It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
aynatirec nerek. hwahahaha. bahasa kebalik
Entah kenapa kurasa dia begitu dingin. Aku sudah menyapanya duluan tadi. Memaksa diriku untuk berani mengatakan hai padanya. Tak kusangka...benar-benar tak kusangka guru tadi menyuruhku duduk di sebelahnya. Di sebelahnya!!!! Oh Ai....andai aku bisa mengaktifkanmu sekarang....aku ingin banyak bercerita.
Mataku tertuju padanya secara tak sengaja ketika aku melangkah masuk ke dalam ruang kelas ini. Sedetik berikutnya aku hanya mampu menundukkan mukaku. Aku malu. Aku merasa aneh. Aku berada di antara keinginan yang sangat kuat untuk kembali menatapnya namun tak memiliki cukup keberanian.
Entah hari ini sebuah penderitaan atau anugerah. Guru malah menyuruhku duduk bersebelahan dengannya. Aku akan berada di sampingnya sepanjang tahun..... Aku akan bebas menatapnya. Berbicara padanya, bersenda gurau, bercerita, tahu lebih banyak tentangnya. Seakan sedikit mimpiku saat pertama kali melihatnya menjadi kenyataan, tapi di balik itu tersimpan keraguan besar. Aku takut.....kalau keberuntangan ini berbalik menjadi sebuah bencana.
Bagaimana kalau dia tahu siapa aku sebenarnya. Bisa jadi dia takut, menganggapku aneh. Bagaimanapun....aku bukanlah makhluk Bumi.
“Sekolah?” aku terperanjat mendengar Profesor Johan mengatakan kata itu padaku beberapa hari yang lalu. Kami baru saja pulang dari pusat kota, membeli berbagai macam kebutuhanku selama di Bumi. Pakaian, peralatan mandi...macam-macam lah.
“Iya sekolah. Kan kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang aku tahu....kita harus menyiapkan kehidupanmu di sini. Aku tahu bahkan di Aemestry kamu sudah lulus tingkat pendidikan yang sangat tinggi. Tapi terpaksa kamu harus kembali ke awal lagi di sini. Akan jadi berita besar kalau kamu tidak memiliki kehidupan...”normal” sebagaimana anak usiamu di sini.” Kata profesor.
Aku termenung....mempertimbangkan kata-katanya. Ada benarnya juga. Aku tidak tahu sampai kapan aku berada di Bumi. Aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini. Kini aku telah berada di sini dengan kemungkinan sangat kecil aku kembali ke Aemestry. Aku berhitung......kini Bumi lah yang menjadi tempat tinggalku....mungkin untuk selamanya.
Profesor berjuang keras untuk menyembunyikan identitasku. Ia berhasil mendapatkan berbagai macam dokumen yang kubutuhkan untuk tinggal di sini.aku tak punya pilihan selain mencoba berbaur dan hidup layaknya manusia Bumi. Untuk itu aku harus memiliki kehidupan. Kehidupan seperti layaknya anak seusiaku. Mempersiapkan segala yang kubutuhkan untuk hidupku hingga aku dewasa nanti. Menghapus semua hal yang berhubungan dengan Aemestry.
“Biar aku yang akan....mengurus keperluanmu. Kamu umur berapa? Oh 13 yah...anggap saja kelas 8 sepertinya cocok untuk usiamu. Aku punya beberapa kenalan yang bisa bantu.” Kata profesor kala itu.
Dan di sinilah aku sekarang, terjepit antara muka memerah dan rasa deg-degan. Tak kusangka di sebuah sekolah di Bumi aku bertemu dengan Dimas.
“Itu....siswa baru yah?” Guru Bahasa Indonesia tiba-tiba menunjukku.
“Iya Bu...anak baru Bu...” jawab seorang anak dari bangku depan.
“I...Iya..Bu” jawabku terbata. Aduh aku belum lancar sekali menggunakan bahasa setempat. Mati aku.
“Dulu dari sekolah mana Mas?” tanya Bu Guru lagi.
Aku diam tak bergeming. Bingung dengan jawaban apa yang akan kuberikan. Seketika aku lupa dengan skenario yang sudah disiapkan Profesor untuk identitasku.
Agak lama tak ada jawaban. Dimas menyenggol lenganku. Aku menoleh melihatnya.
“Dia dari luar negeri Bu.” Aku terkejut melihat Dimas membantuku menjawab pertanyaan guru itu.
