It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lg nyanyi dangdut ya , ,@3ll0, hehee
ada, tapi nantilah kalau sudah ending di posting. heheh
ada, tapi nantilah kalau sudah ending di posting. heheh
@erickhidayat , @tsu_no_yanyan ,
@fuumareicchi , @dhika_smg , @Zhar12 , @duna ,
@caetsith
@Mangki36 , @TigerGirlz , @Wooyoung ,
@doodledeedum , @balaka , @WYATB ,
@rayarere , @Soni_Saja , @yuzz , @zeva_21 ,
@JulianWisnu2 , @leviostorm ,
@mikaelkananta_cakep , @admmx01 , @4ndh0 ,
@nakashima , @ukhty , @dole_dole , @yo_sap89 ,
@rizal_acank , @3ll0 , @ikmal_lapasila ,
@d_cetya , @adamy , @arieat , @arhies , @yans
filan, @ramadhani_rizky , @abidoank, ,
@sandalrusak , @tristandust , @tialawliet ,
@boezel , @lulu_75 , @cibro ,
@mustaja84465148 , @duna , @ryan_Y_B_P ,
@aldino_13 , @dafiaditya , @danze ,
@cute_inuyasha , @yudha19 , @steve_hendra ,
@edelwis , @wita , @egosantoso, @Tsu_no_yanyan , @lulu_75 ,
@widy_wnata92 , @3llo , @cute_inuyasha ,
@d_cetya , @ianz_rongerz , @hyujin,
@arifinselalusial, @danze, @arieat, @ @viji3_be5t , @hon3y, @balaka, @Otho_WNata92, @mustaja84465148, @jawaganteng, @doniperdana, @steveanggara, @sho_lee, @ndraa, @abdulfoo, @hendra_bastian, @anne, @meandmyself, @dimasalf9, @amir_tagung, @Adiie, @Asu12345, @PeterWilll
Saya sangat menghargai teman2 yang mau membaca cerita saya ini. Kalau ada kritik dan saran yang membangun, dipersilahkan dengan senang hati. Jangan lupa klik LIKE ya kalo suka. Dan maaf kalau tidak bisa balas komentnya satu satu.
+-++++++
+++--
Aku terbangun dengan tubuh serasa luluh lantak. Dan aku tidak tahu dimana sekarang aku berada. Langit di atas tubuhku telah mencurahkan air hujan yang teramat dingin. Membasahi sekujur badan. Aku menggigil, bertanya-tanya di dalam hati. Dimanakah aku kini?
Sekitarku sudah gelap. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Terasa sunyi. Hujan bercampur dengan angin yang berhembus kencang. Menampar wajahku berkali-kali. Menyadarkanku, kalau saat ini aku tidak berada di rumah.
Aku terkapar di atas tumpukan rumput basah dan kotor. Mencoba menerka-nerka, dimanakah aku gerangan berada. Samar-samar aku mendengar suara lenguhan. Apakah… apakah aku berada di Parak?
Menyadari kenyataan ini, dadaku sakit. Aku menangis. Tega sekali keluargaku membuangku kesini. Siapakah yang telah begitu tega mengantarku kesini? Dibawah deraan hujan dan hembusan angin, aku dicampakkan.
Dengan tertatih-tatih aku bangkit. Berjalan menuju kandang Sapi yang berjarak sekitar 200 meter dari tempatku sekarang. Sakit di tubuhku mungkin masih bisa aku tahan, tapi jiwaku, hatiku terasa begitu rapuh. Aku seperti ingin mengakhiri hidupku ini. Kenapa aku seperti tidak diinginkan? Kenapa keberadaanku seolah-olah tidak dianggap?
Sekuat apapun aku mencoba melawan semua rasa sakit yang kian hari kian menumpuk di dadaku, akhirnya aku tumbang juga. Aku seperti sudah kehilangan semangat. Aku seperti orang yang sudah kehilangan harapan. Seolah-olah tidak ada lagi yang perlu aku perjuangkan. Seandainya malam ini maut menghampiriku, mungkin akan aku pasrahkan saja seluruh hidupku ini. Jika itu memang lebih baik.
