It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@d_cetya cerita yang mana? emang di proteksi gitu?
dan yaa emang sih spasinya ganggu bgt. tp yaa mau gimana lagi. selain spasi juga ada typo tuh di beberapa tempat. alangkah baiknya jika sebelum di posting di baca ulang aja sambil diperbaiki spasinya. okaay.
dan mengenai sahabat. persahabatan muncul bukan hanya karena ada kata sepakat untuk bersahabat tp itu muncul dari hati kalau memang saling klop. itu berdasarkan pengalaman. karena gs udah sahabatan sama satu orang udah lama. kita berdua kenal dari tk. dan dua orang lagi sejak smp kelas 1. hehehe
untuk te es, nitip mention ya. Ceritanya keren.
Ketika cinta datang terlambat, itu namanya bukan cinta... melainkan realita... realita tak berperi...
***
Chapter 2 : De ja vu
Aku terbangun ketika suara ayam berkokok nyaring di depan Rumah Farid. Kurasa Farid juga terbangun karena suara itu sangat lantang dan keras. Aku sontak tertawa geli melihat wajah berantakan dia sehabis tidur. Haha, lucu sekali! Lihat saja rambut lurusnya berubah menjadi tenggak ke atas, mata merah serta ekspresinya membuat tawaku semakin menggelegar. “What happen?” tanyanya bingung.
“Nothing,” sahutku sambil terus menertawakan dia.
Rencana sekarang sebenarnya aku harus pulang karena tepat pukul 7 pagi aku harus menjadi panitia diklat di SMP, namun terhambat karena Farid memaksa untuk menemaninya lari pagi ke lapangan SEMPIM. Mengatakan ‘tidak’ rasanya sulit kulakukan hingga akhirnya aku menyetujui dengan syarat tidak boleh lewat jam 12 siang. “Kamu bukan panitia inti, kamu hanya panitia bantuan,” ujarnya ketika aku mencoba memberi alasan. Memang benar, sih, karena panitia inti adalah panitia yang statusnya duduk di kelas III, bukan alumni.
Kubalas dengan nada sinis, “Kenapa kamu bisa tau? Bukannya semasa SMP kamu tidak ikutan apa-apa ya?”
“Kamu salah...” Alisku mengernyit bingung seketika. “Aku memang tidak mengikuti OSIS, tapi aku di rekrut menjadi OSIS.”
“Sama aja Farid! Baka baka baka!!” dia lari terbirit-birit menuju kamar mandi setelah melihat kepalan tanganku, padahal aku tidak mungkin akan memukulkan dia jika alasannya tidak kuat.
Jadi, beginilah pagi ini kuhabiskan. Lari menuju lapangan SESPIM Porli sambil mendengarkan kumpulan lagu fungerstyle.
“Lihat tentara itu!” ucap Farid ketika melihat laki-laki bertubuh tegap sedang lari searah, namun beda jalur. Kuakui laki-laki itu tampan –ralat-- mungkin sangat tampan tapi... For Gods sake! Aku tidak percaya setelah dia mengakui orientasinya dia akan secara blak-blakan membahas hal seperti itu. Apakah jika aku yang ada diposisi Farid akan melakukan hal yang sama? Kurasa tidak! Bagaimanapun meskipun status kami bisa dikatakan dekat dalam artian sahabat, tetap saja aku tidak akan se-frontal Farid. Maksudku, setelah berkata ‘lihatlah laki-laki itu,’ dia juga berkata, ‘lihatlah bokong laki-laki itu,’sambil berlari sedikit cepat agar bisa memperhatikan lebih jelas.
“Aku harus bisa berkenalan dengan dia, Jar!” Akhirnya mau tak mau aku aku harus terseret meskipun... ekhem... aku tidak keberatan.
Okey, mari kita lihat gimana aksi di...
“ADDAU!!!” Aku kaget ketika Farid memekik keras. Rupanya dia telah terjerembab ke dalam selokan jalan. Beruntung sekali dia karena selokan itu tidak ada airnya. Sontak aku dan cowok ganteng yang sedang berlari menghampiri Farid. Raut wahnya terlihat sedikit mengerikan. But, wait... apakah itu bagian dari rencana dia? Apapun itu, aku sukses dibuat tertawa terpingkal-pingkal karena ulahnya.
