FOREWORDS
Penting! Mohon diperhatikan sebelum membaca!
“Vindra, Adrian, Cinta, dan Cita-Cita” merupakan karya pertama Vin dalam menulis cerita cinta sesama jenis. Cerita bersambung ini memiliki 5 part/chapter dan dirilis di sebuah blog yang sekarang entah bagaimana kabarnya. Berselang beberapa waktu, Vin merilis sebuah buah cerpen sekuel berjudul “A Cup of Adrianoz Chocolatoz”.
Di Boyzforum ini, Vin ingin menyempurnakan cerbung itu dari banyak sisi dan aspek, juga menyesuaikannya dengan gaya penulisan Vin yang sekarang. Alhasil, satu cerbung dan satu cerpen sekuel tersebut dirombak menjadi 5 judul cerita pendek yang tergabung dalam “Antologi Vindra, Adrian, Cinta, dan Cita-Cita”. Kemudian, Vin juga berencana membuat dua cerpen tambahan. Alhasil, akan ada tujuh cerpen secara keseluruhan, yaitu:
1. MANUSIA LEMAH
2. PERSIMPANGAN JALAN
3. (Belum Ada Judul) (Explicit Content)
4. (Belum Ada Judul)
5. A CUP OF ADRIANOZ CHOCOLATOZ
6. TIADA SESAL
7. TERSESAT
Gak tertutup kemungkinan, jumlah judul tersebut akan bertambah kalau ada ide lagi. Hehehe
Berhubung ada beberapa cerita yang belum selesai pengerjaannya, juga keterbatasan Vin dalam waktu luang, Vin mohon untuk bersabar. Tapi kalian gak perlu khawatir karena perlu dicatat bahwa ini bukanlah cerita bersambung. Setiap judul merupakan sebuah konflik utuh dengan alur yang lengkap. Jadi, gak perlu was-was menunggu kelanjutan ceritanya.
Beberapa catatan lain:
1. Karena gak bisa buka boyzforum via PC, Vin akan dibantu, dalam hal memosting cerita, oleh seorang teman yang juga penulis populer di boyzforum ini, Mario. Minta tag/summon ke dia aja.
2. Mohon, kritik dan sarannya. Satu komentar dari satu orang gak muluk kan sebagai bayaran seorang penulis amatir gratisan? Kritik terpedas di dunia itu bagi Vin jauh lebih berharga daripada silent readers. Seseorang butuh pujian dan masukan agar dia bisa lebih kuat lagi. Setuju kan? Hehehe
3. Untuk cerpen ketiga yang berisi explicit content tersebut akan dipost secara terpisah di Boyzstories+. Diharapkan yang berusia di bawah 18 tahun gak tergoda untuk membaca cerpen ini. Toh, setiap cerita tidak akan berpengaruh ke cerita lainnya.
Well, semoga tulisan Vin ini bisa menghibur kalian semua. Cekidot!!!
Comments
Dunia memanggilku dari alam bawah sadar. Terasa lemah tubuhku, terkulai di atas sebuah dipan. Satu hal yang kutahu, aku sedang berada di Ruang UKS. Bau khasnya menyeruak ke dalam indera penciumanku.
Tubuhku masih terbungkus dengan seragam olahraga. Kakiku disangga oleh tiga atau empat bantal, sama halnya dengan bagian bokongku dengan jumlah bantal yang lebih sedikit. Semua itu dirancang agar posisi kepalaku lebih rendah daripada tubuh dan kaki, sehingga peredaran darah lancar menuju otak.
Nyawaku sudah terkumpul sepenuhnya, aku merasakan sebuah beban. Ternyata seorang laki-laki, mengenakan seragam olahraga sama sepertiku, terduduk di samping dipan dan tertidur dengan bertumpu pada keningnya di atas punggung tangan kananku. Kepalanya menghadap ke arah lain, sehingga aku tak bisa melihat wajahnya.
Aku sedikit merasa tak nyaman. Sedikit ragu, kugunakan tangan kiriku untuk mengguncangnya agar ia terbangun. Aku ingin melihat wajahnya. Sekilas pandang dari rambutnya, ia tidak asing bagiku. Yah, apa salahnya jika aku memastikan?
Dia… Benar saja. Adrian terbangun. Hatiku seakan ingin meloncat lalu berdegup kencang karena melihatnya. Wajah kotak yang masih mengantuk itu terlihat lucu. Matanya yang masih memerah dan berkilau itu menyipit menahan silau. Kulit cokelat gelapnya selalu kusuka, sekalipun ketika aku masih membencinya.
