It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ketika dia sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua,tiba-tiba mata sang sahabat tertumpu pada seorang opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong. Lalu sang sahabat mencoba mendekati opa itu dan mencoba mengajaknya berbicara.
Perlahan tapi pasti sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si opa menceritakan kisah hidupnya.
Si opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang.Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus.
Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi. Apapun keinginan Anak saya, saya usahakan agar terpenuhi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.
Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu Sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yg mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar. Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukan nya.
Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya. Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung.
Tapi apa yang saya dapatkan ? setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan.
Lalu saya tinggal dirumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita didalamnya,tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu. Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka?
Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan? Setelah beberapa lama saya tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.
Sekarang sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.
Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat – sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.
Sejak itu sang sahabat selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang opa.Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali sang sahabat membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung.
Yang satu seorang pria dgn kemahiran berpedang yang tiada tandingan. Seorang lagi adalah wanita tercantik dengan ilmu bela diri yang hebat serta memiliki hati yang baik. Keduanya adalah pasangan yang sangat cocok satu sama lain. Hanya ada satu masalah
Mereka tidak pernah menyatakan perasaan masing-masing.
Keduanya saling menghargai, menyukasi serta mencintai satu sama lainnya.
Hanya karena keduanya berasal dari perguruan yang saling bermusuhan, serta karena sang pria telah berjanji menganggap sang wanita sebagai adik karena sahabatnya, yang dahulu hampir menikah dgn sang gadis, sebelum meninggal memintanya menjaga sang gadis.
Keduanya menjaga & menahan perasaan mereka selama puluhan tahun, sementara mereka bersama membasmi kejahatan, berpetualang ke tempat berbahaya & mengadu nyawa bersama.
Keduanya menyimpan perasaan walaupun keduanya tahu perasaan masing-masing.
Hingga suatu hari, ketika bertarung, sang pria terkena pisau & tak akan tertolong lagi karena lukanya terlalu parah.
sang gadis menagis menemuinya, tak mampu berkata apa-apa…
sang pria hanya memiliki beberapa waktu lagi didunia. nafasnya hanya tinggal beberapa hembusan saja.
Dan disaat sebelum menghembuskan nafasmua yg terakhir, akhirnya sang pria menyatakan cintanya pada sang gadis. ‘aku mencintaimu. Hanya kamu, dari dulu.”
Dan sang gadis hanya mampu meratapi kepergian sang pria yg dicintainya sejak dulu.
Terkadang kita memiliki kesempatan untuk menyatakan perasaan pada seseorang yg kita sayangi. Namun karena perasaan takut, malu, takut ditolak, ataupun hal-hal yg bermacam lainnya, kadang kita malah menguburkan perasaan itu.
Jangan tunggu waktunya berlalu & kita hanya berteman dgn kenyataan kesempatan berlalu dari depan mata, seperti kedua pasangan pendekar diatas.
Ironisnya lagi, hari itu hari ulang tahun Carol yang kelima puluh, dan Jim sudah membeli dua tiket pesawat ke Hawaii.
Ia ingin memberi kejutan untuk istrinya. Tapi ia justru tewas gara-gara seorang pengemudi mabuk.
“Bagaimana kau bisa mengatasi itu?” tanyaku pada Carol, setahun kemudian.
Mata Carol basah oleh air mata.
Kupikir aku sudah salah bicara, tapi dengan lembut ia meraih tanganku dan berkata, “Tidak apa-apa. Aku ingin menceritakan padamu. Ketika aku dan Jim menikah, aku berjanji bahwa setiap pagi, sebelum dia berangkat, aku mesti mengatakan bahwa aku mencintainya. Dia juga membuat janji yang sama. Akhirnya hal itu menjadi semacam gurauan di antara kami. Ketika anak-anak mulai lahir, sulit untuk menepati janji itu. Aku ingat aku suka lari ke mobilnya sambil berkata, ‘Aku mencintaimu’, dengan gigi terkatup rapat kalau aku sedang marah. Kadang aku mengemudi ke kantornya untuk menaruh catatan kecil di mobilnya. Hal itu menjadi tantangan yang lucu. Banyak kenangan kami tentang kebiasaan mengucapkan cinta ini setiap hari, sepanjang kehidupan perkawinan kami.
Pada pagi Jim meninggal, ia menaruh kartu ulang tahun di dapur, lalu pergi diam-diam ke mobilnya. Kudengar mesin mobilnya dinyalakan. Jangan coba-coba kabur, ya, pikirku. Aku lari dan menggedor jendela mobilnya, sampai ia membukanya. ‘Hari ini, pada ulang tahunku yang kelima puluh, Bapak James E. Garrett, aku, Carol Garrett, ingin menyatakan bahwa aku mencintaimu.’
