It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sebelumnya di Can't
Glenn dan Bima berpisah di belokan 99 tepat beberapa puluh kilometer setelah gerbang keluar dari kota Harapan. Mereka telah membagi tugas sebelumnya, Glenn menyelamatkan Nial dari kejaran kaki tangan Keith sedang Bima akan kembali ke kampung halaman untuk mengambil kembali surat surat berharga, atau bisa kita sebut sebagai bukti atas segala dosa semua perbuatan ayah Harris yang telah disembunyikan oleh sahabat anaknya sendiri.
Sadar bahwa telah terjadi sesuatu pada Eric , Dinan dan juga Alvin segera melacak keberadaan atasannya tersebut melalui sebuah perusahaan telekomunikasi yang cukup terkemuka di Indonesia.
Sementara itu dilain tempat, Abi dan juga pasukannya dengan kecepatan penuh segera menuju pelabuhan Yinyang dan menelfon relasinya disana untuk segera menyiapkan kapal layar untuk pelayaran ke Filipina.
Dilain tempat, pesawat yang ditumpangi Keith sudah mendarat tepat di Harapan International Airport dan segera naik ke sebuah van berwarna hitam setelah menerima sebuah panggilan yang cukup tak mengenakkan baginya dari Ferdinand.
Sepanjang perjalanan, Putra tertidur di kursi bagian belakang sedang Nial sekali kali menanggapi ocehan Glenn yang pada dasarnya mencoba untuk menyembunyikan kegelisahannya. Sekali kali Glenn akan mencuri curi kesempatan mengenggam tangan Nial, atau mengacak acak rambutnya sambil tetap fokus pada jalanan. Sedang Nial hanya menerima semua perlakuan dari kekasihnya tersebut dengan wajah merona dan tangan yang selalu menyentuh ponsel yang terpasang foto Koi sebagai lockscreen wallpaper-nya.
"Hei". Nial mengangkat kepalanya yang sedari tadi tak bisa berhenti melihat foto anaknya itu kepada Glenn. "Kau merindukan Koi?". Nial tak menjawab, tapi tatapannya seolah menjawab pertanyaan Glenn.
"Aku juga merindukannya" Glenn masih terfokus pada jalanan. "Kau tau? Ketika dirumah sakit, aku bercerita pada semua orang tentang betapa tampannya Koi dibanding bayi bayi yang pernah kulihat di ruang inkubator" sesekali dokter itu menoleh pada Nial. Tanpa ekspresi Nial menatap Glenn.
"Setiap jam makan siang" Glenn meraih jemari kekasihnya. "Aku selalu berfikir untuk mencoba menelfonmu. Hanya untuk sekedar memastikan apa kau aman, apa kau baik baik saja, karena orang yang aku cintai tak boleh sakit" Glenn menggerak gerakkan jempolnya pada kulit tangan Nial. "Tapi aku tahu, kekasihku pasti sedang sibuk membesarkan anak kita. Dan aku tahu kau letih karena itu. Aku mau menjadi kekasih yang bisa menyamankanmu, meski suatu saat aku takkan bisa lagi bersamamu" Sambil mengangkat tangan Nial yang berada dalam genggamannya, Nial berkaca kaca bahkan sampai saat Glenn melambatkan laju kendaraannya hanya untuk mencium tangan Nial yang ada dalam genggamannya.
"Jika aku mati, apa kau masih akan tetap mencintaiku?"
**
Dengan geram Keith berkali kali mengumpat mendengarkan kabar Eric telah disandera oleh Glenn. Ia menyebut semua sumpah serapah dan tak henti henti menghentak hentakkan kakinya. Kening bekernyit. Rencananya takkan berjalan begitu mulus kali ini, pikirnya.
"Mr. Keith" Paul yang duduk di belakangnya dengan sigap memutarkan arah laptopnya lalu memperlihat isi layar kepada Keith.
"What the fuck are you showing at me?!" Sedikit membentak, politisi itu tetap memutar kepalanya menghadap Paul. "Don't tell me shits unless you know where those motherfucker are!"
"Aku tahu" Paul mulai menjelaskan isi dari monitornya. "Lihat ini, titik merah adalah GPS Eric yang sedang berada di sebelah barat daya kota Harapan. Tepat beberapa meter sesudah Route 88"
"Maksudmu?"
"Maksud saya, Eric telah disandera dan dibawa kesana"
Bola mata Keith memperhatikan tepat lekat ke monitor.
"Ke.. mana ini?"