Apa? Kalian bertanya padaku mengapa? Ah, itu seberkas kisah masa lalu. Aku malas menceritakannya.
“Kau ini pingsan atau tidur?” canda Adrian diiringi senyum manis yang khas.
Kutanggapi saja dengan tawa kecil, lalu bertanya kepadanya, “Kau meninggalkan pelajaran?”
“Apa boleh buat? Hari ini, petugas piket PMR baru bisa berjaga setelah jam istirahat. Bagaimana pun kau harus dijaga sampai kau siuman,” jelas Adrian.
Yah, berkomentar mengenai hal itu - memang aktivitas seperti OSIS dan PMR di sekolahku sangat dibatasi secara ketat oleh guru-guru. Sekolah ini memang sangat mendewakan bidang akademis, di atas apa pun, dan itu kadang merepotkan di saat-saat tertentu. Ah, ya sudahlah. Aku tidak begitu peduli.
Aku melirik jam dinding dan merasa bersalah kepada Adrian. Ini saatnya mata pelajaran fisika. Aku telah membuatnya tidak hadir dalam mata pelajaran yang diampu seorang guru luar biasa killer itu.
Adrian bisa membaca pikiranku, lalu berkata, “Kau tenang saja! Aku ini murid kesayangan Pak Kus,” sambil menepuk-nepuk dadanya dengan bangga. Wajah konyolnya itu membuatku terhibur.
“Belum sarapan?” tanya Adrian lagi.
Aku menggelengkan kepala. “Aku bangun terlambat pagi ini. Aku kira bisa membeli roti di kantin, tetapi terlalu panik, langsung masuk ke kelas, dan lonceng sekolah terlanjur berbunyi.” Begitulah penjelasanku.
“Kau tunggu di sini! Aku akan membelikanmu makanan.”
Adrian terburu meninggalkan ruang UKS sebelum aku sempat mengatakan tidak perlu merepotkannya. Ah, ya sudahlah. Lagipula aku memang lapar.
Jujur saja, aku tersentuh dengan kebaikannya. Memang Adrian selalu bersikap baik padaku. Apa? Kalian bilang ia mencintaiku? Bukan begitu. Dia memang baik dan ramah pada semua orang. Dia mau dan mudah berteman dengan siapa saja. Di mataku, itu adalah sesuatu yang keren. Semua itu hal yang jarang dimiliki orang sepintar Adrian, tidak ada dalam diriku, dan membuatku kagum padanya. Hanya saja karena egoku, aku sempat membencinya.
Ah, demi kerang! Demi alur cerita ini, tetap saja aku harus menceritakan tentang apa penyebab aku membenci Adrian, bukan? Baiklah, sekarang aku akan menceritakannya. Kalian bilang aku tidak konsisten? Terserah. Perhatikan saja ceritaku baik-baik!
Mengapa aku membenci Adrian? Karena Adrian adalah orang kaya.
Ada apa dengan orang kaya? Aku membenci mereka.
Mengapa aku membenci orang kaya? Ceritanya cukup panjang.
Alvindra Fahrezia kecil adalah seorang anak dalam sebuah keluarga yang berkecukupan, bahkan bisa dibilang berkemewahan. Ayahku menduduki jabatan yang cukup tinggi dalam pekerjaannya saat itu. Kami memiliki rumah yang bagus di sebuah kompleks perumahan dengan berbagai fasilitas dan benda berharga di dalamnya. Karenanya, aku juga bisa bersekolah di sebuah sekolah dasar favorit dengan biaya pendidikan selangit dan semua teman yang berasal dari keluarga berada.
Kemewahan hidup itu raib pada usiaku yang ke-7, setelah ayahku di-PHK dari tempat kerjanya. Baru di usiaku yang semakin dewasa, aku baru mengetahui bahwa fitnah adalah penyebabnya, selain krisis moneter yang melanda tanah air.
Mencari pekerjaan baru di perusahaan lain sangat sulit. Krisis moneter memaksa perusahaan-perusahaan memperkecil jumlah pegawai mereka agar biaya dapat ditekan. Di tambah lagi, usia ayahku sudah tidak bisa dibilang muda lagi, sementara tenaga kerja baru terus bermuculan dan dianggap lebih produktif.