Batinku terus menangis pilu. Air mata tidak mampu lagi menetes. Mataku sudah terasa bengkak. Habis sudah kucuran air mataku ini. Namun, pikiranku masih terasa jernih. Pikiran-pikiran jahat dan ingin mengakhiri hidup berlalu lalang melintasi alam bawah sadarku. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku tidak mau mati konyol! Ini belum seberapa. Aku harus kuat. Aku tidak boleh mati sia-sia. Yah, aku hanya perlu menguatkan hati dan pikiranku.
Ku tadahkan kedua tanganku menampung air hujan. Dengan air tersebut ku usapkan ke wajahku. Berusaha mendinginkan kedua mataku yang terasa panas. Papa, aku tidak akan kalah, walau sering kali aku tersungkur, namun aku akan terus bangkit. Aku tidak akan jadi pecundang seperti engkau, Papa.
Ku busungkan dadaku. Melangkah dengan tegap memasuki kandang Sapi. Nyamuk-nyamuk malam mulai menyerang begitu tubuhku berada di dalam. Ada beberapa helai kain sarung di dalam kandang. Ku tanggalkan seluruh pakaianku. Aku tidak akan kalah, aku tidak akan menyerah. Kalimat tersebut terus ku ulang-ulang.
Ku dekati Sapiku yang terlihat kelaparan. Kasihan kau, Putih, gara-gara aku kau tidak makan seharian. Bisakah engkau tahan sampai pagi? Besok subuh-subuh ku carikan rumput segar buat kau. Kau yang sabar ya Putih?
Ku elus-elus punuknya yang alot. Si Putih seolah-olah mengerti dengan ucapanku, dia melenguh pelan. Aku perlahan-lahan mendekati lawak-lawak makan Sapi bang Nanda dan bang Nandi. Kasihan si Putih dan Sapi Papa. Rumput kedua Sapi abangku itu masih banyak berlebih. Mungkin harus aku bagi untuk si Putih dan Sapi Papa. Hanya itu satu-satunya cara. Tanpa membuang masa lagi, ku ambil rumput di lawak-lawak Sapi Bang Nanda dan Bang Nandi. Dan dalam hati berharap tidak ketahuan. Kalau sampai ketahuan, maka tamat riwayatku.
Sembari menuju hujan reda, aku duduk di sudut kandang. Bau tai Sapi menyeruak memenuhi hidungku. Ku tahan nafasku sekali-kali. Sungguh tersiksa rasanya satu ruangan dengan Sapi. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak tahu mesti berbuat apa.
Kemungkinan malam ini sudah pukul sembilan malam. Gila, selama itukah aku tidak sadarkan dirinya? Ya Allah, jika ku ingat-ingat, ingin sekali aku membalas semua perlakukan buruk mereka kepadaku. Bagaimana dengan Bunda saat ini? Tidak menyangka aku, bahkan terhadap Bunda pun dia tega menurunkan tangan kasar. Separah itukah depresi yang dialami Papa?
Perutku terasa sangat lapar sekali. Apa yang mesti aku makan malam ini? Apakah harus aku makan rumput seperti para Sapi ini? Hfff, berhentilah hujan agar aku bisa kembali pulang. Aku akan tunjukkan ke Papa kalau aku itu kuat. Aku tidak selemah yang dia bayangkan. Tidak akan mati aku oleh perlakukan kasar yang dia tujukan kepadaku. Aku jadi ingin tahu bagaimana nanti ekspresinya ketika melihatku kembali pulang.
Tanpa terasa malam terus bergulir. Mataku sudah berat. Rasa lapar yang tadi menyerang perlahan-lahan hilang. Air liurku terasa pahit. Apakah aku akan mengalami sakit lambung jika makanku tidak pernah teratur? Aku tidak mau sakit, Tuhan. Jangan sakitkan aku. Aku tidak mau merepotkan Bunda dan keluargaku. Beri aku kesehatan Ya Allah.