“Oh...dari luar ya. Tumben nih biasa kalau dari luar masuknya ke sekolah internasional. Hehehe.” Jawab Bu Guru itu. Jawaban Dimas sudah cukup untuknya. Aku terselamatkan. “Tapi bisa Bahasa Indonesia?”
“Be...belum..eh.....sedikit B...Bu. Maksud saya...eh...Bisa tapi belum...eh lancar benar.” Jawabku terbata. Sebenarnya aku tidak terlalu kesulitan berbicara bahasa Indonesia yang dasar. Seperti kalimatku tadi seharusnya tidak masalah bagiku untuk mengucapkannya dengan lancar. Tapi rasa grogi membuatku terbata-bata.
Bu Guru itu tersenyum padaku. “Ya sudah...cepat belajar yah.”
Waktu cepat sekali berlalu di Bumi. Beberapa mata pelajaran telah kulewati hari itu. Setiap Guru yang mengajar selalu bertanya tentangku, dan Dimas selalu membantuku menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Hinga akhirnya aku mendengar suara semacam bel.
“Itu tandanya jam istirahat.” Kata Dimas kemudian. Ia memahami kebingunganku. Sedari tadi dia melihatku terus.
“Kamu sekolah di negara mana sebelumnya?” Kata Dimas kemudian sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arahku.
“Aku...” belum sempat aku menjawab aku sudah dikerumuni teman-teman sekelas yang lain. Sebagian besar teman perempuan.
Aku panik. Mereka banyak bertanya kepadaku. Macam-macam dan mereka berbicara cepat sekali. Aku belum sempat memahami kata-kata mereka sudah ada pertanyaan lain yang terlontar.
Dimas meraih tanganku dan menyeretku keluar ruang kelas meninggalkan teman-teman yang mengerumuni meja kami. Banyak nada kecewa terdengar.
Aku mengikuti Dimas berjalan menyusuri lorong sekolah, naik ke lantai atas. Di sana tidak terlalu banyak siswa. Agak lebih sepi. Syukurlah....aku bisa sedikit bernapas sekarang.
“Pasti bingung ya tadi?” kata Dimas tiba-tiba sambil tersenyum padaku. Sweater kuning yang dikenakannya terlihat manis.
“Udah pelan-pelan aja.....mereka pasti gitu kalau ada anak baru. Apalagi cewek-cewek......pada kegatelan pasti.” Kata Dimas lagi.
Kegatelan? Aku tidak paham maksudnya. Tapi aku diam saja. Aku lebih tertarik pada gerak gerik Dimas. Kuamati sejenak tingkahnya. Sepertinya dia juga grogi sepertiku.
“Eh laper gak?” kata Dimas memecah diam. “Kalau laper kita ngobrol sambil makan di kantin aja.”
Aku menggeleng. “Aku tidak lapar kok.” Jawabku.
“Ohh...kalau gitu kita ngobrol di sini aja yah. Kalau di bawah pasti rame...entar mukamu merah lagi kalau dikerubutin mereka. Hehehe.” Kata Dimas kemudian membuatku tersipu.
“Oh iya kamu dari mana tadi?” tanya Dimas lagi.
Aku memadang wajahnya tajam. “Aku dari...Aem...ehmm...” aku kembali teringat skenario yang disiapkan profesor untukku. “...maksudku...Jer..Jerman” jawabku setengah ragu-ragu. Apa aku mengucapkannya dengan benar?
“Ohhhh....Jerman......” kata Dimas. Aku takut dia bertanya lebih jauh lagi tentang negara itu karena informasi yang berhasil kurekam belum begitu banyak. Aku sudah belajar bahasanya tapi tidak terlalu mendetail. Tidak cukup waktu. Tapi akhirnya aku lega...Dimas tidak menanyakan itu.
“Tapi orang tuamu asli sini?” tanya Dimas.
Aku menggeleng. “Mereka sudah meninggal. Aku tinggal bersama rekan kerja ayahku...di sini. Dia sekarang yang merawatku.”jawabku berbohong.
Dimas terlihat akan bertanya mengenai itu, tapi kemudian dia mengurungkannya. Aku Cuma mendengar dia berkata “Ohh..”
Kami banyak terdiam. Aku tahu banyak yang ingin kami bicarakan. Namun kami sama-sama memilih untuk menahannya dengan alasan masing-masing. Beberapa kali kami berpandangan dalam diam. Mukaku pasti sudah merah saat ini.