Uang tabungan dan pesangon ayah semakin menipis guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan modal usaha kecil-kecilan ayahku yang tak kunjung berhasil. Satu per satu, benda yang ada di dalam rumah kami jual.
Di usiaku yang sudah remaja ini, aku menyadari bahwa saat aku kecil, aku adalah anak manja dan cengeng. Tanpa harta, mungkin aku hanya seorang anak yang menyebalkan bagi teman-teman sekolah dasarku dulu. Maka dari itu, setelah mereka tahu bahwa aku jatuh miskin, mereka memandangku rendah, tak ada lagi yang ingin berteman denganku. Seolah aku bisa menularkan virus kemiskinan kepada mereka yang notabene memang anak-anak dari kalangan atas. Seringkali mereka meledek ataupun mengintimidasiku. Dari sanalah tumbuh bibit kebencianku kepada orang kaya.
Kekecewaanku telah sampai di ubun-ubun saat mereka merampas satu-satunya harta berharga keluarga kami yang tersisa. Rumahku direbut oleh rekan bisnis ayahku berdasarkan putusan pengadilan. Lagi-lagi uang yang berbicara.
Di usiaku yang sudah mulai dewasa dan meninggalkan kepolosanku sedikit demi sedikit, aku juga baru sadar bahwa aku merupakan korban pedofilia. Rasa sakit yang kurasakan pada tubuh kecilku waktu itu adalah karena perbuatan keji yang dilakukan seorang anak SMA, tetanggaku. Dia bersikap baik dan memanjakanku dengan kekayaan orang tuanya, memanfaatkan kondisi ekonomi dan emosionalku. Aku menyesal pernah menganggapnya sebagai orang kaya yang baik, sampai-sampai aku tidak menceritakan perbuatannya kepada siapa pun.
Pikiranku dipenuhi oleh kebencian kepada mereka yang bertindak semena-mena pada aku dan keluargaku dengan harta dan tahta yang mereka miliki. Hal itulah yang membentuk tekad kuatku untuk menjadi seseorang yang sukses, bergelimang harta melebihi dari yang mereka punya.
Lalu aku akan menunjukkannya kepada mereka yang telah menginjak-injak keluarga kami, sampai mereka mau bertekuk lutut di kakiku. Untuk itu, aku belajar dengan keras untuk mengejar prestasi setinggi-tingginya. Dan orang kaya tidak boleh lebih pintar dariku.
Lalu ukuran apa bagi seorang kaya untuk kubenci? Tidak semua. Hanya yang tengil dan sombong, setidaknya menurutku.
Adrian? Dia tidak sombong, bahkan seperti yang kubilang, baik dan ramah pada semua orang. Namun, ia terlalu banyak menunjukkan kekayaannya. Aku bahkan tidak mengerti ia datang ke sekolah untuk belajar atau untuk bermain. Seragamnya menyalahi aturan dan selalu mengenakan aksesoris berlebihan, tidak jauh beda dengan aktor di sinetron-sinetron. Mungkin hanya dia yang berani seperti itu di sekolah ini karena dia murid kesayangan semua guru di sini.
Setiap hari, ia berangkat sekolah dengan sebuah mobil sport, yang ia belum puas dengan kondisi standarnya, ia modifikasi habis-habisan. Lalu gadgetnya seperti ponsel, pemutar musik, dan laptop yang seringkali ia jual dan menggantinya dengan yang baru. Uang baginya hanya seperti daun, tinggal petik dan buang.
Sudah kubilang, orang kaya tidak boleh lebih pintar dariku. Tentu saja itu berlaku juga untuk Adrian. Namun, semester pertama aku terlalu menganggapnya remeh sehingga Adrian mendapatkan peringkat teratas di kelas dan aku tepat berada di bawahnya. Aku frustasi dan meningkatkan level ambisiku. Dan kalian tahu apa hasilnya? Justru peringkatku jatuh di semester kedua, sedangkan Adrian tetap bertahan pada posisinya.
Jeda dulu ceritanya! Adrian sudah datang. Dia membawa sebuah mangkuk. Menghirup aromanya, sepertinya … Hmmm, bubur ayam! Bubur ayam kantin sekolah ini memang nomor satu. Aku tidak berlebihan!
“Nih…” Adrian mengarahkan sesendok bubur ke arah mulutuku.
“Aku bisa makan sendiri!” ketusku.