“Tommmm!” tiba-tiba aku seperti mendengar suara seseorang memanggilku. Aku tajamkan lagi pendengaranku. Di bawah deru hujan sebentar ini aku dengar ada yang memanggilku. Apa hanya halusinasiku saja. Tapi, suara ini, seperti suaranya. Suara orang yang sedari tadi melintas-lintas di pikiranku.
“Tomiiiii!” suara itu semakin jelas di telingaku. Dengan cepat aku melompat keluar dari kandang. Dadaku berdebar kencang. Sesampai di luar kandang, wajahku langsung ditampar derasnya hujan badai. Tidak ada siapa-siapa diluar. Aku kembali masuk ke dalam kandang. Mungkin perasaanku saja. Untuk apa juga dia bela-belain mencari aku kesini? Hahaha, betapa pedenya aku. Emang aku siapanya dia? Kawan bukan, family bukan.
Tapi, jujur, aku senang kenal dengannya. Dia sepertinya baik. Ceria. Dan suka melakukan apapun sesuai kehendak hatinya. Sedang apa dia sekarang ya? Duh, aku jadi ingat, bukankah siang tadi dia bilang memintaku untuk menemuinya kembali di Surau? Apakah sekarang dai sudah disana? Oh hujan, redalah.
Aduh, hahaha, aku kenapa ya? Kenapa juga aku harus begitu antusiasnya ketemu dia. Ga’ ahk, aku tidak boleh malu-maluin. Apalagi dia bilang mau bawa makanan banyak. Nanti malah dia bilang aku ga’ tahu malu. Ketemu dia cuma karena makan. Astaga!
Ajaib. Hujan perlahan-lahan mereda begitu hatiku berceloteh tentang dia. Tentang si pemilik alis tebal dan bibir indah. Si pemilik mata nakal dan akhh… apa sih???
***
Aku berdiri di depan rumahku yang lampunya sudah dimatikan. Hujan hanya tinggal gerimisnya saja. Apakah semua orang sudah terlelap. Dengan perlahan-lahan aku putar handle pintu. Kebiasaan! Jarang sekali pintu ini dikunci.
Baru saja aku akan mengendap-endap, tiba-tiba lampur nyala.
“Tom? Kamu sudah pulang?” aku tatap Bunda yang bangun dari tidurnya. Dia tidur di ruang tamu bersama Syaif. Aku mendekatinya. Bunda menarik tubuhku dan memelukku. “Maafkan Bunda!” isaknya.
“Tidak apa-apa, Bunda! Tomi ga’ apa-apa, kok!” aku berusaha menenangkan Bunda.
“Ya sudah, kamu ganti baju ya. Badan kamu dingin sekali. Wajahku kamu juga sangat pucat, Tom. Pasti kamu sangat lapar kan? Bunda masak enak untuk kamu!” Bunda mengusap air matanya. Akh Bundaku yang malang. Wajahnya terlihat letih. Kemana larinya senyum cantik Bundaku Ya Allah?
Aku segera menuju kamarku. Aku hendak menghidupkan lampu. Namun tidak jadi. Karena bisa-bisa kedua abangku itu bangun. Aku tidak mau cari perkara dengan mereka. Mereka terdengar mendengkur saling sahut-sahutan. Apa saja kerja mereka seharian ini? Sebegitu lelapnya mereka tidur. Sementara aku, sudah begitu lama tidak merasakan nikmatnya tidur.
Dengan cepat aku mengganti bajuku. Dan segera keluar dari kamar.
Di pintu, sesosok tubuh sudah menungguku.
“Hmm, ingat juga kau jalan pulang!” Papa berkata dengan pelan. Aku hanya menundukkan kepalaku. “Makan sana!” perintahnya. Aku segera meninggalkannya.
