It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Duh hobinya si Andy kayak Emak Gw? )
sama2 karena gw suka jadi pasti gw baca terus
gw suka bgt tuh perumpamaannya. daleem
Alhamdulillah ada yg suka haha Terimakasih ^^
biasa emang klo orang galau tuh sering keluar kalimat yg dalem hahaha
jangan kemana mana
jdi penasaran sama gru lesnya udah judes lagi,,
___________
"Mama... Tadi malam itu siapa sih?" tanyaku pagi itu ketika baru saja duduk untuk sarapan.
Semalam aku tidak bisa mengeluhkan soal Mario karena ternyata Mama dan Papa langsung mengurung diri dikamar.
Oh ya, biar aku perjelas sedikit tentang Mario, guru les private ku ini memiliki tinggi seperti Okta, Alis yang tebal dan tajam diperparah dengan sorot mata yang tajam pula. Dengan rambut yang dipotong pendek dan nada bicara yang ketus membuatku langsung memberikan cap orang yang tak ingin ku dekati sama sekali.
Maksudku tentu saja dekat sebagai hubungan guru dengan anak didiknya. Aku tidak tahu umurnya berapa jadi aku tidak terlalu peduli apakah dia cocok dipanggil guru atau tidak.
"Mario? Ya itu sekarang guru les private kamu lah man" kata Mama tanpa merasa ada yang mengganjal membahas Mario ini. Dan apa tadi katanya? Guru? Ok jadi Mario cocok dipanggil Guru.
"Mama dapet preman pinter dari mana?" tanyaku sebal.
"Hush... Sembarangan kamu kalo ngomong. Bukan Mama, tapi Papa yang manggil Mario" jawab Mama yang membuatku menoleh kearah Papa yang baru saja ingin duduk ditempat biasa meja makan ini.
"Ada apa sih pagi-pagi udah ribut?" tanya Papa sama polosnya seperti Mama tadi.
"Papa tuh nemu preman pinter kayak Mario dimana?" tanyaku
"Arman.. Mario itu bukan preman. sama sekali bukan. Mario itu anaknya teman kecil Papa. Dia itu berprestasi loh, Dia kuliah di Chicago dengan beasiswa. Dia juga pernah ikut Olimpiade Fisika. Jadi Papa rasa dia cocok buat bimbing kamu supaya nilai kamu gak Do Re Mi, kebetulan juga dia lagi cuti." jawab Papa mencoba menjelaskan
"Keren sih. Tapi bisa gak dia kalo ngomong gak ngajak ribut? Dia itu ngomongnya kasar Pa" keluhku
"Dia yang ngomongnya kasar atau kamunya yang sensitif jadi merasa dikasarin?" tanya Papa yang membuatku sebal.
"Iya itu perasaan kamu aja kali man. kan baru kenal. Lagipula Mario sopan banget tuh sama Mama dan Papa" kata Mama menambahkan. Ok baikkah, Aku sensitif.
"Dan kamu jangan manggil dia Mario gitu dong. Dia itu beda 4 tahun sama kamu. mungkin lebih sopan kamu manggil dia 'Kak' atau 'Mas' atau apalah yang terdengar sopan dan gak kasar" tambah Papa dilengkapi dengan penekanan pada kata kasar. Cukup. Baru beberapa jam dia bertemu dengan ku dan mungkin keluarga ku tapi dia sudah memberikan sihir. Cerdas.
Aku berdiri saat telah selesai mengoleskan dua buah roti dengan selai strawberry.
"Mau kemana man?" tanya Mama
"Ketaman nunggu Okta" jawabku sambil melangkah dengan membawa roti ku.
"Jangan lupa nanti langsung pulang. jam 6 mulai belajarnya" kata Mama yang aku abaikan.
Aku langsung memilih duduk di bangku taman sambil memakan roti ku. Aku benar-benar sebal dengan Mario. Kenapa harus dia? Entah mengapa firasatku tak enak karena mendapatkan first impression yang buruk dari Mario. Apa cuma Mario doang yang merupakan orang pintar yang Papa kenal? Ditambah dengan kesepakatan waktu jam belajar senin sampai jumat yang diambil sepihak. Tanpa memikirkan aku yang menjalankannya. Keterlaluan.
