It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara @coniostring1
×××°•••°°•••°×××
"HAHAHAHAHA!!!! HAHAHAHAHA...!!!!!"
Aku terpaku menatap Irvin yang terpingkal-pingkal di hadapanku. Dia sampai ternungging-nungging sambil memegangi perutnya. Rasanya aku ingin sekali menginjak-injak wajahnya yang tertawa sampai merah padam itu.
Aku menarik nafas panjang, dan menghembuskannya dengan kesal. Kesal sekaligus lega.
Tadi itu rasanya seperti sudah kejatuhan meteor saat Irvin berseru "Tapi bohoong!!".
Kukira dia serius menembakku. Aku kesal karena dia sudah mempermainkan perasaanku. Rasanya dunia jungkir balik kalau aku sampai jadian dengan Irvin!!
Manusia yang susah serius seperti Irvin itu, lebih pantas menjadi sahabatku saja. Meskipun sebagai seorang gay, tak bisa kupungkiri, aku selalu menelan air liurku kalau melihat bodinya yang menggiurkan itu.
Tak cuma aku!
Aku yakin, semua gay diluar sana pasti akan kebanjiran air liurnya sendiri kalau melihat Irvin bertelanjang dada dihadapan mata mereka.
"Maaf Maaf... Aku guyonan thok, Hid. Ojo nesu..." Irvin meminta maaf sambil memelukku.
Ugh! Kalau Irvin sedang memelukku begini, yang ada di kepalaku, selalu saja aku membayangkan Kak Tiki yang memelukku. Kalau saja Irvin punya tinggi badan yang sama seperti Kak Tiki, dan Irvin memelukku seperti sekarang aku pasti akan mendadak pingsan deh.
"Bauuukkk...!! Pasti belum mandi!" aku mendorong tubuhnya agar menjauh.
Aku tidak mau Irvin melihat jendolan di bagian depan celanaku. Sebenarnya aroma tubuhnya tidak bau seperti yang kukatakan. Justru, aroma tubuhnya membuatku meledak dalam sensasi aneh yang baru pertama kali kurasakan, setiap kali hidungku menangkap aroma tubuhnya itu.
Makanya, sebisa mungkin aku tidak mau dekat-dekat dengannya. Aku tidak mau khilaf seperti saat aku tidur bersama Kak Tiki.
Kekhilafan yang kulakukan dulu, masih membuatku takut. Walaupun pada akhirnya Kak Tiki kembali menyapa dan dekat denganku seolah peristiwa itu tidak pernah terjadi, tapi aku tetap saja merasa... kalau akulah penyebab Kak Tiki lebih memilih Bang Zaki.
Orang secerdas dia, pasti akan memilih pasangan yang setara dengan dirinya. Atau mungkin lebih dari dirinya sendiri. Ya Bang Zaki itulah orang yang paling beruntung. Sudah bisa menaklukkan Kak Tiki.
"Hiiid... Wahiiiddd... Kamu kenapa? Marah ya? Kecewa ya kalau aku cuma guyon? Awakmu naksir aku tho Hid?"
"Rupamu Vin! Ojo GR!" (Mukamu Vin! Jangan GR!) kuusap wajah Irvin dengan kedua telapak tanganku. Dan mendorongnya agar menjauhiku.
Kemudian aku bangkit menuju lemari pakaian. Kubuka, lalu ku ambil sebuah handuk.
"Handuk yang kamu pakai tadi pagi, ada di jemuran tuh. Ambil sana! Aku mau mandi duluan" kataku.
Kututupi bagian depan celanaku yang sedikit menggembung. Untung saja aku memakai celana jeans. Jadi tidak akan terlalu terlihat. Tapi ya tetap saja aku tidak nyaman dibuatnya.
Satu-satunya jalan, aku harus lepaskan hasrat ini!
Di kamar mandi!!
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Mau kemana Hid?" tanya Irvin saat melihatku membuka pintu kamar dan mengenakan sandal.
"Mau ke kamar Bli Akhza. Tadi ada yang belum beres" jawabku. "Wes kono, ndang adhus! Nek wes ngantuk, ndang turuo disek. Awakmu kan sesuk melebu esuk seh" (Udah sana, cepet mandi! Kalo udah ngantuk, tidur aja duluan. Kamu kan besok masuk pagi) kataku panjang lebar.
"Suwi gak?" (Lama gak?) tanya Irvin lagi. Bukannya berjalan menuju kamar mandi, Irvin malah menghampiriku.
"Opo'o?" (Ada apa?) Aku bertanya heran. Irvin meraih pergelangan tanganku. Seolah mencegahku untuk pergi.
"Aku arep nyilih henponmu" (Aku mau pinjem handphone-mu) jawabnya lirih. Padahal cuma ada kami berdua. Meskipun dia berbicara dengan nada suara normal, Ibu tidak akan mungkin mendengar suara kami. Selama tidak teriak-teriak, Ibu tidak akan mendengar kami pokoknya.
"Mau telepon?" tanyaku.
Irvin menggeleng. Wajahnya mendekat. "Mau liat bokep" jawabnya lirih.
"Viiin... Kuotaku lagi terbatas. Jadi gak bisa browsing, streaming, atau pun download bokep" kataku sambil menepuk pipinya.
"Lah... Nang njero henponmu gak onok bokep blas, a?" (Lah, di dalam handphone-mu gak ada bokep sama sekali?)
"Yo onok Vin. Tapi bokep adu anggar kabeh. Gelem tha awakmu?" (Ya ada Vin. Tapi bokep pedang-pedangan semua. Emangnya kamu mau?)
Irvin terlihat berpikir. Ia memainkan jenggot tipis di dagunya itu. Herannya aku masih diam saja. Menunggu.
Entah apa yang aku tunggu.
Aku menghela nafas setelah menunggu beberapa menit. Irvin masih belagak berpikir. Dan aku masih menunggu. Seperti orang gila saja kalau menghadapi manusia satu ini.
"Cuk! Suwene!!" (Njing! Lama banget!!) Aku berujar kesal seraya menyentil jendolan di celana pendeknya.
Tak kupedulikan Irvin yang mengaduh kesakitan di dalam kamar. Sementara aku berlalu meninggalkannya.
Saat sedang membuka pagar, aku melihat ada motor yang berhenti di depan pagar rumah kos. Rupanya Kang Opal. Kamarnya terletak di lantai dua. Disebelah bekas kamar Bang Akbar. Kang Opal itu nama aslinya Nauval, tapi semua orang lebih suka memanggilnya dengan sebutan Opal. Dia baru tiga bulan kos disini. Ibu bilang, Kang Opal itu kerja di Hotel. Sebagai Security. Tapi dia juga bekerja sambilan sebagai driver ojek online yang sedang marak saat ini. Hanya dia lakukan di waktu senggangnya saja.
'Lumayan untuk uang tambahan', kata Ibu menirukan perkataan Kang Opal.
"Baru pulang Kang?" Aku menyapanya usai menutup pagar rumah Ibu, kemudian menghampirinya. Kubantu ia membukakan pagar.
"Iya nih. Makasih Hid... Baik banget kamu ya" ujarnya sambil mendorong masuk sepeda motornya dan memarkirkannya di deretan parkiran motor. "Kok belum tidur?"
"Iya nih. Mau liat Bli Akhza... Tapi kayaknya... Orangnya udah berangkat kerja" aku menjawab setelah mengetuk beberapa kali pada pintu kamar, tapi tidak ada jawaban. Aku pun sempat mengintip dari jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Bisa kupastikan Bli Akhza sedang tidak ada di dalam kamar.