Karena itulah aku bisa tabah menghadapi peristiwa itu. Karena aku tahu bahwa kata-kata terakhir yang kuucapkan pada Jim adalah ‘Aku mencintaimu.’
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus.
Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen.
Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.
Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang.
Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.
“Mengapa?”, tanya suami saya dengan terkejut.
“Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan,” jawab saya.
Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya?
Dan akhirnya suami saya bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiran kamu?”
Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan,”Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah pikiran saya”
“Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yg ada di tebing gunung.
Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.
Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?”
Dia termenung dan akhirnya berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”
Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.
Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan ……
“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.”
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.
Saya melanjutkan untuk membacanya.
“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘teman baik kamu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal.”
“Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir kamu akan menjadi ‘aneh’. Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.”
“Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu.”
“Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajah kamu.”
“Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir.
“Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu. Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu.”
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya.
“Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca jawaban saya.
“Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana menunggu jawaban kamu.”
“Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu. Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia.”
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya.
Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.
Kisah cinta ini bermula saat seorang mahasiswa kimia asal Vietnam pergi ke Korea Utara pada 1971 untuk belajar. Mahasiswa muda itu, Pham Ngoc Canh, jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang wanita yang sekilas dilihatnya melewati pintu laboratorium di Hamhung, tak jauh dari Pyongyang.
Pham pun nekat menemui Ri Young-Hui. Mereka lalu bertukar hadiah, Pham memberi foto dan Ri memberikan alamat yang ditulis di sobekan kertas.
Mereka bertemu diam-diam dan berpisah diam-diam. Pham memberitahu ibu Ri agar memaksa putrinya menikah dengan pria lain saja karena mereka berdua tidak mungkin dipertemukan. Rezim Korea Utara melarang warganya berhubungan dengan orang asing, meski dari negara komunis seperti Vietnam.
Ri menolak saran Pham dan ibunya untuk menikah dengan pria lain. Bahkan ketika Pham pulang ke Hanoi karena tugas belajarnya selesai, Ri berusaha bunuh diri. Pham pun akhirnya bertekad untuk memperjuangkan cinta mereka.
Dibantu oleh ibu Ri, kedua kekasih ini menjalin hubungan hanya lewat surat selama 20 tahun tanpa pernah bertemu sekalipun. Surat terakhir diterimanya pada 1992.
Mengetahui Ri tak mungkin memperjuangkan persatuan mereka kembali, Pham pun mengambil inisiatif untuk selalu mengusahakan pertemuan mereka kembali.
Sebagai seorang penerjemah tim olahraga nasional, Pham beberapa kali mengunjungi Korea Utara. Kesempatan ini selalu digunakannya untuk menghubungi Ri. Namun, usahanya selalu gagal. Orang-orang di Korea Utara selalu mengatakan, Ri telah menikah atau meninggal, tapi Pham lebih percaya kesejatian cinta Ri ketimbang omongan orang-orang. Ia menolak untuk percaya telah kehilangan kekasihnya.
Pham juga pernah berusaha melunakkan kakunya birokrasi dengan membawa 40 surat cinta dalam bahasa Korea yang dikumpulkannya selama 20 tahun itu ke Kedutaan Besar Korea Utara di Hanoi. Ia berharap mereka mau membantu. Namun usaha ini, seperti perjuangan sebelumnya, menemui ketidakpastian.
Tahun-tahun terus berlalu dan rambut mereka sudah mulai beruban, namun cinta mereka tak juga pupus. Tahun lalu, Pham melakukan usaha terakhirnya saat ia mendengar delegasi politik Vietnam berkunjung ke Pyongyang.
Ia kemudian menulis surat kepada Presiden dan Menteri Luar Negeri Vietnam. Usahanya kali ini tak sia-sia. Beberapa bulan kemudian, ia mendapat jawaban yang ditunggunya selama 30 tahun: pemerintah Korea Utara mengizinkannya untuk menikahi Ri Young Hui.
September lalu, pasangan yang telah berusia 50 tahunan itu bertemu kembali. Mereka pun sepakat untuk tidak menunda-nunda lagi pernikahan yang sudah lama dinantikan itu. Desember lalu, di Hanoi, keduanya menikah dengan dihadiri 700 tamu yang datang dengan mata berkaca- kaca.
Tapi ada seorang pria pendiam yang membuatku penasaran, dia mengaku salah satu dari teman sekelasku. Meski aku merasa pernah melihat wajahnya, aku tidak ingat dia ada di kelasku. Adrien, nama pria itu, selalu membawakanku sebutir apel setiap hari, hanya sebuah. Dia mengunjungiku dari hari pertama aku dirawat sampai akhirnya aku sembuh dan diijinkan pulang.