Aku mencoba melupakan sejenak soal Mario saat aku sadar waktu belum menunjukkan pukul 6 pagi tapi aku sudah membuang waktuku sia-sia untuk mengeluh.
Sekitar 15 menit aku menunggu hingga Okta datang seperti biasa, tanpa menunggunya turun dari mobilnya aku langsung melesat masuk dan duduk di bangku depan seperti biasa.
Baru saja aku duduk tiba-tiba ada orang yang biasa dengan nada sinis yang biasa pula
"Nah gitu dong. Tau diri kalo dijemput gak usah nunggu disamperin" ujar orang sinis itu dari bangku belakang yang selalu ditempatinya.
Aku hanya diam dan bersabar. Mood ku sudah cukup buruk karena Mario dan aku tak ingin menambah buruk mood ku hanya dengan meladeni ucapan pedasnya.
Okta menatapku sekilas dengan senyuman manisnya sebelum melajukan mobilnya.
Aku pun segera mengambil iPad Okta dan memainkannya dengan harapan dapat memperbaiki mood ku dan tidak mengganggu konsentrasi Okta saat menyetir ditengah situasi senin pagi yang semerawut.
Jari-jari tangan ku bergerak-gerak memindahkan Candy berwarna-warni dan menyamakan warnanya agar dapat menghancurkan Jelly. Sepanjang perjalanan aku hanya sibuk bermain hingga tanpa sadar sudah tiba di sekolah.
Seperti biasa orang sinis itu turun secepat kilat saat kita sampai di parkiran sekolah. Okta menatapku dan mengacak-acak rambutku sebelum turun dari mobilnya yang ku balas dengan cubitan dihidungnya dan kemudian turun dari mobilnya.
"Arman.." langkah ku terhenti saat mendengar sebuah suara yang sangat ku kenal. Yuna teman sebangku ku memanggilku dan berjalan dengan langkah panjangnya.
"Tumben lo jam segini baru dateng" ujarku saat Yuna sudah sampai disampingku.
"Iya nih, macet gila" katanya dengan tampang lesu.
"Eh lo harus tau Yun" kataku tiba-tiba teringat sesuatu
"Harus tau apaan?" tanyanya penasaran
"Lo harus tau, Masa ya bonyok gue ngasih gue guru privat yang galak dan sok banget" ujarku dengan kesal ke Yuna.
"Lo? Dapet guru Privat? Lo man? Hahahahahaha" Yuna tertawa dengan puas saat mendengar hal yang tak lucu sama sekali.
"Lo belum minum obat Yun? perasaan gak ada yang lucu" ujarku sarkas.
"Lucu lah. Seorang Arman sampe dapet guru privat dari bonyoknya hahahahahaha" ujarnya yang masih tak ku mengerti dimana titik lucunya.
"Lo tuh mangkanya nilai jangan do re mi jadi dikirimin guru privat yang galak kan hahahaha pasti orangnya tua gitu ya? perutnya buncit? kumisan? hahahaha" ujarnya yang membuatku ingin sekali mendorongnya.
"Heh kayak nilai lo gak do re mi aja. Sesama itu jangan saling ejek deh. Dan lo harus tau gurunya bukan yang udah lumutan tapi masih mahasiswa di Amerika cuma lagi di Indonesia" ujarku menjelaskan
"Lo gak ngibul kan man?" tanyanya
"Menurut lo gue kayak orang lagi ngibul gitu?" tanyaku kesal
"Enggak sih hahaha jadi seru dong. Pinter pasti tuh orang. udah deh terima aja siapa tau lu kecipratan pinternya kan gue untung juga nanti" kata Yuna yang sudah berharap yang bukan-bukan, memangnya air bisa dicipratkan.
"Tapi dia tuh sok banget gayanya. Jutek banget lagi. dan gue harus les sma dia dari Senin sampai Jumat" kataku memberikan curahan ku lebih dalam.