Akibatnya, Adrian langsung memasang wajah berlagak garang.
“Sudahlah! Jangan banyak protes!” bentaknya.
Akhirnya aku membuka mulutku dan bersiap mendapatkan suapan pertama dari Adrian. Namun, begitu aku siap untuk melahapnya, sendok itu justru menjauh dari mulutku dan masuk ke dalam mulut Adrian. Dia mengunyah bubur itu sambil memamerkan wajah konyolnya ke hadapanku.
Aku tercengang melihat sikapnya, setelah itu kuberikan dia wajah masamku, semasam yang kubisa. Ia meminta maaf, tetapi kubiarkan saja. Aku tak peduli.
“Aisssh, jorok! Itu bekas air liurmu!” komentarku saat dia menyodorkan lagi sesendok bubur ke depan mulutku.
“Apa-apaan kau ini? Air liurku tidak berpenyakit dan tidak bau. Teruji klinis! Kau coba saja!” bentaknya lagi.
Aisssh… Adrian adalah seorang pangeran dari negeri antah berantah. Maksudku segala keinginannya harus diikuti, walaupun dia cukup tahu diri bahwa keinginannya yang harus diikuti itu tidak boleh merugikan orang lain. Maka, kali ini pun harus kuikuti kemauannya.
Kali ini sendok itu benar-benar masuk ke dalam mulutku. Apakah ini yang disebut ciuman tidak langsung? Air liurnya dan air liurku menyatu. Apakah Adrian melakukan tadi dengan sengaja? Ah, apa yang aku pikirkan? Dasar, Vindra bodoh!
Ku perhatikan wajahnya dalam-dalam. Ia terlihat sangat gembira setelah aku mau menerima suapan darinya. Aku tidak paham apa yang dia rasakan. Ataukah aku hanya berusaha menepis harapan bahwa Adrian juga menyukaiku? Itu karena aku tidak tahu apakah Adrian sama sepertiku. Aku tidak berani berdelusi.
Lalu, kalian bertanya apakah aku masih membenci Adrian?
Setelah mendapatkan hasil rapot yang tidak sesuai dengan harapan, aku memutuskan untuk berdamai dengan hatiku sendiri. Banyak hal yang kupertimbangkan. Aku menyadari bahwa perasaan dendam hanya membuat hati ini tidak tenang. Ambisi yang dipenuhi nafsu juga tidak akan memberikan hasil yang terbaik. Aku terjebak ke dalam pikiran bagaimana caranya agar bisa mengalahkan Adrian, dan melupakan bahwa hakikatnya belajar adalah untuk memperoleh ilmu. Semestinya aku fokus untuk belajar.
Memusuhi Adrian secara sepihak juga kusadari tidak adil baginya. Adrian selalu berusaha mengakrabkan diri denganku, sementara aku memberikan respon negatif. Dan alangkah konyol diriku, menganggap seseorang sebagai saingan. Padahal seseorang itu tidak menyadari bahwa dia sedang berada di dalam persaingan yang kuciptakan sendiri. Kemudian, aku sendirilah yang terjatuh pada akhirnya. Ironis sekali!
Aku mengubah diri dan hatiku perlahan. Aku merasa lebih dewasa, merasa lebih damai, dan bisa merasakan perasaanku terhadap Adrian. Rasa yang selama ini tertutup oleh kabut kebencian. Atau mungkin lebih tepatnya rasa yang kututup-tutupi? Entahlah.
Selama menyuapiku, Adrian menceritakan kronologi saat aku pingsan tadi. Adrian mengatakan bahwa teman-teman sekelas panik melihatku hilang kesadaran. Mereka semua mengerubungi Ruang UKS, padahal aku butuh ruang yang besar untuk bernafas. Karena itu Pak Yatmo, guru olahragaku, marah besar. Adrian mempraktekan bagaimana Pak Yatmo berteriak,
“Keluar!” sambil mengibas-ngibaskan keras kedua tangannya.
Aku tertawa melihat Adrian mengimpersonasikan beliau.
Ia juga bilang sebenarnya tadi aku sempat siuman setelah aktivitas otakku dirangsang melalui indera penciumanku. Namun aku masih payah. Pak Yatmo berkata bahwa denyut nadiku sudah normal dan hanya membutuhkan istirahat, tetapi tetap perlu ditunggu. Cukup satu orang, dan tidak mungkin Pak Yatmo. Bagaimana pun kegiatan belajar-mengajar harus tetap berjalan, bukan? Maka, Adrian lah yang menawarkan diri.