"Desa Kayu Alam, Mr.Keith"
**
"Kau dengar itu Alvin. Desa Kayu alam!" Seseorang yang berjarak satu kursi dibelakang Alvin berteriak kepadanya yang tengah sibuk mengemudikan mobil.
"Jadi sekarang bagaimana!?" Orang yang berada di samping orang yang berteriak tadi juga bertanya.
Hyena, orang yang menerima panggilan dari Paul angkat bicara, "Kupikir sebaiknya kita harus berpencar menjadi dua arah"
"Excuse me?" Kata Paul dari seberang sana
"Kami sudah mendapatkan koordinat Nial, Paulie!" Pekik orang yang berada dikursi belakang.
"Kalian saat ini dimana?" Paulie kembali bertanya
"Kami berada di Route 49. Masih beberapa ratus kilometer lagi dari Nial"
"Gimme that shit!" Seseorang terdengar merebut ponsel milik Paul, "Kalian kejarlah Nial! Aku mau dia hidup hidup!" Kemudian panggilan terputus.
Semua orang yang berada dalam mobil itu terdiam mendengar satu bentakan dari telfon. Keith, sudah pasti. Siapa lagi orang yang pantas menyebutkan sumpah serapah di saat saat seperti ini?
"Hyena, informasikan ke semua mobil di belakang kita untuk secepatnya memburu Nial" perintah Alvin.
**
Sedan hitam dengan satu tawanan itu memasuki sebuah pedesaan yang asri, masih sama seperti dulu. Terlihat banyak raut kegembiraan dari wajah anak anak desa. Gadis gadis yang membawa tumpukan kain kotor di kepalanya. Turis turis asing juga tengah asik mencari spot foto yang bagus.
Bahkan saat mereka memutari danau itu, lapangan basket yang penuh kenangan tersebut bahkan tak berubah secuilpun. Hampir sama sekali tak ada yang berubah. Kecuali jalanan yang kini telah diaspal, tentu saja. Pemandangannya masih sama, asri. Menyegarkan. Masih begitu candu baginya untuk menghirup di tempat sebersih desa Kayu Alam.
"Kita kat mana ni?" Tak ada jawaban yang diberikan oleh Bima yang masih saja terfokus pada suasana desa ini. Ia memarkirkan mobilnya tepat didepan sebuah penginapan tua yang sudah berabu dan usang. "Kau tunggu disini dulu" rkatanya lalu keluar dari dalam mobil meninggalkan Ghina dan Eric sebagai tawanannya.
Koki itu melangkahkan kakinya memasuki halaman depan bangunan itu, pepohonannya masih hidup. Meski terlihat sudah tak terawat lagi. Mata coklatnya menyapu setiap sudut tempat ini. Semakin ia melangkahkan kakinya, semakin banyak rasa rindu akan sahabatnya yang semakin menghantuinya. Satu hal yang berubah dari tempat ini, yaitu coretan grafiti dari tangan tangan turis yang tak bertanggung jawab.
Ia membuka pintu penginapan. Lantainya terasa begitu kasar. Gagang pintunya sudah tak utuh lagi, Bima mendorongnya. Kotor dan berantakan. Langit langit ruang utamanya juga sudah rusak. Sofa dan kursi yang dulu ia duduki bersama sahabatnya, kini tak layak lagi untuk disebut sebagai Sofa dan kursi. Tak ada lagi TV. Hanya meja kosong dengan vas bunga yang retak. Dan juga bunga mati.
Ia berjalan semakin kedalam. Decitan tikus berdentum keras dilangit langit. Sesekali Bima harus menyingkirkan jaring laba-laba yang menghalangi jalannya dengan tangan.
'Pintu kamar ini' batinnya dalam hati. Ia membuka pintu itu yang sukar dibuka. Tak bisa. Bima kembali mencoba kemudian berhasil. 'Keadaan kamar ini lebih parah dari ruang depan' batinnya lagi. Bercak sperma dimana mana, kondom kondom yang berserakan. Pastilah turis turis tak bertanggung jawab itu telah menjadikan kamar Harris ini sebagai tempat maksiat.
Bima berdiri tepat di tengah ruangan yang berukuran 2 x 3 meter itu. Memperhatikan sekeliling. Meja yang teramat sangat jarang digunakan oleh Harris. Dan juga kasur itu, bahkan setelah sekian lama bayangan Harris yang begitu susah dibangunkan diatas kasur ini masih tergambar begitu jelas hingga kedetailnya sekalipun.
"Apa yang kulakukan disini" Gumamnya lalu kembali membalikkan badannya menuju kamar selanjutnya. "Astaga!"