"Hid... Suka donat?" Kang Opal bertanya padaku sambil mengangkat bungkusan di tangannya. "Tadi ada orang pesan delivery, eh... ternyata fiktif" lanjutnya dengan wajah masam.
"Tapi saya lagi gak bawa duit Kang" jawabku.
Kasihan kalau mendengar ucapannya. Karena ini bukan sekalinya dia mengalami orderan fiktif. Dulu dia pernah sampai mau menangis saking jengkelnya. Karena makanan yang dipesan dari sebuah restoran ternama di kawasan Kuta itu, mencapai ratusan ribu.
"Kamu doyan donat, kan?"
"Doyanlah Kang"
"Yaudah. Yuk ikut Akang aja sini. Kita habisin di kamar Akang"
"Asiiikkk... Makasih Kang..." aku segera menghampiri Kang Opal yang sudah berdiri di anak tangga menuju kamarnya.
Kang Opal menyilahkanku masuk ke dalam kamarnya yang lumayan berantakan. Sementara Kang Opal sedang melepaskan atribut seragam ojek online yang ia pakai, aku mencoba menyibukkan diri dengan merapikan seprei kasur juga sarung bantal dan gulingnya.
"Duduk sini aja Hid. Maaf jadi ngerepotin kamu nih ngerapihin kasur Akang" ujarnya memintaku duduk di sebelahnya.
"Gak pakai baju dulu Kang?" Tanyaku saat melihatnya hanya memakai celana dalam saja. Padahal aku sengaja merapikan kasurnya karena untuk menghindari pemandangan menggiurkan itu.
Menggiurkan? Yah... Mungkin karena saat ini, aku sedang memiliki hasrat kearah itu.
"Enggaklah. Panas. Nih liat. Akang masih keringetan" Kang Opal menjawab dan mengusap badannya dengan handuk kecil.
"AC-nya gak di nyalain aja Kang?"
"Enggaklah. Gak kuat. Mendingan angin sepoi-sepoi aja. Hehehehe"
Mataku tertumbuk pada jendolan di bagian depan celana dalamnya. Bukan di box berisi deretan donat yang ia letakkan diantara pahanya yang putih mulus itu. Rasanya aku sampai sulit menelan liurku sendiri.
Ya ampun!!! Ada apa dengan hari ini???
Hari ini Bli Akhza membuat hatiku carut marut! Subi membuat jantungku berdebar keras seperti habis lomba maraton lantaran tanpa isyarat apapun ia menembakku! Lalu Irvin yang usil sampai nyaris membuatku memuntahkan jantungku lewat mulut!
Sekarang malah si Kang Opal seolah sedang menguji nyaliku!!! Nawarin donat diantara selangkangannya!! Apa dia mau bolongin donat pake perkakasnya itu???
Dia gak tau sih, tadi itu aku tidak bisa melampiaskan hasratku di kamar mandi, lantaran Irvin berulang kali mengetuk pintu kamar mandi. Adaaaa aja kelakuan manusia satu itu!! Makanya tadi aku sampai nyentil jendolan di bagian depan milik Irvin.
"Malah bengong... Ambil Hid" Kang Opal berujar sambil mengunyah donat coklat.
"Takut Kang"
"Takut kenapa? Gak usah khawatir... Gak di racun kok"
"Takut salah comot" ujarku sambil mengambil donat yang letaknya berdekatan dekat jendolan di celana dalam abu-abu yang ia pakai. Jaraknya lumayan dekat. Sekitar satu jengkal tanganku.
"Puahahahahahahaha.... Ada-ada aja kamu Hid..." Kang Opal menyahut sambil menggenggam jendolannya sendiri.
"Lagian Akang kalo mau pamer, gak usah nanggung. Lepas aja sekalian. Nanti saya foto sekalian. Hehehehe" aku berujar sambil belagak mengarahkan kamera handphone ku kearah selangkangannya.
Selang beberapa menit, aku hanya sanggup menghabiskan tiga buah donat dari satu lusin donat di dalam box. Kan Opal tidak menentukan aku harus menghabiskan berapa banyak. Mungkin karena ini bukan pertama kalinya dia memberikan jajanan padaku. Sejak awal dia tinggal di kosan ini, Kang Opal memang tipikal orang yang selalu membagi-bagikan makanan. Ke siapapun yang ia temui.
"Kang... Makasih ya donatnya. Saya balik dulu" kataku usai mencuci tangan di wastafel yang ada di dekat pintu kamar mandi.
"Ini sisanya bawa aja Hid. Sayang kalau kebuang" ujar Kang Opal sambil menutup box donat dan membungkusnya ke dalam kantong plastiknya lagi. "Udah... Bawa aja. Lagian Akang udah makan lima biji. Udah kenyang" paksanya saat ia melihat gelagatku yang ingin menolak pemberiannya.
"Makasih Kang... Lain kali, kalo saya ada rejeki lebih, gantian saya yang traktir" kataku sambil menepuk lengannya yang gempal itu. "Jangan lupa mandi dulu Kang. Lengket nih badannya" aku melanjutkan sambil mengelap tanganku ke celana dalamnya di bagian pantatnya yang bundar itu, karena lengket terkena keringat Kang Opal.
"Dasar! Main pegang-pegang pantat Akang seenaknya" Kang Opal mencubit pipiku dengan gemas.
"Dari pada megang yang depan, nanti bisa gawat" aku menyahut.
"Pegang aja kalau berani. Asal siap tanggung jawab!" Balasnya dengan nada mengancam di iringi seringai mesum yang terlihat lucu.
Duh! Aku jadi heran sendiri. Kenapa aku jadi sebinal ini!? Sekelebat saja aku langsung membayangkan kejadian yang tidak-tidak.
"Hahahaha...." aku tertawa saja mendengar ucapan Kang Opal. Kalau kata Kak Taka, ini namanya ketawa garing. "Gak siap tanggung jawab saya, Kang. Saya pulang! Wassalam..." Aku berujar sambil buru-buru keluar dari kamar Kang Opal. Menuju kamarku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"APA?!"
Dengan gesit aku langsung menutup mulut Kak Zulfikar. Dan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirku.
"Ssshhhhhhh...!!!"
"Ups! Maap... Hahahaha!!" Kak Zulfikar tertawa setelah menyadari dirinya tadi teriak kaget usai mendengarkan ceritaku tentang peristiwa yang terjadi kemarin.
"Trus gimana? Elu mau nerima Subi? Atau mau pikir-pikir dulu?" Ia bertanya dengan suara lirih. Kami sempat celingukan, khawatir orang-orang di dalam warung mendengar. "Atau elu mau ngincer Irvin aja?"
Pertanyaan Kak Zulfikar yang terakhir membuatku menyemburkan es jeruk yang baru saja mau kuminum. Kak Zulfikar terpingkal sambil menepuk pundakku.
"Atau tetangga lu yang Security cap kancut itu aja. Kayaknya dia mancing elu tuh. Kalo ngedenger cerita lu barusan"
Kali ini aku terbatuk dibuatnya. Kak Zulfikar tertawa lagi melihat tingkahku. Seolah dia bahagia sekali bisa menggodaku.
Aku lega, hari ini bisa juga aku, untuk pertama kalinya curhat dengan Kak Zulfikar. Tadi saat aku datang, karena aku datangnya siang, Kak Zulfikar langsung menyeretku ke belakang. Setelah sebelumnya ia meminta maaf tidak merespon SMS yang aku kirim padanya sehari sebelumnya.
