It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi tak coba liat sikon, kalo bisa kukelarin malem ini abis gym wis tak posting ntar
@arieat monggoo...
@Wita
@elul
@Tsu_no_YanYan
@d_cetya
@caetsith
@the_angel_of_hell
@G10
@Tsunami
@arieat
@arifinselalusial
Chapter 2
Tak bisa dipungkiri, alasan utama mereka memanggilku karena mereka melihat potensi yang cukup besar dari karya-karya yang kukirim untuk referensi mereka di lamaranku. Selama interview, yang ada bukanlah tanya-jawab membosankan, tapi perdebatan panas mengenai gaya hidup dan fashion serta kaum sosialita yang bernaung didalamnya. Dan bisa ditebak, hari ini juga, kudapatkan pekerjaan itu: kolumnis gaya hidup. Pekerjaan yang sama, namun dengan tantangan yang lebih besar karena cakupannya kota megapolitan yang dijadikan kiblat gaya hidup nasional. Dengan tugas satu artikel per minggu dan satu blog setiap hari, rasa-rasanya tidak begitu sulit. Bangga? Jelas, karena aku yakin inilah jalanku untuk bisa menggapai langit kehidupan yang lebih tinggi.
Selepas dari bakal kantorku itu, segera kucari kos-kosan untuk tempat tinggalku selama berada disini. Saran dari bakal atasanku, Anna, agar aku mencari di daerah sekitar kampus yang terkenal akan lulusan IT-nya itu. Alasannya sederhana: harganya terjangkau dan banyak fasilitas penyambung hidup bertebaran disana. Tak disangka, apa yang disarankan Anna sangatlah benar, kecuali satu hal: padatnya melebihi perkiraanku. Ditambah polusi yang menggila dan kebisingan yang melebihi batas normal, kurasa kesiapan mentalku lebih dibutuhkan disini dibanding di tempat kerjaku nanti. Tak mau repot, kupilih kos-kosan yang menurut mataku paling layak dihuni. Setelah membayar lunas satu bulan kedepan dan mendapat kunci kamar, langsung saja kuletakkan barang-barangku dan beristirahat untuk menyambut esok hari: first day at the new office.
Hari pertamaku layaknya orang yang berjalan di tengah badai. Kacau. Meski secara sosial aku dapat bergaul dengan hampir seisi kantor dan memulai kegilaan baru di kantor itu, namun secara profesional aku terserang culture shock. Nyaris tak ada satu katapun yang dapat kutulis didepan laptopku untuk sebuah artikel baru. Seharian aku hanya browsing sana-sini serampangan dan membaca seluruh majalah lifestyle yang dapat kutemui di ruanganku. Bantuan dari Samuel, kolumnis sebelumnya yang sampai lewat masa one month noticepun nyaris tak bisa membantuku memenuhi ekspektasi Anna. Barulah setelah lewat dua bulan bekerja dengan dimentori oleh kedua seniorku, aku mulai bisa menelurkan tulisan-tulisan yang cukup memuaskan.
Atasanku, Anna merupakan pribadi yang sebenarnya hangat. Namun selama jam kerja di kantor, kelakuannya berubah 180 derajat: tegas, to the point, dan agak demanding bahkan kepadaku yang terhitung anak baru. Selama dua minggu masa-masa kelam, hampir tak pernah kudengar dia berhenti mengcomplain hasil kerjaku. Namun begitu jam kerja berakhir, ketika aku menghadapanya yang keluar dari mulutnya adalah petunjuk mengenai apa yang harusnya kutulis, lengkap dengan bumbu-bumbu kata-kata penyemangat dan kilas balik betapa dia terkesan dengan kemampuan bicaraku saat interview lalu. Mengenai Samuel, seniorku yang sebentar lagi akan kugantikan, dari apa yang kutangkap selama kurang lebih dua minggu aku bekerja dengannya dia merupakan salah seorang yang inner circlenya terdiri dari kaum jet-set dan sosialita. Penampilannya selalu mewah dan bergelimang apapun yang branded. Namun dia yang awalnya kukira akan menjaga jarak denganku karena status sosialnya yang sudah bak diatas awan ternyata sangat rendah hati dan mau bergaul dengan siapa saja, termasuk diriku yang mungkin di mata sebagian besar kaumnya hanyalah seorang social climber. Dia jugalah yang mengajarkanku lebih terbuka mengenai orientasiku yang ternyata sudah diketahuinya sejak hari pertama aku bekerja. Dan seperti biasa, di hari Jumat dia akan mengajakku untuk menemaninya hang-out merangkap hunting mencari mangsa (via apps, tentu saja) di salah satu kafe high-clas langganannya di bilangan Kemang.
