BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Antologi Vindra, Adrian, Cinta, dan Cita-Cita

1234689

Comments

  • @Sicilienne, yah gak seru kalau gitu mah. Hahaha, tp tenang aja, banyak sisipan yg gak diceritain dulu di VACC.

    @dafaZartin, oke bray. thanks dah baca.
  • Buruan yaa, di tunggguuu soon nya
  • wkawkwkwk oke kaka~ ;)
  • @earthymooned bagus lah kalo ada sisipan, biar seru dikit
  • Vindra serakah >:P
  • ini alvindra fahrezi penulis yg ada di blog tommy dulu?
    ya ampuun. pantesan pas mario mention kok gw kayak familiar sama judulnya. hahaha
    next mention ye. gw suka bgt nih. semua pas pis pus. okay!!
  • ini alvindra fahrezi penulis yg ada di blog tommy dulu?
    ya ampuun. pantesan pas mario mention kok gw kayak familiar sama judulnya. hahaha
    next mention ye. gw suka bgt nih. semua pas pis pus. okay!!
  • ini alvindra fahrezi penulis yg ada di blog tommy dulu?
    ya ampuun. pantesan pas mario mention kok gw kayak familiar sama judulnya. hahaha
    next mention ye. gw suka bgt nih. semua pas pis pus. okay!!
  • maap tripost. sinyal error. mau editpun gak bisa
  • Cerpen Dua
    PERSIMPANGAN

    Apa menariknya sebuah kota yang terletak di kaki gunung? Udara yang sejuk, bahkan dingin? Pemandangan alam? Pemandangan alam apa yang paling menarik? Hutan lindung? Sungai? Air terjun? Bagaimana dengan tebing?

    Itulah yang kunikmati saat ini, melihat cahaya lampu-lampu kota di bawah sana dari atas tepi tebing ditemani udara malam dingin khas pegunungan yang menusuk.

    Cuaca malam ini sangat cerah, rembulan bersinar terang, awan pekat jarang. Namun, mengapa tiada bintang terlihat dari sini? Polusi cahaya kota? Manakah yang lebih indah? Cahaya bintang? Atau cahaya lampu-lampu di kota itu? Bagaimana menurutmu? Cahaya bintang? Bukankah cahaya lampu-lampu di kota itu adalah daya tarik dari tempat yang kupijaki ini, tempat yang bisa memberikan penghidupan bagi puluhan keluarga di kota ini.

    “Dorrrrr!!!” seseorang berusaha membuatku terkejut dari belakang dengan menepuk kedua bahuku. Kurasa, aku kehilangan nyawaku sementara waktu. Rupanya Yola, pacarku. Dia asyik tertawa karena usahanya berhasil, mengejutkanku.

    “Bahagia, ya, berhasil membuatku terkejut?” cibirku.

    “Kau terlalu banyak melamun. Ada hal yang mengganggumu, Sayang?”

    Aku tidak menanggapi pertanyaannya. Ratusan detik berlalu dalam keheningan, sambil menikmati lukisan Tuhan Yang Maha Esa ini.

    “Sayang, apakah menurutmu kota di bawah sana indah?” tanya Yola kepadaku.

    “Ya, sangat indah. Kota itu berkembang cukup pesat. Sudah banyak gedung-gedung tinggi berdiri,” begitulah jawabanku.

    “Benarkah? Kalau begitu kau hanya melihatnya dari sudut pandang ini. Bukankah itu adalah sebuah kota yang panas, banyak polusi, dan rawan kejahatan?”

    Aku berasa diskak-mat oleh pertanyaan dan pernyataannya. Aku baru sadar bahwa dia sedang bermain analogi. Dan jawabanku barusan telah menjelaskan kepadanya bagaimana dangkalnya pola pikirku. Memalukan!

    Yola melanjutkan analoginya itu. “Manusia seringkali menginginkan apa yang ia anggap indah, dan mengejarnya. Padahal, apa yang ia anggap indah sesungguhnya belum tentu seindah yang ia pikirkan.”

    “Apa jadinya jika kau berlari mengejar kota itu dari sini? Jatuh di tebing ini, lalu mati. Begitu kan?” lanjutnya lagi.