"Ah itu mah cuma formalitas kali lagian kan baru kenal man. udah deh ikutin aja" ujarnya yang sama sekali tak mengurangi suasana hatiku yang buruk. Ok aku salah bercerita padanya.
Aku menaruh tas ku dimeja seperti biasa dan mengambil topi ku untuk upacara.
Namun aku baru sadar saat melihat iPad yang sedari tadi aku bawa. iPad Okta terbawa olehku, aku buru-buru memasukannya kedalam tas dan turun dengan cepat untuk mengikuti upacara bendera.
Setelah upacara bendera seperti biasa kelas ku mendapat jam pelajar Bahasa Indonesia dijam pertama dan kedua.
Selama pelajaran Bahasa Indonesia aku melirik Yuna yang asik dengan iPhone nya sementara aku sibuk mengatur mataku yang terasa berat.
Namun sekuat aku mengaturnya akhirnya aku pun jatuh tertidur selama pelajaran itu.
"Teng...Teng.." Suara besi yang dipukul 2 kali sebagai tanda bel istirahat disekolah ku.
Aku dengan malas bangun dari duduk ku dan berniat untuk mengembalikan iPad Okta.
Hari senin kelas Okta mendapat jam olahraga, jadi dengan inisiatifku aku pergi kekantin untuk membeli air mineral untuk Okta dan melesat ke lapangan.
Kulihat Okta sedang sibuk mengatur nafasnya dibawah pohon. Aku berjalan menghampirinya.
"Hey.." sapaku dengan memberikan air mineral kearahnya.
"Eh kamu..Tumben hehe" katanya meraih botol air mineral yang kuberikan.
"Iya ini iPad kamu kebawa jadi mau aku balikin hehe" kataku seraya menyodorkan iPadnya.
"Yaampun gak apa lagi. Nanti juga balikinnya gak masalah" ujarnya
"Gak ah ntar lowbatt kalo sama aku terus hahaha" kataku sambil tertawa ringan melihat wajahnya yg dihiasi keringat membuatku ingin menghapusnya andai saja ini bukan disekolah
"Eh yang, nanti pulangnya kita ke Waroeng Pancake lagi yuk. udah lama gak kesana kan?" ajaknya
"Perasaan baru seminggu deh yang" kataku sambil mengingat-ingat
"Oh iya sih tapi pengen makan disana lagi sama kamu" katanya dengan senyuman yang hampir saja membuatku meleleh.
"Hem..aku sih mau aja" kataku
"Yaudah nanti pulang sekolah ya" ujarnya senang. Eh tapi tunggu dulu, sepertinya aku baru ingat sesuatu...
"Eh eh..gak bisa deh yang" ucapku cepat saat ingat sesuatu yang membuatku tak bisa memenuhi ajakannya.
"Loh kenapa? kamu gak mau kesitu?" tanyanya heran
"Bukan..bukan gitu. Aku disuruh pulang cepet nih" kataku membenarkan
"Ada apa emangnya?" tanyanya penasaran dengan menaikan sebelah alisnya
"Hem..itu loh Papa sekarang ngasih aku guru les dirumah dari Senin sampai Jumat. Aku jadi disuruh langsung pulang gitu yang. Trus tau gak sih yang, gurunya itu jutek banget padahal masih mud---"
"Jadi gak bisa hari ini?" tanya Okta memotong ceritaku yang membuatku tak enak hati.
"Gak bisa yang..maaf ya.." ujarku lemas. Aku benar-benar tak enak menolak ajakannya. Ini pertama kalinya aku menolak ajakannya.
"Yaudah kalo gitu" ujarnya sambil berdiri dan pergi dengan langkah pelan.
Aku yang masih duduk dibawah pohon hanya melihatnya heran
"Mau kemana?" tanyaku heran
"Ganti baju. Gerah" ujarnya semakin menjauh dan menghilang dibalik lorong.
Aku hanya bisa bengong mencerna apa yang baru saja terjadi.
