It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan
ayahnya yang menderita leukimia. Kedua remaja itu adalah Wei Wenxia (19 tahun) dan adik perempuannya yang berusia 16 tahun. Demi sang ayah tercinta, mereka rela melakukan apapun termasuk berjualan kacang yang keuntungannya
tidak seberapa. Wei sendiri adalah mahasiswi tahun pertama di Shanxi Normal University. Dilansir dari shanghaiist.com, Wei memiliki dua adik yang masih duduk di bangku SMA di kota tempat tinggal mereka, kota Xiaoyi. Sejak ayahnya didiagnosis menderita leukimia, Wei dan keluarganya harus berjuang sekuat tenaga untuk membiayai biaya perawatan sang ayah. Berhenti dari sekolah, Wei dan adiknya turun ke jalan dan menjual kacang kenari yang ditanam sendiri oleh keluarganya. Adik laki-laki Wei juga akhirnya kembali ke rumah untuk membantu usaha mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan
sang ayah.
Wei menjelaskan bahwa ayahnya sudah mendapatkan perawatan selama sebulan di rumah sakit. Biaya yang dibutuhkan pun 70.000 RMB (139,6 juta rupiah). Biaya itu benar-benar bukan angka yang kecil untuk keluarga Wei. Belum lagi dengan perawatan tiga periode yang harus dilakukan nantinya. "Meskipun menjual kacang untuk mengumpulkan biaya perawatan ayah ini seperti hal yang sia-sia, kami tak akan pernah menyerah," jelas Wei kepada wartawan. Beruntung, sudah banyak orang berhati malaikat yang mendonasikan sejumlah uang untuk biaya pengobatan ayah Wei.
bisa rela melakukan apapun. Terlebih jika biaya
pengobatan atau perawatan yang dibutuhkan sangat mahal. Berbagai macam usaha pasti akan dilakukan meski harus rela meninggalkan kenyamanan sendiri.
Seperti yang dilakukan oleh seorang gadis cantik bernama Wang Yanhong ini. Dilansir dari shanghaiist.com, gadis yang berusia 22 tahun ini rela keluar dari pekerjaan demi bisa mengumpulkan lebih banyak uang dengan berjualan ubi manis di pinggir jalan Jinan, provinsi Shandong. Wang memutuskan untuk berusaha mengumpulkan uang dari hasil jualannya itu agar bisa menutupi biaya pengobatan kakaknya yang kini menderita leukimia. Ada plang yang dipasang di gerobak jualan Wang. Plang itu bertuliskan, "Seorang pria muda luar biasa sedang sakit leukimia. Semoga banyak orang yang berbaik hati yang mau membantunya."
Wang dulunya bekerja sebagai perawat di kota tempat tinggalnya di Zaozhuang, sebuah kota kecil di Shandong. Ia keluar dari pekerjaannya sebagai perawat dan pulang ke Jinan untuk membantu biaya pengobatan kakaknya. Setiap hari Wang bangun pukul 5 pagi dan menjual ubi di pinggir jalan hingga pukul 7 malam hari. Dalam sehari, ia bisa mengantongi uang sekitar 180 hingga 200 yuan (399 ribu rupiah). Sebelumnya sang ayah lah yang berdagang ubi. Namun kini Wang harus berbagi tugas dengan ayahnya. Wang yang akan berjualan ubi, sementara ayahnya merawat kakak Wang di rumah sakit. Saat cuaca dingin dengan suhu sekitar 2 derajat celcius, Wang tetap giat berjualan. Dengan menghangatkan dirinya menggunakan skarf, sembari berjualan ia juga menyebarkan selebaran ke orang-orang yang lewat. Sebaran itu berisi permintaan agar ada yang mau membantu kakaknya sembuh dari leukimia. Biaya pengobatan untuk pasien leukimia memang tidak sedikit. Banyak sekali keluarga yang kewalahan dan pontang-panting mencari biaya agar bisa membayar biaya perawatan
mengenang sang ibu tercinta. Tentang kenangan-
kenangan indah yang tak terlupakan. Kebahagiaan
dan kesedihan. Suka dan duka. Dan juga tentang
aroma secangkir kopi.
Secangkir kopi hitam pekat--satu sendok makan
kopi dan satu setengah sendok makan gula pasir,
menguarkan aroma khas setiap pagi dan malam
hari, kadang sore. Aroma itulah yang kini selalu
kurindukan dan kukenang dari sosok orang yang
paling kucintai dalam hidupku, Ibu. Ibuku punya racikannya sendiri untuk setiap gelas kopi yang ia
buat: harus kental, tak terlalu manis tapi tak terlalu
pahit, harus diseduh dengan air super mendidih, dan harus penuh satu cangkir. Ritualnya, membeli
berbungkus-bungkus biji mentah kopi berkualitas
baik, digoreng dengan wajan tanah liat sampai menghitam. Ada tiga jenis kopi, satu kopi hitam
murni, dua kopi jahe, tiga kopi dengan karak. Dulu,
aku yang selalu membawanya penggilingan,
menenteng tiga kresek hitam dengan aroma kopi
yang berbeda satu kresek dengan yang lain. “But there's a story behind everything. How a picture got on a wall. How a scar got on your face. Sometimes the stories are simple, and sometimes they are hard and heartbreaking. But behind all your stories is always your mother's story, because hers is where yours begin.” ― Mitch Albom, For One More Day. Kopi itu warnanya hitam, kalau tidak apalagi, itu yang aku tahu saat masih kecil. Aku tidak terlalu
suka kopi, rasanya pahit dan membuat kepala
pusing. Aku tergolong dalam pencinta teh mulai
SMP hingga SMA. Tapi, entah kenapa, menginjak
bangku kuliah, aku menjadi ketagihan kopi. Berbeda dengan ibu, aku tetap tidak suka kopi hitam pekat dan kental, kepalaku masih menolaknya mentah- mentah. Pada awalnya, ibu berkata bahwa kopiku itu bukan kopi. Latte, cappucino, mocca, kopi susu dan masih banyak rasa yang lain itu bukan kopi menurut beliau. Aku masih beragumen, itu kopi, no matter what. Saat pulang ke rumah, aku akan membeli stock kopiku sendiri, cappucino dan kopi susu tubruk adalah “kopi” favoritku, dan ibu tetap dengan kopi hitam pekatnya. Sampai suatu hari ibu tidak lag melakukan kebiasaan menyeduh kopi di pagi hari.
