It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ok, gue nitip sandal jepit. Eh bukan, gue nitip BH berlobang. Freak!! Gue nitip mention aja kalau cerita ini di lanjutin. Ok??
Ok, gue nitip sandal jepit. Eh bukan, gue nitip BH berlobang. Freak!! Gue nitip mention aja kalau cerita ini di lanjutin. Ok??
Paging reader dari awal:
@3ll0
@cute_inuyasha
@Tsunami
@octavfelix
@sastrs
@adinu
@kaka_el
@arifinselalusial
@centaury
" Buat parfum bantal.", jawabku sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang masih melingkar di leher. Aroma sabun mint kesukaanku masih tercium segar.
Sam berbaring diatas kasurku, tadi aku berpisah dengan Angi setelah makan karena harus ke klinik perawatannya. Biasa, facial sama maskeran sama sepupu-sepupunya. Alhasil Sam dengan senyum lebarnya mengajakku -baca: memaksaku untuk pulang dengannya. Yah, jadilah aku duduk di dalam C Classnya.
"Mau makan?", tanyaku. "Kalau haus, ambil gelas di rak itu aja ya.", aku menunjuk ke arah rak stainless diatas sink tempat cuci piring. Sam mengangguk.
Aku berjalan kearah kulkas, ada post it dari Mas Regha. Wooo! Mama kirim Bandeng Presto sama Ayam Goreng Presto.
" Sam, mau bandeng presto?", aku bertanya setengah berteriak. Tidak ada jawaban dari si empunya suara.
"Sam?"
Aku berjalan kearah kamar dan mendapati Sam sudah terlelap. Aku menatap wajahnya. Masih menyimpan kenangan, aku mengamati bibirnya yang selalu dihiasi senyuman manis dan hangat. Aku kembali ke dapur. Memotong satu ekor bandeng menjadi empat bagian. Mengambil telur, mengocoknya lepas dan mencelupkan bandeng sebelum di goreng. Sepuluh menit kemudian aku sudah duduk manis dengan sepiring nasi dan sepotong bandeng. Happy food, happy tummy.
“Sam?”, aku menyenggol bahu Sam. “Pulang?”
Sam membuka matanya. Menyipit.
“Eh, kamu.”
“Kamu mau pulang apa gimana?”
“Jam berapa ini?”
Aku melihat kearah jam diatas pintu. 20.08.
“I better go.”, Sam bangun dari tidurnya. Tangannya masih menggamit tanganku. “Icak.”
“Hm?”
“Can we go tomorrow?”, tanyanya.
“Hmm ‘key.”
“I have something to tell you.”
“Oke.”
“Mau pipis.”, Sam memamerkan lesung pipinya lagi. Duh, tahan tahan.
*
Aku seringkali berpikir, apa yang membuat seseorang berkata iya saat ada yang melamarnya. Karena sudah sayang? Yakin kalo pacarnya itu ngga pernah selingkuh atau iseng main ke Alexis atau pesan “pemanis” buat semalam di hotel waktu business trip? Karena sudah dewasa? Yakin kalau beda pendapat bisa saling berpikiran adem tanpa emosi? Karena sudah yakin masing-masing bisa bertanggung jawab? Yakin kalau pasangannya ngga ninggalin anak orang yang nangis-nangis minta tanggung jawab karena sudah hamil? Ibu sempat kabur ke Los Angeles dengan pakde ketika dilamar oleh Ayah. Dua tahun Ibu di LA dan tidak pernah kembali hingga Eyang harus terbang kesana untuk menjemput. Dan apa yang Ibu lihat? Ayah menemani Eyang. Ayah tidak memikirkan keegoisan Ibu saat itu. Ibu juga tidak memikirkan hal negative melihat Ayah mengantar Eyang ke LA.
Pernikahan bagiku adalah salah satu hal yang sakral dan juga memiliki misteri. Aku mengingat beberapa lima tahun lalu ketika masih bekerja sambilan waktu masih kuliah di Bandung. Aku dan teman-temanku hampir setiap weekend selalu bekerja di acara pernikahan untuk tenaga catering. Iya, yang kamu sering suruh-suruh buat ngambilin makan, bawel nggak mau kulit di ayam panggan karena ngga mau ngerusak diet tapi masih ngantri di stall Nasi Kebuli dan Kambing Guling. Aku suka melihat bagaimana pasangan mempelai bersikap. Antara bahagia, capek, sedih dan juga hati-hati. Mungkin takut ada seselip dua selip bayangan masa lalu di pesta bahagia mereka. Drama apabila ada seseorang dengan lantangnya berkata bahwa mereka menikah bukan karena cinta namun karena kepentingan masing-masing. Si pria menikahi si perempuan karena sudah mengandung benihnya. Si perempuan menikahi si pria karena si pria adalah anak pengusaha kaya raya.
Aku dan Sam sedang berdiri di pojokan gedung pertemuan yang disulap menjadi tempat pesta pernikahan. Kental dengan budaya Jawa, didominasi warna maroon dan emas. Aku masih berkutat dengan sepiring Bistik Lidah dan Sam dengan Salmon Sashiminya.
“Lihat deh, itu teman basketku.”, Sam berbisik sambil melihat kearah kanan. Aku mengikuti pandangannya. “Gay, tapi dipaksa pacaran sama orang tuanya.”