    “Kita bisa melewati jalan lain di sana walaupun terasa jauh dan melewati jalan yang berliku. Bersabar, begitulah seharusnya manusia mengejar tujuannya,” jawabku dengan mantap. Dan aku sendiri merasa jawabanku itu muluk bagi diriku yang ambisius.

    “Bagaimana dengan aku? Apakah aku adalah tujuan yang akan dengan sabar kaucapai? Dan apakah kau yakin akan bahagia bersamaku?” hujam Yola kepadaku.

    Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Aku baru saja secara tidak langsung disadarkan oleh Yola, bahwa aku berada di dalam sebuah perjalanan dengan dua tujuan sekaligus. Saat ini mungkin berjalan searah. Namun, bukankah pada akhirnya aku akan menemui persimpangan?

    Bagaimanapun, aku mencintai gadis di hadapanku ini. Perlahan aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku akan menciumnya. Ia menutup kedua matanya. Sebentar lagi. Lima sentimeter lagi. Empat. Tiga. Dua. Dan…

    “Yola… Vindra… Ikan bakarnya sudah siap. Ayo makan!” seseorang memanggil kami sebelum kami sempat berciuman. Seseorang itu adalah Gina, teman sekelas kami.

    Aku dan Yola beranjak dari tepi tebing ke saung, tempat kami akan melaksanakan santap malam berempat.

    Acara ini dipersembahkan oleh Adrian. Semuanya untuk merayakan hari ulang tahunku. Aku mana punya uang sebanyak ini. Jika Adrian tidak memaksa, aku tidak pernah berpikir untuk merayakan hari ulang tahunku.

    Ini hanya sebuah malam di mana kami berempat menikmati makan malam di tempat wisata. Orang-orang menyebutnya kencan ganda. Namun, sebenarnya bagiku ini adalah triple date karena ada tiga pasangan di sini, Adrian-Gina, Vindra-Yola, dan… Adrian-Vindra. Lalu, kalian akan berteriak, “Apaaa!???” diiringi suara petir menyambar-nyambar.

    Iya, aku memang serakah telah memacari dua orang sekaligus, dan tidak bisa melepaskan salah satunya. Oh my ghost. Oleh karena itu, kukatakan barusan bahwa aku sedang berada dalam sebuah perjalanan dengan dua tujuan sekaligus.

    Sebelum kami menyantap hidangan, mereka memberiku ucapan selamat dan doa kepadaku, dan memberiku bingkisan kado, kecuali Adrian. Ya, Adrian berdalih kado untukku ketinggalan di rumahnya. Dan itu sukses membuatku kesal.

    “Yola, maafkan aku telah mengganggu acara ciuman kalian,” celetuk Gina kemudian menutup bibirnya dengan kedua tangan, berpura-pura keceplosan. Padahal jelas ia sengaja ingin menggoda kami.

    Aku hanya diam dan menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, sementara Yola sibuk memasang tampang mengancam ke arah Gina.

    “Oh ya? Berciuman seperti apa?” tanya Adrian. Ia menaikkan sebelah alisnya. Oh Tuhan, itu pertanda Adrian sedang marah.

    “Bibir ke bibir,” celetuk Gina lagi. Aku mengumpat dalam hati!

    Adrian tanpa basa-basi langsung mencium Gina di hadapanku. Di hadapanku, saudara-saudara! Hatiku serasa teriris-iris melihatnya. Aku langsung berpura-pura sibuk dengan makananku.

    “Seperti itu?” tanya Adrian setelah melepaskan ciumannya. Gina hanya menjawabnya dengan anggukan. Dia tersenyum sangat bahagia. Dan aku kesal setengah mati karenanya. Kekesalanku sukses terakumulasi.

    +++

    Gina dan Yola sudah diantar pulang ke rumah masing-masing oleh Adrian, sekarang giliranku. Namun, bukannya bergegas melajukan mobilnya menuju rumahku, Adrian justru menyalakan lampu kabin, dan memasang tampang seperti siap melahap daging-daging dalam tubuhku.

