It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Tentu saja boleh,” jawab ayah.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku menawarkan pelayanan.
“Ya, ada – anak muda. Saya membeli sofa di toko ini dan sekarang kakinya lepas. Saya ingin tahu, kapan kalian bisa membetulkannya.”
“Kapan anda membelinya, nyonya?”
“Sekitar sepuluh tahun yang lalu”
Kukatakan pada ayah bahwa wanita itu mengira kami akan membetulkan sofa tuanya secara gratis. Ayah mengatakan agar memberi tahu wanita itu bahwa kami akan datang siang nanti.
Kami datang ke rumah wanita itu. Setelah menyekrupkan kaki yang baru ke sofanya, kami pergi lagi.
Dalam perjalanan pulang, ayah bertanya, “Apa yang sedang kau pikirkan, nak?”
“Ayah khan tahu, aku ingin kuliah. Jika kita selalu saja berkeliling membetulkan sofa-sofa tua secara gratis, lama-kelamaan bisa bangkrut kita nanti!”
“Kau kuajak karena memang kau perlu belajar melakukan pekerjaan perbaikan. Selain itu, urusan paling penting terlepas dari perhatianmu. Kau tidak melihat nama toko ketika kita membalikkan sofa tadi. Wanita itu membelinya di toko ‘Sears’.”
“Maksud ayah, kita mengerjakan perbaikan tadi secara gratis, sementara wanita itu sama sekali bukan pelanggan kita?”
Sambil menatapku, ayah berkata, “Sekarang ia menjadi pelanggan kita.”
Dua hari kemudian, wanita setengah umur itu datang lagi ke toko kami dan aku melayaninya. Ia membeli mebel baru seharga beberapa ribu dollar. Ketika kami datang di rumahnya untuk mengantar barang itu, ia meletakkan sebuah guci besar yang penuh dengan uang dollar, satuan, limaan, puluhan, dua puluhan, lima puluhan dan ratusan, di atas meja dapur.
“Ambil saja sendiri senilai mebel yang saya beli,” katanya lalu keluar.
Sejak hari itu sudah 30 tahun lamanya aku bekerja sebagai tenaga sales. Aku selalu berhasil mencapai nilai keberhasilan transaksi tertinggi di setiap perusahaan yang kuwakili, karena aku tidak pernah meremehkan pelanggan.
Saat itu ibunya sedang membuat kue, dan menawarkan apakah anaknya mau mencicipinya, dengan senang hati dia berkata, “Tentu saja, I love your cake.”
“Nih, cicipi mentega ini,” kata Ibunya menawarkan.
“Yaiks,” ujar anaknya.
“Bagaimana dengan telur mentah?”
“You’re kidding me, Mom.”
“Mau coba tepung terigu atau baking soda?”
“Mom, semua itu menjijikkan.”
Lalu Ibunya menjawab, “ya, semua itu memang kelihatannya tidak enak jika dilihat satu per satu. Tapi jika dicampur jadi satu melalui satu proses yang benar, akan menjadi kue yang enak.”
Tuhan bekerja dengan cara yang sama. Seringkali kita bertanya kenapa Dia membiarkan kita melalui masa-masa yang sulit dan tidak menyenangkan. Tapi Tuhan tahu jika Dia membiarkan semuanya terjadi satu per satu sesuai dengan rancanganNya, segala sesuatunya akan menjadi sempurna tepat pada waktunya. Kita hanya perlu percaya proses ini diperlukan untuk menyempurnakan hidup kita.
Benar, lama kelamaan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi. Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai terlekat salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah kerana tubuhnya diselaputi salju. Sampai ke tanah, salju yang menyelaputi sayapnya justru semakin bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahawa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali nasibnya.
Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lalu datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya. Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut.
Si Burung Pipit semakin marah dan memaki-maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bersuara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si Burung tidak dapat bersuara kerana tertimbun kotoran kerbau. Si Burung menjadi pasrah dan berfikir bahwa dia pasti akan mati kerana tak dapat bernafas.
Namun perlahan-lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya meleleh sedikit demi sedikit oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernafas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi sepuas- puasnya.
Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, menghulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang-nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih melekat pada bulu si burung. Setelah bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia berfikir telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.
Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gelita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.
Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu sesuai buat kita. Baik dan buruknya penampilan, jangan dijadikan sebagai satu- satunya ukuran. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang boleh berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya. Ketika kita baru saja mendapat kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak menyesal kelak. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan.
Awalnya mereka hidup berdampingan dengan baik dan saling melengkapi. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik semakin tinggi dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri.
CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencuba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki CINTA. Tak lama CINTA melihat KEKAYAAN sedang mengayuh perahu.
“KEKAYAAN! KEKAYAAN! Tolong saya!” teriak CINTA.
Lalu apa jawab KEKAYAAN, “Aduh! Maaf, CINTA!” kata KEKAYAAN.
“Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. saya tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini.” Lalu KEKAYAAN cepat-cepat mengayuh perahunya pergi meninggalkan CINTA tenggelam.
CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya KEGEMBIRAAN lewat dengan perahunya.
“KEGEMBIRAAN! Tolong saya!”, teriak CINTA.
Namun apa yang terjadi, KEGEMBIRAAN terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tuli tak mendengar teriakan CINTA. Air makin tinggi membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik. Tak lama lewatlah KECANTIKAN.
“KECANTIKAN! Bawalah saya bersamamu!”, teriak CINTA.
Lalu apa jawab KECANTIKAN, “Wah, CINTA, kamu basah dan kotor. saya tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini.” sahut KECANTIKAN.
