memberikan senyuman terbaikku sebagai balasannya, aku malah nyengir bodoh yang lebih tepat disebut memamerkan gigi karena hampir semua gigi depanku, atas dan bawah, terlihat olehnya.
Kemudian dia mulai menonton film lagi sementara tangannya tidak berhenti memegangi tangan kananku.
Eh tunggu dulu. Dia tidak salah pegang tangan kan? Jangan-jangan dia niatnya mau pegang tangan Aya tapi lupa kalau Aya sebenarnya duduk di sebelah kanannya. Ah tidak mungkin! Dia tadi menoleh dan tersenyum padaku. Dia tentu melihat siapa orang yang berada di sebelah kirinya ini. Meskipun gelap, setidaknya pendaran cahaya dari layar bioskop sudah cukup untuk membedakan wajahku dengan Aya. Kami tidak terlalu mirip meskipun saudara kandung.
Entah berapa lama Bima memegangi tanganku yang hanya diam saja tidak bergerak. Aku saja kesulitan mengatur nafas supaya terlihat normal, apalagi bergerak untuk sekedar membalas belaiannya. Aku masih butuh jawaban. Kata-kata verbal yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, saat ini bahkan sampai kami pulang nanti, tidak ada kesempatan bagi Bima untuk melakukannya.
Ahh sial. Dengan begitu artinya dia membiarkan otakku berpikir liar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dari harapan yang menjadi kenyataan karena dia sama-sama suka cowok sepertiku dan dia menyukaiku sampai pikiran terburuk dimana dia hanya mengetesku dan dia berhasil menemukan jawabannya kalau begitu. Jawaban bahwa aku gay.
Aku jadi tidak fokus menonton film saat itu. Bahkan Bima terlihat biasa saja ketika kami berempat keluar dari studio. Dia, Aya, dan Alvi malah saling berkomentar tentang film dan aku berharap mereka sama sekali tidak menanyakanku. Jawabanku pasti tidak nyambung karena ada momen awkward, membingungkan, aneh, menyenangkan, sekaligus membahagiakan yang membuat perhatianku teralihkan dari film.
Aku masih ingat betul rasanya tangan kananku digenggam lembut olehnya. Dibelai mesra dengan penuh cinta. Aku masih ingat betul bagaimana rasanya. Hati bergemuruh, jantung bergerak tidak normal, semuanya organ di tubuhku serasa tidak bekerja sebagaimana mestinya karena ada hormon cinta yang meledak dan melesak ke setiap inchi tubuhku. Kasmaran.
Jalanan yang dilalui bus kini mulai menanjak. Bosan juga lihat jalanan. Aku menoleh ke sebelah kiriku. Dia masih duduk disana dan kami saling bertatap mata. Dia tersenyum pelan lalu bergerak melepaskan jaketnya. Kamera DSLR-nya masih tergantung di lehernya.
Bima bergeser sedikit ke kanan, lebih mepet denganku. Haruskah dia melakukannya sekarang? Mungkin pikiranku benar. Dia sedang kangen karena sudah seminggu lebih kami tidak jalan berdua atau hanya sekedar berduaan entah dimana. Kubiarkan saja. Jujur aku juga sebenarnya kangen sama dia, tapi aku masih bisa menahan diri karena aku melihat situasi sekarang.
Tiba-tiba dia menghempaskan jaketnya untuk dijadikan selimut. Menutupi sebagian badan dan pahanya, juga kedua tangannya. Aneh, padahal kan sama saja pakai jaket seperti tadi kalau kedinginan. Tapi akhirnya aku tahu alasannya melakukan hal itu. Dengan cepat dia menarik tangan kiriku dan dibawa masuk ke balik jaket.
Aku memandang tidak yakin padanya. Nekat nih, pikirku. Tapi dia hanya tersenyum dan menggerakkan bibirnya, mengucapkan sesuatu tanpa bersuara. “Aku kangen pegang tangan kamu. Sekarang aku mau tidur, awas kalau dilepas,” begitulah kira-kira yang dikatakannya dari bahasa bibir. Aku tidak membalasnya dengan senyuman atau kata-kata bisu lainnya. Tapi dengan gerakan tanganku yang mencubit nakal tangannya dari balik jaket. Dia tersenyum lagi, dan itu senyuman terindah yang pernah kulihat darinya.
**
Memanggil:
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
@dafaZartin
@rizky_27
@boybrownis
@tialawliet
@priacupu
@Gabriel_Valiant
@foursquare
@animan
@Tsunami
@lulu_75
@TigerGirlz
@Puchive
@rone
@octavfelix
@Adityaa_okk
@ramadhani_rizky
@arifinselalusial
@CurhatDetected
@trio_shfly17
@AkhmadZo
jadi inget orang yang nge-friendzone-in gue kan
lanjutkan!
*ngacung* )