    “Mana ponselmu?” tanya Adrian.

    Aku memasrahkan ponselku kepada Adrian. Ia sibuk mengetik pesan. Entah untuk siapa. Aku berusaha mengintip, dia menutupinya. Akhirnya aku hanya bisa mendengus kesal menatap kaca samping mobilnya.

    Begitu Adrian mengembalikan ponselku, segera aku mengecek kotak terkirim dan menemukan pesan berisi, “Ayah, aku menginap di rumah Adrian malam ini.”

    Aku menatap kesal Adrian yang telah berbuat semena-mena. Namun, ia justru membalasnya dengan tatapan marah juga. Alisnya mengangkat sebelah, ciri khasnya. Aku justru bingung sendiri untuk apa Adrian marah? Bukankah aku yang seharusnya marah karena tiga kali sudah aku dibuat kesal?

    Akhirnya Adrian melajukan mobilnya menuju rumahnya. Dan kalian tahu? Adrian memacu mobilnya sangat kencang. Kuintip spidometernya, bahkan hampir mencapai 120 km/jam. Adrian kerasukan setan, segala sumpah serapahku hanya percuma, masuk ke telinga kiri dan langsung keluar dari telinga kanannya. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menutup mataku erat-erat. Aku tidak mau melihat apa-apa. Ya Tuhan, aku belum bertaubat kepadamu.

    Tiba-tiba mobil berhenti dan terdengar suara pintu mobil dibuka dan ditutup. Kulirik kursi kemudi, Adrian sudah tidak ada. Melihat keadaan di luar mobil, aku yakin berada di depan rumah Adrian, bukan di neraka. Aku menghembuskan nafas lega.

    Adrian membukakan pintu mobilnya untukku. Aku masih terdiam terpaku karena tidak tahu harus berbuat apa. Aku kesal empat kali, tapi Adrian pasti akan lebih galak lagi. Eh, tidak. Raut wajah Adrian terlihat menyesal.

    Dia menekan tombol sabuk pengamanku untuk melepaskannya dari tubuhku. Tubuh kami menjadi sangat dekat karenanya. Aku dapat merasakan hembus nafasnya. Dia mencium keningku dan memelukku.

    “Maaf, telah membuatmu takut,” ucap Adrian begitu manisnya. Aku hanya membalas pelukannya sebagai isyarat bahwa aku tidak masalah.

    Rumah Adrian begitu besar, bahkan untuk empat atau lima ekor brontosaurus. Rumahnya berisikan barang-barang mewah dan beberapa barang antik. Jika aku merusak satu barang saja, mungkin aku harus membayarnya dengan menjadi pelayan keluarga Adrian seumur hidup tanpa digaji.

    Ini bukan pertama kalinya kudatangi rumah ini. Aku sudah hapal betul semua nama pembantu di sini. Aku juga sudah menjelajah seluruh ruangan di rumah ini.

    Di dalam rumah sebesar ini Adrian tinggal sendiri. Hampir setiap harinya sunyi. Ayah Adrian memiliki dan mengelola perusahaan yang bertempat kedudukan di ibukota. Beliau hanya pulang ke rumah ini setiap akhir pekan, atau bahkan kadang tidak sama sekali. Ibu Adrian telah diceraikan sejak Adrian masih balita. Adrian pun tidak tahu alasan mereka bercerai. Ayahnya menutupi keberadaan ibu Adrian saat ini.

    Kota kecil ini adalah kampung halaman ayah Adrian. Aku sering bertanya-tanya mengapa Adrian tidak dibawa saja ikut ke ibukota? Menurut cerita Adrian, ayahnya hanya ingin melindungi Adrian dari pergaulan remaja ibukota yang kian mengkhawatirkan, sangat rentan bagi anak tunggal, lagi broken home seperti Adrian. Namun, aku ragu bahwa itu adalah sebuah “alasan”. Maksudku, kota kecil ini bukan tanpa masalah kenakalan remaja, bukan?