Aroma kopi hitam pekat di kala matahari mulai
menyapa rumahku sudah tidak tercium dalam kurun waktu yang lama diganti dengan aroma benalu teh yang diseduh dalam panci tanah liat. Iya, meminum benalu teh adalah salah satu bagian dari terapi pasca ibu menjalani operasi tumor pankreas. Kata dokter Jih Iswanto, ibu masih boleh minum kopi, tapi lebih baik benalu teh saat itu. Kadang, saat aku di rumah, ibu menegur karena
terlalu seringnya aku menyeduh kopi dalam sehari.
"Kopi membuatku terjaga bu, tugasku banyak,"
kilahu sembari terus memelototi layar laptop. Dalam hati aku menggerutu, “Inikan hanya latte, bukan kopi hitam pekat yang banyak kafeinnya, lagipula dulu aku tak pernah protes berapa banyak ibu menyeduh kopi dalam sehari." Begitu dalihku, waktu itu aku harus sering bolak-balik Malang-Madiun untuk menemani ibu selama masa kemoterapi pasca operasi, ditambah aku harus terjaga hingga dini hari karena ibu susah sekali tidur karena sakit yang beliau rasa. Setiap malam, beliau tidak pernah mengeluh betapa sakit badannya, ia hanya meminta, ‘dek, tolong dielus-elus punggungnya ibu ya…’. Saat-saat seperti itu, aku butuh kopiku sebagai doping. Ide itu entah bagaimana datangnya dan kapan aku lupa. Saat sedang mendidihkan air untuk cappuccino-ku, tiba-tiba terlintas sebuah pikiran ‘meminum kopi bersama’. Aku mengembalikan sebungkus cappucino dan menggantinya dengan dua bungkus kopi tubruk, dua cangkir gelas aku tata, satu cangkir berukuran sedang dan satu kecil bertuliskan ‘Ibu’. Aku ingat bahwa ibu suka sekali kopi hitam yang kental. Kalau kopi diseduh dengan terlalu banyak air ibu akan berkomentar, "Iini kopi apa pipisnya kuda?" Saat aku membawa secangkir kopi tubruk panas itu ke hadapannya, matanya berseri-seri seakan mendapat kupon berhadiah. Wajahnya tersenyum lebar, dengan anggun dia mencium aroma kopi, menyesapnya pelan, dan kemudian berkata, “Ini baru namanya kopi, lumayan kopi." Sejak saat itu, apabila ibu ingin minum kopi, cara cerdasnya supaya tidak ditegur oleh bapak adalah mengajakku minum kopi bersama. Jadi, setiap aku pulang, selalu ada kopi susu tubruk berjejer rapi dalam lemari di dapur. Ya, ibu yang membeli sehingga kami bisa melakukan ritual minum kopi bersama di pagi hari saat sang surya menyapa hangat teras halaman rumah kami. Entah bagaimana, secangkir kopi panas membuat kebersamaan kami semakin hangat. Setiap mencium aroma kopi, aku akan teringat bagaimana ia setiap pagi selalu bangun lebih awal dari kami sekeluarga. Menyeduhkan wedang jeruk atau jahe panas untuk bapak, teh panas untuk morning sick -ku yang sering kumat kalau pagi terlalu dingin, membangunkan kakakku yang super susah bangun subuh, membuat sarapan untuk kami
semua, dan terakhir, secangkir seduhan kopi panas untuk dirinya sendiri. Aroma kopi juga biasa tercium tengah malam pertanda ibu sedang lembur mengerjakan tugas dari sekolah, ibuku adalah seorang guru yang selalu berusaha membagi perannya dengan adil. Ia selalu berusaha pulang tepat waktu untuk mendengarkan ceritaku tentang, "Bagaimana sekolah?" konsekuensi dari ritual mendengarkan ceritaku adalah, tugas yang belum selesei ia kerjakan di sekolah ia bawa kerumah. Sekarang kopi mempunyai arti lebih untukku.
Secangkir kopi susu panas di kantin rumah sakit
membuatku tersadar di pagi hari saat jam tidurku
hanya satu hingga dua jam saja. Sebungkus french
vanilla membuatku terjaga di malam hari selama
menjaga ibuku di Rumah Sakit. Satu kaleng latte menahan kelopak mataku tertutup dalam perjalanan pulang naik motor dari Rumah Sakit ke kota tempatku kuliah.
Tengah malam, hujan turun dengan deras, udara dingin, segelas kopi susu panas di kantin RS menemaniku mendengarkan dengan seksama penjelasan bapak tentang kanker pankreas stadium akhir yang diderita ibu. Setiap malam, kepulan asap kopi beraroma cappucino, yang kata ibu lebih mirip bau telur daripada kopi, membuat mataku tetap terbuka, memijit punggung dan kaki ibu dengan body lotion agar ibu bisa tidur, walaupun kadang tetap membuatku terlelap apabila telah terlalu lelah pikiran dan badan. Membiarkan ibu bingung sendiri bagaimana aku masih saja bisa tidur (maaf ya bu untuk saat-saat seperti itu). Tahun 2012, tepatnya tanggal 4 Juni, lima hari setelah aku dinyatakan sebagai Sarjana, ibu meninggal setelah empat hari koma. Hard working hands at rest. Terima kasih atas semua pelajaran hidup lewat kopi-kopi itu ya bu.
Mom, you know it well right? Remembering you is easy, I do it everyday through my pray, but missing you is heartache that never goes away. Let me hold
it by a cup of hot cappuccino or others coffee. Then, I could hold you tightly, within my heart and your memory about coffee, and there you will always remain. I love you dearly mom. Always.