“BUAHAHAHAHA!!” rasanya air mataku sudah merembes keluar saking lucunya kejadian ini. Seakan skenarionya berjalan mulus, dia terus mengaduh kesakitan ketika cowok itu mencoba untuk membantu. Dasar genit!
“Kamu gak papa, dek?” tanya cowok itu dengan suara... what!?Kok suaranya gak ngebass? Terdengar melengking seperti perempuan. Tapi tetap saja hal itu bukanlah perkara besar. Wajah dengan rahang tegas, peluh yang membanjir di bagian dadanya, serta kulit coklat yang melekat merata membuat cowok ini terkesan maco dan keren.
“Sakit, bang.” Farid memperlihatkan luka di sikut tangan dan di betis kakinya.
“Kuat jalan gak?”
“Gak tau, bang...” Ekhem... sok gak kuat padahal kuat! Eh, tunggu? Kenapa aku yang sewot ya? Apakah aku cemburu? Tapi pada siapa? Apakah Farid, atau cowok ganteng ini? Well, mungkin kepada Farid karena ulahnya sedikit berlebihan menurutku. “Bentar aku coba...” Dia berjalan ke depan sedikit pincang namun tidak terjatuh kembali. Kupikir dia akan berbohong tidak bisa berjalan sehingga akhirnya tangan dia bisa melingkar di leher cowok itu, tapi ternyata perkiraanku salah.
“Makanya kalau lari hati-hati, dek. Ini temannya ya? Kok tadi malah ketawa bukannya ngebantuin?” SKAK! Sekarang Farid tertawa meskipun sedikit tertahan. Aku menanggapinya dengan tertawa renyah.
“Ngomong-ngomong abang mau lari kemana?” tanyaku kemudian.
“SEMPIM barat. Kalian?”
Pada awalya aku ingin menjawab SESPIM timur, tapi Farid keburu menyaut sambil menyikut. “Kami juga mau kesana, bang. Hehe yaudah abang duluan aja soalnya kami mau jalan. Takut ngeganggu larinya abang,’ balas dia sok imut!
“Bareng aja, toh SESPIM barat dekat dari sini.” Memang benar, jarak SEMPIM barat sangat dekat sekali dengan rumahnya Farid. Mungkin akan memerlukan waktu kurang lebih 12 menit.
Begitulah seterusnya. Kami bertiga berceloteh panjang tentang apapun itu mulai dari keluarga, tempat tinggal, sekolah, dan berbagai topik menarik lainnya. Oh ya, nama cowok itu adalah Reno. Kami kira dia study di kepolisian atau tentara, tapi ternyata dia sekolah di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan guru olah raga semester satu. Sangat menakjubkan mengingat tubuh Reno berotot seperti itu tapi umur masih 19 tahun. Dia juga alumni sekolahku saat ini, SMA Negeri 5 Lembang.
“Akhirnya sampai juga,’ lirih Farid sambil menghirup nafas dalam.
Lapangan ini begitu luas lalu disekeliling lapangan terdapat rumput dan beberapa pedagang untuk istirahat. Disetiap deret kursi tempat duduk yang dinaungi oleh cabang-cabang kanopi terdapat gerombolan pemuda yang hendak bersepeda, sementara di jalur untuk berlari banyak orang-orang yang mulai berdatangan dari ibu-ibu sanpai anak muda. Aku mulai berlari pelan, meninggalkan Farid yang sedang melihat luka kecilnya. Melihatku menghampiri bang Reno, sempat kulihat mata Farid sedikit melotot. Hahaha, akan kukerjai dia!
“Bang,” ujarku sambil menjajarkan posisi tubuh kami. “Ikut lari, ya...” Bang Reno mengangguk lalu menurunkan kecepatan larinya. Kulihat lagi wajah Farid sejenak. Dia ternyata sedang mencoba untuk ikut lari tapi tidak bisa—mungkin karena luka itu membuat persendiannya ngilu. Akhirnya dia duduk kembali di kursi memanjang sambil mensejelajarkan kakinya. Tatapannya tak luput melihat bang Reno. Ugghh, kasian juga jika melihat dia seperti ini.
