It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Terkadang gue iri sama lu.” Juna menatapku. Dari ekor mataku aku bisa melihat raut heran diwajahnya. Aku juga tidak percaya akan mengatakan hal tersebut padanya. Yang kutahu aku memang sedang merasa dilema sekarang.
“Iri kenapa?” Aku tahu kata tanya itu yang akan keluar dari mulut teman ku ini.
Desahan keluar dari mulutku. “Lu bisa dengan mudahnya mengatakan cinta ke gue sedangkan gue, sudah hampir 15 tahun memendam rasa itu dan sampai sekarang gue masih takut buat mengatakan perasaan sialan ini.” Aku melihat senyumannya, seolah ia mengejekku.
“Lu tinggal bilang cinta, lu yang bikin semuanya jadi ribet. Gue tahu lu memang pengecut tapi gue malah cinta sama pengecut itu.” Ada nada janggal di suara Juna. Aku tahu apa yang dia rasakan, sama seperti yang aku rasain sekarang.
Cinta kenapa harus seribet ini, kenapa aku gak bisa mencintai orang yang mencintaiku. Mencintai Juna misalnya atau Nadia yang lebih baik lagi. Kenapa hatiku harus memilih sahabat ku sendiri, sahabat yang sudah sangat ku tahu tak memiliki perasaan lebih dari perasaan seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu menganggapku sahabatnya tanpa ada perasaan cinta.
Adakah yang mengetahui rumus cinta, kalau memang ada aku ingin berguru padanya. Aku ingin menang melawan hatiku yang terlalu berkuasa menguasai diriku. Aku ingin mendapatkan cinta sebesar aku ingin menghilangkannya tapi kenapa dua-duanya terlalu sulit untuk diaminkan tuhan ku.
“Gue memang pengecut dan mungkin juga bodoh.” Aku berkata lirih seolah tak ingin Juna mendengarnya.
“Aku berikan saran padamu,” kutatap ia dengan senyum penuh kemenangan. Aku tidak tahu apa yang ada di otaknya sekarang tapi apapun itu semoga memang yang terbaik untukku.
***
ICAL_POV
Aku menatapnya, menatap dengan penuh kebingungan. Kenapa aku merasa seolah pria yang bersamanya itu bukanlah sekedar teman. Aku tidak menyukai tatapannya pada Nathan. Tatapnnya terlihat berbeda dengan tatapan kebanyakan orang.
Cintakah itu? Sial, aku sudah tentu gila. Nathan bukan wanita hingga harus mendapatkan tatapan cinta dari pria yang beberapa hari lalu pernah kulihat di rumah Nathan.
Aku benci harus bertanya pada diriku sendiri, haruskah ku datangi mereka dan bertanya tentang yang mengganjal dihatiku atau mengajak Nathan pulang bersama sebagai bentuk basa-basiku. Aku mengacak rambutku frustasi dengan pemikiran ku sendiri.
Aku masih diam di balik pohon besar yang ada diparkiran, hingga kurasakan sentuhan seseorang dipundak ku. Aku menoleh dan mendapati Nadia sudah berdiri didekat ku dengan senyum manisnya yang akan membuat ku leleh tapi dulu, sekarang senyum itu terlihat biasa saja.
“Kamu mau pulang?” Terdengar nada antusias disuaranya dengan senyum yang masih tertampil lebar.
“Begitulah, lu mau nebeng?” Tanyaku tak serius tapi dia mengangguk membuat ku tak bisa menolaknya. Gagal sudah rencana untuk pulang bersama Nathan tapi kenapa aku harus menginginkan pulang dengan Nathan.
“Ayo.” Ajak Nadia yang langsung menggandeng tanganku. Aku mulai curiga dengan tingkahnya tapi biarlah lagipula aku tak merasa dirugikan.
***
Motor ku berhenti di sebuah rumah denga cat hijau segar, aku suka warna catnya. Kulihat Nadia sudah berdiri didepan motorku. Aku membuka kaca helm ku.
“Makasi yah.”
“Lain kali kalau ingin duduk di atas motor gue pegang pinggang gue. Lu buat gue gak berani ngebut.” Candaku membuat ia terkikik. “Dan juga jangan pakai rok itu karena gue tidak mau laki-laki lain melihat tubuh mulus lu.” Terlihat rona merah di pipinya membuat tanganku gatel untuk meraba rona merah itu dan kulihat dia tak keberatan malah memejamkan mata menikmati sentuhanku.
“Niel!” Seruan Nadia pada pemuda yang baru turun dari mobil putih itu. Aku menatap kearahnya, kulihat dia cuek saja tak menghiraukan panggilan Nadia. Seperti tak melihat ada orang lain disekitarnya dia berlalu kedalam rumah.