Meski heran, aku mencoba menahan diri untuk bertanya mengapa dia hanya membawakanku sebutir apel setiap hari, bukan sebuket bunga, setidaknya sekeranjang apel atau tidak sama sekali, itu tentu tidak akan lebih aneh daripada sebutir apel saja.
Saat aku kembali ke kampus, yang pertama kucari adalah Adrien. Aku selalu penasaran apakah dia benar teman sekelasku. Ternyata dia memang ada disana, duduk di kursi paling pojok, dan seharian hanya tidur di kelas.
Aku tak menyapanya dan melakukan kegiatan belajarku seperti biasanya. Tapi saat pulang, aku kembali menemukan sebutir apel di lokerku. Keesokan harinya aku membangunkan tidurnya dan mengajaknya makan siang bersama.
Kali ini aku tidak bisa menahan keingintahuanku tentang sebutir apel yang selalu dia berikan padaku. Aku begitu terkejut ketika mendengar awal kisah sebutir apel itu ternyata dimulai olehku sendiri. Saat itu masa orientasi untuk mahasiswa baru. Menurut Adrien, ia lupa membawa bekal karena telat bangun. Lalu seorang wanita bertubuh pendek, aku, menawarkan sebutir apel karena melihatnya tidak membawa bekal saat makan siang.
Ia bilang hatinya merasa tersentuh karena wanita itu tidak menanyakan alasannya tidak membawa bekal, meski mungkin lebih karena wanita itu tidak peduli padanya. Tetapi untuk pertama kalinya bagi Adrien, seorang yang tidak peduli padanya justru menyelamatkan dirinya hari itu. Saat itu ia nyaris pingsan karena lapar dan tidak tahu harus meminta tolong pada siapa karena tidak ada orang yang dikenalnya.
Sejak itu ia mengaku sangat menyukai buah apel. Sebutir apel yang ia berikan setiap hari merupakan balasan kebaikanku dulu. Ia mengandaikan buah apel sepotong cinta, ia berikan sebutir setiap hari dan akan selalu sama. Meski mungkin dia tidak menawarkan cinta yang berlebihan dengan sebuket mawar atau sekotak kembang gula, hanya sebutir apel sederhana tapi baginya cintanya padaku tidak akan pernah berubah. Dia tidak mencoba menarik perhatianku dengan sesuatu yang wah, tapi hanya menawarkan sepotong cinta yang setia, cinta yang sederhana.
Aku mungkin merasa tidak percaya seorang Adrien yang agak anti sosial bisa berpikir tentang cinta seperti sebuah apel, tapi dalam kenyataan hidup hal itu memang terjadi. Kebaikan yang tidak kita sadari bisa menggugah perasaan seseorang sampai ia rela memberikan cintanya dengan tulus pada kita.
Namun pada suatu hari, malang.. sang lelaki mengalami luka berat akibat sebuah kecelakaan. Ia berbaring di atas ranjang pasien.. beberapa malam tidak sadarkan diri di rumah sakit. Siang hari sang wanita menjaga di depan ranjang dan dengan tiada henti memanggil-manggil kekasih yang tidak sadar sedikitpun. Malamnya ia ke gereja kecil di kota tersebut dan tak lupa berdoa kepada Tuhan agar kekasihnya selamat. Air matanya sendiri hampir kering karena menangis sepanjang hari. Seminggu telah berlalu, sang lelaki tetap pingsan tertidur seperti dulu, sedangkan si wanita telah berubah menjadi pucat pasi dan lesu tidak terkira, namun ia tetap dengan susah payah bertahan dan akhirnya pada suatu hari Tuhan terharu oleh keadaan wanita yang setia dan teguh itu, lalu IA memutuskan memberikan kepada wanita itu sebuah pengecualian kepada dirinya.
Tuhan bertanya kepadanya: “Apakah kamu benar-benar bersedia menggunakan nyawamu sendiri untuk menukarnya?”.
Si wanita tanpa ragu sedikitpun menjawab: “Ya”.
Tuhan berkata: “Baiklah, Aku bisa segera membuat kekasihmu sembuh kembali, namun kamu harus berjanji menjelma menjadi kupu-kupu selama 3 tahun. Pertukaran seperti ini apakah kamu juga bersedia?”.
Si wanita terharu setelah mendengarnya dan dengan jawaban yang pasti menjawab: “saya bersedia!”.
Hari telah terang. Si wanita telah menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Ia mohon diri pada Tuhan lalu segera kembali ke rumah sakit. Hasilnya, lelaki itu benar-benar telah siuman bahkan ia sedang berbicara dengan seorang dokter. Namun sayang, ia tidak dapat mendengarnya sebab ia tak bisa masuk ke ruang itu. Dengan di sekati oleh kaca, ia hanya bisa memandang dari jauh kekasihnya sendiri. Beberapa hari kemudian, sang lelaki telah sembuh. Namun ia sama sekali tidak bahagia. Ia mencari keberadaan sang wanita pada setiap orang yang lewat, namun tidak ada yang tahu sebenarnya sang wanita telah pergi kemana.