CINTA sedih sekali mendengarnya. CINTA mulai menangis terisak-isak. Apa kesalahanku, mengapa semua orang melupakan saya. Saat itu lewatlah KESEDIHAN. Lalu CINTA memelas, “Oh, KESEDIHAN, bawalah saya bersamamu”, kata CINTA.
Lalu apa kata KESEDIHAN, “Maaf, CINTA. saya sedang sedih dan saya ingin sendirian saja…”, kata KESEDIHAN sambil terus mengayuh perahunya.
CINTA putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. CINTA terus berharap kalau dirinya dapat diselamatlkan. Lalu ia berdoa kepada Tuhannya, oh tuhan tolonglah saya, apa jadinya dunia tanpa saya, tanpa CINTA? Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, “CINTA! Mari cepat naik ke perahuku!”
CINTA menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua reyot berjanggut putih panjang sedang mengayuh perahunya. Lalu Cepat-cepat CINTA naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Kemudian di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan CINTA dan segera pergi lagi.
Pada saat itu barulah CINTA sadar, bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang baik hati menyelamatkannya itu. CINTA segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu.
“Oh, orang tua tadi? Dia adalah “WAKTU”, kata orang itu.
Lalu CINTA bertanya “Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? saya tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku”, tanya CINTA heran.
“Sebab”, kata orang itu, “hanya WAKTU lah yang tahu berapa nilainya harga sebuah CINTA itu……”
Lantai Pualam: “Wahai patung pualam, hidup ini sungguh tidak adil. Benar-benar tidak adil! Mengapa orang-orang dari seluruh dunia datang kemari untuk menginjak-injak diriku tetapi mereka mengagumimu? Benar-benar tidak adil!”
Patung Pualam: “Oh temanku, lantai pualam yang baik. Masih ingatkah kau bahwa kita ini sesungguhnya berasal dari gunung batu yang sama?”
Lantai Pualam: “Tentu saja, justru itulah mengapa aku semakin merasakan ketidakadilan itu. Kita berasal dari gunung batu yang sama, tetapi sekarang kita menerima perlakuan yang berbeda. Benar-benar tidak adil!”
Patung Pualam: “Lalu apakah kau masih ingat ketika suatu hari seorang pemahat datang dan berusaha memahat dirimu, tetapi kau malah menolak dan merusakkan peralatan pahatnya?”
Lantai Pualam: “Ya, tentu saja aku masih ingat. Aku sangat benci pemahat itu. Bagaimana ia begitu tega menggunakan pahatnya untuk melukai diriku. Rasanya sakit sekali!”
Patung Pualam: “Kau benar! Pemahat itu tidak bisa mengukir dirimu sama sekali karena kau menolaknya.”
Lantai Pualam: “Lalu?”
Patung Pualam: “Ketika ia memutuskan untuk tidak meneruskan pekerjaannya pada dirimu, lalu ia berusaha untuk memahat tubuhku. Saat itu aku tahu melalui hasil karyanya aku akan menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda. Aku tidak menolak peralatan pahatnya membentuk tubuhku. Aku berusaha untuk menahan rasa sakit yang luar biasa.”
Lantai Pualam: “Mmmmmm….”
Patung Pualam: “Kawanku, ini adalah harga yang harus kita bayar pada segala sesuatu dalam hidup ini. Saat kau memutuskan untuk menyerah, kau tak boleh menyalahkan siapa-siapa atas apa yang terjadi pada dirimu sekarang.”
Pasangan kakek-nenek ini dikenal sangat rukun, tidak pernah terdengar oleh siapapun bahkan pihak keluarga mengenai berita mereka perang mulut. Singkat kata, mereka telah mengarungi bahtera pernikahan yang cukup lama bagi kebanyakan orang. Mereka telah dikaruniai anak-anak yang sudah dewasa dan mandiri baik secara ekonomi maupun pribadi. Pasangan tersebut merupakan gambaran sebuah keluarga yang sangat ideal.
Di sela-sela acara makan malam yang telah tersedia, pasangan yang merayakan peringatan ulang tahun pernikahan mereka ini pun terlihat masih sangat romantis. Di meja makan, telah tersedia hidangan ikan yang sangat menggiurkan yang merupakan kegemaran pasangan tersebut.
Sang kakek pun, pertama kali melayani sang nenek dengan mengambil kepala ikan dan memberikannya kepada sang nenek, kemudian mengambil sisa ikan tersebut untuknya sendiri.
Sang nenek melihat hal ini, perasaannya terharu bercampur kecewa dan heran. Akhirnya sang nenek berkata kepada sang kakek:
“Suamiku, kita telah melewati 50 tahun bahtera pernikahan kita. Ketika engkau memutuskan untuk melamarku, aku memutuskan untuk hidup bersamamu dan menerima dengan segala kekurangan yang ada untuk hidup sengsara denganmu walaupun aku tahu waktu itu kondisi keuangan engkau pas-pasan. Aku menerima hal tersebut karena aku sangat mencintaimu. Sejak awal pernikahan kita, ketika kita mendapatkan keberuntungan untuk dapat menyantap hidangan ikan, engkau selalu hanya memberiku kepala ikan yang sebetulnya sangat tidak aku suka, namun aku tetap menerimanya dengan mengabaikan ketidaksukaanku tersebut karena aku ingin membahagiakanmu. Aku tidak pernah lagi menikmati daging ikan yang sangat aku suka selama masa pernikahan kita. Sekarangpun, setelah kita berkecukupan, engkau tetap memberiku hidangan kepala ikan ini. Aku sangat kecewa, suamiku. Aku tidak tahan lagi untuk mengungkapkan hal ini.”