***
Aku menatap gerbang bercat biru lamat. Aku harus mengakui bahwa di tempat ini aku pernah mengukir kisah. Betapa beragamnya hal yang pernah terpatri olehku ditempat ini mulai dari kenangan kelas sampai organisasi. Setelah beberapa lama aku termanggu, aku membuka gerbang itu pelan. Sedikit ngilu ketika membukanya karena besi tua itu mengeluarkan suara decit menyakitkan. Dari sini aku sudah mendengar suara keras para panitia untuk memarahi peserta LDK. Dan, aku tau, bahwa perasaan mereka pasti akan tegang lalu disertai dengan perasaan kesal.
Terbukti mereka semua menunduk. Aku melihat panitia kelas 9 menghampiriku lalu membawaku ke ruang OSIS. Dia meberikanku pita merah-putih untuk ditempelkan di lengan kanan. Setelah itu aku berbaur dengan panitia yang lain untuk memarahi peserta LDK. Sebenarnya aku ingin sekali tertawa melihat wajah polos anak SMP seperti ini harus dibentak. Tapi, itulah peraturannya. Suatu saat juga mereka akan menjadi pemeran yang membentak bukan dibentak.
***
Aku duduk sendirian di sebuah kampung dekat dengan lapangan desa. Kegiatan LDK ini sudah memasuki jurit malam, dimana aku harus menjadi penjaga pos 5. Tatapanku kosong pada horizon lagit yang sedang memancarkan cahaya biru. Aku merasa de javu dengan kejadian ini. Pada LDK di SMA perasaan seperti ini telah kualami. Dimana aku merasa rapuh, jiwaku seakan dirajam, sementara pikiranku berkelebat kemana-mana. Saat itu aku menangis di keremangan cahaya langit dan bintang. Dadaku serasa ada yang menghimpit, dan... itu sangat menyesakan!
Tangisku bukan karena aku merasa sendiri, tapi karena aku takut untuk mencintai. A-aku takut mencintai Farid lebih dalam lagi!
Pada kasus yang sama, setiap aku mencintai straight pasti akan berujung pada permusuhan. Akhirnya, jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan langkah selanjutnya pasti akan mengambil cara move on. Aku harus menjauhi orang yang kucintai jika pada akhirnya harus mengambil jalan itu. Apakah itu berarti suatu saat nanti aku akan menjauhi Farid dan Ardar? Lalu, apa label yang akan melekat pada diriku? Egois, tak tahu diri, hina? Yah, hina karena dengan mudahnya membagi cinta pada orang lain. Yang kulakukan hanya membuktikan bahwa aku kuat dan mampu untuk terus maju. Berjalan mundur untuk meloncat lebih jauh lagi.
“Assalamualaikum,” ucap salah satu peserta sambil menunduk. Setelah kuhitung ternyata ada 3 orang.
“Silahkan duduk,” jawabku seraya berdiri.
“Makasih, kang...”
“Disini akang tidak akan marah-marah jadi... kalian bisa santai.” Sayup-sayup aku mendengar hela nafas mereka panjang. “Akang hanya mau memberi pesan kepada kalian bahwa kalian tidak salah langkah telah memasuki organisasi OSIS. Mau organisasi dalam bentuk apapun, jika kalian ikhlas melakukannya, maka manfaat dari organisasi tersebut akan terasa bagi kalian. Akang yakin, hal yang memberi manfaat sering menjadi hal yang suka dirindukan.” Mereka semua mengangguk. Dari kejauhan aku melihat peserta yang lain sudah berdatangan. Huhh, padahal aku ingin berceloteh banyak dengan anak-anak polos ini. Tapi ternyata waktu tidak memungkinkan. “Baik, sekarang lanjut ke pos 6. Arahnya lurus terus kesana, tepat diperempatan belok kiri. Disana ada lapangan desa...,” imbuhku kemudian.
“Makasih, kang.”
Aku tersenyum. Salah satu dari mereka berbalik ke arahku. Dia seorang cowok, rambutnya ikal, berkulit coklat dan, dia berbalik senyum ke arahku. Aku terhenyak. Dadaku bergemuruh seketika.
To be continued
farid frontal amat yak ngomongnya mentang2 udah jujur ke fajar. terus lo kapan jujur jar?
kaaian fajar. udaah sama reno atau anak baru itu ajaa
Makasih Ka @lulu_75 mentionnya walau gak masuk :P
Setubuh ama Bang @balaka ma Reno aja Fajar.