"Ngomong-ngomong, Kak Tiki gak kerja hari ini?" tanyaku setelah sempat mengamati situasi di dalam Warung, dan tidak melihat tanda-tanda kehadiran Kak Tiki.
"Dia masih di Jakarta. Dan..." Kak Zulfikar mendekatkan wajahnya di dekat telingaku. "Tolong jangan ngebahas ataupun nanya soal Tiki. Kesiapapun!! Terlebih ke Taka!" ia melanjutkan sambil berbisik.
"Ada apa memangnya Kak?"
"Gak usah dipikirin. Nanti juga bakal tau sendiri" jawabnya.
Justru, dengan Kak Zulfikar berujar seperti itu, aku malah jadi kepikiran. Biar bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi dengan Kak Tiki, aku tetap...
"Udaahh... Sekarang fokus kerja aja" Kak Zulfikar menepuk-nepuk pundakku. "Tadi udah makan siang, Hid? Kalo belum, tuh gue tadi iseng bikin karedok. Kali aja elu mau nyicip"
"Tadi udah makan di rumah. Tapi... Aku pengen nyobain... Apa tadi namanya?"
"Karedok. Itu kesukaannya Taka. Tadi gue sengaja bikin banyak. Buat kalian semua disini"
"Kayak apa tuh Kak?"
"Cari di Mbah Gugel" Kak Zulfikar menyahut sambil mencubit pipiku, kemudian meninggalkanku yang masih mengaduh kesakitan.
Hmmmm... Aku masih penasaran. Bukan dengan karedok yang Kak Zulfikar tawarkan padaku. Tapi pada Kak Tiki.
Apa mungkin dia sedang ada masalah di Jakarta? Sampai aku tidak di perbolehkan bertanya atau pun membahas tentang dirinya.
Saat aku sedang menikmati hidangan karedok yang beberapa menit lalu di sajikan oleh Kak Zulfikar kepadaku, mataku menangkap kehadiran Subi. Baru saja aku melihat ia mengemudikan motornya melewati jalan di samping Warung. Pastinya menuju parkiran khusus untuk kami yang terletak di belakang Warung.
Sedang asiknya menikmati karedok buatannya, Kak Zulfikar mendadak berdeham lumayan keras. Lalu bersiul-siul. Tapi ia berlagak tidak menatapku. Melainkan sedang pura-pura menyibukan diri.
"Eh! Subi... Tumben jam segini udah dateng" Kak Zulfikar menyapa Subi yang berjalan masuk dari pintu belakang. Hmmmm... Aku tau nih. Alamat! Bakalan kumat lagi usilnya Kak Zulfikar!
"Iya Bang. Hari ini pulang cepet"
"Udah maem Bi?" tanyaku pada Subi. Dia duduk disebelahku. Sambil tersenyum padaku, ia menggelengkan kepalanya. "Kak Zulfikar bikin banyak karedok tuh. Nih cicipin dulu. Takutnya kamu gak suka" kuarahkan sendok berisi sayuran yang sudah kuaduk dengan sambal kacang ke mulut Subi. Tidak banyak. Karena aku takut dia tidak suka makan sayuran mentah.
"Enak... Kayak gado-gado ya Mas?"
"Gado-gado kan setengah mateng. Kalau ini sayurannya masih mentah. Enggak di kukus dulu macam gado-gado" Kak Zulfikar berujar menjelaskan. "Ngomong-ngomong, kalian kapan jadian?"
Mataku terbelalak dibuatnya. Sementara Kak Zulfikar asik senyum-senyum kearah kami sambil menyangga dagu dengan kedua telapak tangannya diatas meja kasir.
Aku sampai tidak berani menengok kearah Subi. Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat ini.
Mataku sempat melirik kearah Irvin. Dia sedang berbicara dengan salah satu pembeli, yang kebetulan memang sudah menjadi langganan tetap disini. Tapi Irvin tidak bisa menyembunyikan gerak gerik kalau dia sedang mengambil posisi untuk mendengarkan jawabanku.
"Kalian serasi, tau gak?" Kak Zulfikar berujar lagi. "Tenang aja... Gue bukan Taka, yang hobi minta traktir kalo liat ada temennya jadian. He-He-He!"
Refleks aku memutar mataku dan terkekeh sendiri setelah mendengar ucapan Kak Zulfikar barusan.
Aku bangkit dan berjalan ke dapur. Kuambil kursi lipat yang biasa di pakai untuk mengambil sesuatu dari lemari kabinet yang sering kali sulit dijangkau. Kursi lipat itu bukan kupakai untuk kupijak. Tapi kupakai untuk duduk. Aku meneruskan makanku di depan kulkas, dan menyandarkan punggungku ke dinding.
Subi menyusulku. Dia jongkok di sebelahku. Kami berdua hanya diam. Tak satupun yang memulai pembicaraan. Tapi aku bisa merasakan tatapan matanya. Saat aku meliriknya, "Buka mulut" kataku. Subi langsung membuka mulutnya tanpa membantah. Kusuapi dia dengan karedok yang tadi lumayan banyak diambilkan oleh Kak Zulfikar.
"Kemarin... Kamu serius, Bi?" tanyaku akhirnya. Dengan mulut penuh sambil mengunyah, kulihat bibirnya di tarik berlawanan arah. Ia tersenyum. Dan mengangguk. "Kalau misalnya... Kita jalan... Tapi aku hatiku belum mantap, apa kamu mau...?"
Subi melebarkan matanya diiringi anggukan cepat berulang kali. Aku pun tanpa sadar ikutan tersenyum.
"Tapi status kita belum jadian ya Bi... Aku mau kita jalani pelan-pelan. Karena aku enggak mau nyakitin kamu" kataku.
"Iya Mas... Aku paham..." Subi tersenyum lebar. Matanya itu. Menatapku penuh bintang.
Kupejamkan mataku. Wajahku menunduk. Dan bibirku tersenyum.
Ingatanku kembali pada kejadian saat aku menginap di loteng rumah Subi. Dimana saat itu aku tidak bisa tidur sama sekali akibat ulah Subi yang memelukku erat. Membuat dadaku berdebar kencang. Sementara Subi sendiri malah tidur dengan pulasnya.
Saat kubuka mataku, bisa kulihat Subi yang menutupi senyumnya menggunakan kedua telapak tangannya. Bisa kulihat semburat merah di pipinya. Dan saat mata kami bertemu pandang, Subi terlihat tersipu malu.
Subi? Yang biasanya terlihat kalem. Yang biasanya susah ditebak isi kepalanya itu. Sekarang terlihat sekali kalau dia sedang bahagia.
Sayangnya, melihat kebahagiaan di wajah imut Subi, malah membuatku merasa bersalah.
'Pelan-pelan Hid... Ini juga salah satu cara untuk melupakan dan membuang cinta yang selalu bertepuk sebelah tangan', kataku dalam hati. Aku berkata pada diriku sendiri.
'Mungkin dengan hadirnya Subi, ia bisa mengobati luka di dalam hatimu, Hid. Lihat sendiri kan? Betapa bahagianya Subi saat kamu memberikannya kesempatan untuk memilikimu. Bahkan sebelum resmi jadian pun, Subi terlihat sudah memberikan hatinya padamu. Baiknya kamu menjaganya baik-baik. Seperti halnya yang selalu kamu inginkan selama ini.'
