It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari tempat parkir bis ke villa, akhirnya aku bisa duduk sambil meluruskan kaki di lapangan rumput yang menjadi bagian dari villa. Kami semua berbaris berdasarkan kelompok dan aku berada di baris paling depan kelompokku.
Di depan barisan, ada senior yang sedang membacakan peraturan-peraturan selama di villa. Kak Harun. Aku tidak terlalu mengenalnya karena dia sendiri jarang hadir di acara pembekalan kader OSIS yang diadakan setiap pulang sekolah. Kurasa dia seksi acara yang akan jadi host selama acara sampai hari Minggu nanti, karena dari tadi dia terus yang berbicara di depan barisan peserta.
“Sudah jelas semuanya?” tanya kak Harun tegas. Semuanya serentak menjawab ‘jelas’ meskipun tidak ada yang memberikan komando. Dia menutup kertas yang berisikan peraturan-peraturan selama acara yang baru saja dibacakannya. Peraturan-peraturan standar yang tidak jauh berbeda dengan peraturan di sekolah. Tapi ada dua peraturan yang menjadi inti dari semuanya, yaitu, Satu: Senior selalu benar, Dua: Bila senior melakukan kesalahan, kembali ke pasal satu. Iya deh iya.
“Untung kagak ada peraturan junior selalu salah,” bisik Alvi pelan selagi kak Harun masih membacakan peraturan tadi.
“Iya kalau ada, yang ada lu malah nyanyi selalu salah,” cibirku dan dia hanya nyengir bangga karena tebakanku tepat.
“Oke,” kak Harun kembali melanjutkan berbicara. “Untuk yang putri, kalian menempati lantai dua rumah utama, sementara untuk putra, kalian menempati aula di belakang belakang rumah utama,” serunya sambil menunjuk bangunan satu lantai yang terlihat hanya sepotong karena terhalangi rumah utama. “Dalam waktu sepuluh menit, untuk yang putra harus sudah berada disini dengan pakaian muslim karena kita akan solat Jumat bagi yang muslim. Sementara yang putri dan non-islam, kalian akan dibimbing kak Agnes,” imbuhnya. “Mengerti?”
“Mengerti kak!” seru semua peserta kompak, termasuk diriku.
“Oke. Sepuluh menit dimulai dari sekarang!” seru kak Harun dan dalam sekejap semuanya langsung grasak-grusuk membawa barang masing-masing berupa ransel yang besarnya luar biasa dan berlari menuju tujuan masing-masing. Untuk peserta putra sepertiku, kami semua berlari kecil ke arah aula.
Terdengar teriakan dari beberapa senior yang mengatakan untuk tidak berlari, tidak perlu terburu-buru, tapi hanya beberapa orang saja yang mendengarkan dan menuruti. Termasuk aku dan Alvi. Kami berdua akhirnya jadi dua orang paling terakhir yang tiba di bangunan aula.
Bangunan ini mirip sekali dengan sekolahan SD di kampung-kampung dengan atap genteng berbentuk limas. Bagian dalamnya kosong tanpa ada satu pun perabotan. Dengan lantai gelap membuat suasana menjadi terasa redup. Mungkin karena semua tirai jendelanya masih tertutup. Beberapa orang yang merasa pencahayaan kurang, berinisiatif membuka tirai jendela supaya cahaya bisa masuk. Aku dan Alvi langsung mencari posisi untuk meletakkan tas-tas kami.
Tidak berapa lama, tiba-tiba kak Harun muncul di pintu ruangan dan memperhatikan gerak-gerik para peserta putra. Ada yang langsung berganti pakaian dengan baju koko serta sarung. Ada juga yang mengeluarkan handuk dan perlengkapan mandi karena jalan kaki dari tempat parkir tadi pasti membuat badan jadi gerah. Termasuk aku.
“Lu mandi?” tanya Alvi begitu melihatku mengeluarkan handuk.
“Iya. Emang kenapa?” tanyaku merasa tidak ada hal yang aneh.
“Mandi lu aja setengah jam, mana cukup waktunya.”
“Gerah nih. Harus mandi gue,” aku bersikukuh.
“Ah kayak cewek aja lu,” ledeknya.
“Ya lu kan cowoknya,” kataku membalas ledekannya.