Di dapur aku duduk segera di kursi yang ada dekat meja makan. Bunda menyiapkan makan malam untukku.
“Bunda juga belum makan. Kita makan bareng ya?” Bunda tersenyum. Senyuman yang dipaksakan.
Aku makan dalam diam. Mencoba menikmati semua menu yang dibuat Bunda. Perutku terasa perih begitu nasi masuk ke dalam lambungku.
“Makannya pelan-pelan, nak!” Ujar Bunda sambil menaikkan sepotong ikan ke atas piringku. Entah kenapa, perlakuan Bunda yang seperti ini membuat mataku panas, dan sebulir demi sebulir, air mataku berjatuhan.
Aku terus makan sambil menangis tanpa mempedulikan tatapan kesedihan Bunda. Semua ini pasti akan berlalu. Dan aku pasti mampu melewatinya.
***
Ku tatap jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Mataku tidak bisa tidur. Sementara di sampingku, Bang Nanda masih mendengkur dengan hebatnya. Tumben-tumbennya mereka mendengkur seperti ini. Apa seiring bertambahnya usia, dengkuran seseorang juga akan semakin kuat? Aku tidak tahu kalau kedua hal tersebut saling berhubungan. Tiba-tiba Bang Nanda membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. Pahanya hinggap di atas pahaku. Sementara tanganku berada di dekat perutnya. Tergencet oleh sesuatu yang membuat jantungku berdebar. Apa ini yang menekan tanganku. Entah disengaja entah tidak, Bang Nanda sedikit demi sedikit menggesekkan bagian bawah perutnya itu ke pahaku. Dia yang cuma memakai sehelai kolor dan aku yang cuma mengenakan celana pendek merasakan sensasi aneh yang menyelubungi pikiranku. Rasa apa yang aku rasakan ini? Tiba-tiba saja ada sesuatu yang bergeliat di dalam celanaku. Aku malu. Dengan cepat ku dorong tubuh Bang Nanda. Aku segera bangun. Ada apa ini?
Aku segera keluar dari kamar. Tidak! Aku rasa ada yang aneh yang merasuki pikiranku. Ada sesuatu yang berusaha masuk dan menggoda hatiku. Tapi aku tidak tahu itu apa? Benda itu, terasa hangat dan kenyal. Bukankah aku juga memilikinya? Tetapi kenapa aku bisa merasakan hal yang berbeda ketika menyentuhnya. Aku harus waspada. Sepertinya sekarang ini sangat berbahaya untuk tidur dekat Bang Nanda. Dia seenaknya saja peluk-peluk. Apalagi dia tidur sering cuma menggunakan sehelai kolor saja. Tidak bermalu.
Lama aku terdiam di ruang tamu. Bunda dan Syaif sudah kembali ke dalam kamar. Papa sepertinya juga sudah tidur. Suasana malam ini terasa begitu hening. Gerimis hujan pun sudah tidak ada lagi. Cuma hawa dingin masih menusuk dengan kuatnya.
“Awas kau kalau tidak datang, aku datangi rumah Mamak kau!” kata-katanya itu kembali mengiang di telingaku. Tidak! Jangan sampai dia kesini. Aku tidak mau dia nanti melihatku disiksa dan dipermalukan oleh keluargaku sendiri. Tidak, dia tidak boleh tahu dimana rumahku. Walau kemungkinan itu sangat kecil. Tapi membuatnya datang kemari, hanya akan membuatnya menjauh dariku. Aku segera meraih kain sarung dan mengelumuni seluruh tubuhku. Selepas itu, aku segera keluar dari rumah dengan diam-diam.
Tidak menghabiskan waktu sepuluh menit bagiku untuk sampai di Surau. Surau terlihat gelap. Apakah dia ada disini? Apakah dia mau menungguku disini? Akh, bagaimana kalau dia tidak ada disini? Perlahan-lahan ku dorong pintu Surau. Suara berderit langsung terdengar.
“Dit?” ku panggil dia dengan pelan, “Adit?”