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Teringat pada saat itu
Tertegun lamunanku melihatmu
Tulus senyumanmu
Sejenak tenangkan
Hatiku yang telah lama tak menentu
Rasa sepi yang telah sekian lama
Selimuti ruang hati yang kosong
Perlahan tlah sirna
Bersama hangatnya
Kasihmu yang buatku percaya lagi
Dan ku akui
Hanyalah dirimu
Yang bisa merubah segala
Sudut pandang gila
Yang kurasakan tentang cinta
Yang selama ini menutup pintu hatiku
Yang kini tlah kau buka
Disaat ku sudah lelah mencari
Disaat hati ini tlah terkunci
Kau datang membawa
Seberkas harapan
Engkau yang memiliki kunci hatiku
Dan ku akui
Hanyalah dirimu
Yang bisa merubah segala
Sudut pandang gila
Yang kurasakan tentang cinta
Yang selama ini menutup pintu hatiku
Yang kini tlah kau buka
Tiada kata yang mampu
Utarakan betapa indah
Ijin kan ku tuk selalu
Berada disampingmu
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
maksudnya uoloadin lg disiniii, hehehe. *ditonjok karena banyak maunya
Males nyarinya... Soalnya selalu OnLine pake hp
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara @coniostring1
×××°•••°°•••°×××
Ada yang bilang, Cinta bisa merubah karakter seseorang. Mungkin benar.
Kenapa aku bilang mungkin? Karena aku merasa tidak ada karakter dari diriku yang berubah. Dan kenapa aku katakan mungkin benar? Karena aku melihat beberapa perubahan pada Subi.
Subi yang biasanya pendiam. Tak banyak bicara. Yang aku tau, dia selalu terlihat lebih dewasa di bandingkan denganku, beberapa hari ini terlihat beda.
Dia jadi sering tersenyum. Wajahnya yang selalu terlihat lelah dan terkadang pucat, akhir-akhir ini terlihat selalu bercahaya. Aura yang ia pancarkan terlihat menyenangkan.
Terlebih saat kami sedang berduaan. Subi selalu lengket seperti perangko yang melekat pada permukaan amplop. Kalau aku datang ke rumahnya, meskipun sedang ada Lingga, tangannya seolah tak pernah mau melepasku. Kalau tidak diletakkan di pahaku, pasti ia letakkan di lenganku. Atau ia lingkarkan pada pinggangku.
Saat Lingga pergi ke toilet, Subi pasti merebahkan kepalanya di bahuku. Atau merebahkan kepalanya di pangkuanku.
Atau, kalau ia sedang asik bermain game, Subi akan memintaku melebarkan kedua kakiku. Kemudian dia duduk dihadapanku. Ia tak sungkan menyuruhku memeluknya dari belakang.
Akan beda halnya saat ia yang memelukku dari belakang punggungku. Subi yang meletakkan dagunya dipundakku, seringkali tertidur dan tetap memelukku dengan sangat erat. Kalau aku sudah memintanya agar rebahan, dia akan melakukannya tanpa harus mengulangi permintaanku itu. Dan pada akhirnya aku akan menginap di kamarnya.
Ia tidak akan melepaskan genggaman tangannya. Entah itu di kaos atau kemeja yang kupakai. Atau mencengkram erat salah satu jemariku. Subi tidak akan ragu menyembunyikan ekspresi kecewa kalau aku bilang aku akan pamit pulang.
Kalau sudah seperti itu, pilihannya hanya dua. Aku menginap. Atau aku mengajaknya menginap di rumahku. Sejauh ini Subi sudah tiga kali menginap di rumahku. Dan karena dia tidak membawa sepeda motor, maka aku yang merasa bertanggung jawab untuk mengantar dan menjemputnya dari sekolah.
Kak Zulfikar pernah bertanya padaku, apakah aku merasa nyaman? Iya, aku nyaman. Apakah aku suka, dengan Subi? Tentu. Selain karena Subi itu anak yang baik dimataku, aku jadi suka memanjakannya. Kalau ia menginap di rumahku, aku tanpa sungkan akan menyuapinya makan.
Ibu tidak akan banyak bicara. Malahan, Ibu cepat sekali akrab dengan Subi. Ibu selalu menyambut hangat kedatangan Subi. Apalagi setelah Ibu tau kalau Subi selalu sendirian di rumahnya, maka Ibu yang akan memaksanya untuk menginap disini.
Pertama kali aku menyuapi Subi terjadi saat kami sedang makan, dan kehadiran Bli Akhza yang menunjukkan reaksi yang bisa dibilang membuat Subi merasa tidak nyaman. Ibu sampai mengusirku dan Subi agar melanjutkan makan di kamarku saja. Terlambat semenit saja, aku bisa membayangkan Bli Akhza akan meledak.
Apakah aku merasa nyaman dengan situasi seperti itu? Tentu saja tidak. Aku sama sekali tidak akan pernah merasa nyaman. Aku masih perang dingin dengan Bli Akhza. Tapi jangan sampai melibatkan siapapun, termasuk Ibu. Aku yakin batin Ibu sudah sangat tersiksa mengetahui dan melihat anaknya yang seperti ini. Aku tak mau Beliau makin stress gara-gara menyaksikan sifat kekanakan yang dilakukan Bli Akhza.
Kalau saja dia tidak berbohong, dan tidak mengkhianati kepercayaanku, pasti saat ini kami masih akan baik-baik saja.
Dan karena perbuatan Bli Akhza juga, aku jadi bisa merasakan pengalaman memanjakan orang yang terlihat sangat menyayangiku sepenuh hati. Seperti yang sudah Subi lakukan padaku.
Jangan tanyakan, apakah aku sudah merasakan tumbuhnya benih cinta di dalam hubunganku dengan Subi ini. Aku sendiri belum tau pasti.
Masalahnya, aku selalu deg-degan tiap Subi berada di dekatku. Rasa ini sama persis seperti yang aku selalu alami setiap kali berdekatan dengan Kak Tiki. Menurutku pribadi, lelaki gay mana yang tidak deg-degan kalau di peluk cowok secakep Subi? Walaupun pengetahuanku tentang dunia gay sendiri masih sangat minim, tapi aku yakin, Subi pasti termasuk cowok populer di sekolahnya.
Apalagi, seingatku, Subi pernah jadi ketua OSIS. Yang aku tau, bukan cuma modal otak encer saja untuk mendapatkan banyak suara saat menjalani pemilihan OSIS. Aku memang sekolah di Pondok Pesantren, tapi bukan berarti aku tidak tau sama sekali dengan sekolah umum diluar Pondok. Karena kalau di Pondok sedang ada libur, aku kadang juga pulang ke rumah Eyang. Disana aku bertemu dengan beberapa saudara sepupuku, juga beberapa teman mereka, yang rata-rata bersekolah di sekolah umum. Dari mereka, aku tau sedikit banyak tentang apa saja yang terjadi di sekolah masing-masing. Misalnya saja saat pemilihan anggota OSIS itu tadi. Meskipun pintar, dan berprestasi, kalau tidak populer, ya tidak akan terpilih.
Maka dari itu, tidak salah kan kalau aku punya pikiran Subi termasuk cowok yang populer di sekolahnya?
"Mas..."
Aku menoleh mendengar panggilan Subi. "Kenapa Bi?"
"Mas enggak jenuh ya? Di kamarnya Mas, enggak ada tivi. Atau pun radio"
"Aku enggak suka liat tivi, Bi... Lagi pula kan di rumah utama, sudah ada tivi" jawabku. Aku menggeser dudukku. "Kamu jenuh ya?"
"Enggak juga..."
"Enggak juga itu tandanya kamu jenuh. Iya kan?"
"Beneran Mas. Aku enggak jenuh. Cuma..."
"Cuma apa?"
Subi meraih tanganku, untuk kemudian ia letakkan di dada kirinya.