Sang lelaki sepanjang hari tidak makan dan istirahat, terus mencari. Ia begitu rindu kepadanya, begitu inginnya bertemu dengan sang kekasih, namun sang wanita yang telah berubah menjadi kupu-kupu bukankah setiap saat selalu berputar di sampingnya? hanya saja ia tidak bisa berteriak, tidak bisa memeluk. Ia hanya bisa memandangnya secara diam-diam.
Musim panas telah berakhir, angin musim gugur yang sejuk meniup jatuh daun pepohonan. Kupu-kupu mau tidak mau harus meninggalkan tempat tersebut lalu terakhir kali ia terbang & hinggap di atas bahu sang lelaki. Ia bermaksud menggunakan sayapnya yang kecil halus membelai wajahnya, menggunakan mulutnya yang kecil lembut mencium keningnya. Namun tubuhnya yang kecil dan lemah benar-benar tidak boleh di ketahui olehnya, sebuah gelombang suara tangisan yang sedih hanya dapat di dengar oleh kupu-kupu itu sendiri & mau tidak mau dengan berat hati ia meninggalkan kekasihnya, terbang ke arah yang jauh dengan membawa harapan.
Dalam sekejap telah tiba musim semi yang kedua, sang kupu-kupu dengan tidak sabarnya segera terbang kembali mencari kekasihnya yang lama di tinggalkannya. Namun di samping bayangan yang tak asing lagi ternyata telah berdiri seorang wanita cantik. Dalam sekilas itu sang kupu-kupu nyaris jatuh dari angkasa. Ia benar-benar tidak percaya dengan pemandangan di depan matanya sendiri. Lebih tidak percaya lagi dengan omongan yang di bicarakan banyak orang.
Orang-orang selalu menceritakan ketika hari natal, betapa parah sakit sang lelaki. Melukiskan betapa baik dan manisnya dokter wanita itu. Bahkan melukiskan betapa sudah sewajarnya percintaan mereka dan tentu saja juga melukiskan bahwa sang lelaki sudah bahagia seperti dulu kala dsb. Sang kupu-kupu sangat sedih. Beberapa hari berikutnya ia seringkali melihat kekasihnya sendiri membawa wanita itu ke gunung memandang matahari terbit, menghantar matahari senja di pesisir pantai. Segala yg pernah di milikinya dahulu dalam sekejap tokoh utamanya telah berganti seorang wanita lain sedangkan ia sendiri selain kadangkala bisa hinggap di atas bahunya, namun tidak dapat berbuat apa-apa.
Musim panas tahun ini sangat panjang, sang kupu-kupu setiap hari terbang rendah dengan tersiksa dan ia sudah tidak memiliki keberanian lagi utk mendekati kekasihnya sendiri. Bisikan suara antara ia dengan wanita itu, ia dan suara tawa bahagianya sudah cukup membuat embusan napas dirinya berakhir, karenanya sebelum musim panas berakhir, sang kupu-kupu telah terbang berlalu.
Bunga bersemi dan layu. Bunga layu dan bersemi lagi. Bagi seekor kupu-kupu waktu seolah-olah hanya menandakan semua ini. Musim panas pada tahun ketiga, sang kupu-kupu sudah tidak sering lagi pergi mengunjungi kekasihnya sendiri. Sang lelaki bekas kekasihnya itu mendekap perlahan bahu si wanita, mencium lembut wajah wanitanya sendiri. Sama sekali tidak punya waktu memperhatikan seekor kupu-kupu yang hancur hatinya apalagi mengingat masa lalu. Tiga tahun perjanjian Tuhan dengan sang kupu-kupu sudah akan segera berakhir dan pada saat hari yang terakhir, kekasih si kupu-kupu melaksanakan pernikahan dengan wanita itu. Dalam gereja kecil telah di penuhi orang-orang. Sang kupu-kupu secara diam-diam masuk ke dalam dan hinggap perlahan di atas pundak Tuhan. Ia mendengarkan sang kekasih yang berada di bawah berikrar di hadapan Tuhan dgn mengatakan: “saya bersedia menikah dengannya!”. Ia memandangi sang kekasih memakaikan cincin ke tangan wanita itu, kemudian memandangi mereka berciuman dengan mesranya lalu mengalirlah air mata sedih sang kupu-kupu.
Dengan pedih hati, Tuhan menarik napas: “Apakah kamu menyesal?”.
Sang kupu-kupu mengeringkan air matanya: “Tidak”.
Tuhan lalu berkata di sertai seberkas kegembiraan: “Besok kamu sudah dapat kembali menjadi dirimu sendiri”.