Tiba-tiba kurasakan nafasku sesak. Dadaku terasa sakit. Sedari tadi aku tidak mampu mengendalikan debar jantungku. Terlalu lama aku kehilangan kontrol diriku. Tergesa-gesa aku mengeluarkan tabung kecil dari sakuku. Kuhirup dalam-dalam isi tabun itu dan kurasakan nafasku mulai membaik.
“Kamu sakit? Asma?” tanya Dimas sambil melihatku terengah-engah.
“Aku..eh..iya.” jawabku singkat sambil menyimpan kembali tabung itu dalam sakuku.
“Waah.....baru aja aku mau ajak kamu ikutan klub basket. Tapi entar kamu sakit.” Kata dimas sambil tersenyum.
Basket. Aku tahu olahraga itu. Aku sempat menontonnya di televisi milik profesor. Terlihat menyenangkan tapi iyaa....aku pasti sakit kalau berolahraga keras. Setidaknya sampai anatomi dan tingkat fisiologi tubuhku benar-benar terbiasa dengan kondisi Bumi.
Suasana mulai cair. Kami mulai banyak mengobrol jam istirahat itu. Tidak banyak siswa lain yang lalu lalang di sana, jadi aku merasa bebas mengobrol dengan Dimas. Dia tampak sangat memahami kondisiku, kenyataan bahwa aku tak lancar-lancar amat dengan bahasa Indoesia. Dia berbicara dengan cukup perlahan. Tidak terlalu cepat jadi aku dapat memahami semua yang dia katakan.
Kami tertawa. Saling menimpali di antara obrolan kami. Dia bertanya banyak hal. Aku menjawab sesuai dengan skenario yang sudah disiapkan. Aku menyadari...Dimas anak yang sangat menyenangkan. Aku senang beraada di dekatnya.
Obrolan kami yang cair berhenti karena bunyi bel tanda istirahat telah usai. Kami bergegas menuju ruang kelas. Tak masalah bagiku toh di dalam ruangan pun Dimas akan selalu ada di sampingku. Kami masih akan sempat mengobrol lai di sela-sela pelajaran.
Jam sekolah terasa panjang. Metode belajar di sini sangat berbeda dengan Aemestry. Di sini sekolah terbagi dalam kelas-kelas yang jumlah siswanya banyak sekali. Aku biasa hanya beberapa kelompok saja yang masing masing tidak lebih dari tiga orang waktu sekolah di Aemestry. dan di Aemestry, jam sekolahku lebih banyak kugunakan untuk meledakkan sesuatu.
Namun bel yang ditunggupun akhirnya berbunyi.
“Pulang naik apa?” tanya Dimas sambil merapikan buku-bukunya.
“Eh?” aku bengong melihat Dimas.
“Kamu pulangnya naik apa? Dijemput atau pakai angkutan umum.” Kata Dimas menjelaskan.
“Oh...aku eh..” Aku mengeluarkan selembar kertas kucel dari dalam sakuku. Di sana tertera jalur pulang menuju rumah profesor lengkap dengan kendaraan yang harus aku tumpangi beserta tarifnya. “....angkutan umum.” Jawabku singkat.
“Ke arah mana?” tanya Dimas lagi.
Aku menunjuk sebuah arah. Dimas tertawa melihat tingkahku. “Orang tuamu...maksudku orang di rumah galak tidak?” tanyanya kemudian.
Aku mengeleng.
“Jalan yuk. Aku tahu kamu pasti belum pernah keliling-keliling Malang.” Ajak Dimas. Senyumnya benar-benar menarik perhatianku.
Aku merasa senang dengan ajakannya...tapi....profesor mungkin akan panik bila aku belum berada di rumah saat jam sekolah berakhir. Aku ragu....
“Udah yuk.....!” sekali lagi Dimas meraih tanganku dan menyeretku mengikutinya.
Kami berjalan bersama dari halaman sekolah menuju tempat pemberhentian mikrolet..tempat Dimas biasa naik angkutan umum.
“Ini namanya Klojen. Aku kalau mau pulang biasanya naik dari sini.” Kata dia.
Dimas mengajakku menumpang sebuah mobil angkutan kecil berwarna biru....eh semua angkutan di sini kebanyakan berwarna biru sih....hanya di sekitaran pinggir kota yang warnanya beda.
Aku merasa agak kikuk duduk di dalam angkutan itu. Masih tak biasa ketika banyak orang melihatku. Masih ada kekhawatiran yang kurasakan mengingat aku bukanlah manusia Bumi. Tapi entah mengapa berada di dekat anak yang satu ini membuat aku sedikit merasa tenang.