**
'Kau harus menyembunyikan Bima. Kau harus menyelamatkannya untukku. Kau harus berjanji untuk membuatnya bahagia.'
"Tess.." bunyi butir butir air pipa jatuh membasahi ruang kelam ini. Tak ada penerangan, selain lubang kecil berukuran tak lebih dari 50 cm didinding kasur. Ini bukan tempat. Ini penjara.
Sudah 10 tahun ia seperti ini. Dikekang bagai ia tak pernah layak untuk ditakdirkan hidup.
**
"Bos! Saat ini Nial tengah berada di kawasan Gayahati , 101 km dari kota harapan" Abi bergeming, bayangan Juanda dan misi bunuh diri itu tak akan pernah ia lupakan.
"Ayo kita kejar saja Bima!"
"Tujuan kita adalah Kak Nial, Eli" interupsi Ema. "Ayo kita kejar kak Nial!"
**
Route 24 dan sekarang sudah hampir menuju Route 88. Keith sudah semakin dekat dengan Bima. Sementara Alvin sudah lebih dulu melewati Route 99 dan akan memasuki daerah Gayahati. Semua yang berada di pihak Keith sudah lebih dulu mempersiapkan segala sesuatunya untuk menangkap Nial beserta Bima. Meski itu dengan cara paksaan atau dengan cara halus.
**
"Sialan!" Glenn menendang ban mobil depan bagian kanan sedannya.
"Lo juga sih Glenn! Ga liat liat jalan" Putra juga ikut menggerutu. Sementara itu Nial hanya berdiri disamping Putra. Ia sama sekali tak tahu menahu tentang otomotif. Jadi yang bisa lakukan hanya watch and learn. Lihat dan perhatikan. Suara petir bergemuruh meski matahari baru saja keluar dari pentasnya. Benar benar cuaca yang tak bersahabat.
"Aku akan mencoba mengganti bannya, kalian masuk aja dulu kedalam mobil" kata Glenn sambil berlari ke arah bagasi belakang mengambil sebuah ban serep dan juga peralatan lainnya.
Putra membawa Nial masuk kedalam mobil. Perlahan namun pasti, satu persatu tetes air hujan jatuh membasahi jalanan.
Glenn mencoba mengganti ban mobil sebisanya. Sementara Nial hanya bisa melihatnya dari dalam karena ia tak mengerti dengan hal hal seperti ini.
**
Rombongan mobil itu berhenti tepat sekitar 2 kilometer dari tempat Glenn yang sedang mengganti ban mobilnya. Hujan turun dengan sangat deras. Itu tak membuat luntur tugas mereka untuk dilalaikan. Seseorang dari mobil mobil itu keluar dengan sebuah senapan jarak jauh dengan peredam suara. Negatif. Glenn sama sekali tak menyadari kehadirannya.
Ia memasukkan sebuah peluru timah panas yang cukup runcing di ujungnya kedalam senapan dan kemudian mengarahkan mulut pistol menuju kepala Glenn.
Hujan membuatnya kesulitan untuk membidik dengan tepat. Orang itu menarik pelatuknya dan salah mengenai sasaran.
Ia kembali mengamunisikan senapannya lalu kembali bersiap untuk membidik. Kembali gagal.
Aksi ketiga, ia kembali melakukan hal yang sama. 'Kali ini tak akan gagal' batinnya.
Ia menghembuskan nafas. Sekali.
Dua kali.
Dan ketiga kalinya saat ia menarik pelatuk..
**
"DORRR!!"
Bima dan Ghina berlari kedalam hutan saat Paul memerintahkan pasukannya untuk menembaki Bima. Sadar Nial tidak bersamanya, Keith spontan langsung memerintahkan bawahannya yang lain untuk mengejar Glenn.
Bima dan Ghina berlari dengan sangat kencang memasuki hutan yang berada tepat dibelakang penginapannya. Melewati sawah. Dan juga jalan setapak diikuti anak buah Paul. Tahu kemana ujung dari pelarian ini , Paul segera masuk kedalam mobilnya dan diikuti beberapa mobil dibelakangnya kemudian pergi menuju sebuah rumah yang saat ini telah dihancurkan.
Bima terus berlari dan berlari. Begitupun dengan Ghina. Beberapa orang bersenjata dengan pakaian serba hitam memburunya. Tak jarang beberapa suara tembakan terdengar, menyatu dengan gelegar petir.
makin ke sini makin keren !!!
di save dulu yee, tar bacanya