“Yaudah, dengerin omongan cowok lu dong!” Nih anak bener-bener dah. Kalau bercanda homo-homoan, frontalnya tingkat dewa. Mana suaranya kenceng banget lagi sampai sepertinya semua orang menghentikan kegiatannya dan melihat kami. Buru-buru aku menoleh ke pintu depan, dan syukurlah kak Harun sudah tidak ada disana. Tapi sekarang orang lain yang berdiri disana. Mematung sambil memicingkan sebelah matanya karena yang sebelahnya lagi sedang mengintip melalui jendela bidik. Glek. Kameranya mengarah ke arahku.
“Kenapa?” tanya Alvi. Tentu saja dia bertanya karena aku bukannya membalas celotehannya tadi, tapi malah tiba-tiba hening sambil memasukkan kembali handuk ke dalam ransel.
“Gak pa-pa.” Ah aku seperti perempuan saja. Bilang gak-pa-pa padahal ada apa-apa. Pipiku masih memerah sekarang meskipun aku tidak tahu Bima mendengar omongan Alvi tadi atau tidak. Aku takut dia jadi cemburu karena Alvi satu-satunya orang yang bisa membuat dia cemburu padaku.
“Lu sama Alvi kelihatannya akrab banget, Mil,” komentar Bima di suatu sore saat kami sedang makan es buah di perjalanan pulang dari latihan basket. Aku dan dia duduk di tepian trotoar komplekku yang jalanannya cukup sepi sore ini. Dari ujung ke ujung jalan hanya ada aku dan Bima, rasanya hanya berdua saja dan aku menikmati suasana sore itu. Eh iya, ada abang-abang es buah plus gerobaknya juga deh. Huft.
“Ya gitu deh. Kenapa?” aku bertanya balik dan aku tidak peduli jawaban apa yang akan diberikannya. Ini bukan kali pertama dia berkomentar begitu dan sepertinya tidak pernah puas dengan jawaban yang aku berikan. Jadi mending jawab seadanya aja deh.
“Gak pa-pa. Heran aja,” katanya sepotong. Aku tahu pasti ada lanjutan kalimatnya tapi tidak jadi diteruskan olehnya.
“Heran kenapa?”
“Heran kok cowok sama cowok bisa deket banget kayak lu berdua,” tuturnya. Saat dia berkata begitu aku merasa semua harapan di hatiku tentangnya seolah hancur akibat disambar petir di sore bolong. Kalimatnya straight banget menurutku. Eh tapi, kenapa dia pegang-pegang tanganku waktu di bioskop? Huft. Setiap terpikirkan bahwa Bima itu straight, aku selalu terbayang kejadian di bioskop itu. Sepertinya aku harus meminta penjelasan darinya perihal kejadian itu, tapi apa sekarang saat yang tepat?
“Emang aneh ya?”
“Siapa yang bilang?” dia mendelik padaku, seolah ingin menarik lagi kata-kata yang telah diucapkannya. “Malah menurut gue keren aja.”
“Kok keren?” tanyaku heran.
“Ya keren aja. Punya temen yang hubungannya begitu dekat, tapi gak ngeganggu kayak pacaran sama cewek,” ujarnya. Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna kalimatnya sembari menggigit stroberi di es buah yang rasanya asam. Baru kemudian aku berkomentar.
“Menurut lu Aya annoying gitu?”
“Kok jadi ngomongin Aya?” Bima menatapku heran.
“Ya cewek yang gue tahu lagi deket sama lu kan cuma Aya, haha,” aku menyeringai bodoh dan dia hanya tersenyum tipis sekali. Sangat tipis sampai tidak ketara dia sedang senyum kalau dilihat dari ujung jalan. Eh, ngelawak Mil?
“Gue gak ada apa-apa sama Aya,” ujarnya sambil menatap lurus pada mangkok es buahnya yang sebentar lagi habis. Nada bicaranya berubah. Air mukanya berubah. Suasana pun tiba-tiba jadi canggung begini.
“Terus maksudnya ngomongin gue sama Alvi apa?” sedetik kemudian aku merasa pertanyaanku seperti sedang memaksa dia untuk bercerita lebih jauh. Ya memang begitu yang kuinginkan. Masa cuma karena nama Aya tiba-tiba obrolan kami berhenti bicara?