Seperti yang dilansir oleh bbc.com, Tugce tewas setelah melindungi dua remaja putri dari gangguan sekelompok pria. Pada tanggal 15 November lalu, Tugce mendengar teriakan dari toilet sebuah restoran cepat saji McDonald's di kota Offenbach, tak jauh dari Frankfurt. Teriakan yang berasal dari dua remaja putri itu pun langsung membuat Tugce bergegas untuk segera menyelamatkan mereka. Namun sayang, ketika Tugce keluar dari restoran dan sampai di tempat parkir, seorang pria menyerang dan memukul kepalanya. Seketika Tugce ambruk dan tak sadarkan diri. Pria tersebut rupanya anggota dari gerombolan yang sebelumnya ikut melecehkan dua remaja yang diselamatkan oleh Tugce. Setelah tragedi pemukulan tersebut, Tugce mengalami koma selama dua minggu. Pihak dokter juga menyatakan bahwa Tugce tak akan pernah
bisa sadarkan diri karena mengalami mati otak
(brain dead). Wanita berdarah Turki itu pun menjadi inspirasi bagi penduduk dunia.
Keberaniannya menyelamatkan dua remaja yang dilecehkan telah diakui sebagai tindakan heroik dan tak semua orang mau melakukannya. Tak heran jika wanita yang merupakan calon guru itu pun disebut sebagai pahlawan nasional di Jerman. "Ia akan selalu diingat atas keberaniannya yang luar biasa," ungkap salah satu pembicara dalam upacara pemakaman Tugce. Banyak yang membawa bunga mawar dalam upacara pemakaman Tugce. Ada juga pelayat yang menyematkan foto Tugce di di dada mereka.
Sejumlah remaja putri lain juga membuat poster
yang bertuliskan, "Kami bisa dengan mudah
melupakan orang-orang yang membuat kami menangis. Kami akan selalu mengingat orang-orang yang telah membuat kami tersenyum." Seorang gadis sambil bercucuran air mata juga
mengungkapkan bahwa Tugce adalah seorang gadis periang yang menyenangkan. Upacara pemakaman Tugce tak hanya dihadiri oleh
kerabat dan orang-orang yang mengenalnya saja.
Banyak orang yang ikut hadir melayat meskipun tak mengenal Tugce secara pribadi. "Saya memang tidak mengenalnya," ungkap seorang wanita Iran. "Hanya saja terasa sedih sekali. Tugce adalah gadis muda yang cantik," imbuhnya. Mengetahui tak ada harapan hidup, pihak keluarga Tugce memutuskan agar alat bantu hidup Tugce dilepas tepat pada hari ulang tahunnya yang
ke-23 tanggal 28 November 2014. Presiden Jerman Joachim Gauck menyatakan rasa dukanya yang mendalam atas tragedi yang menimpa Tugce. Ia pun menyampaikan bahwa Tugce akan selalu menjadi contoh teladan bagi kita semua, mengingat aksi berani Tugce yang belum tentu bisa dilakukan orang lain.
Petisi untuk menjadikan Tugce sebagai sosok pahlawan pun sudah mendapatkan sedikitnya 100.000 tanda tangan. Jenazah Tugce dimakamkan di kota tempat tinggalnya di Bad Soden-Salmuenster pada 3 Desember 2014. Sementara itu pria yang menyerang Tugce, Senal M dari Sandzak, Serbia sedang menjalani proses hukum.
Contohnya Mamaku, Mama itu orang yang sederhana. Mungkin Mama tidak seperti ibu- ibu sosialita yang tahu kemajuan teknologi atau gadget terbaru. Tapi aku jamin Mama adalah orang hebat. Beliau selalu bangun pagi buta untuk menyiapkan sarapan dan keperluan anaknya sebelum berangkat sekolah, menyuapi anaknya jika sudah hampir terlambat, dan menyambutnya saat pulang kerumah. Mamaku mungkin tidak seperti ibu-ibu lain yang tahu model baju atau sepatu kekinian. Tapi setiap kali aku memandangnya, Mama selalu tampak cantik dengan senyum dan kerutan-kerutan samar di sekitar matanya. Mungkin Mama juga tidak tahu banyak hal tentang dunia luar. Tapi beliau selalu punya waktu untuk menemani dan menjawab setiap pertanyaan putrinya. Menjadi tempat bercerita tentang pacar pertama putrinya atau hanya sekadar sahabat untuk bermanja manja. Dalam hal apapun, Mama selalu melakukan yang terbaik untuk keluarganya.
Saat jauh seperti sekarang, di Hari Ibu nanti aku
ingin sekali memeluknya, berterima kasih karena
telah menyayangiku tanpa syarat, atau sekadar
memuji betapa nikmat masakannya. Aku selalu
rindu aroma tubuhnya atau hangatnya pelukan
Mama saat akan tidur. Aku rindu Mama yang selalu menyebut namaku di setiap doanya dan yang menangis lebih dulu saat anaknya bersedih. Masih banyak yang berpikiran bahwa menjadi ibu yang baik adalah yang tetap tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Perluaslah
kriteria tentang ibu yang baik. Banyak wanita yang
hebat di luar tapi selalu dirindukan kehadirannya di
rumah. Wanita yang tetap sukses berkarir sekaligus penyayang keluarga. Wanita yang berusaha keras mengejar mimpinya tapi tetap memiliki waktu untuk menemani anaknya belajar. Wanita yang (suatu hari nanti) akan diceritakan sebagai sosok terhebat oleh anaknya sendiri. Dan wanita itu kupanggil Mama.