Sang kakek pun terkejut dan bersedihlah hatinya mendengarkan penuturan Sang nenek. Akhirnya, sang kakek pun menjawab,
“Istriku, ketika engkau memutuskan untuk menikah denganku, aku sangat bahagia dan aku pun bertekad untuk selalu membahagiakanmu dengan memberikan yang terbaik untukmu. Sejujurnya, hidangan kepala ikan ini adalah hidangan yang sangat aku suka. Namun, aku selalu menyisihkan hidangan kepala ikan ini untukmu, karena aku ingin memberikan yang terbaik bagimu. Semenjak menikah denganmu, tidak pernah lagi aku menikmati hidangan kepala ikan yang sangat aku suka itu. Aku hanya bisa menikmati daging ikan yang tidak aku suka karena banyak tulangnya itu. Aku minta maaf, istriku.”
Mendengar hal tersebut, sang nenek pun menangis.
Merekapun akhirnya berpelukan. Percakapan pasangan ini didengar oleh sebagian undangan yang hadir sehingga akhirnya merekapun ikut terharu.
Suatu hari terjadi hal yang mengejutkan. Kejunya ternyata sudah habis. Kedua tikus sadar bahwa situasi sudah berubah, karena itu tanpa membuang waktu, mereka memutuskan untuk berubah juga. Segera mereka mengangkat hidung, mengendus, dan berlari ke labirin yang lain untuk menemukan keju yang baru.
Tidak demikian halnya dengan kedua kurcaci. Mereka tak siap menghadapi kenyataan ini. Alih-alih mengambil tindakan, mereka berteriak-teriak, berkacak pinggang dan mengomel berkepanjangan. “Ini tidak adil. Siapa yang memindahkan keju kita?” Temannya menjawab, “Ini kecerobohanmu, kalau saja kamu memperhatikan bahwa persediaan keju kita semakin menipis, hal ini tak mungkin terjadi!”
Mereka pun mulai menganalisa. “Pasti ada orang jahat yang hendak mempermainkan kita. Kita harus mencari tahu.” Berhari-hari mereka mendiskusikan masalah ini, tapi kejunya tak kunjung tiba. Kini mereka benar-benar merasa lemas dan tak bertenaga.
Cerita menarik dari Spencer Johnson tersebut amatlah tepat menggambarkan kondisi masyarakat kita. Kelakuan kita memang mirip kurcaci dalam menghadapi masalah dan krisi yang ada. Yang membuat suasana makin runyam sebenarnya bukanlah krisis itu sendiri, tetapi respon kita terhadap krisis.
Sebagai balasan, saya sering menggoda dua ekor angsa itu. Dalam sebuah kesempatan lain, ketika kondisi fisik saya prima, saya dekati dua angsa itu. Dua makluk itu terpancing lantas mengejar. Karena fisik sudah saya persiapkan dengan matang, tak terkejarlah saya. Ketika sudah jauh, saya tertawa, saya puas. “ha ha ha, kalah lo”.
Tapi akhirnya, saya berubah pikiran, Setelah beberapa tahun lamanya.
Saya memutuskan untuk berdamai. Setelah lama menjadi “musuh”.
Tepatnya, selepas jalan-jalan sore. Seperti biasanya, setiap sore dengan senja yang selalu memikat, saya habiskan waktu dengan berjalan-jalan, mengikuti irama kehidupan yang membuat saya tenang, setidaknya sampai saat ini. Rupanya, ketika sampai ke sebuah warung, saya tergoda untuk makan lebih awal, kira-kira pukul 17.00. Ya sudah lah, saya memesan makan besar, saya langsung santap di tempat. Saat itulah saya ingat nasib dua angsa itu.
“Sudahkah dua makhluk itu makan?”.
Dua angsa itu penghuni kampus, sering nampak di sekitar gedung rektorat. Saya tak yakin, ada yang mengurusi, terutama soal makan. Berangkat dari situlah, tak lupa saya belikan kedua angsa itu nasi lengkap dengan sayurnya. Setelah itu, saya meluncur mencari kedua angsa itu. Saya cari-cari ke tempat biasa tak ada, kemana..?, pikir saya. Lantas, saya berjalan menuju kolam samping rektorat. Benar, kedua angsa itu sedang santai disana.
Saya tersenyum, dalam hati saya berbisik “Hai, hari ini kita berdamai kawan”. Saya dekati dan berikan makanan itu. Awalnya sok-sokan tak mau memakannya. Dalam hati, saya berbisik lagi “Gengsi lo yah”. Tapi akhirnya mengendus dan pelan-pelan mulai memakannya.
Saya kurang tahu, siapa pemilik kedua angsa itu. Dan tak tahu pula jenis kelaminnya. Sependek yang saya tahu, dari dulu hanya dua saja. Dari situ saya menyimpulkan kalau kedua angsa itu jantan. Yah kesimpulan yang mungkin salah. Tapi tak begitu penting. Yang saya tahu, kedua angsa itu tak ada yang mengurusnya. Seorang satpam yang saya tanya siapa yang mengurusnya juga tak menjawab. Bahkan terkesan agak kaget ketika saya menanyakannya.
Ya sudahlah. Saya pandangi kedua angsa itu yang sedang asyik dengan makannya. Aduh, belum sempat saya menyaksikan kedua angsa itu menghabisi makannya, keburu hujan datang. Agak deras, dan semakin deras saja. Akhirnya, saya tancap gas meninggalkan keduanya. Saya basah kuyup tersapu hujan deras, tapi saya senang melihat kedua makhluk Tuhan itu menyantap makanan dengan lahap. Setidaknya, hari itu keduanya bisa merasakan perut kenyang. Saya bahagia melihat pemandangan seperti itu. Bagi saya itu cukup.