“Ya gue pengen aja punya hubungan kayak lu sama Alvi, Mil,” nadanya masih terdengar seperti tadi. Murung, tidak bersemangat, muram.
“Emang lu gak punya temen?”
“Mereka semua ngeliatnya aneh, Mil. Orang gue sama mereka sering banget ngomongin lu berdua, bilang kalau lu berdua itu pasangan homo saking deketnya,” jawabnya.
“Haha, udah kebal dicibirin begitu mah. Dari SMP sama Alvi udah gak mau ngurusin lagi orang yang ngomongin kita begitu. Malah seringnya kita godain balik biar mereka berhenti ngata-ngatain,” ujarku sambil tertawa sendiri.
Bima menoleh menatapku. Tatapan matanya yang tajam seperti membiusku, membuat aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari mata coklatnya yang indah itu.
“Lu mau gak kita diomongin begitu sama orang lain?” tanya Bima dengan sorot mata tegas yang menandakan dia serius mengatakannya. Eh, tapi maksudnya apa nih?
“Kita? Gue selingkuh dari Alvi dong?” tanyaku sambil cengengesan sendiri. Sungguh, aku tidak mengerti kemana arah pembicaraan Bima ini. Di relung hatiku berkata bahwa dia akan melakukannya, menyatakan cintanya padaku. Tapi langsung kutampik begitu saja karena aku tidak mau berharap banyak.
“Gue serius mil,” tangan kirinya yang bebas tiba-tiba menyentuh tangan kananku yang sedang memegang sendok. Aku kaget bukan main! Kalau tidak hati-hati pasti aku sudah menjatuhkan sendok dan juga mangkuk ke aspal jalanan. Mataku langsung berputar mencari keberadaan si abang es buah. Nihil, tinggal gerobaknya doang. Bima pasti tahu itu sehingga dia nekat memgang tanganku di tempat terbuka seperti ini. Lalu aku kembali menatap Bima dengan tatapan tidak yakin.
“Gue suka sama lu, Mil.” Nyess. Di hatiku seperti ada bendungan yang jebol karena terasa aliran yang begitu besar begitu mendengar Bima mengatakan kalimat itu. Jantungku berdegup lebih kencang. Hormon adrenalinku menjalar ke seluruh tubuh. Rasanya ingin menangis. Momen ini akhirnya tiba, Bima baru saja mengatakannya.
“Gue pengen jadi seseorang yang berarti buat lu?” Duh, Bima ini jago bener biking orang ser-seran. Ngomongnya satu kalimat satu kalimat. Belum efek kalimat yang pertama hilang, ditambah kalimat lainnya yang tidak kalah ajaib sehingga membuat jantungku cenat cenut dan mulutku tidak bisa bersuara sedikitpun.
“Gue gak akan minta hubungan lu dengan Alvi berubah, karena gue tahu kalian hanya sahabatan. Ya meskipun kadang gue cemburu melihat kedekatan lu berdua. Makanya, tolong obati kecemburuan gue, Mil.”
Ah, ini jantung pasti sudah goyang disko karena kata-kata manis dari Bima barusan. Aliran darah yang terpompa lebih cepat seperti berkonsentrasi di sekitaran pipi dan si “kecil”. Pipiku menjadi merah padam dan si “kecil” mendadak berubah jadi si “besar”. Kenapa jadi porno gini ya? Tapi serius, sentuhan tangan dari Bima yang lembut saja sudah memberikan reaksi yang cukup besar di dalam tubuhku.
“Mil?” tanya Bima menantikan reaksiku. Tidak tahu saja dia dari awal tubuhku sudah bereaksi dengan beareka ragam perubahan yang kututupi sebisa mungkin supaya tidak terlihat dari luar.
“Serius?”
“Banget!” jawabnya yakin. “Buru jawab, ntar abangnya balik,” serunya. Lah maksa. Huft.
“Emang abangnya kemana?” aku salah fokus.
“Gak usah dipikirin. Jawab Mil!” titahnya.
“Iya deh,” kataku singkat.
“Iya apa?”
“Iya, gue mau jadi pacar lu,” aku melengkapi.