“I’m fine with that, siapa tahu memang bisa kembali ke jalan yang benar?”
Sam terkekeh. “Apaan, setiap habis latihan dia selalu lama di loker. Ngapain? Ya ngesong sama cowoknya.”
Aku tersedak kentang goreng pendamping bistik lidah. Sam tertawa.
“I get you drink.”, Sam melangkah menuju stall minuman.
Aku mengamati orang yang ditunjuk Sam. Iya sih, bayangannya aja udah keliatan kalau dia gay. Maaf sarkas. Tangannya digamit oleh seorang perempuan dengan kebaya peach dan rambut model bob. Namun dari mimic muka mereka sepertinya sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Nih.”, Sam mengulurkan segelas jus.
“Thanks.”
“Doyan?”
“Apaan?”
“Sama dia?”
“Enggak.”
“Kamu lagi deket sama siapa?”
Aku diam. Memainkan mulut gelas. Sam tahu Hamish, namun Hamish tidak tahu Sam. Tapi kenapa aku kepikiran Hamish?
“Nggak ada.”
“Masa? Anak kantor? Anak kantor sebelah? Anak apartemen? Teman Mas Regha?”
Aku menggeleng. Aku mendapati Sam tersenyum.
“Pulang yuk, bosen.”, aku menaruh gelas jus di meja dekatku.
Sam mengangguk. Ia meraih tanganku.
Sedan hitam milik Sam membelah jalan Gatot Subroto. Teza Sumendra mengalun dari music player. Seperti biasa aku juga membelah langit malam lewat jendela samping. Menerawang. Lampu-lampu berbaur menjadi garis maya.
“Mau langsung balik?”, tanya Sam.
“Terserah. I’m free tonight. Mau ke apartemen?”
“Emang Mas Regha ngga ada?”
“Ada, tapi katanya tadi mau pergi. Kondangan juga.”
“Oh.”
“Sam.”
“Hmm?”
“Kita terakhir kali ketemu kapan ya?”
“Kemarin kan di Union.”
“Bukaaan, maksudku sebelum itu.”
“Hmmm… Pas wisuda?”
“Udah lama banget ya itu. Udah lima tahunan kan?”
“Iya.”
“Hidup berubah ya, Sam.”
“Hmm.”
“Ngga nyangka ketemu kamu lagi disini.”
“Percaya ngga sama yang namanya takdir?”
“Percaya ngga percaya.”
“Percaya ngga kalo aku emang ditakdirkan sama kamu?”
“Gombal.”
“Gini ya Cak, gimana ngga takdir coba. Aku waktu itu kaya disuruh masuk aja ke Union. Padahal, tadinya mau ke TWG.”
“Gombal.”
“Padahal aku udah dicegat sama hostessnya gara-gara udah penuh. Aku sih biasanya juga di bar, orang seringnya sendirian. Eh, ketemu kamu.”
Aku diam.
“Cak.”
“Hmm?”
“Kalau kita dikasih waktu buat bersama lagi, gimana?”
Aku dan Sam adalah college memories. Keadaanlah yang mengharuskan kami berpisah. Sam memilih untuk bekerja di Bali, sedangkan aku sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan operator hotel di Jakarta. Aku dan Sam terpisah jarak. Hingga akhirnya kami pun mengakhiri hubungan. Aku tidak menghubunginya lagi, vice versa. Pertanyaan Sam di mobil tadi masih terngiang di telingaku. Kini aku dan Sam sedang berada di dalam lift apartemenku, aku mengajaknya duduk di kolam renang, menikmati semilir angin. Bosan pergi ke café di mall atau hura-hura. Berbekal minuman dingin dari minimarket di basement, aku memilih duduk di lazy chair. Sam duduk disebelahku. Area kolam renang sudah tidak ada orang, hanya satu dua satpam yang berkeliling mengawasi lantai ini.
“Enak juga ya suasanyanya kalau malam gini.”, Sam membuka sepatunya dan memilih merebahkan tubuh di lazy chair.
“Iya, kadang kalau lagi suntuk aku suka banget kesini.”
“Suntuk?”
“Iya, kerjaan.”
“Oh. Kirain berantem sama pacar.”
“Norak ah.”
Sam tersenyum.
“I used to love you. But now, I don’t think so.”, aku menerawang menembus langit malam.
“Sorry.”
“No need to sorry.”
“Aku putus sama Vinny settelah di Bali. Kayanya dia tahu tentang kita. Aku ga nyangkal. Dan dia juga ngga nuntut aku dan kamu macem-macem. We are totally ok to break up.”
Aku hanya bisa diam. Sam tidak tahu bagaimana reaksi Vinny. Ia meneleponku. Bertanya apakah benar atau tidak. Ia menghapus dan memblok semua sosial mediaku. Ia menarik diri.
“No, you are not.”, aku berdiri. “You should go now.”
“Kenapa?”
Aku diam. Melangkahkan kakiku.
“Kenapa?!”, Sam bertanya setengah berteriak.
“Salah kalau aku berjuang untuk seseorang yang aku sayang?!”, Sam masih setengah berteriakm. Aku terus melangkah menuju lift. Menekan angka 39, unitku.