Peluk Cium untuk Mama,
-Anak perempuan yang sangat mengagumimu-
Dulu waktu kecil kalau saya nangis, Ayah selalu
menggendong dan membawa saya menghadap
cermin. Lalu ia bilang, "Jangan nangis nanti
mukanya gak cantik lagi." Sekarang saya sudah besar, dan sadar kalau Ayah tuh bohong. Masa iya
hanya karena nangis, wajah jadi jelek. Lah saya
yang jarang nangis pun mukanya begini–begini aja. Seitap pagi, beliau sering membawa saya
dan adik untuk beli pisang goreng dan ketan kelapa yang jadi favorit saya sampai sekarang. Belinya juga di warung Bu Manaf yang memang langganan kami. Masih banyak kenangan manis masa kecil yang tak akan pernah saya lupakan. Sering setiap sore saya diultimatum tidak boleh nonton Satria Baja Hitam RX Robo atau Kamen Raider kalo belum mandi sore. Nontonnya juga bukan di rumah tapi di warung mi langganan kami. Kenapa? karena waktu itu tivi dirumah cuma bisa menyiarkan TVRI dan beberapa stasiun swasta.
Ayah juga suka berenang dan sering mengajari saya dan adik untuk berenang tapi sialnya saya penakut banget sama air yang dalam, nggak tahu parno aja padahal zodiac saya Aquarius (jangan harap saya bisa jelasin apa hubungannya parno air dalam sama zodiak, hehe). Dari kecil, saya punya imunitas tubuh yang lemah. Ini karena dari bayi saya tidak diimunisasi apalagi minum susu formula tambahan. Bukan apa-apa, waktu itu Ibu dan Ayah masih terlalu muda dan belum paham pentingnya imunisasi. Akhirnya, saya pun sering sakit-sakitan. Yang parahnya saya pernah hampir saja kena polio dan tidak bisa jalan. Lutut saya sering sakit sampai kalau jalan pun gemetaran. Ayah juga sudah membawa saya berobat medis ke beberapa dokter spesialis tulang bahkan tabib. Saya yang takut ke dokter waktu itu dibujuk pakai roti isi
pisang coklat yang belinya di toko roti kesukaan
saya. Begitulah setiap mau ke dokter. Makanya
sampai sekarang pun saya masih suka ngemil roti isi pisang coklat. Sewaktu saya duduk di bangku SMP, pernah saya memaksa minta uang untuk ikut
pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh salah satu
lembaga penulisan. Waktu itu uang Ayah pas- pasan. Kalau uangnya dikasih ke saya, nanti ia tak
bisa ke kantor. takutnya Tapi saya nggak mau tahu, layaknya anak remaja egois yang hanya bisa
merengek. Namun, Ayah pun tetap mengabulkan.
Begitu saya dapat uangnya, eha malah tidak bisa
daftar karena sudah tutup dan panitia juga sudah
tidak ada lagi di tempat. Waktu itu saya kesal sekali
karena tidak bisa mengikuti acara itu.[endpuisi]
Sekarang Ayah lagi terbaring di ranjang rumah sakit. Kata dokter, Ayah mengalami gagal ginjal dan usus terjepit, belum lagi hipertensi dan diabetes melitus yang sudah 10 tahun dideritanya.
Ayah harus selalu berbaring dengan selang yang
menancap dari hidung sampai ke perut, belum lagi
selang oksigen dan ada selang lain yang menempel di ginjalnya dan infus di tangan. Ayah sama sekali tak bisa bergerak. Ayah yang tadinya hobi jalan- jalan pagi, Ayah yang tadinya cerewet banget bangunin saya atau ngingetin makan, sekarang bicara pun susah. Napasnya tersengal-sengal. Saya jadi tidak tega meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Meskipun Ayah sudah sangat menderita dan susah bergerak, ia tetap menunjukkan perhatiannya. Sesekali ia bertanya apakah saya sudah makan. Ah, rupanya Ayah masih ingat kalau anak gadisnya ini sering telat makan. Ayah, tetap semangat! Jangan pesimis! Kita sudah berikhtiar dengan mendatangi dokter, jadi biarlah Allah yang menentukan mana yang baik bagi Ayah. Never give up, Yah! Never!
(tulisan ini dibuat sebelum Ayah berpulang ke sisi-
Nya pada Sabtu 22 November 2014 pukul 23:43
WIB)
anaknya. Pengorbanan yang tiada batas ini pun
dilakukan Xia Jun, seorang pria berusia 30 tahun
asal Sichuan, Cina. Seperti dilansir dari stomp.com.sg putra Xia Jun bernama Guo Guo yang berusia 2 tahun divonis menderita leukimia
myeloid akut. Dokter memvonis usianya tinggal dua
setengah tahun lagi. Keterbatasan biaya membuat Xia Jun memutar otak mencari cara demi mendapatkan uang untuk pengobatan anaknya. Sebelumnya ia telah mendatangi 3 rumah sakit dan telah dijadwalkan untuk melakukan transplantasi sumsum bagi anaknya. Namun, biaya untuk transplantasi yang begitu besar sejumlah 700 ribu yuan atau senilai 1,2 miliar rupiah. Akhirnya Xia mencari cara untuk mengumpulkan uang dengan menjadi sansak atau karung tinju hidup.
Xia Jun memutuskan untuk berdiri di depan stasiun, berbekal kardus yang ditempeli foto dan surat diagnosis putranya. Tak lupa ia mengenakan kaos yang bertuliskan " karung tinju manusia, 10 yuan (Rp. 20 ribu) per pukulan." Sejak aksinya yang unik ini, Xia memperoleh banyak bantuan dari masyarakat. Xia juga mengaku bahwa banyak orang yang datang kepadanya sejak aksinya diberitakan di media. Tak sedikit yang bersedia menyumbang karena terharu dengan upaya Xia. Tidak diketahui apakah orang-orang ada yang tega meninju Xia dan membayarnya. Banyak orang yang baik hati datang ke rumah sakit untuk melihat anaknya. Xia mengaku, dalam satu hari lebih dari 20 orang datang kepadanya. Banyak dermawan yang memberikan bantuan. Ponselnya pun selalu kehabisan baterai karena banyak orang meneleponnya untuk menanyakan kondisi anaknya. Sejauh ini, Xia telah mengumpulkan uang sebanyak 800 ribu Yuan (Rp. 1,6 miliar), uang yang telah didapatnya ini melebihi kebutuhannya untuk mengobati penyakit anaknya.