Habis bubur, tibalah jam istirahat. Aku meyakinkan Adrian bahwa tubuhku sudah kuat. Kami keluar dari ruang UKS dan langsung bertemu dengan Yola tepat di depan pintu. Dia menyapaku dengan hangat, aku senang melihatnya di koridor ini. Dia berniat ingin menjengukku, tetapi ternyata aku sudah baikan.
“Terima kasih banyak, Adrian, kau sudah menjaga Vindra,” kata Yola dengan cerianya.
“Oh ya, aku juga belum sempat berterima kasih padamu,” sahutku cepat.
“Tidak masalah,” jawab Adrian dengan senyum yang dipaksakan. Atau hanya aku yang menganggap bahwa senyuman itu keterpaksaan? Lagipula haruskah Adrian terpaksa? Bangunlah dari mimpimu, Vin!
“Kau mau ke kantin, Sayang?” tanyaku pada Yola.
“Tidak. Aku tidak sedang bernafsu melahap apapun. Tapi aku mau menemanimu kalau ingin ke kantin.”
“Baiklah, kita ke kelas saja. Aku baru saja makan bubur yang dibelikan Adrian.”
Adrian pamit untuk meninggalkanku dan Yola setelah memberi alasan akan pergi ke kantin untuk mengembalikan mangkuk bubur ayam tadi. Sekilas aku terdiam menatap punggung Adrian yang berjalan menjauh dariku, tetapi Yola menyadarkanku dari lamunan agar segera berjalan menuju kelas.
Sambil berjalan, aku bertanya kepada Yola mengenai presentasinya. Dia berteriak lantang, “Sukses!!!” sambil bergaya sesemangat mungkin. Aku tertawa melihat tingkahnya dan mengacak-acak pelan rambutnya.
Pelajaran fisika tadi merupakan giliran Yola, bersama kelompok kerjanya, yang harus mempresentasikan materi di depan kelas. Jadi, aku memaklumi kalau bukan dia yang menungguiku di Ruang UKS. Aku justru merasa bersalah. Seharusnya aku memberikan dukungan dengan keberadaanku, tetapi aku justru pingsan.
Jika kau bertanya siapa gadis ini, dia adalah pacarku. Kurang lebih, ini adalah bulan keempat kami bersama. Dia adalah seorang gadis yang unik, setidaknya menurutku. Aku suka kulitnya yang kuning langsat, tubuhnya yang mungil, rambutnya panjang dan lurus, wajahnya manis dan tidak membosankan di mataku, juga sifatnya yang penuh semangat, ceria, cerewet, dan humoris. Sangat mengimbangiku yang cenderung pendiam dan tertutup.
Tibalah aku di ruang kelas yang aku cintai dan aku banggakan. Hehehe. Di dalam ruang kelas ini, tinggallah 27 orang siswa yang bagiku mereka semua hebat, terutama dari bidang akademik.
Sekolahku ini menyelenggarakan tiga program kurikulum, yaitu kelas reguler, kelas standar internasional, dan kelas akselarasi. Sementara program akselarasi memungkinkan siswa untuk mendapatkan ijazah SMA hanya dalam waktu dua tahun saja, sedangkan kelasku menjadi kelas percontohan menuju sekolah bertaraf internasional.
Tentu saja, mengikuti program kelas ini bukan hal yang mudah. Dua puluh tujuh siswa kelasku dan delapan siswa kelas akselarasi telah dipilih melalui serangkaian seleksi, telah dipilih yang terbaik dari yang terbaik. Karena itu, kelasku tidak akan mengalami perubahan formasi siswa setiap kenaikan kelas seperti halnya kelas reguler. Artinya, kedua puluh enam orang itu adalah teman sekelasku sampai lulus nanti.
Setelah mengganti seragam olahragaku dengan putih-abu di toilet, aku kembali ke kelas dan duduk di samping Yola, meminta penjelasan tentang materi yang ia presentasikan tadi.
Sebenarnya aku sudah mempelajarinya. Aku hanya ingin memperhatikan gaya berbicaranya, juga gestur tubuhnya. Menurutku lucu. Apalagi saat dia bingung sendiri dengan penjelasannya.
“Sayang, kau payah! Lari pemanasan, baru dua putaran sudah pingsan,” cerca Yola kepadaku setelah aku menyudahi pembahasan materi. Dia tertawa lantang.