Pembantu itu mengambil buku, memandangnya dan akhirnya berkata dengan terbata-bata, “Nak Budi, saya tidak bisa membaca.”
Sombong seperti burung merak, anak kecil itu lari ke ruangan keluarga dan berteriak kepada ayahandanya, “Yah, bibi tidak bisa membaca, sedangkan saya yang baru berumur 8 tahun aja sudah dapat medali untuk kehebatan membaca. Saya ingin tahu bagaimana sih perasaannya memandang buku tapi tidak bisa membacanya.”
Tanpa berkata sepatah kata pun sang ayah beranjak ketempat rak buku, mengambil sebuah buku, memberikannya ke Budi lalu berkata, “Bibi merasa seperti ini,” Buku itu ditulis dalam bahasa Jerman sehingga Budi tidak mengerti dan tidak bisa membaca satu patah katapun.
Anak laki-laki kecil itu tidak akan pernah melupakan pelajaran hari itu. Bila perasaan sombong itu datang, dia akan segera mengingatkan dirinya, “Ingat, kamu tidak bisa membaca dalam bahasa Jerman”.
“Sudah dapat berapa Ujang?” sapa seorang wanita umur 40 tahunan yang mengagetkan si Ujang. Si Ujang menengok wanita yang nampak lebih tua dari umur sebenarnya. Wanita itu tiada lain adalah ibunya yang sama-sama membuka praktek mengemis sekitar 100-200 meter dari tempat si Ujang mengemis.
“Nggak tahu Mak, hitung aja sendiri,” jawab si Ujang sambil melihat kaleng yang ada di depannya. Tanpa menunggu wanita yang dipanggil Emak itu mengambil kaleng yang ada di depan si Ujang. Kemudian isi kaleng tersebut ditumpahkan ke atas kertas koran yang menjadi alas mereka duduk.
“Lumayan Ujang, bisa membeli nasi malam ini. Sisanya buat membeli kupat tahu besok pagi.” Kata si Emak sambil tersenyum lebar, karena rezeki malam itu lebih banyak dari hari-hari biasanya.
“Mak…” kata si Ujang tanpa menghiraukan ucapan ibunya, “koq orang lain punya mobil? Kenapa Emak nggak punya?” Tanya si Ujang sambil menatap wajah ibunya.
“Ah, si Ujang mah, aya-aya wae, boro-boro punya mobil, saung aja kita mah nggak punya.” kata si Emak sambil tersenyum. Si Emak kemudian membungkus uang yang telah dipisahkannya untuk besok dengan sapu tangan yang sudah lusuh dan dekil.
“Iya, tapi kenapa Mak?” Rupanya jawaban si Emak tidak memuaskan si Ujang.
“Ujang …. Ujang….” kata si Emak sambil tersenyum. “Kita tidak punya uang banyak untuk membeli mobil.” kata si Emak mencoba menjelaskan. Tetapi nampaknya si Ujang belum puas juga,
“Kenapa kita tidak punya uang banyak Mak?” tanyanya sambil melirik si Emak.
“Kitakan cuma pengemis, kalau orang lain mah kerja kantoran jadi uangnya banyak.” kata si Emak yang nampak akan beranjak. Seperti biasa sehabis matahari tenggelam si Emak membeli nasi dengan porsi agak banyak dengan 3 potong tempe atau tahu. Satu potong untuk si Emak sedangkan 2 potong untuk si Ujang anak semata wayangnya.
Sekembali membeli nasi, si Ujang masih menyimpan pertanyaan. Raut wajah si Ujang masih nampak bingung.
“Ada apa lagi Ujang?” kata si Emak sambil menyeka keringat di keningnya.
“Kenapa Emak nggak kerja kantoran saja?” tanya si Ujang dengan polosnya.
“Siapa yang mau ngasih kerjaan ke Emak, Emak mah orang bodoh, tidak sekolah.” Jawab si Emak sambil membuka bungkusan yang dibawanya.
“Udah …, sekarang makan dulu mumpung masih hangat!” Kata si Emak sambil mendekatkan nasi ke depan si Ujang. Si Ujang yang memang sudah lapar langsung menyantap makanan yang ada di depannya.
“Kenapa Emak nggak sekolah?” tanya si Ujang sambil mengunyah nasi plus tempe.
“Orang tua Emak nggak punya uang, jadi Emak nggak bisa sekolah.”
“Ujang bakal sekolah nggak?” kata si Ujang sambil menatap mata si Emak penuh harap.
Emak agak bingung menjawab pertanyaan si Ujang. Lamunan Emak menerawang mengingat kembali mendiang suaminya, yang telah mendahuluinya. Mata si Emak mulai berkaca-kaca. Karena gelapnya malam, si Ujang tidak melihat butiran bening yang mulai menuruni pipi wanita yang dipanggil Emak tersebut. Karena tak kunjung dijawab, si Ujang bertanya lagi
“Kalau Ujang nggak sekolah, nanti kayak Emak lagi dong. Iya kan Mak?”
Pertanyaan Ujang makin menyesakan dada si Emak. Siapa yang ingin punya anak menjadi pengemis, tetapi si Emak bingung harus berbuat apa. Si Emak cuma melanjutkan menghabiskan nasi sambil menahan tangisnya.
Akhirnya si Ujang pun diam sambil mengunyah nasi yang tinggal sedikit lagi. Deru mesin mobil menemani dua insan di pinggir jalan yang sedang menikmati rezeki Allah SWT yang mereka dapatkan. Diterangi lampu jalan mereka pun mulai berbenah untuk merebahkan diri. Di kepala si Ujang masih penuh tanda tanya, mau jadi apa dia kelak. Apakah akan sama seperti Emaknya saat ini?
