It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Stasiun Gambir: pintu gerbang dari kota megapolitan dimana aku akan menyambut lembaran karir yang baru. Tak kupedulikan sekelilingku, mataku terpaku pada secarik kertas yang kupegang, dimana tertulis alamat sebuah kantor redaksi warta berita kenamaan negeri. Ya, dengan modal pengalaman sebagai kolumnis salah satu koran lokal aku nekat mencoba melamar ke beberapa kantor warta berita di Jakarta. Dan tak disangka, salah satu dari mereka menjawab lamaranku. Dan disinilah akhirnya aku terdampar, di Ibukota yang konon kehidupannya lebih ganas dibandingkan kehidupan hutan belantara.
Bermodal sebuah aplikasi peta yang ada ponsel milikku, aku mulai mencari letak persis alamat redaksi tersebut sambil terus melangkah melewati beberapa kerumuman yang kadang menggerombol disana. Belum jauh aku berjalan, kudengar keriuhan dibelakangku. Seorang copet tertangkap basah oleh seorang tentara. Lamat-lamat kuperhatikan, alangkah terperanjatnya aku melihat apa yang diserahkan copet itu ke petugas: itu dompetku! Bergegas kuhampiri mereka.
“Maaf pak, itu dompet saya.”
“Oke, siapa namanya mas?” kata petugas itu sambil melihat KTPku yang terselip didalamnya.
“Bayu Wibowo pak. Lahir di Magelang, 29 Juli 1989” kataku sambil kemudian kusebut juga nomor KTPku.
“Lain kali mohon lebih hati-hati mas. Banyak orang gak bener keliaran disini. Sebisa mungkin taruh semua barang pribadi di dalam jangkauan, semisal kantong depan” nasihat sang petugas.
“Baik, terima kasih banyak pak…”
Selanjutnya sang petugas menggelandang si pencopet menjauh dari kerumunan sekaligus mengamankannya dari kerumunan yang memperhatikan si pencopet dengan cukup murka, meninggalkanku dengan sang tentara yang terus menatapku ditengah kerumunan yang perlahan mulai membubarkan diri. Sekilas kuamati, perawakannya tegap dengan postur yang lumayan tinggi dan padat berotot, lengkap dengan raut wajah yang tegas dan sorot mata yang tajam. Benar-benar definisi sejati seorang prajurit. Terus terang, berdau saja dengannya sama sekali tidak masalah bagiku. Namun tatapannya yang tajam dan seakan menyelidiki sesuatu dariku membuatku sedikit salah tingkah dan kehilangan kemampuan untuk berkata-kata.
“Lain kali hati-hati. Saya sudah melihat dia mengincar kamu dari sejak kamu tak lama turun dari gerbong.” Kata sang tentara. Tatapannya tidak lepas dariku.
“Maaf mas, pikiran saya terfokus ke alamat yang diberikan oleh teman saya. Saya baru di Jakarta ini, untuk melamar kerja…”
“Dimana alamatnya? Boleh saya lihat?” potongnya sambil meminta kertas alamat yang kupegang.
“Oh ini mas…” dengan agak kikuk kuberikan kertas itu. Sebentar dia membaca, lalu apa yang terucap dari mulutnya cukup mengejutkanku.
“Kebetulan saya searah dengan alamat ini. Mari saya antar, daripada kamu kenapa-kenapa lagi nantinya. Baru turun dari kereta aja sudah dapat masalah, apalagi nanti diluar sana?” katanya. Memang perawakanku yang hanya sekedar berisi kalah jauh dibanding dengannya, apalagi tinggiku yang hanya sebatas telinganya membuatku terlihat seperti “adik kecil” baginya. Tapi tetap saja, aku agak “jleb” dibilang seperti itu.
“Kalau ga merepotkan…”
“Tentu aja nggak. Nggak usah sungkan. Memang saya ada tampang mau menyesatkan kamu?” potongnya lagi. Kata-katanya singkat, lugas dan cukup menohok telinga.
“Oke, makasih banyak sebelumnya mas…”
“Anto.” Sergahnya lagi. Ternyata tak hanya perawakannya saja yang tegas, namun juga sikap dan gaya bicaranya.
“Makasih mas Anto,” ulangku. Kamipun mulai berjalan kearah yang kuperhatikan sepertinya mengarah ke parkiran motor.
Namun dibalik perawakannya yang dingin, dia ternyata cukup ramah. Setelah kuberanikan diriku untuk memulai percakapan, tak disangka diapun menanggapi dengan antusias. Sepanjang perjalanan, kamipun bertukar cerita cukup banyak. Ia yang baru ditugaskan untuk berdinas di Jakarta rupanya baru saja mengantarkan temannya yang mengambil cuti untuk kembali ke kampung halamannya ketika ia menyadari ada orang dengan gelagat mencurigakan sedang mengincarku. Menyadari itu pencopet, iapun menunggu sampai sang penjahat itu beraksi dan kemudian menangkapnya basah. Sesampainya di alamat yang kutuju, sebelum berpisah ia bertanya kepadaku hal yang tak kusangka-sangka akan terucap dari mulutnya.
“Saya minta nomormu,” katanya sambil mengeluarkan ponselnya. “Kamu juga catat nomor saya, jadi sewaktu-waktu ada apa-apa, kamu bisa hubungi saya.” Tambahnya.
Setelah bertukan kontak, iapun melajukan motornya pergi. Akupun melangkah masuk kedalam gedung perkantoran itudan pikirankupun kembali terfokus ke tujuanku semula: mencari kerja.
asekkk suka suka...
mention donk
@lulu_75 hehe, beda ya? Ya plotnya terinspirasi dr cerita2 yg gantung gw baca + lingkungan tpt merantau disini
@Wita , @elul , @d_-cetya oke, tak mention pas ada update lagi
@Tsun_no_YanYan hahaha... Kalo lamban tar keburu dibunuh musuh duluan ) mention? Pasti!
@lulu_75 hehe, beda ya? Ya plotnya terinspirasi dr cerita2 yg gantung gw baca + lingkungan tpt merantau disini
@Wita , @elul , @d_-cetya oke, tak mention pas ada update lagi
@Tsun_no_YanYan hahaha... Kalo lamban tar keburu dibunuh musuh duluan ) mention? Pasti!
Dopost
ntar klo update mention lagi yah.. jangan salah tapi! ntar gak masuk~
bahasanya enak dibaca, gurihnya pas apalagi kalo ditambah saos kecap, hhehe
titip mention ya bang, yukk ah dilanjut lagi penasaran sm kelanjutan ceritanya