"Kalo aku diem aja, aku takut kebablasan Mas. Kan kita belum resmi jadian..."
Yang aku lakukan cuma bisa mengerjapkan mataku berulang kali, sambil menatap wajah Subi yang merona kemerahan.
Dan tanpa aku sadari, aku mendaratkan bibirku di pipinya.
Sebentar saja. Cuma sepersekian detik.
Lalu kami saling bertatapan. Wajah kami hanya berjarak satu jengkal. Bisa kulihat dengan jelas, mata Subi yang terbelalak. Wajah semerah tomat. Dan ia menggigit bibir bawahnya dengan tangan yang mendadak gemetaran.
"Mas..."
"Ya Bi?"
"Kalo aku minta di cium di... bibir... Boleh gak? Eh! Mas mau gak?"
Aku terkekeh mendengar pertanyaan Subi. "Subi... Subi... Kamu itu meluk-meluk badanku aja, gak pernah ijin. Masa mau ciuman aja, pake ijin segala"
Detik berikutnya, bibir kami bertemu. Kami saling bersilat lidah sampai terdengar suara kecipak seperti ikan yang sedang bermain di permukaan kolam. Kami bergantian menyesap bibir bagian atas dan bawah satu sama lain.
Cukup lama kami saling berpagutan satu sama lain. Dan beberapa menit kemudian, Subi memelukku erat. Wajahnya dibenamkan ke leherku. Nafas kami sama-sama tersengal. Kubalas memeluknya erat. Bahkan telapak tanganku pun bergerak mengusap punggungnya. Bibirku mengecup daun telinga dan kepalanya yang memiliki rambut yang lebat.
"Makasih Mas..." Subi berujar lirih.
"Bobok yuk... Besok kamu sekolah kan?"
Subi tertawa pelan menanggapi pertanyaanku. "Mas Wahid kayak lagi ngajak anak kecil tidur aja" ucapnya sambil mencubit ujung hidungku.
"Ya gimana lagi. Kamu kan emang imut. Kalo pake baju SD pasti masih pantes" aku menyahut, sementara tawa Subi semakin menjadi.
"Kalo Mas Wahid make seragamku, pasti masih banyak yang percaya kalo kita sepantaran"
"Masa?"
"Iya Mas... Hehehe... Apaan sih Mas? Mas!! Gelii!! Hahahaha...!!"
Subi menggelinjang sambil terus mendorongku. Padahal aku hanya iseng meletakkan jariku di lehernya. Sebisa mungkin Subi menghindar, maka semakin aku penasaran untuk terus menggodanya. Bukannya berhenti, aku malah berulang kali meletakkan jariku di leher atau di tengkuknya.
Hmmmm... Padahal dia tidak mudah geli kalau aku menggelitik di area pinggang atau perutnya.
"HAHAHAHAHA... Mass... Am...puunnn.... HAHAHAHAHA...."
¤¤¤•••••¤¤¤•••••¤¤¤•••••¤¤¤
...
Unconditionally you're there for me
Undeniably you inspire me, spiritually, so sweet
This is meaningful, is incredible, pleasurable, unforgettable
The way I feel, so sweet
Makes me want to say
Your lips, your love, your smile, your kiss
I must admit it's a part of me
You please me, complete me, believe me
Like a melody
Your soul, your flow, your youth, your truth is simply proof
We were meant to be
But the best quality thats hookin' me
Is that you're loving me for me
Is that you're loving me for me
Its so amazing how something so sweet
Has come and rearranged my life
I've been kissed by destiny
Oh, heaven came and saved me
An angel was placed at my feet
This isn't ordinary, he's loving me for me
...
With him, I dont have to put on a show
He loves every freckle, every curve, every inch of my skin
Fulfilling me entirely, taking all of me in
He's real,he's honest, he's loving me for me
[ Loving Me 4 Me - Christina Aguilera ]
¤¤¤•••••¤¤¤•••••¤¤¤•••••¤¤¤
"Masuk..." aku menyahut saat mendengar suara ketukan di pintu kamar.
Taka melangkah masuk. Ditangannya ia membawa nampan yang diatasnya ada sebuah mangkuk, sekotak sereal, dan segelas susu. Aku mencoba tersenyum saat melihat Taka juga melayangkan senyuman padaku.
"Sorry Ki... Karena gue gak bisa masak, gue cuma bisa kasih sereal" Taka berujar dan meletakkan nampan yang ia bawa ke meja di dekatku. "Haahhh... Seperti yang udah gue duga... Elu enggak nyenggol sama sekali masakan Yayang gue. Kenapa? Gak seenak masakan lu?"
Aku menggeleng pelan. "Males Ka... Tapi gue udah habisin susunya kok..."
"Ini udah berapa hari Ki? Elu enggak makan sama sekali. Palingan cuma ngabisin susu doang. Emangnya perut lu gak sakit apa, hah?"
Aku membuang pandangan keluar jendela. Mencoba tak menanggapi celotehan Taka. Melihat betapa teriknya matahari diluar. Tak ada angin sama sekali. Bahkan aku pun berkeringat walaupun aku sudah membuka jendela kamar.
Sama halnya dengan hilangnya nafsu makanku, aku juga malas berbuat apa-apa. Ini berlangsung sekembalinya dari Jakarta...
Hanya tiga hari disana. Dan semuanya berubah total sejak itu.
Tanganku terulur meraih pipi kiriku. Kemudian tanganku merosot turun ke dada kiriku. Pipiku sudah tak sesakit kemarin. Tapi nyeri di dalam dadaku masih terasa hingga kini.
Ternyata benar kata orang. Seringkali hidup dalam lingkup kebohongan masih lebih baik dari pada harus jujur.
Kedatanganku ke Jakarta kemarin, lantaran Mamah datang kemari. Sama halnya denganku, Mamah juga kangen. Kami sudah hampir lima tahun tak berjumpa. Itu pun karena aku yang meminta Bang Bayu agar membawa Mamah datang ke Jakarta. Tadinya aku meminta Daddy juga datang, tapi beliau sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Tika, yang tak lain adalah saudari kembarku, sedang sibuk dengan pekerjaan barunya. Dia tidak bisa mendadak mengambil cuti karena belum genap sebulan memulai bekerja di sebuah perusahaan di Paris.
"Kenapa Ki? Elu pusing? Makan dulu makanya Ki... Please..." Taka memberondong dengan pertanyaan saat melihatku mengurut pelipisku sendiri.
Aku memang pusing. Tapi menurutku bukan karena aku lapar. Aku benar-benar tidak berselera. Aku pusing lantaran harus menjalani dan merasakan kenyataan pahit ini.
Paling tidak, aku masih jauh lebih beruntung dari mendiang Bang Toya. Aku tak sanggup membayangkan apa saja yang sudah ia alami saat ia...
Aku bangkit berdiri, tapi mendadak saja lututku terasa lemas. Tubuhku terhuyung dan nyaris terjatuh. Aku berterima kasih pada Taka yang sudah tanggap meraih tubuhku, dan ia memapahku sampai kasur. Padahal jaraknya tak lebih dari dua meter dari kursi dekat jendela, tapi rasanya langkahku semakin jauh, dan kakiku terasa semakin lemah.
Bukan hanya kepalaku saja yang terasa semakin berat. Badanku pun terasa semakin berat. Tinggal dua langkah lagi, tapi mendadak saja pandanganku semakin kabur, dan mendadak aku merasa jatuh ke dalam sebuah lubang.
Lubang yang teramat sangat dalam. Juga gelap. Tubuhku terasa meluncur semakin cepat dan baru kusadari kalau lubang ini seperti tidak memiliki dasar.