Suatu hari, terlihat sekelompok kelinci sedang berkumpul di tepi sebuah sungai, mereka sibuk berkeluh kesah meratapi nyalinya yang kecil, mengeluh kehidupan mereka yang senantiasa dibayangi dengan mara bahaya. Semakin mereka ngobrol, semakin sedih dan ketakutan memikirkan nasib mereka.
Alangkah malangnya lahir menjadi seekor kelinci. Mau lebih kuat tidak punya tenaga, ingin terbang ke langit biru tidak punya sayap, setiap hari ketakutan melulu. Mau tidur nyenyak pun sulit karena terganggu oleh telinga panjang yang tajam pendengarannya sehingga matanya yang berwarna merah pun semakin lama semakin merah saja.
Mereka merasa hidup ini tidak ada artinya. Dari pada hidup menderita ketakutan terus, mereka berpikir lebih baik mati saja. Akhirnya mereka mengambil keputusan beramai-ramai hendak bunuh diri dengan melompat dari tepian tebing yang tinggi dan curam. Maka para kelinci terlihat berbondong-bondong menuju ke arah tebing.
Saat mereka melewati pinggir sungai, ada seekor katak yang terkejut melihat kedatangan kelinci yang berjumlah banyak. Tergesa-gesa si katak ketakutan dan segera meloncat ke sungai melarikan diri.
Walaupun si kelinci sering menjumpai katak yang melompat ketakutan saat melihat kelinci melintas, tetapi sebelum ini mereka tidak peduli. Berbeda untuk kali ini. Tiba-tiba ada seekor kelinci yang tersadar dari kesedihannya dan langsung berteriak, “Hei, berhenti! Kita tidak usah ketakutan sampai perlu harus bunuh diri.
Karena lihat lah, ternyata ada hewan lain yang lebih tidak bernyali dibandingkan kita yakni si katak yang terbirit-birit saat melihat kita! Mendengar kata-kata itu, kelinci yang lain tiba-tiba pikiran dan hatinya terbuka, seoleh-oleh tumbuh tunas keberanian di hati mereka. Maka dengan riang gembira mereka mulai saling membesarkan diri masing-masing, “iya, kita tidak perlu ketakutan!”. “Tuh kan, ada mahluk lain yang lebih pengecut dari kita”, “Iya, kita harus semakin berani”. Perlahan-lahan mereka berbalik arah kembali kearah pulang dengan riang gembira dan melupakan niatnya untuk bunuh diri.
Saat keberuntungan sedang tidak memihak kepada kita, Jangan suka meratapi nasib yang dirundung malang seakan-akan hanya kitalah mahluk paling menderita di muka bumi ini. Lihatlah disekeliling kita. Masih begitu banyak orang yang lebih susah, sengsara dan sial dibandingkan kita. Jika mereka yang hidup dalam kekurangan tetapi mampu menjalaninya dengan tegar dan tetap berjuang, kenapa kita tidak?
Sebelum pensiun, dia pergi kerja dengan naik bus tiap pagi. Pandangannya yang kesepian saat menyusuri jalan seringkali membuat kami kuatir. Dia agak pincang karena luka bekas peluru yang dialaminya saat Perang Dunia II.
Melihat dirinya, kami kuatir bahwa sekalipun dia selamat dari PD II, mungkin dia tidak bisa selamat dari perubahan di daerah kami yang menunjukkan makin meningkattnya kekerasan, kegiatan geng dan narkoba.
Ketika dia melihat selebaran dari gereja setempat yang mencari sukarelawan untuk memelihara kebun di belakang rumah pendeta, dia merespon dengan cara yang tak terduga. Tanpa banyak bicara, dia langsung mendaftar. Dia masih sehat untuk usianya yang sudah 87 tahun, ketika akhirnya hal yang selalu kami kuatirkan itu terjadi.
Saat itu dia baru selesai menyiram kebun, ketika tiga orang anggota geng menghampirinya.
Tanpa mempedulikan usaha mereka untuk mengancamnya, dengan tenang dia bertanya, “Kalian mau minum dari selang?”
Yang paling tinggi dan bertampang paling garang dari antara ketiganya berkata, “Ya, tentu saja”, dengan senyum licik.
Saat Carl memberikan selangnya kepadanya, dua orang lainnya menangkap lengan Carl dan mendorongnya hingga jatuh. Sementara selang itu terjatuh ke tanah, mencipratkan air ke sana sini, sementara pengganggu-penggangu Carl mengambil jam tangan pensiunan dan dompetnya, kemudian melarikan diri. Carl berusaha untuk bangun, tetapi dia terjatuh pada kakinya yang pincang.
Dia terbaring di sana, berusaha untuk bangkit, ketika sang pendeta datang berlari untuk menolongnya. Sekalipun sang pendeta telah melihat serangan itu dari jendela, dia tidak cukup cepat untuk sampai ke sana dan menghentikannya.
“Carl, kamu baik-baik saja? Apakah kamu luka?” sang pendeta bertanya padanya sambil membantu Carl berdiri.
Carl hanya mengusap dahinya sambil menghela napas dan menggelengkan kepala.
“Hanya beberapa anak yang terabaikan. Saya harap suatu saat mereka akan menjadi lebih bijak.”
Bajunya yang basah menempel pada tubuhnya yang kurus saat dia membungkuk untuk mengambil selang. Dia menyalakan kran lagi dan mulai menyiram.
Dengan bingung dan sedikit perhatian, sang pendeta bertanya, “Carl, apa yang kamu lakukan ?”
“Saya harus menyelesaikan menyiram. Belakangan ini udara sangat kering”, jawabnya tenang.