Aku berlagak memasang tampang cemberut, “Aku tidak sarapan. Dan semalam aku tidak makan juga. Kau tahu itu?”
“Ya, kau tidak sarapan dan berhasil membuat orang-orang repot. Aku panik melihat warna bibirmu yang sangat pucat, teman-teman juga, dan Adrian harus menggendongmu ke UKS.” Jelas Yola dengan nada bercanda, tanpa bermaksud buruk kepadaku.
Aku terbelalak, “Adrian menggendongku? Kau serius? Seorang diri?”
Jujur saja, itu berarti sesuatu bagiku. Aku merasa hatiku berdesir mendengar Adrian menggendong tubuhku yang pingsan. Aku harap pertanyaan dan ekspresiku tidak terdengar dan terlihat aneh bagi Yola.
Dia mengangguk, “Aku juga tidak mengerti. Kau itu kan berat,” ledek Yola lagi.
Aku mencebikkan bibirku, Yola bergelayut manja di lenganku. Aku mengusap rambut hitam, panjang, dan lurusnya - bertepatan saat Adrian masuk ke ruang kelas. Dia menatap sendu ke arahku dan Yola. Apa maksud tatapan itu? Apakah dia cemburu? Pada siapa?
Aku menjauhkan tubuh Yola secara halus. “Sebentar ya, Sayang. Aku ingin membayar utangku pada Adrian.”
Yola hanya mengangguk, sementara aku mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan dari dalam tasku. Kemudian mendatangi tempat duduk Adrian.
“Adrian, ini ganti uang bubur ayam tadi.” Kataku menyodorkan uang kepada Adrian sambil tersenyum semanis mungkin.
“Tidak perlu!” jawab Adrian datar.
Aku sedikit memaksa, “Tapi aku tidak enak merepotkanmu.”
“Sudah kubilang, tidak perlu!!!” bentak Adrian memukul meja belajarnya, kemudian berlalu meninggalkanku keluar ruang kelas.
Aku tidak mengerti sikapnya dan hanya bisa terdiam mematung.
+++
Waktu terus berjalan tanpa lelah, dan terasa sangat cepat bagi manusia lemah sepertiku.
Beberapa hari setelah hari di mana aku pingsan saat jam pelajaran olahraga, aku harus dikejutkan dengan kemesraan antara Adrian dengan Gina. Bukan hanya aku, teman-teman sekelasku juga baru mengetahui hubungan mereka. Sepertinya tak ada tanda-tanda kedekatan mereka sebelum hari itu. Ah, benar saja! Mereka mengumumkan bahwa mereka telah resmi berpacaran.
Berhari-hari aku terus bersabar, meski di dalam hati ini cemburu sudah mengaduk-aduk segenap perasaanku. Layakkah perasaan ini, sementara aku sudah memiliki Yola?
Sampai suatu hari aku benar-benar tidak tahan dengan mereka berdua. Saat itu sedang jam istirahat, semua teman-teman sekelasku sedang jajan di kantin kecuali Adrian dan Gina. Sialnya lagi, Yola tidak masuk sekolah karena sakit. Aku terpaksa tetap tinggal di kelas karena tidak membawa uang jajan dan harus melihat kemesraan Adrian dan Gina di meja guru.
Ku tutup mukaku dengan buku tulis, berpura-pura membaca catatanku. Padahal aku sedang menyembunyikan ekspresi kecemburuanku.
Aku berharap mereka enyah dari sana. Aku ingin pergi ke toilet, tetapi aku benci kalau harus melintas di depan mereka. Namun, mereka justru semakin betah dengan canda tawa mereka, sedangkan kandung kemihku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
Terpaksa aku harus berjalan melewati shooting adegan sinetron episode ke-782190368291789 itu. Adrian tersenyum melihatku yang sedang berjalan mendekatinya. Aku membalas senyuman manisnya dengan menjulurkan lidahku, lalu menggembungkan pipi di hadapannya sambil berjalan melewati Adrian. Untung saja Gina sedang melihat ke arah lain, jadi ia tak melihat tingkah konyolku saat itu.
Usai membuang hajat kecil, aku membuka pintu toilet dan mendapati Adrian tepat berada di hadapanku. Belum cukup keterkejutanku akan kemunculan Adrian, dengan cepat ia mendorongku masuk lagi ke dalam bilik.