Setelah operasi, dokter Guo Guo mengatakan bahwa kondisinya telah membaik, tetapi masih memiliki banyak tahapan sebelum dinyatakan benar- benar sembuh. Selanjutnya Guo akan menjalani setidaknya 2,5 tahun untuk melampaui fase kritis hingga akhirnya benar-benar sembuh. Untuk kelangsungan hidupnya di masa depan, sejumlah donatur siap memberikan pekerjaan bagi Xia setelah pengobatan ini selesai.
Dari kisah ini menunjukkan betapa besar
pengorbanan seorang ayah demi kesembuhan dan
kesehatan anaknya. Semoga Guo selanjutnya
selalu diberikan kesehatan dan keluarga bapak Xia
Jun dapat hidup bahagia.
Sang pemuda menerimanya dan ketika sang gadis tidak melihatnya, dia meninggalkan nomor telepon di mejanya dan sang pemuda kabur. Rrrriiinnnngggg!!! Telepon berdering. bergegas ibunya mengangkat telepon dan berkata, "Halo?" Ternyata gadis penjaga toko CD yang menelepon. Sang gadis bertanya pemuda itu, namun ibunya menangis dan berkata, "Engkau tida tahu? Ia meninggal dunia kemarin..." Sambungan telepon pun diam, kecuali hanya suara tangis ibunya saja. Beberapa hari kemudian, ibu pemuda itu masuk ke dalam kamar anaknya karena dia ingin mengenangnya. Ia berpikir dia akan mengenangnya dengan melihat pakaiannya. Dia buka almari sang pemuda. Dia melihat tumpukan bungkusan CD yang tidak terbuka. Ia terkejut demi menemukan kepingan-kepingan CD itu dan ia ambil satu dan duduk di tempat tidur anaknya. Ia mulai membuka. Di dalamnya ada sekeping CD dan selembar kertas dan ia buka bungkusannya, ia ambil selembar kertas yang ada di dalamnya. Ia ambil kertas itu dan mulai membacanya. "Hai... aku rasa kamu manis banget. Maukah keluar bersamaku? Love, Citra." Sang ibu pun membuka CD yang lain. Lagi-lagi ada selembar kertas. Di dalam kertas itu ada tulisan, "Hai... Aku rasa kamu sangat manis. Maukah kamu keluar bersamaku. Love, Citra."
keluarga saya. Saya sangat bersyukur Allah SWT
memberikan seorang bapak yang luar biasa.
Meskipun galak, hatinya lembut terhadap anak-
anaknya. Saya Ugi, salah satu reporter magang di Koran Sindo Batam. Saat ini saya jauh dari kedua
orangtua, mereka tinggal di Desa Titi Akar,
Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau, bisa dibilang pelosok. Sejak lahir hingga sekolah dasar (SD) saya tinggal
di Desa Titi Akar, saat itu kedekatan antara saya
dan bapak tidak seperti sekarang. Sewaktu saya
kecil, bapak adalah sosok yang menakutkan,
terlebih lagi jika sedang marah. Walau begitu, tidak
semua kesalahan saya membuat bapak marah. Dulu sewaktu saya belajar bersepeda dan selalu
jatuh, bapak sama sekali tidak marah. Bapak justru
menyuruh saya terus mencoba mengayuh sepeda.
Tak berselang lama akhirnya saya bisa bersepeda. Saat saya melanjutkan Madrasah Tsanawiyah
(MTs) di Dumai, saya tinggal bersama kakak sulung yang baru menikah. Saya kembali jarang
komunikasi dengan bapak, saat itu saya merasa
bapak sangat tidak peduli terhadap saya. Bapak
terlihat lebih sayang dan peduli terhadap kakak sulung saya, semua keluh kesah saya seolah tidak
digubrisnya. Saya tetap di Dumai saat melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) atas permintaan kedua orangtua, karena mereka khawatir terjadi apa-apa terhadap saya. Saya ikuti kemauan mereka meskipun hati saya menolak.
Tibalah saatnya Ujian Nasional (UN), waktu itu saya merengek ke bapak agar sepeda motor di kampung dikirim ke Dumai. Saya ingin menggunakan sepeda motor ke sekolah
tanpa harus menggunakan angkot. Bapak tidak ingin saya gagal dalam ujian hanya karena sepeda motor, akhirnya permintaan saya dituruti.
Setelah lulus SMA, saya kuliah di UIN SUSKA
Pekanbaru, Riau. Saya mengambil jurusan Ilmu
Komunikasi, saat itu saya tidak pernah minta
pendapat bapak tentang jurusan yang saya ambil.
Saya sempat pulang ke rumah karena perkuliahan
belum dimulai, hampir sebulan di rumah. Di rumah, bapak tidak pernah absen nonton berita.
Waktu itu entah mengapa saya ikut nonton berita.
Saat jeda iklan, bapak bertanya kepada saya, “Jadi
kalau seperti itu harus kuliah di luar negeri ya?”