Apa aku salah menolak permintaannya untuk yang pertama kali...
Apa dia marah...
Ah masa dia marah hanya karena itu. mungkin dia benar merasa gerah dan ingin mengganti bajunya.
Aku mencoba menghapus pikiran burukku tentang peristiwa tadi dan kembali ke kelas.
Pukul 15.29
Aku menghitung detik-detik kemerdekaan ku saat itu.
"Teng...Teng..Teng..."
Yeah..Akhirnya bel tanda pulang sekolah pun berbunyi yang berarti kebebasan.
Aku segera keluar kelas dan melangkahkan kaki ku ke area parkir.
Sambil berjalan kearah mobil Okta, aku sibuk memperhatikan orang-orang yang lalu lalang untuk mencari sosok Okta. Namun aku tak melihat sosoknya sampai saat aku tiba di mobilnya.
aku menunggu di sisi mobil Okta sambil mencoba menelfonnya.
"Halo. kamu dimana?" tanyaku ketika telfon ku dijawab oleh Okta.
"Aku masih di kelas. kamu dimana?" tanyanya disebrang sana
"Aku disamping mobil kamu. nunggu kamu"
"Oh iya aku lupa bilang. kayaknya kamu pulang sendiri dulu deh. Aku mau nganterin temen dlu soalnya nanti buat beli bahan tugas" kata-kata Okta membuatku menganga
"Hah? seriusan nih aku pulang sendiri?" kataku mencoba memastikan, siapa tau Okta hanya bercanda tadi.
"Iya maaf banget ya" ternyata Okta tak sedang bercanda.
"Yaudah deh kalo gitu" kataku pasrah
"Hati-hati ya. kabari aku kalau sudah dirumah"
"Iya. bye"
kututup telfon itu dengan sedikit jengkel.
Aku pun berjalan kearah gerbang sekolah. Baiklah, seperti dulu. Ya seperti dulu aku harus pulang sendiri.
Aku berdiri didepan gerbang dengan sedikit linglung. Aku harus pulang naik apa? tanyaku dalam hati.
Aku melihat angkot yang hilir mudik lewat didepan ku, beberapa diantaranya menawarkan ku untuk naik hingga terkesan memaksa. Aku sudah berdiri disini. di depan halte sekolah. 30 menit berlalu, Aku benar-benar merasa seperti orang bodoh karena aku baru sadar kalau sedari tadi aku hanya menatap kosong ke kendaraan yang lewat dihadapanku.
Dasar bodoh. batin ku dalam hati.
Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu taksi.
Cukup lama aku menunggu, kepala ku tak henti untuk menengok ke berbagai arah untuk mendapatkan taksi.
Lagi-lagi aku memaki didalam hati. sudah hampir sejam aku disini. berdiri. seharusnya aku sudah sampai rumah kalau saja tidak bengong seperti orang bodoh dan tentu saja jika Okta mengantarku pulang.
Pukul 16.32
Aku melihat jam tangan ku dengan jengkel.
Dan itu dia! Sebuah mobil taksi berwarna kuning lewat didepan ku yang langsung memberhentikan mobilnya didepan ku. Dengan semangat yang tersisa aku duduk didalam taksi. Ingin rasanya terlelap setelah memberi tahu alamat rumahku kepada supir taksi itu.
Tak banyak yang dapat kulakukan di Taksi selain memandang keluar jendela dengan pikiran ku yang melayang tentang Okta.
Lebih tepatnya tentang aku.
Aku merasa terlalu bergantung pada Okta. Buktinya aku menghabiskan waktu ku hanya dengan berdiri bodoh tak tau harus pulang dengan apa. Padahal dulu aku terbiasa mandiri tanpa memperdulikan sekitar ku. Tapi sekarang aku merasa semua tergantung Okta.
Lamunan ku tersadar saat kurasakan taksi berhenti didepan gerbang rumahku. Setelah membayar ongkos senilai dengan yang tertera di argo itu aku segera lari masuk kedalam rumah.