Akhirnya aku sanggup membuka kelopak mataku juga. Tadi itu rasanya berat sekali. Aku terkejut karena ada lumayan banyak orang mengelilingiku.
Sekarang aku sudah rebah diatas kasur. Taka mencegahku untuk bangkit. Baru kusadari kalau ada benda asing yang tertancap di punggung tangan kiriku.
"Apaan nih...?" tanyaku lemah.
"Abang tadi pingsan"
Aku menoleh ke sebelah kananku. Barusan Zain yang menjawab. Raut wajahnya menunjukkan kecemasan.
"Tolong beri ruang untuk pasien..."
Aku mencari sumber suara yang tak asing di telingaku. Benar saja itu suara Bang Rivaz. Dengan mudahnya dia mengangkat tubuh Zain dan menepuk bahunya untuk keluar kamar. Mungkin karena Zain tipe anak penurut, dia langsung menuruti permintaan Bang Rivaz.
Samar-samar aku bisa menangkap kericuhan yang berasal dari luar kamar. Bisa kutebak itu suara Taka. Sepertinya dia sedang bertengkar dengan seseorang diluar kamar.
Sementara Zain dan beberapa orang lainnya keluar kamar, bisa kulihat Bang Akbar yang berjalan masuk ke dalam kamar.
"Lama gak ketemu. Lama gak maen kemari. Sekalinya kemari, gue tadi ikutan panik waktu liat Taka teriak-teriak dari kamar. Ternyata elu... Hhhh..." Bang Akbar hanya mendesah dan tak melanjutkan kalimatnya. "Taka bilang elu gak mau makan" lanjutnya.
"Gak selera..." aku menyahut lemah. Kupejamkan mataku sebentar. Saat kubuka mataku, aku langsung bertanya pada kedua orang yang duduk di tepian kasur. "Berapa lama gue pingsan? Kayaknya lumayan lama"
Aku bertanya seperti itu, lantaran melihat langit diluar sana sudah menunjukkan senja hari.
"Cukup lama buat nunggu kedatangan Julian yang bawain ini semua" jawab Bang Akbar sambil menyentil kantung infus yang di gantung dekat kasur.
Bang Rivaz meraih tangan kananku yang bebas. "Tadi Julian nyuruh supaya ngasih ini kalo elu kebangun"
"Apaan itu Bang?"
"Cuma vitamin" Bang Akbar yang menyahut. Karena Bang Rivaz sedang menyuntikkan jarum ke lenganku.
"Itu si Taka kenapa rame banget di luar?" tanyaku lagi. Usai menyuntikkan vitamin ke lenganku, Bang Rivaz membantuku untuk duduk dan mengganjal punggungku dengan bantal.
Bang Akbar mengangkat bahunya. "Urusan kerjaan kayaknya. Gue gak ngerti dia ngomong apa"
"Makan dulu Ki..." Bang Rivaz menyodorkan sesendok bubur ke arah mulutku. Awalnya aku berusaha menghindar, tapi Bang Akbar ikutan berkomplot dengan kekasihnya itu. Ia melotot padaku, seolah aku anak kecil yang menolak untuk menghabiskan makanan di hadapannya.
"Hambar..." kataku setelah menelan sesendok bubur yang disuapi Bang Rivaz.
"Yang penting perut lu keisi..." Bang Akbar menimpali.
Aku hanya tersenyum tipis. Mengangguk pelan. Dan membiarkan Bang Rivaz menyuapiku.
Pikiranku kembali ke Jakarta, beberapa hari lalu. Saat aku dengan penuh percaya diri mengatakan pada Beliau kalau aku menjalin hubungan yang lebih dalam selama lebih dari setahun ini.
Reaksi pertama yang Mamah berikan adalah berdiri dari duduknya, menjulurkan badannya karena aku ada di seberang meja makan dan menampar pipiku dengan kerasnya. Bang Zaki yang terkejut lalu mencoba membuatku menghindar dari tangan Mamah yang seolah ingin menamparku lagi.
Tapi dengan cepat, Mamah sudah meraih gelas dan menyiram isinya ke wajah Bang Zaki.
Aku masih terlalu kaget dengan reaksi yang diberikan Mamah usai aku mengatakan itu. Yang bisa kulihat hanya Bang Bayu yang membawa Mamah ke dalam kamar. Karena kami sekarang ada di salah satu apartemen milik Bang Bayu. Masih satu kawasan dengan apartemen sewaktu Bang Bayu membantuku bersembunyi dulu, hanya beda tower saja.
Sekejap kemudian aku tersadar dan meraih napkin untuk mengelap wajah dan kemeja Bang Zaki yang basah. Ia hanya tersenyum pahit, tapi membiarkanku mengelap wajahnya.
Keesokan harinya aku diminta untuk tetap tinggal bersama Mamah, sementara Bang Zaki pamit pulang bersama dengan Suwek.
Aku sampai lupa kalau kami juga mengajak dia kemari. Bukan karena kami butuh orang untuk mengangkut tas berisi oleh-oleh pesanan Mamah yang sangat banyak, melainkan karena Mamah meminta Suwek untuk ikut dan ingin berkenalan langsung dengannya.
Hari ketiga di Jakarta, aku baru bicara dengan Mamah. Dari Beliau aku tau, kalau Taka sebenarnya di usir dari rumah saat dia mengaku memiliki kekasih yang tak lain adalah seorang lelaki sejak ia masih sekolah. Kebetulan Mamah memang tau dengan Suwek, hanya belum pernah berbicara banyak. Karena yang Beliau tau, Suwek adalah sahabat dekatnya Taka.
Di hari ketiga itu pula, Mamah mencurahkan semua rasa kecewa yang ia dapatkan dariku. Aku, anak laki-laki kebanggaannya, ternyata mengikuti jejak mendiang anak sulungnya.
"Ini pasti kutukan! Toya pasti sangat sakit hati dengan Mamah... Dia mengutuk kalian agar menjadi seperti dirinya! Agar Mamah merasakan sakit yang jauh lebih dalam dari semua yang pernah ia rasakan..." Mamah meracau sambil menitikkan air matanya.
Kalau benar ini adalah kutukan, apakah perasaan yang aku rasakan selama ini adalah kepalsuan belaka? Lalu dimana aku harus melabuhkan hatiku kalau ternyata semua ini benar hanya karena sebuah kutukan?
Hari keempat, aku pamit pulang. Meskipun sebenarnya berat, karena aku masih kangen dengan Mamah. Tapi aku beralasan pada Mamah kalau aku masih punya tugas dan tanggung jawab di Bali. Ingin berbicara empat mata dengan Bang Zaki adalah satu dari segudang alasan yang kumiliki.
Sesampainya di Denpasar, aku segera menuju rumah. Tapi rupanya Bang Zaki masih berada di Jimbaran. Ada meeting bersama dengan Mbak Donna dan Bang Akbar.
Malam harinya kami baru sempat bertemu. Kami duduk berhadapan diatas ranjang.
Bagai tersambar petir saat Bang Zaki berucap, agar kami tidak meneruskan lagi hubungan kami. Ia memintaku untuk mengakhiri hubungan ini.
Aku yakin Bang Zaki hanya beralasan saja saat ia berucap, bahwa ia hanya menjadikanku pelarian cintanya dari mendiang Bang Toya. Ia melihat bayangan Bang Toya di diriku. Ia berujar bahwa sudah saatnya ia terbangun dari mimpi panjangnya dan tidak ingin melukaiku dengan kebohongannya.