Diam dan sunyi. Hanya suaraku yang kembali memantul. Dia tidak ada disini. Aku kepedean. Mana mungkin dia bela-belain kesini. Belum lagi hujan. Hanya orang bodoh yang mau melakukan itu. Tiba-tiba saja aku sangat gelisah. Ada semacam perasaaan aneh yang tidak aku mengerti. Seolah-olah, perasaan rindu untuk bertemu. Apa sihhh??? Apakah ini yang namanya rindu? Tuhh, matanya, senyumnya dan candanya kembali menari-nari di ingatanku. Aduhhh, gawat ini! Maksudnya apa coba? Jangan sampai aku menarik kesimpulan kalau aku sedang jatuh cinta? Hahaha, masa’ sih? Tidak! Tidak mungkinlah, hahaha. Pikiran konyol apa ini?
Aku segera masuk ke dalam Surau. Memperhatikan di dalamnya. Hanya ruangan lepas. Tak ku lihat sosoknya. Sedih. Mungkin karena aku sangat berharap dia bisa menjadi temanku. Karena hanya dia yang benar-benar bisa membuatku tertawa. Walau aku tidak pernah membagi tawaku dengannya.
“Hoiii hantu kuburan? Kenapa sih ga’ keluar-keluar? Capek tau’ nungguin kau disini semalaman!” tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara seseorang dari kuburan sebelah. Hantu kuburan??? Siapakah itu yang bersuara. Suaranya sangat familiar. Dengan cepat aku mengintip dari jendela. Oalaahhh.
Seperti malam kemarin, aku melihatnya sedang duduk di pusara abadi Datuak Talanai. Ini anak benar-benar ga’ punya rasa takut. Dan hobinya itu aneh sekali. Kenapa begitu penasarannya dia dengan sosok hantu? Apa ada gunanya berteman dengan hantu.
“Oii Datuak! Keluarlah! Aku ingin bertemu!” terdengar lagi ocehannya. Tubuhnya masih terbungkus kain sarung hitam. Kuburan ini memang jauh dari pemukiman. Jadi sekeras apapun dia berteriak, tidak akan ada yang peduli. Karena orang akan mengira itu hanya jeritan dedemit penunggu kuburan. Aku gemas sendiri melihatnya. Jangan bermain api deh, nanti malah kebakar sendiri. Aku tidak mau ikut-ikutan.
“Datuak, temanku tak datang dia ke Surau ini. Padahal sudah janji nak ketemu. Tega sekali dia ingkar janji. Aku sudah bela-belain datang kesini. Masa’ hanya gara-gara hujan dia batalkan janji. Aish.. aishh. Jadi minta maaflah aku sama kau Datuak, kalau aku mengganggu kau tengah malam buta begini. Tak ada kawan yang bisa ku ajak berbicara malam ini, Datuak!”
Benar-benar sinting!
Aku tidak mau dia semakin gila. Dengan cepat aku keluar Surau dan bergegas ke samping kuburan.
“Oii urang gilo! Kau sudahilah bertapa kau tu! Mana makanan yang kau janjikan siang tadi? Aku datang nak nagih janji kau!” aku berteriak dengan penuh semangat. Ku lihat Adit terkejut, dengan cepat dia menoleh ke arahku.
“TOMIIIIIIII” teriaknya semangat.
“HAHAHA”
“Datuak, tak usahlah kau keluar! Temanku itu sudah datang! Terima kasih atas waktu dan perhatiannya. Sampai jumpa!” Adit dengan cepat berlari ke arahku.
“Datang juga kau, Tom?” dia menatapku dengan penuh haru. Apa sih? Ga’ harus sejenaka itu bola matamu itu. Aku pastikan wajahku memerah dipandangi seperti itu.
“Mana makanan yang kau janjikan?”tanyaku mengalihkan perhatian.
Dia diam dan terus menatapku.
“Kenapa mata kau bengkak? Kau menangis?” dia memandangku dengan tatapan menyelidik.