Yang dimaksud bapak adalah menjadi presenter
berita. Saya mengiyakan, saat itu saya belum mengetahui bahwa jurusan yang saya ambil
termasuk dalam jurnalistik. Setelah sebulan, saya kembali ke Pekanbaru untuk
kuliah. Dari sanalah saya dan bapak mulai dekat,
kami sering teleponan, curhat tentang kuliah,
tentang kegiatan sehari-hari, hingga organisasi yang saya ikuti. Tanpa diminta pendapat pun, bapak sering memberi nasehat. Memang sejak kecil saya dan kedua kakak perempuan dididik keras, harus mandiri, tidak boleh jadi perempuan cengeng, harus tegar, tidak boleh patah semangat, tanamkan dalam hati untuk terus berjuang. Salah satu nasehat bapak yang membekas di hati, Bapak tidak bergelimang harta, kita bukan orang kaya. Jadi bapak tidak bisa mewariskan materi, hanya nasehat dan pengalaman hidup bapak yang bapak wariskan. Semoga hidup kamu tidak seperti bapak, semoga kehidupan kamu lebih baik dari orangtua. Tahun 2010, saya, bapak dan saudara bapak
melakukan perjalanan ke Kebumen, Jawa Tengah
menggunakan bus. Itu adalah hasil rengekan saya
selama beberapa tahun yang akhirnya dituruti. Saat itu, seakan langit penuh pelangi. Selama perjalanan saya baik-baik aja. Namun selang beberapa hari di kampung kelahiran bapak,
saya demam tinggi. Setelah pulang dari ziarah
makam eyang putri dan eyang kakung, kami mampir ke rumah salah satu keponakan bapak, saat itu hujan lebat. Bapak melihat saya mondar-mandir, dan setelah mengetahui bahwa badan saya panas tinggi, bapak langsung panik. Bapak sampai memaksa keponakannya memanggil dokter yang bertugas di sana. Karena hari sudah sore, tidak ada lagi dokter yang buka praktek. Lalu saya dibawa ke rumah pribadi dokter walaupun masih hujan. Itu pertama kalinya saya melihat bapak panik dan khawatir dengan keadaan saya. Sepulang dari rumah dokter, bapak memaksa saya untuk makan banyak, minum air putih yang banyak, tidak boleh makan asam dan pedas. Sejak itu hingga sekarang, saya sangat dekat dengan bapak. Bapak selalu mengkhawatirkan keadaan saya. Apalagi jika saya sedang sakit atau belum makan, bapak bisa marah tapi marahnya dibalut dengan rasa sayang yang sangat besar.
Tahun 2013 sebelum skripsi saya selesai, saya
harus menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL).
Alhamdulillah saya bisa PKL di Trans7 Jakarta
selama dua bulan bersama dua rekan kuliah. Hampir setiap hari bapak menelepon saya hanya untuk bertanya kabar dan memastikan apakah saya sudah makan atau belum. Bapak terus memberi semangat dan terdengar bahagia saat saya menceritakan hal-hal menarik selama berada di studio maupun di kantor Trans7. Seminggu sebelum saya kembali ke Pekanbaru, saya sakit karena kelelahan. Sebenarnya saya tidak
berniat untuk menceritakannya ke orangtua, tetapi
waktu itu tiba-tiba Mak menelepon dan tahu saya
sakit. Bapak yang sedang mengiris daging ayam
dan mendengar saya sakit langsung teriris jari tangannya. Saya sedih waktu itu, karena saya
membuat jari bapak luka karena kaget. Sejak kecil bapak tidak pernah mengekang saya, saya diberi kebebasan untuk menentukan pilihan saya sendiri. Tetapi saya pergunakan kesempatan itu sebaik mungkin, saya tidak ingin mengecewakan orangtua.
Aku sangat merindukan bapak, walaupun kita
berjauhan tapi rasa sayang ini tidak pernah pudar.
Doa untuk bapak terus mengalir, doa bapak untuk
saya pun tidak akan berhenti.
Dilansir Huffingtonpost.com, sebuah organisasi untuk orang lanjut usia setempat berusaha mengabulkan keinginannya dengan mengirim nenek Ruby untuk liburan gratis ke teluk Meksiko. Saat melihat keindahan laut dan pantai untuk
pertama kalinya, nenek Ruby sangat bahagia. Dia
berkata dirinya tak pernah melihat sesuatu yang
sebesar lautan sebelumnya. Dia terus tersenyum
yang membuat kerutan di wajahnya semakin
menonjol. Namun suhu bulan November di pantai membuatnya kedinginan, dia beberapa kali berkata, "dingin, dinginn."
Perjalanan gratisnya didanai oleh organisasi jompo
Brookdale Senior Living Solutions, dan mereka
sangat bahagia bisa mewujudkan keinginan nenek
Ruby yang dalam seratus tahun kehidupannya di
dunia tak pernah melihat laut. Tentunya kita patut bersyukur, di usia yang belum sampai lanjut usia Anda sudah dapat merasakan dan melihat berbagai hal. Masih ada banyak orang yang tak seberuntung kita, tak memiliki biaya bahkan hanya untuk keluar dari desanya.
Seperti yang dilansir oleh metro.co.uk, Jacqueline (61 tahun) menulis sebuah pesan di halaman
Facebook pada awal bulan November lalu. Dalam
pesan yang ia tulis tersebut, ia hanya ingin orang-
orang bisa membantu Manuel untuk merayakan hari ulang tahunnya yang jatuh pada tanggal 22
November. Jacqueline menulis, "Putra saya Manuel akan berulang tahun yang ke-30 pada tanggal 22 November. Ia menderita down syndrome. Saya hanya ingin Anda meluangkan waktu beberapa menit untuk mengirimkan sebuah kartu sederhana dan menyebarkan informasi ini ke teman-teman Anda agar pesan ini bisa terus tersebar. Terima kasih banyak atas bantuannya yang nantinya pasti akan membuat Manu putra saya sangat bahagia."
Pesan yang ditulis oleh Jacqueline ini pun dalam
waktu singkat mendapatkan 120.000 "likes". Bahkan pihak Facebook sendiri sempat melakukan
investigasi karena mengira halaman Facebook
tersebut adalah sebuah halaman untuk berbisnis.