"Ya ampun.. Jangan lari-lari dong mas. dikejar siapa toh?" tanya Mba Ika karena aku hampir menabraknya dibalik pintu tadi.
"Gak dikejar" kataku dengan nafas yang tersisa.
"Tuh jadi sesak kan nafasnya ntar kambuh diomelin Mama loh" katanya seraya memperhatikanku.
"Ah lebay nih Mba. orang biasa aja kok. udah ah aku mau tiduran dikamar" kataku serasa berjalan menuju kamar.
"Makan dulu mas.." kata-kata Mba Ika terdengar dari kejauhan yang tak ku respon.
Aku menjatuhkan tubuhku diatas kasur, berguling ke berbagai arah dengan malas.
Aku melirik jam disisi tempat tidurku yang menujukan pukul 17.23.
Sesaat kemudian aku sudah asik memejamkan mataku.
"He'em.."
Aku merasakan ada yang berdeham sedari tadi dan menganggu tidur ku.
"He'em"
lagi-lagi suara berat itu muncul sementara mataku masih berat untuk membuka dan melihat.
"Woy bangun! Jangan pura-pura tidur deh" Suara itu membentak ku dengan nada tinggi. Siapa sih mengganggu saja dan beraninya masuk.
Aku mencoba mengerjabkan mataku untuk dapat melihat jelas isi kamarku. Saar sudah jelas aku melihat sosok tinggi besar berdiri disamping ranjangku dengan ekspresi seperti malaikat pencabut nyawa yang sok keren.
"Apaan sih lo masuk ke kamar gue? ngebangunin gue teriak-teriak lo pikir ini hutan?" semprotku yang sangat tergantung olehnya.
"Oh maaf tadi gue disuruh masuk tuh sama adek lo. dan sekedar informasi aja gue disini dibayar perdetiknya buat ngajarin lo bukan buat ngeliatin lo tidur. Gue juga gak pengen liat bokap lo keabisan uang cuma buat bayar gue yang ngeliatin lo tidur" katanya panjang lebar dengan nada dingin dan sinis. Aku hanya bisa bengong mendengar setiap ucapan yang meluncur dari mulutnya.
"Heh jangan bengong! mau sampe kapan begitu? sampe bokap lo keabisan biaya buat bayar gue?" katanya lagi.
Aku tersadar dan langsung bangkit untuk masuk ke kamar mandi tanpa memperdulikannya.
Saat aku keluar kamar mandi ternyata dia sudah keluar dari kamarku. Dengan cepat aku memakai pakaian dan menyambar buku Fisika untuk belajar dengannya hari ini.
Dia duduk di sofa sambil mmembaca buku maha tebal dan dengan raut wajah sok mikir. Entah mengapa aku membenci setiap tingkahnya.
"Duduk! ngapain berdiri disitu buang waktu" perintahnya tanpa mengalihkan pandangan kearah ku. Hebat. Dengan sedikit kaget aku berjalan dan duduk disebelahnya.
"Siapa suruh duduk disitu? Sana dibawah. Tolong hargai saya sebagaimana Guru yang semestinya" ucapnya tajam tanpa melepaskan pandangan dari bukunya dan aku merasa terintimidasi olehnya dengan kesal aku duduk di bawah.
Dia mulai berdiri dan memasang Whiteboard mini disisi sofa.
"Ok. langsung kita mulai. lo mau belajar fisika kan?" tanyanya seperti tidak bertanya
Aku pun tidak menjawabnya dan malah melihatnya kesal.
"Nih gue udah bikinin soal. lo kerjain sekarang. Rumus dasarnya udah gue tulis dipapan tinggal lo liat. Ngerti?" tanyanya yang membuatku mual.
"Udah.." ucapku acuh.
"Bagus. Sekarang kerjain dan Stop kebiasaan lo bengong kayak orang idiot itu berhubung lo telat cukup lama" katanya kemudian menyerahkan selembar kertas soal padaku dan kembali membaca buku maha tebal itu.
Aku dengan kesalnya mulai mengerjakan soal yang Mario berikan.