Sang kupu-kupu menggeleng-gelengkan kepalanya: “Biarkanlah aku menjadi kupu kupu seumur hidup".
“Sedang apa kau disini wahai anak muda?” tanya seseorang. Rupanya ada seorang lelaki tua.
“Apa yang kau risaukan..?”
Anak muda itu menoleh ke samping, “Aku lelah Pak Tua. Telah berbatu-batu jarak yang ku tempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga ku temukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melalui gunung dan lembah, tapi tidak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku harus mencarinya? Bilakah akan ku temukan rasa itu?”
Lelaki tua itu duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, dia mulai berkata, “Di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawapan dari pertanyaan mu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku.”
Mereka berpandangan.
“Ya… tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu,” Pak Tua mengulangi kalimahnya lagi.
Perlahan… pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tidak berapa lama, ditemuinya taman itu. Taman yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang sedang mekar. Maka tidak hairanlah, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana. Dari kejauhan Pak Tua melihat, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu.
Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-ngendap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Dia tidak ingin kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Dia gagal. Dia mulai berlari tak beraturan.
Diterjangnya sana-sini. Dirempohnya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar.
Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Si pemuda mulai kelelahan. Nafasnya semakin kencang, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirehatlah.”
Tampak Pak Tua yang berjalan perlahan. Ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan dan kiri Pak Tua. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
“Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Merempoh-rempoh tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rosak?” Pak Tua menatap pemuda itu.
“Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.”
“Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Kerana kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sedari kebahagiaan itu sering datang sendiri.”
Pak Tua mengangkat tangannya. Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu- kupu yang hinggap di hujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu- kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengkagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.
Hari berlalu, hubungan kami semakin dekat, perasaan di antara kami semakin menguat, dan juga mendapat dukungan dari teman-teman.
Pada suatu hari di tahun kelulusan kami, dia berkata padaku, “Saya telah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi, tetapi di Amerika, dan saya tidak tahu akan pergi berapa lama, kita bertunangan dulu, bolehkah?”
Mungkin dalam keadaan tidak rela melepas kepergiannya, saya mengangguk.
Oleh karena itu, sehari sesudah hari wisuda, hari itu menjadi hari pertunangan kami berdua. Setelah bertunangan tidak berapa lama, bersamaan dengan ucapan selamat dan perasaan berat hati dalam hatiku, dia menaiki pesawat dan terbang menuju sebuah negara yang asing. Saya juga mendapatkan sebuah pekerjaan yang bagus, memulai hari bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Telepon internasional merupakan cara kami untuk tetap berhubungan dan melepas kerinduan.
Suatu hari, sebuah hal yang nahas terjadi pada diriku. Pagi hari, dalam perjalanan menuju tempat kerja, sebuah taksi demi menghindari sebuah anjing di jalan raya, mendadak menikung tajam…
Tidak tahu lewat berapa lama saya pingsan. Saat siuman telah berada di rumah sakit, dimana anggota keluarga menunggu mengelilingi tempat tidur saya. Mereka lantas memanggil dokter.
“Pa?” saya ingin memanggilnya tapi tidak ada suara yang keluar.
Mengapa? Mengapa saya tidak dapat memanggilnya? Dokter mendatangiku dan memeriksa, suster menyuntikkan sebuah serum ke dalam diriku, mempersilahkan yang lainnya untuk keluar terlebih dahulu.
Ketika siuman kembali, yang terlihat adalah raut wajah yang sedih dari setiap orang, sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa saya tidak dapat bersuara?
Ayah dengan sedihnya berkata, “Dokter bilang syaraf kamu mengalami luka, untuk sementara tidak dapat bersuara, lewat beberapa waktu akan membaik.”
“Saya tidak mau!” saya dengan berusaha memukul ranjang, membuka mulut lebar-lebar berteriak, tapi hanya merupakan sebuah protes yang tidak bersuara.
Setelah kembali ke rumah, kehidupanku berubah. Suara telepon yang didambakan waktu itu, merupakan suara yang sangat menakutkan sekarang ini. Saya tidak lagi keluar rumah, juga menjadi seorang yang menyia-nyiakan diri, ayah mulai berpikir untuk pindah rumah.
Dan dia? di belahan bumi yang lain, yang diketahui hanyalah saya telah membatalkan pertunangan kami, setiap telepon darinya tidak mendapatkan jawaban, setiap surat yang ditulisnya bagaikan batu yang tenggelam ke dasar lautan.
Dua tahun telah berlalu, saya secara perlahan telah dapat keluar dari masa yang gelap ini, memulai hidup baru, juga mulai belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Suatu hari, Xiao Cien memberitahu bahwa dia telah kembali, sekarang bekerja sebagai seorang insinyur di sebuah perusahaan. Saya berdiam diri, tidak mengatakan apapun. Mendadak bel pintu berbunyi, berulang-ulang dan terdengar tergesa-gesa. Tidak tahu harus berbuat apa, ayah menyeretkan langkah kakinya yang berat, pergi membuka pintu.