    Walaupun begitulah keadaan keluarganya, Adrian tidak tumbuh menjadi anak yang nakal. Aku sangat salut dengan ketegaran Adrian. Walaupun kesepian dalam hidupnya tak dapat ia pungkiri, Adrian cukup dewasa dalam berpikir. Ia mampu memahami keadaan, juga orang lain.

    Sudah cukup cerita tentang keluarganya. Kami sudah berada di dalam kamar Adrian yang terletak di lantai dua. Adrian langsung menyalakan home theater set-nya dan memasukkan sekeping CD ke dalamnya.

    Aku bertanya, “Apa yang akan kita tonton?”

    Dia menjawab, “Kado ulang tahunmu dariku.”

    Aku memperhatikan video itu seksama. Dan, wow! Video itu berisi pertunjukan slide dari foto-fotoku. Banyak di antaranya yang aku tidak tahu kapan foto itu diambil. Ternyata Adrian sering mengambil fotoku secara diam-diam. Beragam ekspresi tertangkap oleh kamera Adrian, mulai dari yang jelek hingga yang manis, ada tawa bahagia dan ada pula saat aku merenung menyendiri.

    Di akhir video, muncullah stop motion dari tulisan, “Kado ulang tahunmu bukanlah video ini. Kado ulang tahunmu adalah cintaku. Video ini hanyalah bukti cintaku padamu, bahwa aku peduli pada setiap detik hidupmu. Aku peduli akan tangis dan bahagiamu. Selamat ulang tahun, beb.”

    Usai video itu, aku menatap Adrian penuh makna. Aku merasa cintaku tumbuh semakin besar untuk Adrian.

    “Kau membuat ini sendiri?” tanyaku padanya.

    Adrian tersenyum dan menarik tubuhku. Aku tidak pasif. Aku tahu yang dia inginkan. Kami berciuman, bahkan saling melumat seisi mulut. Lidah kami berpagutan. Nyaman, menggairahkan. Itulah yang kurasa. Setelah kami puas aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena ia telah mencintaiku.

    +++

    Usai membersihkan sekujur badan, aku membaringkan tubuhku di samping Adrian di atas kasurnya. Adrian sudah bersih-bersih sebelum aku, dan mungkin dia sudah tertidur. Namun, ternyata belum. Menyadari kehadiranku, ia langsung memelukku. Kuubah arah berbaringku, sehingga kami berhadapan. Mata Adrian menutup, mungkin dia berusaha untuk tidur.

    “Belum mengantuk, honey?” tanyaku ragu.

    Ia membuka mata dan menjawab, “Belum, baby.”

    “Kau tahu, kado darimu sangat membayar. Padahal, kau telah membuatku kesal sebanyak empat kali. Pertama, kau bilang kadomu ketinggalan. Kedua, dengan teganya kau mencium Gina di hadapanku. Ketiga, kau meminta izin kepada ayahku agar aku dapat menginap di rumahmu tanpa seizinku. Keempat, kaukebut mobilmu dan membuatku hampir mati ketakutan,” ungkapku dan itu membuatku merasa lega.

    “Aku mencium Gina karena kau mencium Yola, babe,” cetus Adrian.

    Tentu saja aku tidak terima dengan penjelasan itu. “Tidak adil! Aku belum sempat mencium Yola.”

    “Mana kutahu. Kau tidak bilang.”

    “Baiklah. Lupakan saja.”

    Kemudian hening…

    “Masih ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Adrian. Ia memang pandai membaca ekspresi orang. Huh!

    Aku memang secara tiba-tiba menngingat Yola. Maka, aku menceritakan secara rinci analogi yang Yola sampaikan sebelum aku hampir mencium Yola. “Yola bertanya apakah dia adalah tujuanku? Apakah benar dia adalah kebahagiaanku? Aku merasa bahwa aku ini kurang ajar. Dia serius dengan hubungan ini, sementara aku bermain-main di jalan ini. Aku sudah tidak sanggup lagi meneruskan permainan ini.”

    “Jadi, kau ingin memilih aku atau Yola?” kejar Adrian.

    “Entahlah…” jawabku lemah. Lagi, alis Adrian naik sebelah dan menatapku tajam. Gawat, aku membuatnya marah lagi.