Lega melihat bahwa Carl benar-benar tidak apa-apa, sang pendeta hanya dapat terheran-heran. Carl adalah orang dari waktu dan tempat yang berbeda.
Beberapa minggu kemudian ketiga orang itu kembali. Sama seperti sebelumnya, ancaman mereka tidak mendapat perlawanan. Carl kembali menawarkan mereka minum dari selangnya. Kali ini mereka tidak merampoknya. Mereka merampas selang itu dari tangannya dan membasahi tubuhnya dari kepala sampai kaki dengan air dingin.
Setelah selesai menyiksanya, mereka pergi ke jalanan, sambil mengumpat dan memaki-maki, tertawa satu sama lain tentang betapa lucunya apa yang baru saja mereka lakukan. Carl hanya menatap mereka, kemudian ia berpaling pada matahari yang memberikan kehangatan, memungut selangnya dan melanjutkan menyirami kebun.
Musim panas dengan cepat berganti menjadi musim gugur. Carl sedang melakukan pekerjaannya di kebun ketika dia dikejutkan oleh seseorang yang datang tiba-tiba di belakangnya. Dia jatuh dan menimpa batang-batang evergreen. Saat dia berusaha berdiri kembali, dia menoleh dan dilihatnya pemimpin berbadan tinggi dari berandalan yang menyiksanya musim panas lalu, mengulurkan tangan kepadanya. Dia menutupi dirinya untuk berjaga-jaga terhadap serangan yang mungkin datang.
“Jangan kuatir pak tua, saya tidak akan melukai anda kali ini.” Kata pemuda itu dengan lembut, sambil tetap mengulurkan tangannya yang bertato dan penuh goresan kepada Carl.
Saat membantu Carl berdiri, pemuda itu mengeluarkan sebuah tas kumal dari sakunya dan memberikannya kepada Carl.
“Apa ini?” tanya Carl.
Itu barangmu”, jelas pemuda itu. “Semua barangmu kukembalikan, juga uang yang ada di dompetmu.”
“Aku tidak mengerti,” kata Carl. “Mengapa kamu menolongku sekarang?”
Pemuda itu menggeser kakinya, tampak malu dan sakit.
“Aku telah belajar sesuatu dari engkau”, katanya. “Aku bergabung dengan gang itu dan melukai orang-orang seperti engkau. Kami memilihmu karena engkau sudah tua dan kami tahu kami bisa melakukannya. Tetapi setiap kali kami datang dan melakukan sesuatu terhadap engkau, bukannya engkau berteriak atau melawan, tetapi bahkan menawarkan kami minum. Engkau tidak membenci kami meskipun kami membencimu. Engkau tetap menunjukkan kasih terhadap kebencian kami.”
Dia berhenti sejenak.
“Aku tidak bisa tidur setelah kami mencuri barangmu, jadi ini kukembalikan.”
Dia berhenti lagi beberapa saat, tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya.
“Kupikir tas itu adalah caraku mengucapkan terima kasih karena telah menguatkan aku.”
Dan sambil berkata demikian, pemuda itu melangkah keluar ke jalanan.
Carl melihat kantong di tangannya dan dibukanya dengan perlahan. Diambilnya jam pensiunannya dan dipasangnya di pergelangan tangannya. Saat membuka dompetnya, diperiksanya foto pernikahannya. Dia memandang sejenak kepada mempelai wanita yang masih tersenyum balik kepadanya sejak bertahun-tahun yang lalu.
Carl meninggal pada suatu hari yang dingin setelah hari Natal di musim dingin itu. Banyak orang menghadiri pemakamannya meskipun cuaca buruk. Secara khusus sang pendeta memperhatikan seorang pemuda bertubuh tinggi yang tidak dikenalnya sedang duduk dengan tenang di pojok gereja. Sang pendeta berbicara tentang kebun Carl sebagai suatu pelajaran dalam hidup.
Dengan suara yang tersendat dan air mata yang ditahan, dia berkata, “Lakukan yang terbaik dan buatlah kebun anda seindah mungkin. Kita tak akan pernah melupakan Carl dan kebunnya.”
Musim semi berikutnya selebaran lain muncul lagi. Isinya: “Dicari orang untuk memelihara kebun Carl.”
Selebaran itu terabaikan oleh para jemaat yang sibuk sampai suatu hari sebuah ketukan terdengar di kantor sang pendeta. Saat membuka pintu, sang pendeta melihat sepasang tangan yang penuh goresan dan tato memegang selebaran itu.
“Saya yakin ini pekerjaan saya, jika anda mau memakai saya,” kata pemuda itu.
Sang pendeta mengenali pemuda itu sebagai orang yang sama yang mengembalikan jam dan dompet Carl yang dicuri. Dia tahu bahwa kebaikan hati Carl telah membalikkan hidup pemuda ini.
Sang pendeta menyerahkan kunci-kunci kebun kepadanya, sambil berkata, “Ya, peliharalah kebun Carl dan hargailah dia.”
Pemuda itu pergi bekerja dan selama beberapa tahun kemudian, dia tetap memelihara bunga-bunga dan sayuran sama seperti yang dikerjakan Carl. Dalam masa itu, ia pergi kuliah, menikah dan menjadi anggota masyarakat yang terpandang. Tetapi dia tak pernah melupakan janjinya pada Carl dan menjaga kebun itu seindah mungkin seperti yang akan dilakukan Carl.
Suatu hari dia mendatangi pendeta yang baru dan berkata padanya bahwa ia tidak dapat lagi memelihara kebun itu.