Saat itu, di dalam rumah mendadak hening. Dia telah muncul, berdiri di depan pintu rumahku. Dia mengambil napas yang dalam, dengan perlahan berjalan ke hadapanku.
Dengan bahasa isyarat yang terlatih, dia berkata, “Maafkan saya! Saya terlambat satu tahun baru menemuimu. Dalam satu tahun ini, saya berusaha dengan keras untuk mempelajari bahasa isyarat, demi untuk hari ini. Tidak peduli kamu berubah menjadi apapun, selamanya kamu merupakan orang yang paling kucintai. Selain kamu, saya tidak akan mencintai orang lain, marilah kita menikah!”
Hari ini, saya sedang memperbaiki sebuah mesin rusak di pabrik ini dan manusia kaleng ini datang dengan kantongnya memunguti kaleng-kaleng. Manajer saya berdiri disana karena mesin yang sedang saya perbaiki sudah “macet” selama beberapa jam, dia khawatir produksi akan terganggu.
Saya sudah selesai memperbaiki ketika berdiri dan mendengar manajer saya bertanya kepada manusia kaleng tersebut apa yang diperbuatnya terhadap kaleng-kaleng tersebut. Saya tidak pernah memikirkan pertanyaan tersebut karena saya selalu berasumsi bahwa manusia kaleng ini akan menghancurkan kaleng-kaleng tersebut di tempat daur ulang.
Manusia kaleng tersebut menjawab,”Saya memberikan kaleng-kaleng ini ke tetangga saya, dia menderita epilepsi dan tidak dapat memperoleh pekerjaan”.
Saya terkejut,”Maksudnya kamu mengumpulkan semua kaleng-kaleng itu selama bertahun-tahun untuk memberikan kepada tetanggamu??”.
“Ini tidak membantu banyak” dia berkata “tapi saya memberikan semua kepadanya. Dia tidak dapat bekerja. Dia memiliki banyak kekurangan” .
Tepat di sana, di pabrik itu, saya menemukan diri saya seperti ditampar. Manusia kaleng ini mengenakan kaos dan sebuah topi tua merah dan memegang sebuat kantong sampah penuh dengan kaleng-kaleng aluminium. Sungguh satu momen yang paling merendahkan hati saya seumur hidup.
Suatu hari Martha sakit hati. Dia mendengar sang ayah berkata kepada ibunya, “Semua anak-anak kita mencintaiku kecuali Martha”.
“Bagaimana mungkin?”, pikir Martha. “Bukankah aku yang bekerja mati-matian untuk mendapatkan uang guna membeli semua obat-obatan? Saudara-saudaraku bahkan tidak berbagi sebesar yang aku berikan”.
Suatu hari, Martha pulang larut malam seperti biasanya. Dia mengintip untuk pertama kalinya, ke dalam kamar di mana ayahnya berbaring. Dia melihat ayahnya masih terjaga, maka dia memutuskan untuk datang mendekat di samping tempat tidur ayahnya.
Ayahnya memegang kedua tangan Martha dan berkata, “Aku merindukanmu. Aku sudah tidak punya banyak waktu lagi. Tinggalah dan temani aku”.
Dan itu yang ia lakukan, semalaman ia tinggal menemani ayahnya, berpegang, menggenggam tangannya.
Pagi harinya martha berkata pada semua orang, “Aku mengambil cuti. Aku ingin menemani Ayah. Mulai saat ini aku akan memandikan dan bernyanyi untuknya”.
Sebuah senyum bahagia muncul menghias wajah ayahnya. Kali ini ia tahu Martha mencintainya.
Seorang anak kecil memerlukan kehadiran orang-orang yang kita cintai. Orang dewasapun memerlukannya.
Mereka berdua duduk di sebuah kedai kopi yang nyaman. Si laki-laki begitu gugup untuk mengatakan sesuatu, sedangkan sang gadis merasa sangat tidak nyaman.
“Ayolah, cepat. Aku ingin segera pulang”, kata sang gadis dalam hatinya.
Tiba-tiba si laki-laki berkata pada pelayan, “Tolong ambilkan saya garam. Saya ingin membubuhkan dalam kopi saya.”
Semua orang memandang dan melihat aneh padanya. Mukanya kontan menjadi merah, tapi ia tetap mengambil dan membubuhkan garam dalam kopi serta meminum kopinya.
Sang gadis bertanya dengan penuh rasa ingin tahu kepadanya, “Kebiasaanmu kok sangat aneh?”.