“Tidak! Aku baru bangun tidur. Tiba-tiba teringat janji dengan kau! Sudah, ayok kita ke dalam!”
Aku menarik tangannya dengan cepat. Namun Adit malah menarik tanganku dengan kuat. Membuatku terlempar ke dadanya.
“Dit?”
“Kau bohong! Siapa yang telah membuat kau jadi jelek begini?” dia memegang pipiku. Aku berdebar-debar. Nafas Adit terasa begitu hangat menyapu wajahku. Wajah kami begitu dekat. Kalau dia niat, bisa saja dia menciumku. Tapi tentu hal itu tidak mungkin. Aku sudah sinting. Gila.
“Aku… tidak apa-apa, Dit! Biasa begini kalau tidurku terputus. Sudah, masuk yuk, dingin nih!” aku segera meninggalkannya dengan cepat.
“Hei tunggu!”
Aku tidak mempedulikannya. Adit menutup pintu dan menghidupkan lampu setelah aku masuk duluan.
“Makanannya sudah habis, Tom! Kau kelamaan datangnya. Aku kira kau tak bakalan kesini! Besok aja ya, aku bawakan lagi. Tapi kau yang cepat donk datangnya. Ini sudah pukul setengah dua baru nongol!”
Aku tidak apa-apa, Dit. Melihat kau ada disini,, itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak berani mengungkapkan kata-kata itu. Karena aku sendiri tidak tahu pasti rasa apa yang sedang tumbuh di hatiku ini.
“Aku masih yakin kalau mata bengkak kau tu gara-gara menangis. Aku tidak mau Tom, kalau kamu disakiti orang lain!”
Aku mengerinyitkan dahi.
“Kenapa emangnya?”
“Karena kau tu kawanku! Siapapun yang berani menghajar kau, berarti berurusan denganku!” dia menepuk dadanya.
“Lagak kau, Dit!”
“Kau tak percaya?”
“Bukan tidak percaya! Lagian, untuk apa kau mati-matian membelaku! Kau kan tidak tahu siapa aku, Dit! Jangan terlalu cepat menilai!”
“Sudah! Tak usah kau ragu! Pokoknya aku tak suka melihat kau sedih! Melihat kau kemarin malam menangis selesai shalat, aku sangat yakin, kalau hidup kau tu banyak masalah! Benar kan?” Adit menyikut tulang rusukku. Membuatku mengaduh.
“Kenapa? Kau kesakitan gitu?”
“Sakit!” jawabku. Aku yakin ini memar yang diakibatkan tendangan Papa. Di kandang Sapi tadi aku sudah melihat memar yang cukup lebar. Sakit sekali kalau disentuh.
“Buka baju kau!” Adit tiba-tiba menarik bajuku. Aku dengan sekuat tenaga menahannya. Aku tidak mau Adit melihat bilur-bilur di tubuhku.
“Sakit Dit! Sudah! Aku tidak apa-apa!”
Percuma saja aku melawan. Melalui cahaya lampu dia memeriksa punggung dan tulang rusukku.
“Siapa yang melakukan ini, Tom?” ujarnya berbisik di belakangku. Dengan pelan-pelan dia menyentuh tanda memar-memar di tubuhku.
Aku hanya diam. Dan aku tidak akan mau memberi tahu Adit.
“Jawab, Tom!” sentaknya sambil membalikkan tubuhku. Terlihat kemarahan di matanya.
“Aku… jatuh, Dit!” jawabku sambil menundukkan kepala.
“Kau bohong lagi! Sudahlah! Tapi nanti kalau sampai aku tahu siapa yang telah melakukan ini sama kau, akan ku buat dia menyesal!”
Kau tidak akan mampu, Dit! Dan tidak akan bisa ikut campur dalam urusan keluargaku. Aku tersenyum menyadari semua itu. Ku pegang pipi Adit.