Dia menjelaskan dengan senyum tersipu dan bahagia, “Istri saya baru saja melahirkan seorang anak laki-laki tadi malam, dan dia akan membawanya pulang hari Sabtu.”
“Baiklah, selamat!” kata sang pendeta, saat dia menyerahkan kembali kunci-kunci kebun. “Itu hebat sekali! Siapa nama bayinya ?”
"Carl" jawabnya.
Saya jadi kelabakan. Apa tidak usah bawa shampoo, nanti saja beli di jalan.Tapi mana sempat, waktunya sudah mepet. Sudah ditunggu yang jemput lagi. Akhirnya saya coba dengan tali kasur, tidak bisa. Dipuntal-puntal pakai kantong plastik, juga tidak bisa. Waduh, karet gelang yang biasanya saya buang-buang, sekarang malah bikin saya bingung. Benda kecil yang sekilas tidak ada artinya, tiba-tiba menjadi begitu penting.
Saya jadi teringat pada seorang teman waktu di Yogyakarta dulu. Dia tidak menonjol, apalagi berpengaruh. Sungguh, Sangat biasa-bisa saja. Dia hanya bisa mendengarkan saat orang-orang lain ramai berdiskusi. Dia hanya bisa melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Itu pun kadang-kadang salah, Kemampuan dia memang sangat terbatas.
Tetapi dia sangat senang membantu orang lain; entah menemani pergi, membelikan sesuatu, atau mengeposkan surat. Pokoknya apa saja asal membantu orang lain, ia akan kerjakan dengan senang hati. Itulah sebabnya kalau dia tidak ada, kami semua, teman-temannya, suka kelabakan juga. Pernah suatu kali acara yang sudah kami persiapkan gagal, karena dia tiba-tiba harus pulang kampung untuk suatu urusan.
Di dunia ini memang tidak ada sesuatu yang begitu kecilnya, sehingga sama sekali tidak berarti. Benda yang sesehari dibuang-buang pun, seperti karet gelang, pada saatnya bisa menjadi begitu penting dan merepotkan.
Mau bukti lain? Tanyakanlah pada setiap pendaki gunung, apa yang paling merepotkan mereka saat mendaki tebing curam? Bukan teriknya matahari. Bukan beratnya perbekalan. Tetapi kerikil-kerikil kecil yang masuk ke sepatu.
Karena itu, jangan pernah meremehkan apa pun. Lebih-lebih meremehkan diri sendiri. Bangga dengan diri sendiri itu tidak salah. Yang salah kalau kita menjadi sombong, lalu meremehkan orang lain.
Ia mendapatkan nomor urut sekian ribu, setelah menunggu berjam-jam akhirnya waktu yang selama ini nantikan tiba, gadis itu berjalan menuju sebuah ruangan yang disitu sudah menunggu sesosok pria yang tidak lain adalah sang juri, yang akan menilai kemampuannya dan menentukan langkahnya. Dengan percaya diri gadis tersebut memulai tariannya, sangat luar biasa sekali, gerakannya gemulai dan lincah. Namun baru beberapa menit ia menari, sang juri meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun, sang gadis tersebut terkejut, bagai disambar petir disiang bolong, “ Begitu burukkah tarianku samapi-sampai dia mencampakkanku begitu saja, tanpa meninggalkan kata sedikitpun,” kata sang gadis dalam hati. Begitu kesalnya sang gadis, mimpinya hancur, cita-citanya musnah. Sejak saat itu sang gadis tidak pernah mau untuk menari lagi.
Beberapa tahun berlalu, Tanpa sengaja sang gadis melihat sebuah pengumuman, di kota tersebut akan diadakan pertunjukan tari, sang gadis tersebut bermaksud membawa anaknya untuk menonton pertunjukan tersebut, di pertunjukan tersebut ia bertemu dengan sesosok yang sudah tidak asing bagi dirinya, juri dalam perlombaan tari yang pernah ia ikuti beberapa waktu yang lalu, pria tersebut sudah tua, tampak dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dan kepalanya yang botak.
Gadis tersebut menghampiri pria itu.
“Anda masih ingat saya?” Tanya si gadis,
“ Saya oring yang ada tinggalkan begitu saja pada perlombaan tari beberapa tahun yang lalu.” Tambah si gadis itu.
“ Ooo, kemana saja Anda selama ini?” Kata pria itu.
“ Saya menjadi penjaga toko,” Jawab sang gadis singkat.
Sang gadis pun menanyakan sebuah pertanyaan besar, yang selama ini menggangunya,
“ Kenapa waktu itu meninggalkan saya begitu saja? Begitu burukkah penampilan saya? Mungkin jika waktu itu saya diberikan kesempatan, saat ini saya yang akan ada diatas panggung itu, bukan menjadi seorang penjaga toko.”
Pria itu menjawab “ Ooo Anda menari dengan sangat hebat sekali waktu itu, tapi waktu itu saya lelah sekali, setelah beribu-ribu penari yang saya nilai, mengenai saya meninggalkanmu, saya bermaksud untuk mengambil kartu nama saya, untuk saya berikan kepada Anda dan saya berharap Anda menghubungi saya keesokan harinya. Saya benar-benar lelah, namun setelah saya kembali, Anda sudah tidak ada. Untuk mengetahui sebuah rasa masakan yang lezat, Anda tidak harus memakan semua masakan tersebut.”
Andai saja gadis itu tetap konsisten dengan apa yang ia lakukan, ia tetap konsentrasi dengan cita-citanya, ia tetap menyelesaikan tariannya hingga usai, mungkin ia sudah menjadi penari yang tenar, bukan sebagai seorang penjaga toko.