“Finally get a grip on your job after dua bulan, menurutku kamu agak lambat. Kamu harus lebih cepet belajar lho, ni aja sampe gue lewat masa one month notice kamu transfer konwledge. Meski sebenernya….” Katanya menggantung. Aku sudah menebak arahnya kemana.
“Meski apa?”tanyaku pura-pura polos.
“Meski sebenernya gue sih mau-mau aja terus ngajarin kamu. Ga Cuma kerjaan lho, tapi banyak hal juga.”
“Hal apalagi? About PLU? I think I already know all about that very well.”
“Do you?” tantangnya sambil menyeringai. “Truth is, you don’t know at all about gay life in this sin city my dear. I’ll bet my goddamn car for it.” Lanjutnya.
“Well, enlighten me then” balasku.
“One simple example: kamu udah ada apps yang sesuai di hp kamu, tapi belum berani ketemuan sama cowo-cowo cucok yang nge-poke kamu. Ya kan?”
“Gue takut bad ending. Satu pengalaman ketemu sama orang yang ga sesuai antara pic dia sama aslinya udah buat gue cukup trauma.”
“Hmph, gue heran deh sama kamu Bay. Kamu bisa keterima jadi penggantiku meski perangaimu begini gimana ceritanya ya? Si Anna lagi kesambet kayaknya pas interview kamu.” sindirnya
“F*ck” balasku
“Whatevs. Intinya, jangan pernah dikit-dikit trauma. Gimana kamu sama tentara yang gagah itu? Masih belum kamu contact juga dia? Sini deh aku aja yang embat.”
“Enak aja”
“Trus kalo aku ga boleh embat, kenapa kamu ga contact dia? Lama-lama gemes juga aku sama kamu Bay, pengen ini-itu tapi hanya sebatas khayal aja, ga berani action. Apa bedanya kamu sama banci khayal yang sering kamu kritik di forum sebelah?”
Aku terdiam dengan kata-katnya yang lugas dan cukup menohok.
“Aku mau paling telat Senin udah ada update dari si tentara itu. Kalo enggak, liat aja apa yang bakal gue lakuin ke kamu nanti.” ancamnya.
“Ïyah…” jawabku lemas.
“Good. Tapi jangan lemes gitu dong ah jawabnya. Yuk ah cuss, dah ditungguin anak-anak arisan. Ntar kalo kena macet pas nganter balik kamu bisa mati gue dirajam mereka.”
“Ok”
Dan galaulah diriku sepanjang perjalanan pulang gara-gara topik pembicaraan tadi yang kupikir selesai ternyata masih dibahasnya juga. Aku sebenarnya tidak menyalahkan Samuel sama sekali, dan bahkan akupun tak berhak marah ke dia. Apa yang dikatakannya 1000% benar: selama ini keinginanku hanya mentok di andai-andai saja. Kalaupun akhirnya aku berani mengambil keputusan, itupun karena desakan orang sekitar. Sesampainya di kosanku, barulah aku merasa mantap untuk ambil sikap. Sepertinya memang benar, segera mulai berbenah diri dengan traumaku itu. Besok akan kutelepon mas Anto. Semoga dia masih ingat setelah dua bulan lebih sejak pertemuan yang pertama dan terakhir itu.
#To be continued in chap 3#
ayu Bayu... tunjukan merahmu.. L-)
Mohon maaf sebelumnya baru bs update lagi. Ni baru mulai bisa konsen lagi abis galau gegara putus sama bf. *curcol*
Oke, ga berlama2, monggo dinikmati ceritanya...