Nomer satu gampang nih. Eh tunggu dulu, sepertinya tidak.
Nomer dua... Tidak
Nomer tiga.... Tidak
Nomer empat.... Tidak juga.
Mata ku melihat deretan soal yang semuanya rumit. Aku mencoba lagi dengan melihat deretan rumus yang ditulis Mario di Whiteboard.
Soal yang ingin ku kerjakan tentang intensitas cahaya tapi kuperhatikan Mario tidak menulisnya disana. Huh..Bagaimana sih itu orang.
Dengan ragu dan mengumpulkan segenap keberanian aku akhirnya memutuskan untuk menatapnya sebentar dan bertanya
"Mar, lo nulis rumusnya gak lengkap tuh..." kataku. Mario melepaskan pandangan dari bukunya dan ganti menatapku tajam
"Rumus apaan?" tanyanya tajam.
"Rumus yang di Whiteboard lah"
"Trus?"
"Ya trus gue gak bisa ngerjainnya gimana sih lo" kataku akhirnya kesal.
"Kalo lo ngandelin tulisan rumus dari gue. Trus kalo ujian nanti gue harus nulis rumus juga gitu? Rumusnya tuh dihafal" katanya dengan sinis yang membuat emosi ku makin menjadi-jadi.
"Beda lah. ini kan lagi belajar" kataku mencoba membela diri.
"Siniin catatan fisika lo" perintahnya yang langsung kuberikan catatan itu ketangannya.
"Catatan apaan nih? kosong begini. Lo sekolah ngapain aja sih?" tiba-tiba dia menyeprotku dengan nada tinggi.
"Itu gue nyatet kali" kataku tak kalah sengit
"Catatan lo gak guna tau gak? Lo tuh bener-bener ya" tiba-tiba dia bangkit dan membuang buku catatan ku kelantai. Aku cuma bengong melihat ekspresinya itu.
"Eh denger ya baik-baik. Gue balik ke Indo masih punya tugas dan bokap lo minta gue buat ngajar lo. Ternyata yang gue ajar adalah mahluk idiot yang kerjanya cuma bengong kayak lo. Gue nyesel nerima tawaran bokap lo." Dia membentakku panjang lebar. Tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan berbicara dengan dingin dan tajam
"Gue harap gue gak buang-buang waktu dengan lo." setelah mengatakan itu dia berdiri dan hilang menuruni tangga.
Saat Mario marah dan membentak ku tadi membuat jantung ku berpacu dengan cepat. Aku takut melihat ekspresinya yang menyeramkan, wajahnya yang putih menjadi memerah karena emosi, belum lagi tatapannya yang tajam dengan mata coklat yang seakan berubah jadi merah api. Aku tak bisa mencerna reaksinya barusan dan masih dalam diam aku menatap kearah tangga.
"Awas dong gue mau main PS nih" tiba-tiba suara menyebalkan itu muncul dari arah kamarnya. Aku segera membereskan buku dan alat tulis ku tanpa memperdulikan adikku yang menatap bingung. Aku memilih masuk ke kamar dan merebahkan diri dikasur.
Aku mengambil handphone ku dan membaca 3 pesan Whatsapp yang masuk dari Okta.
"Udah dirumah?"
"Gak di lihat"
"kemana sih nih orang"
Aku lupa memberi tahunya kalau tadi aku sudah sampai dengan selamat. Aku segera mengetik balasan ke Okta
"Iya maaf tadi langsung les gitu. Aku capek. Tidur duluan ya. Good Night" balasku ke Okta.
Tak lama menunggu balasannya.
"Iya Good Night my boy!" balasnya disertai sebuah Voice Note.
Aku menekankan tombol play untuk mendengarkan Voice Note nya.
Sebuah suara petikan gitar mengawali intro sebuah lagu. Aku mendengarkan dengan serius sambil memejamkan mataku.
Malaikat Juga Tahu.