“Saat aku masih kecil, aku tinggal di dekat laut. Aku sangat suka bermain-main di laut, di mana aku bisa merasakan laut.. asin dan pahit. Sama seperti rasa kopi ini”, jawab si laki-laki. “Sekarang, tiap kali aku minum kopi asin, aku jadi teringat akan masa kecilku, tanah kelahiranku. Aku sangat merindukan kampung halamanku, rindu kedua orangtuaku yang masih tinggal di sana”, lanjutnya dengan mata berlinang.
Sang gadis begitu terenyuh. Itu adalah hal sangat menyentuh hati. Perasaan yang begitu dalam dari seorang laki-laki yang mengungkapkan kerinduan akan kampung halamannya. Ia pasti seorang yang mencintai dan begitu peduli akan rumah dan keluarganya. Ia pasti mempunyai rasa tanggung jawab akan tempat tinggalnya. Kemudian sang gadis memulai pembicaraan, mulai bercerita tentang tempat tinggalnya yang jauh, masa kecilnya, keluarganya… Pembicaraan yang sangat menarik bagi mereka berdua. Dan itu juga merupakan awal yang indah dari kisah cinta mereka.
Mereka terus menjalin hubungan. Sang gadis menyadari bahwa ia adalah laki-laki idaman baginya. Ia begitu toleran, baik hati, hangat, penuh perhatian. Pokoknya ia adalah pria baik yang hampir saja diabaikan begitu saja. Untung saja ada kopi asin !
Cerita berlanjut seperti tiap kisah cinta yang indah: sang putri menikah dengan sang pangeran, dan mereka hidup bahagia. Dan, tiap ia membuatkan suaminya secangkir kopi, ia membubuhkan sedikit garam didalamnya, karena ia tahu itulah kesukaan suaminya.
Setelah 40 tahun berlalu, si laki-laki meninggal dunia. Ia meninggalkan sepucuk surat bagi istrinya:
“Sayangku, maafkanlah aku. Maafkan kebohongan yang telah aku buat sepanjang hidupku. Ini adalah satu-satunya kebohonganku padamu tentang kopi asin. Kamu ingat kan saat kita pertama kali berkencan? Aku sangat gugup waktu itu. Sebenarnya aku menginginkan sedikit gula. Tapi aku malah mengatakan garam. Waktu itu aku ingin membatalkannya, tapi aku tak sanggup, maka aku biarkan saja semuanya. Aku tak pernah mengira kalau hal itu malah menjadi awal pembicaraan kita. Aku telah mencoba untuk mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Aku telah mencobanya beberapa kali dalam hidupku, tapi aku begitu takut untuk melakukannya, karena aku telah berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun darimu. Sekarang aku sedang sekarat. Tidak ada lagi yang dapat aku khawatirkan, maka aku akan mengatakan ini padamu: Aku tidak menyukai kopi yang asin. Tapi sejak aku mengenalmu, aku selalu minum kopi yang rasanya asin sepanjang hidupku. Aku tidak pernah menyesal atas semua yang telah aku lakukan padamu. Aku tidak pernah menyesali semuanya. Dapat berada disampingmu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Jika aku punya kesempatan untuk menjalani hidup sekali lagi, aku tetap akan berusaha mengenalmu dan menjadikanmu istriku walaupun aku harus minum kopi asin lagi.”
Sambil membaca, airmatanya membasahi surat itu.
Suatu hari seseorang menanyainya, “Bagaimana rasa kopi asin?”
Ia menjawab, “Rasanya begitu manis.”
Sebagai seorang isteri Dana Reeve menikmati kebahagiaan pernikahan yang normal hanya sampai 27 Mei 1995, sekitar 3 tahun, yaitu sampai Christopher Reeve terjatuh dari kuda yang menyebabkan bagian tubuhnya lumpuh dari leher ke bawah. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya selalu ada di kursi roda. Banyak bantuan keuangan mengalir datang kepada Chris dan Dana. Mereka menyatakan bahwa biaya perawatan kesehatannya telah ditanggung pihak asuransi, sehingga uang yang diterima kemudian dimasukkan dalam dana yayasan yang ia dirikan, Christopher Reeve Foundation, yang menolong riset bagi kesembuhan sakit lumpuh dan upaya-upaya meningkatkan kualitas hidup orang-orang cacat. Uang yang terkumpul di yayasan itu sampai saat ini lebih dari US $ 63 juta.
Cinta kasih Dana terhadap suaminya, Chris, dibuktikan dengan kesetiaannya merawat suaminya tanpa bersungut-sungut. Saat itu usia Dana baru 34 tahun, usia yang masih membutuhkan romantisme pernikahan. Ia menjalani kehidupan rumah tangganya dengan normal, meskipun ia sebenarnya membutuhkan kasih sayang yang utuh dari seorang suami: jasmani, jiwani dan rohani.