Adrian mengunci pintu kamar mandi, menghidupkan keran air, dan mendorongku ke sisi dinding kamar mandi dan menahan tubuhku dengan tubuhnya. Semuanya ia lakukan dengan begitu cepat.
Sempat aku meronta karena aku pikir Adrian akan membunuhku atau hal buruk lain yang terjadi. Namun aku salah. Adrian memberikanku kecupan lembut di bibirku. Mataku terpejam menikmati ciuman Adrian.
Meskipun kami hanya menempelkan bibir satu sama lain, ada sebuah energi aneh yang merasuk ke dalam tubuhku. Kebingungan, nikmat, bahagia, senang, haru, dan perasaan-perasaan lain - semua bercampur menjadi gairah tersendiri. Seolah membebaskan perasaanku kepada Adrian yang selama ini terkekang di dalam hati.
Setelah beberapa detik, Adrian melepas kecupannya dan berbisik mendesis di dekat telingaku, “Aku mencintaimu, Vin.”
Dengan tinggi badan yang hampir sama, dia bisa menatap lurus ke arah mataku. Aku melihat matanya begitu sendu dan meneduhkan. Aku terhipnotis. Aku suka tatapan matanya yang membuatku lumpuh dan tidak bisa berkata sepatah kata pun. Tubuhnya masih lekat menahan tubuhku pada sisi dinding.
“Aku sangat menyukai segala tentangmu, Vin. Aku sakit saat kau menghindariku. Aku bahagia saat kau mulai hangat kepadaku. Aku sangat cemburu melihatmu bersama Yola. Aku tak bisa melepaskanmu dari pikiranku. Aku bisa gila karenamu. Tidak! Aku memang sudah gila karenamu,” lanjut Adrian.
“Haha. Jangan bercanda! Ini tidak lucu, jelek.” kataku lagi mencari keseriusan dari Adrian.
“Aku serius. Bersumpah demi apapun.”
“Hey, kau baru saja berpacaran dengan Gina!” bentakku.
“Aku tahu kau mencintaiku bahkan saat kau menghindar dariku, matamu tidak bisa menutupinya. Jangan mengelak lagi! Semua reaksimu terhadap Gina memperjelas semua. Gina menyatakan perasaannya kepadaku malam itu, dan aku memanfaatkannya untuk memastikan bahwa kau sebenarnya juga mencintaiku. Egoku juga ingin kau merasakan sakit yang aku rasa ketika melihatmu dengan Yola. Maafkan aku jika caraku salah. But, would you like to be my boy?”
“Jadi, kau memanfaatkan Gina untuk … aisssh!! Kau gila!!!” hardikku pada Adrian. Dia memang jahat dan pantas untuk mendapatkan hardikanku.
“Aku sudah bilang kalau aku sudah gila karenamu. Karena itu, asal aku bisa mendapatkanmu, apa pun caranya akan kulakukan, Vin. Please, be mine!”
Sangat dilematis bagiku. Aku berpikir keras dan lama. Kemudian berujung pada sebuah pertanyaan, “Bagaimana dengan Yola dan Gina?”
“Pikirkan saja dulu dirimu sendiri! Apakah kita harus berkorban lebih lama lagi?”
“Gina dan Yola, kita bisa pikirkan nanti.” Adrian meyakinkanku sekali lagi.
Aku masih berada dalam dilemaku. Namun, entah setan apa yang telah mendorongku untuk memeluk tubuh Adrian, lantas mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Ia menyambutnya dan membelai rambutku dengan lembut. Aku membuang segala ragu dalam pelukannya.
Aku memang manusia yang lemah untuk menolak kuasa cinta. Sebenarnya, aku juga terlalu lemah untuk melihat orang lain tersakiti. Yola? Selama dia tidak tahu tentang hubunganku dengan Adrian, maka tidak akan ada masalah, bukan? Yang pasti aku belum siap melepas Yola.
Cinta adalah egoisme, keinginan untuk memiliki. Apakah salah jika aku ingin memiliki, baik Yola maupun Adrian? Rakus? Ya, mungkin seperti itulah diriku. Tidak salah jika kalian menghakimiku seperti itu.
Dalam peluknya, aku mengatakan bahwa aku sangat bahagia. Adrian melepaskan pelukannya dan menatap mataku lagi. Ia berkata akan membuat hari-hariku berikutnya selalu bahagia seperti hari ini. Lalu menciumku di kening dan bibirku.