“Aku tidak apa-apa, Dit! Saat ini aku kesini cuma ingin menemui kau. Sudahlah, apa yang terjadi sama aku, bukanlah perkara besar! Sekarang kita tidur yuk! Tapi tolong, bangunkan aku subuh ya?”
Adit memegang tanganku. Dia menatapku dengan hiba.
“Kakakku pernah bilang, orang yang terlihat paling kuat, paling bisa dan paling mandiri, adalah orang yang sebenarnya paling rapuh! Saat ini aku tak akan memaksa kau tuk bercerita, Tom! Tapi kenapa kau mesti bangun subuh-subuh? Bukannya kau tak bersekolah?”
Aku kembali tersenyum. Dialek Adit memang berbeda. Sepertinya dia berasal dari daerah Jambi atau Pekanbaru.
“Aku mesti mencari rumput buat Sapiku, Dit! Kau sekolah besok kan?”
“Oalaahhh, ya udah! Besok ku temani kau cari rumput! Aku tu kena skor seminggu. Aku sekolah di Jambi! Kau taulah, aku ini orangnya tak penurut. Minggu kemarin aku menghajar ketua kelasku yang sok berkuasa itu! Hancur mulutnya aku hajar! Yahh gara-gara itu aku diskor!”
Aku terdiam memandangnya. Jambi? Jadi dia cuma seminggu disini? Ku rasakan ada rasa takut kehilangan yang tiba-tiba menyeruak di hatiku.
“Kenapa kau tiba-tiba sedih, Tom?”
“Jadi… kau cuma seminggu disini?” aku memastikannya. Dan anggukan kepalanya membuat semangat hidupku hilang sudah.
“Iya Tom! Tapi kau jangan sedih gitu! Nanti lebaran aku juga pulang!”
Mungkin kau tidak akan melihatku lagi, Dit!
“Hahah, aku tidak sedih! Cuma disayangkan saja, kita belum lama berteman, tapi sudah harus berpisah lagi. Haha, ya’ ga’ apa-apalah, Dit! Tapi kau jangan nakal-nakallah. Kau beruntung masih bisa sekolah! Aku harus pontang panting hanya sekedar mengisi perut!’
Adit menatapku sedih.
“Curhat kau, Tom”ujarnya yang membuatku tersedak. Makanya aku malas cerita. Tanggapan dia masa’ seperti itu. Bikin dongkol saja.
“Siapa yang curhat? Aku cuma nasehatin kau! Kau hargailah apa yang kau punya tu! Nanti disaat kau tak berada, mati dimakan cacinglah kau! Sial!” aku merungut dan memunggunginya. Dia gampang sekali membolak-balikkan emosi orang.
“Hahaha, kesal nih ceritanya?” dia menggelitik pinggangku.
“Apa sih Dit? Sudah, tidur sana! Sudah ngantuk aku!” padahal dalam hati aku berharap pagi tidak pernah datang. dengan begitu aku mempunyai banyak waktu dengan Adit. Menyadari kalau waktunya tidak akan lama lagi, kembali dadaku pedih. Kenapa sih aku harus bertemu dia? Disaat aku sedang bahagia-bahagianya berteman dengan dia, tiba-tiba dia mengatakan kalau waktunya cuma seminggu disini. Ohh ingin marah rasanya.
Adit melingkarkan tangannya dipinggangku. Nafasnya terasa hangat di kudukku. Membuatku meremang dan jantungku berdegup kencang.
“Aku sahabat kau, Tom! Dan beginilah caraku menyayangi sahabatku!” dia memelukku dengan erat, “Jangan pernah bersedih ya? Suatu saat aku akan kembali! Dan akan ku pastikan, kau akan selalu dalam perlindunganku!”
Janji! Sebuah janji telah dia ucapkan. Dan aku tidak akan pernah berharap dia mau memenuhi janjinya itu. Aku dan dia berada dalam usia yang sedang labil. Masih mencari-cari. Dan masih menduga-duga. Aku dan dia ini sedang melakoni apa? Masih begitu ambigu dan dipenuhi warna kelabu.