Cinta kasih Dana merupakan cinta kasih sorgawi. Cinta kasih Dana membuktikan bahwa kasih itu sabar, kasih itu murah hati, kasih itu tidak sombong. Kasih Dana terhadap suaminya tidak mencari keuntungan diri sendiri. Kasih Dana menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu. Mestinya seorang isteri yang kebutuhan rohani dan jasmaninya tidak terpenuhi akan sakit hati atau kecewa atau marah. Namun Dana sebaliknya, karena ia memiliki kasih yang tidak bersyarat, kasih yang berfokus menyenangkan suaminya, kasih yang tidak hitung-hitungan, kasih yang tidak egois.
Sebagai seorang ibu, Dana adalah ibu teladan. Ia tidak kecewa atau melampiaskan kekecewaan karena memiliki seorang suami yang cacat-lumpuh- tanpadaya kepada anaknya. Ia membesarkan anaknya dengan baik, terbukti ketika pada tahun 2005 ia meraih gelar “Mother of The Year Award” dari American Cancer Society karena dedikasinya dan ketabahannya dalam membesarkan anaknya setelah kematian suaminya.
Sejak suaminya lumpuh bahkan Dana Reeve menjadi seorang pembicara motivasi dan aktivis bagi kehidupan orang-orang lumpuh yang berkualitas.
Kehidupan Dana Reeve menjadi model seorang isteri yang tabah menghadapi suaminya yang cacat. Ketika suaminya meninggal pada 10 Oktober 2004, setelah dirawat selama kurang lebih 9 tahun. Pada penguburan suaminya, Dana berkata bahwa,
“Dahulu kita berikrar di muka altar ketika pernikahan kita bahwa kita berjanji selalu setia, pada waktu senang dan susah, pada waktu sehat dan sakit, sampai maut memisahkan kita. Namun aku berkata di depan jenazahmu, bahwa meskipun maut telah memisahkan kita, aku tetap setia kepadamu. Engkaulah satu-satunya suami dalam hidupku.”
Janji setia Dana Reeve dibuktikan sampai akhir hayatnya. Ia tidak menikah lagi, meskipun pada waktu itu usianya baru 43 tahun. Dana meninggal pada 6 Maret 2006 karena sakit kanker paru-paru, sekitar 2 tahun setelah kematian suaminya.
Kesetiaan Dana Reeve terhadap suaminya membuktikan kisah kasih yang luar biasa dari seorang istri di kalangan dunia selebritis. Ia tetap setia kepada almarhum suaminya meskipun ia cantik, kaya, dan cerdas serta gampang menikah lagi kalau ia mau. Kesetiaan Dana menjadi inspirasi bagi banyak orang yang saat ini melihat perceraian dan perselingkuhan sebagai hal yang lumrah dan biasa sehingga semakin merajalela.
Mereka sama2 saling menyukai 1 sama lain.
Saking sukanya laut terhadap langit, warna laut = langit.
Saking sukanya langit terhadap laut, warna langit = laut.
Setiap senja datang, si laut dengan lembut sekali membisikkan “aku cinta padamu” ke telinga langit. Setiap langit mendengar bisikan penuh cinta laut pun, langit tidak menjawab apa2, hanya tersipu2 malu wajahnya semburat kemerahan.
Suatu hari, datang awan…
Begitu melihat kecantikan si langit, awan seketika itu juga jatuh hati terhadap langit. Tentu saja langit hanya mencintai laut, setiap hari hanya melihat laut saja. Awan sedih tapi tak putus asa, mencari cara dan akhirnya menemukan akal bulus. Awan mengembangkan dirinya sebesar mungkin dan menyusup ke tengah2 langit dan laut, menghalangi pandangan langit dan laut terhadap 1 sama lain.
Laut merasa marah karena tidak bisa melihat langit, sehingga dengan gelombangnya laut berusaha menyibak awan yang mengganggu pandangannya. Tapi, tentu saja, tidak berhasil.
Lalu datanglah angin yang sejak dulu mengetahui hubungan laut dan langit. Angin merasa harus membantu mereka menyingkirkan awan yang mengganggu. Dengan tiupan keras dan kuat, angin meniup awan. Awan terbagi2 menjadi banyak bagian, sehingga tidak bisa lagi melihat langit dengan jelas, tidak bisa lagi berusaha mengungkapkan perasaan terhadap langit. Sehingga ketika merasa tersiksa dengan perasaan cinta terhadap langit, awan menangis sedih.
Hingga sekarang, kasih antara langit dan laut tidak terpisahkan. Kita juga bisa melihat di mana mereka menjalin kasih. Setiap memandang ke ujung laut, di mana ada 1 garis antara laut dan langit, di situlah mereka sedang pacaran.