“Kembali ke kelas?” tanya Adrian, dan aku menjawabnya dengan sebuah anggukan tanda setuju.
Seperti yang kubilang, yang kurasakan hanyalah bahagia saat itu. Aku lupa daratan. Mengenai Yola dan Gina adalah bagaimana nanti saja. ‘Bagaimana nanti saja’ adalah sebuah mind set dari para remaja labil pada umumnya. Dan aku adalah salah satunya.
Pengkhiatan memang menodai kesucian cinta, tetapi esensi dari cinta lebih penting bagiku. Aku tulus mencintai mereka berdua. Kan kuberikan perhatianku, baik kepada Adrian maupun Yola. Aku hanya bisa berharap dapat menjalani hubungan dengan keduanya tanpa seorang pun yang terluka pada akhirnya. Walaupun kutahu, semua itu mustahil.
+++
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo
lebih baik kasih tindakan tegas aja. yang mana yg lebih dicintai, kalo begitu caranya makin banya pihak yg sakit looh..#sok bijak...hehe
Di sini -> DELUNE'S: Cara Mengakses & Membuka Situs Yang Diblokir (2014)
http://adelune.blogspot.in/2014/11/mengakses-situs-terblokir-2014.html?m=1
Aku dah coba dan sukses
#bookmark
#bacananti
Thx dan mention @MarioBros
dan apa lagh itu "Berdelusi" A' @MarioBros
Kak Vin @earthymooned
apa ya? Ceritanya uda bagus, tapi aku lg gak mood baca. Bahasanya kaya anak ff ya? Tipe2 bahasa terjemahan tapi nyampur bahasa non formal. Tipe cerita deskriptif susah-gampang buat praktek ke cerpen sih ya, tergantung penyampaiannya juga. Dan ini agaknya penjelasan-penjelasan per objek, misal, tokoh aku, ceweknya, kelas, cowoknya malah mengundang kepo dan niatan yg bisa jadi cerbung. Ya, kalo aku bilang, agak mengurangi kepadatan dan konsistensi bercerita.
Ada beberapa pengulangan kata di tiap paragraf, dan itu agak mengganggu.
Tubuhku masih terbungkus dengan seragam olahraga. Kakiku disangga oleh tiga atau empat bantal, sama halnya dengan bagian bokongku dengan jumlah bantal yang lebih sedikit. Semua itu dirancang agar posisi kepalaku lebih rendah daripada tubuh dan kaki, sehingga peredaran darah lancar menuju otak.
Mungkin kalau di edit dikit jadi : (kakak banyak pake kata 'ku' untuk kepemilikan walau di awal udah dijelaskan itu memang udah ada.
Tubuhku masih terbungkus dengan seragam olahraga. Kaki disangga oleh tiga atau empat bantal, juga bokong dengan jumlah yang lebih sedikit. Semua itu dirancang agar posisi kepala lebih rendah daripada tubuh dan kaki, sehingga peredaran darah lancar menuju otak.
Dan sebenernya kalimat pertama dan kedua agak kurang berkoherensi (bener ga?).
itu aja deh. Jadi keterkaitan dan hubungan per paragraf agak kurang dikit. Dan kesannya agak bertele-tele /ups/ dan ending yg bisa ketebak. Oneshot emang baiknya twist ending. Ya kalau gak twist, sebaiknya agak wow.
Enah, semoga membantu. XD ya, meski aku gak tau bener apa engga pendapatku. Jangan lupa self editing. Meski (kayanya) buat dari hp (aku juga kok) aku usahakan editing dulu dan minta beta reader. Juga agak efektivitas kalimat dan paragraf. Kalau masi nyambung, paragraf mengandung banyak kalimat gapapa kok.
Aduh, panjang banget. Yaudah. Makasih. Moga berkenan. /bow/
@AgataDimas hahaha mana bisa gw bikin cerita misteri kayak @MarioBros. Cuma temen ketemu di BF kok. Ya TTM gitu lah, teman tapi mesum. Eh?
@kristal_air kita lihat aja nanti vindra labil bisa tegas apa enggak. Thanks udah comment anw.
@Ts_no_YanYan, thanks infonya. Next time dicoba.
ka Vin sukaaa~~
pen baca yg eksplisit .-.
ka Mario buat yg eksplisit juga dong hehehee~~
thx udah mensen ka Rio