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi
juaranya
Hampamu takkan hilang semalam oleh
pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri cintakulah yang sejati
________________________________________
Hallo gays.. Apa kabarnya? lama tak jumpa dengan pembaca saya yang masih setia nunggu update. Dongkol juga pasti nunggu saya update ya. hehehe
maafkan saya ya hahaha sebenernya gak pernah sedikitpun lupa sama tulisan ini tapi waktu yang jarang ada jadi bikin terhambat trus. Maaf ya hehehe
Btw ini lah part lanjutannya semoga suka ya. Terimakasih yang setia nunggu dan terus baca cerita saya.
Good Night Gays..
@bram94
@Abyan_AlAbqari
@callme_DIAZ
@kutu22
@Dltyadrew2
@Monic
@0003xing
@Beepe
@Bintang96
@Rikky_kun
@Dimz
@Snowii_
@Gabriel_Valiant
@indoG
@n0e_n0et
@Cheesydark
@Venussalacca
@jokerz
@bponkh
@laikha
@foursquare
@Ian_McLaughlin
@alexwhite
@Archiez
@dionville
@mahardhyka
@sandy .buruan
@DiFer
@obay
@egalite
@Jhoshan26
@adinu
@tyo_ary
@ananda1
@adilope
@dannyfilipe1
@exxe87
@cassieput
@bi_men
@lintang1381
@aldi_arif
@hikaru
@harya_kei
@YuuReichi
@Tsu_no_YanYan
@No_07021997
@yubdi
@wisas
@bladex
@tohartoharto
@cmedcmed
@CoffeePrince
@wandi_aja
@faradika
@adre_patiatama
@hwankyung69
@Adam08
@haikal24
@bebong
@DM_0607
@raka_okta
@arifinselalusial
@sky_borriello
@tamagokill
@Rizal_M2
@angelofgay
@pokemon
@FauziNIC
@lasiafti
@Éline
@MikeAurellio
@anjinganjing
@DanniBoy
@mamomento
@kimo_chie
@Sefares
@Rez1
@newsista
@Kim_Kei
@the_angel_of_hell
@rafky_is_aldo
@alexrico
@kimsyhenjuren
@rickyAza
@rizky_27
@Ervfan55
@marvinglory
@Flowerboy
@emoniac
@Taylorheaven
@Onew
@Anju_V
@VBear
@kangmas1986
@FISE
@mikaelkananta_cakep
@arwin_syamsul
@caetsith
@davey88
@vasto_cielo
@GeryYaoibot95
@voldemmort1
@galihsetya14
@abiDoANk
@trinity93
@farizpratama7
@OlliE
@nand4s1m4
@rarasipau
@NielSantoso
@Yongjin1106
@tsu_gieh
@esadewantara88
@Putra_17
@diditwahyudicom1
@ikmal_lapasila
@kikyo
@MErlankga
@ElninoS
@edwardlaura
@putra_ajah
@arieat
@Ariel_Akilina
@rey_drew9090
@ddonid
@joeb
@elul
@andra99
@TigerGirlz
@irfan295_
@pria_apa_adanya
@balaka
@kevinlord7
@Chachan
@_newbie
@raffi_harahap
@deph46
@ichafujo97
@Lonely_Guy
@abang_jati
@zephyros
@chandisch
@tialawliet
@blackshappire
@Adra_84
@Tamma
@icha_fujo
@Key_Zha
@boy_filippo
@hantuusil
@diyuna
@yuzz
@pyolipops
@AvoCadoBoy
@aldyliem
@Arjuna_Lubis
@yooner5
@ryanjombang
@Irfandi_rahman
@RezaYusuf
@i_am
@diandasaputra
@khaW
@Zazu_faghag
@pradithya69
@san1204
@bapriliano
@Ranmaru
@Anggoro007
@3ll0
@Remiel
@Fae91
@gege_panda17
@d_cetya
@zevanthaikal
@tarry
@unknowname
@adjie_
@keanu_
@bell
@lulu_75
@3ll0 @abiDoANk @jacksmile @tsunami
@Aghi @caetsith @TigerGirlz @fiofio @Ardhy_4left @uci14