Tak lama setelah itu, banyak sekali kartu ucapan
dan kado yang dikirimkan kepada Manuel. Bahkan
petugas kantor pos harus menggunakan truk untuk mengantar semua kartu dan kado yang ditujukan
untuk Manuel di rumahnya di Calais, Perancis. Wah, benar-benar luar biasa sambutan para pengguna Facebook yang mau mengirimkan berbagai kartu ucapan dan kado untuk Manuel. Sampai-sampai petugas kantor pos pun kewalahan untuk mengirimkan semuanya. "Kami menerima kartu dari berbagai tempat: Sri Lanka, Chicago, Hong Kong," ungkap Jacqueline. Manuel pasti senang sekali bisa menerima begitu banyak kado dan kartu ucapan istimewa dari berbagai belahan dunia.
perawat. Perawat ini sudah bekerja bertahun-tahun
di perawatan paliatif (perawatan kesehatan terpadu
yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan
pendekatan multidisiplin yang terintegrasi). Seperti
yang dilansir oleh theunbuondedspirit.com, banyak sekali pengalaman yang dialami oleh perawat ini.
Salah satunya adalah berhadapan dengan pasien-
pasien yang sudah bersiap menjemput ajal.
Perawat ini pun pernah menanyakan apa saja yang
disesali oleh para pasien yang rupanya sudah
berada di ujung hayat mereka. Dan ini dia lima jawaban paling umum yang diberikan oleh pasien-
pasiennya sebelum akhirnya ajal datang menjemput.
1. I wish I’d had the courage to live a life
true to myself, not the life others expected of me.
Ini adalah rasa penyesalan paling umum yang dirasakan oleh para pasien. Saat tahu bahwa ajal
akan datang menjemput, kebanyakan manusia akan menyesal kenapa dulu tidak melakukan hal-hal disukai, tidak mewujudkan impian-impian besar
yang dimiliki. Ketika sudah jatuh sakit dan tahu
bahwa ajal akan segera datang, rasa sesal kenapa dulu tidak berani untuk memperjuangkan hal yang
diinginkan seringkali menghantui.
2. I wish I didn't work so hard.
Penyesalan ini datang dari setiap pasien pria yang
ditemui perawat tersebut. Banyak orang yang
merasa bahwa merasa sangat menyesal karena terlalu gila kerja sampai lupa akan pentingnya
mengasuh anak, mengontrol tumbuh kembang anak, dan juga menghabiskan waktu dengan keluarga.
3. I wish I’d had the courage to express my feelings. Banyak orang yang memendam dan menyembunyikan perasan agar tidak berkonflik
dengan orang lain. Akibatnya mereka jadi merasa
tidak bisa menjadi diri sendiri. Apalagi banyak sekali penyakit yang diakibatkan oleh eksrepsi atau emosi yang terus dipendam dan disembunyikan selama bertahun-tahun. Ada saatnya kita untuk jujur pada orang lain dan juga pada diri sendiri dalam mengungkapkan apa yang sebenarnya kita rasakan.
4. I wish I had stayed in touch with my friends.
Banyak orang yang merindukan sahabat-sahabatnya saat berada di ambang kematian. Rasa rindu akan kasih sayang dan cinta dari orang-orang terdekat bisa semakin menyiksa orang yang tahu bahwa dirinya tak akan bertahan hidup lama di dunia. Rasa sesal karena dulu tidak menjaga ikatan persahabatan dengan baik ini dirasakan oleh banyak sekali pasien.
5. I wish that I had let myself be happier.
Pernyataan ini termasuk yang paling mengejutkan.
Rupanya banyak orang yang baru menyadari hal ini ketika mereka sudah tak berdaya dan menanti ajal menjemput. Terjebak dalam rutinitas dan hidup yang itu-itu saja telah membuat banyak orang tidak bisa merasa bahagia dan pada akhirnya menciptakan rasa sesal.
adalah hal yang paling sulit di lakukan. Kemarahan
dan dendam terkadang masih menyelimuti
seseorang yang tersakiti. Bahkan, ada rasa tidak
ingin bertemu atau berinteraksi dengan orang yang
telah menyakiti. Itu manusiawi, hanya saja diperlukan rasa lapang dada untuk memaafkan agar mendapat pahala. Dan menerima masa lalu yang pahit yang kemudian menjalin silahturahmi yang terputus merupakan perbuatan mulia.
Itulah yang di lakukan oleh seorang korban selamat peristiwa Holocaust dulu yang mengadopsi cucu salah satu komandan tertinggi Nazi yang telah membunuh orang tuanya, seperti yang dilansir oleh Dailymail.co.uk.
Pada saat usia 10 tahun, menjadi waktu yang begitu buruk bagi seorang Eva Mozes Kor dan saudara kembarnya, Miriam. Si kembar yang lahir di Rumania, dibawa paksa dalam truk untuk sapi dan diangkut ke kamp konsentrasi Nazi Auschwitz
bersama dengan seluruh keluarga korban yang tidak pernah mereka lihat lagi. Kemudian, dipaksa
bertahan dalam sebuah eksperimen medis yang
mengerikan oleh Dr.Mengele yang dikenal dengan
malaikat maut.
Meskipun cobaan yang dilalui Eva yang kini berusia 80 tahun, namun dia masih memiliki belas kasihan dan memaafkan atas penyiksanya yang dilakukan Nazi. Dengan mengadopsi secara tidak resmi cucu seorang komandan SS Nazi. Sepuluh tahun setelah perang dunia kedua berakhir, Eva menerima surat dari Rainer Hoess yang kini berusia 49 tahun, cucu Rudolf Hoess, yang menyaksikan pembunuhan sekitar 1,1 juta orang di Auschwitz.
Rainer telah memutus hubungan dengan
keluarganya sendiri dan mengatakan pada Eva
bahwa dia begitu muak dengan kakeknya sendiri
bahkan dia akan buang air kecil di atas kuburnya
walau sekali, yang diketahui kakeknya meninggal
karena dijatuhi hukuman gantung pada 1947.
Menurut Eva, dia bangga menjadi nenek angkat
Rainer, dia mengagumi dan mencintainya. Rainer
membutuhkan cinta yang tidak pernah didapatkan
dari keluarga. Eva menceritakan bahwa Rainer telah tumbuh untuk mencintainya dan hubungan mereka berdua seperti sahabat dan saling memahami secara emosional. Dia menambahkan bahwa orang-orang dari tempat berbeda yang memanggil satu sama lain sebagai cucu dan nenek dapat menandakan suatu harapan.