“Siapa yang minta lu jadi pacar gue?” aku langsung memandangnya heran. Maksudnya apa sih?
“Lah tadi maksudnya apa?”
“Kan gue minta lu obati kecemburuan gue sama lu, Mil,” ujarnya.
“Emangnya gue tukang obat?!” kataku cepat lalu bersikap tidak peduli padanya dengan kembali fokus pada es buahku yang tidak kunjung habis.
Bima tertawa sendiri. “Haha, bercanda Emil,” katanya sambil tangannya mengacak-acak rambutku.
“Apaan sih?” kataku pura-pura marah. “Jadi semuanya cuma becanda?” aku menatapnya dengan wajah yang serius. Senyum di wajahnya tiba-tiba menghilang. Dia salah tingkah.
“Eh, enggak. Yang tadi serius, barusan bercanda,” katanya gelagapan.
“Jadi yang bener yang mana? Serius apa bercanda?” tanyaku ketus.
“Eh, anu. Gini... .” Dalam hati aku tertawa sendiri melihat dia mendadak gagu begitu. Sepertinya aku sukses mendadak ngerjain Bima. Lagian ngomong suka gak jelas gitu.
Aku menjulurkan lidahku pada Bima dan dia langsung berhenti bersuara terbata-bata tidak jelas karena sadar bahwa aku sedang mengerjainya. Aku langsung tertawa keras begitu melihat ekspresi innocent-nya yang begitu lucu dan menggemaskan.
“Rese!” lirihnya dan kembali mengacak-acak rambutku yang dari main basket tadi sudah berantakan berat.
“Janji jangan cemburu kalau gue ngapa-ngapain sama Alvi ya nanti?”
“Iya janji. Asal jangan yang aneh-aneh ngapa-ngapainnya. Yang aneh-aneh bolehnya sama gue doang, haha,” jawabnya. Aku mengerti maksudnya. Tapi aku juga masih belum mau berbuat yang aneh-aneh. Masih 1 SMA, masih kecil banget buat hal-hal begituan.
“Iya aja deh,” balasku malas.
Dan sejak saat itulah kami resmi sebagai pasangan meskipun tidak ada cium-ciuman atau peluk-pelukan. Sebenarnya dia sempat minta disuapin sisa es buahku yang belum habis, tapi begitu aku hendak mengarahkan sendok ke mulutnya, tiba-tiba abang tukang es buahnya muncul dari belokan dengan beberapa mangkok kotor di tangannya. Syuut, sendok pun muter balik dan masuk ke dalam mulutnya. Bima cemberut karena menyangka aku mengerjainya. Haha.
“Kok gak jadi mandi?” tanya Alvi mengomentariku yang baru saja memasukkan handuk ke dalam tas.
“Kan lu yang minta,” jawabku seadanya sambil mengeluarkan baju koko dan sarung yang hebatnya berada di dasar tas sehingga hampir setengah isi tas harus kukeluarkan dulu.
“Nah gitu dong, nurut,” pujinya sambil menepuk-nepuk pundakku pelan. Dengan cepat, mumpung dia lengah, tangan kiriku langsung menjitak kepalanya. Telak. Lagian gayanya tengil banget sih.
“Jangan tengil ah!” omelku pada Alvi yang langsung mengelus-elus kepalanya. Dari sudut mata, kulihat Bima sedang mengeker kami berdua. Sedetik kemudian dia menatapi layar kamera DSLR-nyan dan tersenyum sendiri sambil melirikku. Wah wah, ada sesuatu nih pasti!
**
Sorry lama, lagi butuh pencerahan beberapa minggu ini. Bahkan sempet ada kepikiran buat nge-cancel project LDC ini. Tapi secercah cahaya tiba-tiba muncul dan membuat gue berniat untuk namatin cerita ini.
Selamat menikmati!!
Memanggil:
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
@dafaZartin
@rizky_27
@boybrownis
@tialawliet
@priacupu
@Gabriel_Valiant
@foursquare
@animan
@Tsunami
@lulu_75
@TigerGirlz
@Puchive
@rone
@octavfelix
@Adityaa_okk
@ramadhani_rizky
@arifinselalusial
@CurhatDetected
@trio_shfly17
@AkhmadZo
thx u udh dilanjut..
moga next update dapet mention dari @inutile