    “Sesulit itu? Pilih saja kado mana yang membuatmu merasa lebih bahagia? Jika kau memutuskan Yola, aku pun akan memutuskan Gina. Adil, bukan?” tegas Adrian.

    “It’s not that simple. Maafkan aku. Aku butuh waktu,” kataku tanpa berani menatap wajahnya.

    Tiba-tiba Adrian berbalik memunggungiku. Kupanggil dirinya beberapa kali dengan panggilan sayangku, tetapi tak ada sedikit pun suara jawaban darinya yang terdengar. Kuputuskan untuk tidur saja, lalu kubawa rasa sakit ini ke dalam alam mimpiku.

    +++

    “Begitulah keputusanku. Kau mengerti kan?” ucapku lemah.

    Entah perasaanku atau bagaimana, penyejuk udara mobil Adrian di minggu pagi ini terasa lebih menusuk dari biasanya, menusuk hati yang rumit ini. Ternyata seperti inilah rasanya menyakiti hati orang yang mencintai kita.

    “Kau yakin?”

    Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Setelah itu keheningan melanda, kami menatap satu sama lain.

    “Aku menghargai keputusanmu,” ucap Adrian yang kubalas dengan senyuman getir.

    Dengan gontai, aku keluar dari mobil Adrian dan segera pergi dari sana. Namun, Adrian mengejarku dan meraih tanganku. Ia memegang pergelangan tanganku dengan erat. Aku tak ingin berbalik badan karena aku bisa saja menangis saat ini juga.

    “Berjanjilah padaku, kau akan bahagia dengan keputusanmu!” kata Adrian. Kuacungkan ibu jariku sebagai jawaban “Ya.” Kemudian, perlahan ia merenggangkan genggaman tangannya, sehingga aku bisa berlalu.

    Selanjutnya, aku ada janji kencan dengan Yola. Dua menit lalu dia sudah berada di tempat. Maka, aku berlari kecil supaya tidak membuatnya menunggu lebih lama.

    Aku tiba di sebuah restoran, tempat yang kami janjikan. Sederhana, hanya makan siang bersama. Aku lantas menghampiri kursi yang telah ia tempati, lalu meminta maaf atas keterlambatanku, kemudian duduk tepat di hadapannya.

    Entah mengapa aku merasa hari ini dia sangat cantik. Terpesona. Sejujurnya aku rindu padanya setelah beberapa hari kemarin aku sempat menyendiri. Ya, aku menyendiri karena aku membutuhkan ruang untuk diriku sendiri. Menghindar dari konflik pililhan antara Yola atau Adrian. Namun, aku telah memutuskannya.

    “Bukankah aku selalu memintamu untuk membagi bebanmu kepadaku? Bukankah aku ini pacarmu?” begitu pertanyaan Yola yang membuatku tersadar bahwa sedari tadi aku hanya memain-mainkan sendok dan garpu, sementara yang kulahap baru sedikit.

    Aku ingin sekali mengatakan apa yang kurasakan saat ini. Namun, rasanya sulit mencari kata yang tepat. Tidak mungkin, bukan, mengatakan bahwa aku telah menyelingkuhinya? Aku akan tetap mengungkapkannya. Yang kuperlukan saat ini adalah mencari kalimat pembuka.

    “Sebenarnya, aku…”

    “…”

    “Aku…”

    “Katakan saja!” desak Yola.

    Aku menarik nafas untuk memberiku keberanian. Dan akhirnya aku berhasil mengatakan, “Aku sudah tidak memiliki perasaan yang sama seperti dulu lagi… kepadamu.”

    Setelah itu aku merasakan semuanya menjadi seperti efek slow motion. Yola juga perlahan berhenti menyantap hidangannya, meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Lalu, hening. Aku benci situasi ini.

    “Jadi, setelah kau putus dariku, kau akan berpacaran dengan Adrian?” tembak Yola.

    “Eh?” begitu kiranya reaksiku. Nyawaku seolah terangkat sekejap karena perkataan Yola. apakah Yola sudah tahu hubunganku dan Adrian. Bagaimana bisa…

    “Bercanda…” cetus Yola diiringi tawa, dan itu membuatku bernafas lega.