Kalau memang yang Bang Zaki katakan benar... jadi selama ini aku...
Bang Zaki bangkit. Dan mengemasi semua barang milikku. Dengan gontai aku mengikuti langkahnya ke rumah Taka di sebelah. Menuju kamar di rumah Taka yang terletak di depan. Di dalam kamar yang berada di dekat ruang tamu. Kamar yang juga sama-sama menghadap ke halaman depan seperti letak kamar Bang Zaki. Rupanya Bang Zaki sudah memindahkan Tora, teman Zain, menjadi sekamar dengan Zain di rumahnya.
Dan disinilah aku sekarang. Duduk diam dalam keheningan malam.
Aku tidak tau harus berbuat apa.
Aku juga malas berbuat apapun.
"Maafin Bang, Ki... Tapi Abang enggak mau membuat Mamahmu seperti kemarin lagi... Disini memang Abang yang salah... Sekali lagi maafin Abang..."
Sesaat aku hanya bisa terpaku saat Bang Zaki memelukku erat disertai kecupan di pipi kiriku. Dilokasi yang sama, dimana Mamah menamparku dengan keras.
Bang Zaki segera meloloskan dirinya saat aku akan membalas pelukannya. Meninggalkanku yang masih berdiri mematung. Tak tau harus berbuat apa saat melihatnya melangkah pergi.
Tak ada air mata yang terurai. Hanya ada kepedihan yang menyesakkan dada.
Paling tidak, aku masih lebih beruntung dari Bang Toya. Aku masih punya tempat berteduh. Aku masih memiliki Taka yang menyayangiku dengan caranya sendiri.
Lalu... Apakah aku juga ikut terbuang seperti dirinya? Apakah di keluargaku ini semua orang tua bisa dengan mudahnya mencampakkan anak-anaknya yang ternyata bukan seperti angan dan harapan mereka?
Apakah aku harus bernasib sama seperti Bang Toya?
Tidak!
Aku jauh lebih kuat. Aku masih jauh lebih beruntung dibandingkan dengan mendiang Kakakku itu.
Kuraih ponsel milikku yang tergeletak di meja dekat kasur. Sudah pukul 2.00 dini hari. Tadinya aku ingin menghubungi Bang Zaki. Tak bisa kupungkiri, aku merindukannya. Tapi ternyata aku masih terlalu lemah untuk bangkit dan berjalan menghampirinya.
Aku hanya bisa berdiri. Membelai dinding di belakang ranjang yang kupakai. Di balik dinding ini, adalah kamar Bang Zaki.
Ini seperti isyarat yang diberikan Bang Zaki, kalau sebenarnya kami memang dekat. Tapi kami tetap tidak akan mungkin bersatu.
^Bang... terima kasih untuk keindahan yang sudah Abang hadirkan pada Tiki selama ini... dan terima kasih untuk ketenangan yang telah Abang tinggalkan... Cintaku padamu, Bang, bagaikan garam di lautan yang tak terlihat, tapi selalu ada selamanya...^
Kukirimkan pesan yang barusan kuketikan ke nomor Bang Zaki. Juga ku kirimkan ke semua Messenger yang kumiliki.
Di salah satu Messenger, bisa kulihat kalau Bang Zaki sudah membacanya. Tapi ia tak memberiku balasan. Meskipun bisa kulihat notifikasi, kalau ia terlihat sedang online.
Aku tak menuntut banyak.
Bang Zaki membacanya pun, sudah lebih dari cukup.
Yang ku sesali hanya satu.
Dengan aku berkirim pesan seperti itu, apakah artinya aku telah mengamini dan menyetujui perpisahan yang sudah ditawarkan padaku di hari sebelumnya?
Apakah tak ada usaha dariku untuk memperbaiki dan mempertahankan hubungan kami?
Lalu aku pun teringat dengan ucapannya, kalau aku hanyalah pelarian dari rasa sepi yang...
Ahh.... Entahlah... Kuterima saja nasibku saat ini.
Meskipun berat, pasti aku bisa menjalaninya. Karena aku yakin, aku kuat dan mampu menempuhinya.
kamarku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
...
I know I'm not the only one
Who regrets the things they've done
Sometimes I just feel it's only me
Who never became who they thought they'd be
I wish I could live a little more
Look up to the sky, not just the floor
I feel like my life is flashing by
And all I can do is watch and cry
I miss the air, I miss my friends
I miss my mother, I miss it when
Life was a party to be thrown
But that was a million years ago
A million years ago!
...
[ Million Years Ago - Adele ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku sudah merasa lebih baik. Setelah rehat selama dua minggu lebih, akhirnya aku putuskan untuk menjalani hidupku dan menerima nasibku dengan berlapang dada. Dan selama itu pula, aku tak pernah sekalipun berbicara dengan Bang Zaki.
Kami masih saling sapa saat kami sarapan pagi tadi. Yang aku tau, Bang Zaki sudah jarang di rumah sejak kembali dari Jakarta. Zain yang menceritakan semuanya. Dia berkeluh kesah padaku pagi tadi saat aku mengantarnya ke sekolah.
Selama perjalanan menuju sekolah, Zain, Kahfi dan Gustha asik bercanda di belakang di kursi tengah mobil. Sementara Tora hanya duduk diam di sebelahku sambil membaca sebuah buku. Bocah itu memang sering melakukan pemanasan setiap kali berangkat sekolah.
Aku memarkir mobil sekitar lima puluh meter dari pintu gerbang sekolah bocah-bocah ini. Sementara tiga temannya sudah turun lebih dulu, Tora masih duduk di sampingku. Aku hanya membiarkannya. Karena aku mengantar mereka tiga puluh menit sebelum bel masuk berdentang. Tora tadi juga bilang, kalau dia masih ingin menyejukkan diri dengan AC mobil.
Kusandarkan punggungku ke kursi. Meluruskan kedua kakiku. Kulirik jam di layar ponselku.
"Sepuluh menit lagi masuk Ra... Cepet masuk ke kelas sana" aku berujar sambil menepuk bahunya.
"Oke... Abang masih disini?" Tora bertanya sambil memasukkan buku yang ia baca ke dalam tasnya.
Aku mengangguk. "Mau tidur sebentar disini"
"Oh... Ya udah. Dari pada kenapa-kenapa di jalan" ucapnya. Tora tak langsung pergi. Ia masih duduk dan memandangiku. "Kalau masih gak enak badan, lebih baik jangan dipaksain kerja Bang"
Aku tersenyum dan menengok ke Tora. Tanganku terulur dan meraih kepalanya. "Makasih Tora... Tapi kalo gak kerja, gue gak punya duit dong. Udah sana. Nanti elu telat..." kataku sambil mengacak-acak rambutnya.
Setelah memastikan kalau Tora sudah memasuki gerbang sekolah, aku putuskan untuk segera ke Warung. Sebenarnya aku memang merasa sedikit mengantuk. Tapi ya sudahlah. Ucapanku pada Tora tadi memang sepenuhnya benar.
Setelah memarkirkan mobil di depan Warung, aku segera masuk ke dalam. Irvin dan Matthew menyapaku, sementara aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Kemudian aku duduk di belakang meja kasir. Mengecek pembukuan yang kemarin ku pasrahkan pada Suwek.
"Oh? Mereka jadian?" tanyaku lirih pada Suwek.
Sejak melihat kedatanganku, dia berdiri di sebelahku dan memangku dagunya dengan satu tangannya. Ia menceritakan segala hal yang terjadi di Warung selama aku tidak bekerja selama dua minggu lebih kemarin. Termasuk tentang kabar kalau Wahid ternyata jadian dengan Subi.