Eva mengisahkan bahwa dia bersama adiknya tiba
di kamp konsentrasi tahun 1944 yang diambil paksa dari desa tempat mereka tinggal di Rumania setelah diserang Nazi. Setelah perjalanan menggunakan kereta api dalam kondisi mengerikan, Eva ingat kedatangan mereka
merupakan hari terakhir melihat orang tua dan kakak perempuannya Edit dan Aliz. Ayahnya dan
saudaranya diseret paksa menghilang dari
keramaian. Eva dan saudara kembarnya hanya bisa menangis dan meraung-raung, memeluk ibunya yang akhirnya diseret juga. Si kembar mengalami pelecehan seksual dan menjadi objek eksperimen medis yang mengerikan.
Eva dan saudara kembarnya tidak dibunuh karena si dokter 'malaikat maut' tertarik dengan penelitian gen tentang kembar genetik dengan melakukan
percobaan seperti sengaja menginfeksi mereka
dengan tifus atau penyakit lain dan kemudian
transfusi darah satu sama lain dan melihat apakah
mereka berdua selamat atau sebaliknya. Jika salah
satu dari kembar tidak selamat, maka kembar lain yang selamat akan di bunuh juga. Sehingga, mereka dapat membuat laporan post-mortem komparatif.
Si kembar itu salah satu dari 200 pasangan kembar yang berhasil selamat dari kamp dari 1.500
pasangan kembar ketika dibebaskan oleh tentara
Soviet pada bulan Januari 1945. Eva telah menulis sebuah buku tentang pengalamannya di Auschwitz, berjudul 'Surviving The Angel Of Death', di mana dia menyatakan telah mengampuni Nazi untuk apa yang mereka lakukan. Pada tahun 1984, saudara kembar itu mendirikan sebuah yayasan bagi korban percobaan mematikan laboratorium anak Nazi di Auschwitz, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk menceritakan kisah kembar Mengele. Miriam meninggal karena kanker ginjal 11 tahun kemudian. Eva sekarang mengajar di yayasan, di mana ia berbagi cerita dan mempromosikan pesan harapan dan pengampunan. Dia telah kembali untuk upacara penghormatan di Auschwitz, bukannya merasa sedih dan takut justru menari di aman dia kehilangan keluarganya.
Menurut Eva, di sanalah mereka mengambil suka
cita hidup Eva dan keluarganya, dengan cara itu dia merebut kembali kebahagiaannya. Rainer, yang masih tinggal di Jerman mengungkapkan bahwa tetap tidak bisa memaafkan kakeknya dan
menganggapnya pengkhianat untuk tidak mengakui dan mencela mereka. Rainer merupakan satu-satunya anggota keluarga komandan Nazi yang berani bicara menentang Hoess, yang tertangkap oleh pasukan Inggris di tahun 1946 dan diadili di Nuremberg. Kini, Eva aktif di Twitter, di mana ia berbagi pandangannya tentang cinta dan harapannya. Pada malam tahun baru dia menulis sebuah status Twitter 'Mulai tahun baru dengan bersih'.
untuk mengajar anak-anak di tempat terpencil.
Mereka rela berkorban demi pendidikan murid-murid kesayangannya. Seperti dilansir dari womenofchina.cn, sekolah Shipai Village di Guangyuan, China, terletak di wilayah pegunungan terpencil dengan udara yang sangat dingin. Sekolah itu hanya memiliki seorang guru dan kepala sekolah, yang dijabat oleh orang yang sama, yaitu Li Xuemei (21).
Shipai adalah satu-satunya sekolah yang terdapat di distrik Chaotian, Guangyuan. Sekolah ini hanya
memiliki satu kelas untuk anak prasekolah dan satu
kelas untuk anak SD. Sekolah ini hanya memiliki 36 siswa. Mereka berusia 3 hingga 7 tahun.
Dua kelas di sekolah tersebut hanya dipisahkan oleh pintu kayu yang setengah tertutup. Kelas itu
hanyalah sebuah ruangan yang dibagi dua. 36 siswa yang bersekolah di Shipai ini, semua orang
tuanya bekerja di kota. Anak-anak ini tinggal
bersama nenek dan kakek mereka. Meskipun mengajar di sekolah terpencil, Li tidak pernah memiliki keinginan untuk berhenti menjadi
seorang guru.
Seorang diri, Li mengajar ke 36 muridnya, bukanlah pekerjaan mudah. Li dituntut untuk meningkatkan kualitas ilmu bagi murid-muridnya.
Hidup di desa terpencil, dan jauh dari pusat kota
dengan pendapatan hanya 1000 yuan atau sekitar
Rp 2 juta tidaklah mencukupi. Apalagi biaya hidup di kampung terpencil itu cukup tinggi. Hampir setiap hari Li harus mengurus dan mengajar
anak-anak yang masih kecil. Tak bisa dibayangkan
bagaimana sibuknya Li mengurus mereka.
Li menjadi guru di Shipai sejak ia berusia 17 tahun.
Banyak orang seusianya yang memilih untuk
bekerja di kota besar.
Suami Li membujuknya untuk berhenti menjadi guru, tapi ia menolaknya. Menurutnya, siapa lagi kalau bukan dirinya yang mau mengajar anak-anak miskin itu. Suhu di pegunungan itu selalu 0 derajat celcius di musim dingin. Li berharap agar setiap muridnya memiliki setidaknya satu jaket agar tetap hangat. Selama empat tahun bekerja, Li tidak pernah meninggalkan murid-muridnya, bahkan saat kehamilannya bermasalah. Kisah Li di unggah ke Facebook oleh sebuah kantor berita di China. Banyak yang kagum dan memberikan semangat bagi Li. Mereka salut akan dedikasi Li. Semangat Li patut kita tiru dan jadikan teladan. Segala usaha dan tanggung jawab untuk membuat karya di dalam hidup tidak hanya berlandaskan materi dan penghargaan semata.