Suatu petang dimusim panas, ketika aku sedang menyiapkan makan malam, ada orang mengetuk pintu. Saat kubuka, yang kutatap ialah seorang pria dengan wajah yang benar buruk sekali rupanya.
“Lho, dia ini juga hampir cuma setinggi anakku yang berusia 8 tahun,” pikirku ketika aku mengamati tubuh yang bungkuk dan sudah serba keriput ini. Tapi yang mengerikan ialah wajahnya, begitu miring besar sebelah akibat bengkak, merah dan seperti daging mentah., hiiiihh…!
Tapi suaranya begitu lembut menyenangkan ketika ia berkata, “Selamat malam. Saya ini kemari untuk melihat apakah anda punya kamar hanya buat semalam saja. Saya datang berobat dan tiba dari pantai Timur, dan ternyata tidak ada bis lagi sampai esok pagi.”
Ia bilang sudah mencoba mencari kamar sejak tadi siang tanpa hasil, tidak ada seorangpun tampaknya yang punya kamar.
“Aku rasa mungkin karena wajahku… Saya tahu kelihatannya memang mengerikan, tapi dokterku bilang dengan beberapa kali pengobatan lagi…”
Untuk sesaat aku mulai ragu-ragu, tapi kemudian kata-kata selanjutnya menenteramkan dan meyakinkanku: “Oh aku bisa kok tidur dikursi goyang diluar sini, di veranda samping ini. Toh bisku esok pagi-pagi juga sudah berangkat.”
Aku katakan kepadanya bahwa kami akan mencarikan ranjang buat dia, untuk beristirahat diveranda. Aku masuk kedalam menyelesaikan makan malam. Setelah rampung, aku mengundang pria tua itu, kalau-kalau ia mau ikut makan.
“Wah, terima kasih, tapi saya sudah bawa cukup banyak makanan.” Dan ia menunjukkan sebuah kantung kertas coklat.
Selesai dengan mencuci piring-piring, aku keluar mengobrol dengannya beberapa menit. Tak butuh waktu lama untuk melihat bahwa orang tua ini memiliki sebuah hati yang ter-lampau besar untuk dijejalkan ketubuhnya yang kecil ini.
Dia bercerita ia menangkap ikan untuk menunjang putrinya, kelima anak-anaknya, dan istrinya, yang tanpa daya telah lumpuh selamanya akibat luka ditulang punggung. Ia bercerita itu bukan dengan berkeluh kesah dan mengadu; malah sesungguhnya, setiap kalimat selalu didahului dengan ucapan syukur pada Allah untuk suatu berkat!
Ia berterima kasih bahwa tidak ada rasa sakit yang menyertai penyakitnya, yang rupa-rupanya adalah semacam kanker kulit. Ia bersyukur pada Allah yang memberinya ke-kuatan untuk bisa terus maju dan bertahan.
Saatnya tidur, kami bukakan ranjang-lipat-kain berkemah untuknya dikamar anak-anak. Esoknya waktu aku bangun, seprei dan selimut sudah rapi terlipat dan pria tua itu sudah berada di veranda.
Ia menolak makan pagi, tapi sesaat sebelum ia berangkat naik bis, ia berhenti sebentar, seakan meminta suatu bantuan besar, ia berkata, “Permisi, bolehkah aku datang dan tinggal disini lagi lain kali bila aku harus kembali berobat? Saya sungguh tidak akan merepotkan anda sedikitpun. Saya bisa kok tidur enak dikursi.”
Ia berhenti sejenak dan lalu menambahkan, “Anak-anak anda membuatku begitu merasa kerasan seperti di rumah sendiri. Orang dewasa rasanya terganggu oleh rupa buruknya wajahku, tetapi anak-anak tampaknya tidak terganggu.”
Aku katakan silahkan datang kembali setiap saat.
Ketika ia datang lagi, Ia tiba pagi-pagi jam tujuh lewat sedikit. Sebagai oleh-oleh, ia bawakan seekor Ikan besar dan satu liter kerang oyster terbesar yang pernah kulihat. Ia bilang, pagi sebelum berangkat, semuanya ia kuliti supaya tetap bagus dan segar.
Aku tahu bis-nya berangkat jam 4.00 pagi, entah jam berapa ia sudah harus bangun untuk mengerjakan semuanya ini bagi kami. Selama tahun-tahun ia datang dan tinggal bersama kami, tidak pernah sekalipun ia datang tanpa membawakan kami ikan atau kerang oyster atau sayur mayur dari kebunnya. Beberapa kali kami terima kiriman lewat pos, selalu lewat kilat khusus, ikan dan oyster terbungkus dalam sebuah kotak penuh daun bayam atau sejenis kol, setiap helai tercuci bersih.
Mengetahui bahwa ia harus berjalan sekitar 5 km untuk mengirimkan semua itu, dan sadar betapa sedikit penghasilannya, kiriman-kiriman dia menjadi makin bernilai…
Ketika aku menerima kiriman oleh-oleh itu, sering aku teringat kepada komentar tetangga kami pada hari ia pulang ketika pertama kali datang.
“Ehhh, kau terima dia bermalam ya, orang yang luar biasa jelek menjijikkan mukanya itu? Tadi malam ia kutolak. Waduhh, celaka dehh.., kita kan bakal kehilangan langganan kalau nerima orang macam gitu!”
Oh ya, memang boleh jadi kita kehilangan satu dua tamu. Tapi seandainya mereka sempat mengenalnya, mungkin penyakit mereka bakal jadi akan lebih mudah untuk dipikul. Aku tahu kami sekeluarga akan selalu bersyukur, sempat dan telah mengenalnya; dari dia kami belajar apa artinya menerima yang buruk tanpa mengeluh, dan yang baik dengan bersyukur kepada Allah.