    Tunggu dulu! Yola tertawa, tetapi matanya menangis. Tubuhnya bergetar. Aku tahu ia pasti menahan tangis dan letupan emosinya sekeras tenaga. Dan aku merasa… merasa bodoh, jahat, apa pun itu.

    “Sebenarnya, cintaku padamu juga sudah tidak lagi sebesar dulu. Bahkan, sejak kau mulai menyendiri, aku juga telah mempersiapkan diriku untuk kemungkinan yang terburuk. Namun, tetap saja terasa sakit.”

    Aku berpindah tempat duduk ke sebelah Yola, kemudian memeluk tubuhnya. “Aku tidak tahu harus berbuat apa selain mengucapkan kata maaf sebanyak yang kubisa. Semua ini salahku.”

    Masih dalam tangis yang semakin deras, Yola berkata, “If you don’t feel it, you don’t feel it. Kau telah melakukannya dengan benar. Setidaknya itu lebih baik daripada kau selingkuh.”

    Perkataan Yola tadi membuatku merasa tertohok. Andai saja ia tahu bahwa aku juga berselingkuh darinya. Apalah dayaku? Penyesalan tiada guna.

    Ia memang dewasa. Sangat dewasa. Aku merasa tidak pantas untuknya.

    Begitulah akhir drama cinta antara Vindra dan Yola. Aku mengantar Yola hingga parkiran motornya. Di saat-saat seperti ini, Yola masih berbaik hati menawarkanku untuk mengantarku pulang. Namun, aku cukup tahu diri. Aku menolaknya dengan alasan ada keperluan lain.

    “Kita masih teman, bukan?” Pertanyaan konyol itu keluar dari bibirku.

    Ia mengangguk lemah, kemudian berkata, “Namun, aku butuh waktu untuk membuat segalanya menjadi normal, seperti dahulu,” kemudian berlalu.

    Aku terkejut melihat mobil Adrian terparkir di tempatku turun dari angkutan umum. Adrian langsung memintaku naik ke mobilnya. Aku menurut saja.

    “Aku merasa menjadi orang yang paling jahat di dunia. Aku merasa seperti iblis,” kataku pada Adrian.

    “Jika kau adalah orang yang paling jahat di dunia, aku sama jahatnya dengan orang yang paling jahat di dunia. Jika kau adalah iblis, aku juga iblis yang sama denganmu. Kita menghadapi ini bersama. Aku ada, berjalan di sampingmu,” begitu ucapan Adrian yang sukses menghiburku.

    “Aku sudah putus dari Gina,” aku Adrian. Aku terkejut. Secepat itu?

    Refleks, aku memeluknya dengan erat. Membagi bebanku kepadanya. Membagi bebannya kepadaku. Ia membalas pelukanku sama eratnya.

    “Kumohon jangan buatku menyesal atas keputusanku,” pungkasku.

    ~~~TAMAT~~~
  • wih update,, save dulu deh,, btw vin @earthymooned kok udah gk pake jasa @mariobros lg,, gk kemensen dong,, untung lg jalan2 di bf,,
  • What a drama,, so heavy for teens love,, tp bagus ceritanya,, terutama yg bagian ending,, gw sempat ngira klo vindra putus sm adrian,, eh ternyata sm yola,, dan entah knp gw gk simpati bgt sama romance yola-adrian,, yaiyalah secara gw itu gay,, hahaha,, semangat vindra-adrian,, ditunggu adegan ML-nya,, eh
  • @AgataDimas, sebenernya tadi jg mau mention juga. Cuma belum punya daftarnya, jadi harus bikin copast dulu satu2 username-nya. mana laptopnya lelet bgt, trs gw ulang dr awal lg pake tab. mentionannya telat. huhuhu

    tapi mulai sekarang, gw post mandiri. takut ngerepotin @MarioBros bgt. hehehe

    heh? adrian-yola? maksud lo adrian-gina? hehehe
    sama gw juga gak simpati sama pasangan ini. *plakkk

    iya, siap2 tisu. eh?
Sign In or Register to comment.