"Elu sama Bang Zaki, gimana Bang Ki?"
Aku hanya menatap Suwek yang berdiri di sebelahku. Kusandarkan kepalaku di dada Suwek. Aku tidak berani membayangkan bagaimana reaksi Taka kalau melihatku melakukan hal ini pada Yayangnya.
"Bang Ki... Gue denger dari Wahid, kalo si Mamat itu biseks"
"Terus?"
"Menurut lu, kalo sama cowok, kira-kira dia jadi kayak gue atau jadi kayak Taka yak?"
"Kenapa emangnya? Jangan bilang kalo elu naksir die. Gue bilangin Taka, mampus lu!"
Mendengar ancamanku, Suwek langsung ngakak. "Dibanding Mamat, gue lebih ngiler liat Irvin"
"Hmmmm... Gitu? Bentar gue telepon Taka dulu deh"
"E-e-eehh... Gue becanda... Peace Bang!!"
Aku terkekeh kemudian kembali melanjutkan aktifitasku melihat ke laporan pembukuan di hadapanku.
Sambil melakukan aktifitas ringan yang lumayan menguras otak, Suwek bercerita kalau sebelum Wahid jadian dengan Subi ternyata dia jadian dengan Kakak tirinya yang dulu sering mengantar jemput Wahid. Aku tidak terkejut ketika mendengar cerita Suwek. Karena aku sudah mengetahui hal itu jauh sebelum aku mendengar dari Suwek.
Bagaimana mungkin aku tidak tau, kalau aku secara tak sengaja pernah mendengar ucapan keduanya saat aku menginap di rumahnya dulu. Waktu itu aku ingin mengambil jaketku yang tertinggal di kamar Wahid. Tapi aku tak sengaja melihat mereka sedang bercumbu saat mengintip di jendela kamarnya. Aku mengintip karena ingin melihat apakah Kakak Wahid mungkin masih terjaga. Dan ternyata...
Meskipun aku terkejut, tapi aku diam saja. Mungkin karena aku langsung mengingat hubunganku dengan Bang Zaki, makanya aku tidak bisa berkomentar apapun.
Tapi kalau mendengar Wahid jadian dengan Subi, itu baru mengejutkan. Apalagi aku dengar dari Suwek, kalau Subi yang menembak Wahid terlebih dulu.
Di akhir ceritanya, Suwek memintaku untuk merahasiakan kalau ia sudah berbagi rahasia denganku.
Mungkin Suwek mencari topik pembicaraan denganku. Paling tidak itu dugaanku.
Saat Suwek beralih melayani pembeli, mataku kini sibuk memperhatikan Matthew. Juga ke Irvin. Kemudian aku mendengus dan tertawa sendiri.
Mungkin gay radarku sudah semakin terlatih. Karena saat menginterview mereka semua, aku memang merasakan sesuatu di diri mereka. Kecuali Lingga. Aku melihat kalau bocah satu itu sangat polos meskipun aku lihat dia itu koplak saat mendengar alasannya ingin bekerja disini karena ingin punya uang jajan lebih. Lagi pula sebulan setelah masa training, Lingga juga bekerja dengan giat dan penuh tanggung jawab.
Aku selalu ingat bagaimana ekspresi wajahnya kalau dia datang terlambat. Aku tidak bisa menyalahkannya juga. Karena aku sadar Lingga itu masih berstatus sebagai pelajar. Akan beda perkara kalau Matthew dan Irvin yang terlambat datang.
Tapi aku tak habis pikir juga, kalau ternyata Matthew itu seorang biseks, lalu apakah aku harus menjadi seperti Matthew? Semata-mata aku ingin melihat Mamahku bahagia.
Mungkin inilah alasan Bang Toya saat ia meminta Taka untuk mengakhiri hubungannya dengan Suwek. Ia sangat menyayangi Mamah, dan tidak mau adik-adik kesayangannya merasakan pedih yang selalu ia rasakan sampai ajal menjemputnya.
Mengenai kutukan yang Mamah ucapkan padaku, mungkin itu adalah wujud dari rasa bersalah yang selalu Mamah pendam. Seperti baru terjadi kemarin, saat aku melihat Mamah histeris di pemakaman Bang Toya. Sepulangnya dari pemakaman pun, Mamah masih menangis histeris di dalam kamar Bang Zaki. Saat itu ada Bang Zaki dan Daddy yang berusaha menenangkan Mamah. Sementara aku yang juga masih shock hanya bisa menemani Taka bersama Suwek di halaman belakang. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di rumah Bang Zaki.
Semuanya memang sangat rumit. Mengenai perasaanku ke Bang Zaki yang pada awalnya sebagai rasa kagum, kasihan, sayang yang akhirnya benar-benar harus berakhir seperti ini.
Aku yakin Bang Zaki sebenarnya berat mengambil keputusan seperti itu. Aku tau, semua kalimat yang ia lontarkan padaku hanya alasan agar aku...
"Sudah sehat?"
Aku mendongak dan menatap Matthew. "Ya lumayanlah Matt..." jawabku sambil membalas senyuman Matthew. "Duduk sini Matt. Jangan berdiri disitu. Kamu pasti capek kan? Dari tadi lumayan rame kan pembelinya"
Tanpa diminta dua kali, Matthew mengambil kursi lalu duduk di sebelahku. "Mau saya buatin kopi? Kayaknya masih ngantuk gitu matanya"
Aku mengucek mata kiriku sebentar sebelum membalas senyuman Matthew. "Boleh... Tolong bikinin kopi hitam..."
"Dengan sedikit gula?" potongnya cepat.
Aku tersenyum lagi dibuatnya. Dan mengangguk. Tak sampai sepuluh menit, Matthew sudah kembali membawa secangkir kopi yang kuminta tadi.
"Belum saya kasih gula tuh" ucap Matthew saat aku mencoba menyeruput kopi panas buatannya.
"Pantesan..." aku menyahut setelah menelan kopi hitam buatan Matthew yang terasa sangat kental dan pahit.
"Maaf... Ini gulanya sengaja dipisah. Takutnya nanti malah kemanisan"
"Ngeliat kamu senyum aja, rasanya udah manis Matt" aku menyahut asal saja. Kami terkekeh.
"Bisa ngegombal juga ternyata"
"Juga? Berarti elu lebih gombal dari gue dong, Matt"
"Sedikit..."
"Halah... Sedikit apanya... Dasar playboy"
"Wih... Tau dari mana kalo saya playboy? Saya cowok alim lho"
Aku terkekeh sebentar, "Gak ada ceritanya cowok alim sadar kalo dirinya tuh alim, Mamaaat..."
Hahhh... Untung saja aku putuskan untuk nekat bekerja hari ini. Dari pada diam di kamar tanpa melakukan apapun, malah membuat isi kepalaku semakin ruwet.
Alhamdulillah aku di berikan ketegaran sebesar ini. Apa jadinya kalau aku mudah berputus asa? Aku tidak ingin menjadi gila hanya karena cintaku harus kandas begitu saja.
Seperti kopi buatan Matthew ini. Meskipun pahit, aku masih masih bisa memberi sedikit gula untuk bisa menikmatinya.
╰♥╯ •.♥.•.♥.•.♥.•.♥.•.♥.•.♥.• ╰♥╯
jadinya sama subi niih? ciyeeee.
kira2 irvin cemburu gak yaaaa? hehehe
ehh ada lanjutannya lagi. save dulu yaaaa
cuma julian dan syaka yang sampai menikah ya...