“Maaf, adek gue emang gitu. Lu gak masalahkan?”
“Ya gak lah. Gue juga gak kenal ini ama adek lu jadi buat apa gue permasalahin.” Kulihat Nadia tersenyum. “Gue balik ya?”
“Hati-hati di jalan Cal.” Ucap Nadia meminggirkan tubuhnya dari depan motorku. Aku mengedip kearahnya dan melajukan motor dengan cepat.
***
Kumatikan mesin motorku dan mencabut kuncinya. Aku membuka helmku dan berjalan dengan lenggang ke dalam rumahku. Aku melihat mama sedang duduk di ruang tamu tapi ada Tente Bela bersamanya. Aku melihat raut sedih diwajah mama, ada apa?
“Ma!” Aku memanggil mama ku yang langsung menoleh bersama dengan tante Bela, aku sedikit terkejut karena tante bela menangis.
“Cal, kemari! Ada yang mau mama bicarakan.” Aku melangkah kearah mama dan duduk di sofa yang berseberangan denga tempat duduk mama dan tante Bela.
“kenapa ma? tante Bela baik-baik saja?”
“Nathan Cal, Nathan mau meninggalkan tante. Tante tidak bisa pisah sama dia, tante gak mau dia ketempat ayahnya karena akan sulit bagi tante jika dia sudah berada di tempat ayahnya. Kamu tahu sendiri kan tante benci banget sama ayahnya,” Aku sedikit terkejut dengan ucapan tante Bela karena setahuku ayahnya Nathan tinggal diluar negeri dan itu artinya aku akan jauh dari Nathan. Hatiku gelisah.
“Kenapa Nathan mau pergi?” Pertanyaan itu lebih aku tunjukkan kepada diriku sendiri.
“Tante juga tidak tahu dia kenapa, Ical bantu tante ya. Bujuk Nathan buat tetap tinggal bareng tante. Tante yakin dia mau dengerin kamu.”
“Tapi,”
“Sana pergi kerumah Nathan dan bicara baik-baik padanya. Karena pesawatnya sore ini. Kamu mau gak ketemu lagi sama Nathan?” Ucapan mamaku membuat aku gusar. Tentu saja aku tidak mau pisah dari Nathan tapi kan aku tidak bertegur sapa dengannya jadi bagaimana aku harus membujuknya.
“Ical, sana!” Itu perintah dari mamaku. Aku meletakkan tasku di sofa dan beranjak pergi.
Kuketuk pintu kamarnya, tapi tak ada sahutan. Aku mengetuk lagi dengan sedikit keras tapi tetap saja tak ada sahutan akhirnya kuberanikan buka pintu dan mataku menangkap banyak barang tertata tak beraturan. Suara keran berasal dari kamar mandi, mungkin Nathan sedang mandi. Ada koper besar diatas ranjang dengan pakaian yang hampir penuh.
Suara pintu kamar mandi terbuka, Aku langsung berbalik menatap Nathan yang hanya mengenakan lilitan handuk dipinggangnya. Aku bergerak gusar dengan tatapan Nathan yang intens. Apa yang harus aku lakukan? Nathan juga terlihat mengatupkan bibir.
“Aku-Kam,” Suaraku tercekat.
“Mau membantuku berkemas?” Tanyanya dengan sunggingan senyum, aku yang bodoh atau apa malah hanya mengangguk. Kulihat Nathan berjalan mendekat dengan rambut yang basah. Rasanya begitu susah menelan ludah.
“Ap-apa yang bisa ku bantu?”
“Duduklah, tidak ada yang perlu kamu lakukan. Aku tidak jadi per,”
“Aku tidak ingin kamu pergi, Aku juga tidak tahu kenapa? tapi ini bukan karena suruhan mama mu atau siapapun, aku hanya tak ingin melihatmu jauh dariku.” Suaraku keluar dengan lancar, dan kurasakan beban dihatiku terangkat sepenuhnya.
“Aku tahu,” Hanya kata itu seolah sebagai penyatu persahabatan kami kembali. Aku tersenyum dan memeluknya. Entahlah kenapa kulakukan itu, hanya saja aku merindukan pelukan yang sering ia berikan dulu untukku. Aku merasakan ia membalas senyumanku dan lengkaplah sudah rasanya sekarang, seolah bagian yang hilang dalam diriku telah kembali.
***
@nakashima
@DM_0607
@Adi_Suseno10 @abong @lulu_75
@4ndh0 @hendra_bastian @littlemark04
@arieat @bumbellbee @Adamx @Akhira @3ll0
@chioazura @harya_kei
Niel? Tokoh barukah?
Juna berjiwa besar.