Kami turun di sebuah daerah yang sama sekali asing buatku.
“Yuk...!” kata Dimas menyeretku menyusuri jalanan yang tidak terlalu besar namun luar biasa ramai itu. Banyak sekali kendaraan lalu lalang di sana.
Dimas mengajakku masuk ke tempat makan. “Kamu pasti lapar kan.” Katanya berseri. Aku bingung.....tapi akhirnya kuberikan sebuah anggukan.
Tempat makan itu nyaman. Tidak terlalu besar. Aku juga tidak tahu apa nama tempat itu. Tapi desainnya dibuat sangat sederhana. Tampak beberapa pelajar dari sekolah lain juga makan di sana. Kebanyakan datang berdua-dua...cewek cowok.
“Aku sama teman-temanku sering makan di sini.” Kata Dimas. Ia terlihat membolak balik lembaran yang tampaknya seperti kertas menu makanan. “Kamu mau makan apa?”
Sekali lagi aku bingung. Profesor biasa memesankan makanan untukku ketika kami makan di luar rumah.
Selebihnya profesor selalu memasak sendiri. “Ehm...” lalu aku teringat makanan itu. “Ada Indomie goreng?”
Dimas bengong melihatku. “Serius?”
Aku mengangguk tanpa ragu. Tersenyum pada Dimas yang masih saja keheranan. Aduh mukanya lucu sekali kalau bengong begitu.
“Oke deh....hmm..Indomie goreng telor kornet 2 ya mas...eh kasih keju sekalian deh......”Dimas tampak hendak menutup lembaran menu itu ketika..”...eh mas...sama es lemon tea yah...kamu mau minum apa?” tanya Dimas beralih kepadaku.
“Ada ehmm.....eh...Jus alpukat?” tanyaku ragu-ragu.
Mas-mas yang membawakan menu pada kami mengangguk ramah. Ia mencatat pesanan kami dan segera berlalu menuju dapur.
“Indomie?” Dimas masih heran.
“Iya...aku suka.” Kataku tersenyum.
Kami banyak berbincang. Dimas memang benar-benar menyenangkan. Kadang dia terlihat konyol, kadang aku gemas....tapi yang jelas ia ingin tahu banyak tentangku. Terpaksa sekali aku menjalankan skenario...mengatakan segala macam hal yang sudah disiapkan oleh profesor tentang identitasku. Aku tak bisa berkata lebih.....belum...
Tak terasa makanan yang kami pesan datang. Pertama kali aku makan indomie di rumah professor terasa sangat lezat. Namun entah kenapa hari ini......Indomie goreng yang kumakan terasa tak ada duanya. Jauh lebih enak dari yang pernah kumakan dulu. Entahlah...mungkin karena aku sedang senang.
Kami berada di tempat makan itu entah sudah berapa lama. Dimas bangkit dari kursinya, dan mengajakku untuk berjalan kembali. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang yang diberikan Profesor dari sakuku, tapi Dimas menolaknya.
“Hari ini aku traktir.” Katanya sambil cepat berjalan menuju kasir.
Aku diam tersipu. Kurasakan detak jantungku kembali bergemuruh.
Kami berjalan sambil tertawa dan penuh senda gurau. Hari itu terasa sungguh menyenangkan. Keramaian kota seakan menemani hatiku yang sedang riang.
Dimas tiba-tiba berhenti. Ia memandang ke sebuah toko yang tampaknya menjual pernak-pernik yang aneh. Ia masuk ke dalam toko itu. Aku mengikutinya dari belakang.
Kulihat Dimas berdiri di depan sebuah etalase yang memajang sebuah benda berwarna warni berbentuk pipih melingkar. Ia meminta tolong pada penjaga toko untuk mengambil salah satu dari benda itu yang berwarna merah...hmm..merah muda.
Dimas berbalik menghadapku dan memberikan pandangan yang membuatku berdebar-debar.
“Sini....mana tanganmu...coba pakai ini.” Kata Dimas sambil meraih tangan kananku.
Benda itu semacam tali jam tangan...uhm....gelang....ya gelang... Bentuknya pipih dan cukup elastis. Dimas memakaikan gelang itu di tanganku. Ukurannya pas...dan kurasa serasi dengan warna kulitku.
“Ini buat kamu....sengaja warna pink....soalnya pertama aku lihat kamu di kelas tadi mukamu warnanya merah muda. Kayak gelang ini. Pasti cocok deh. Hehehe.”
Seketika wajahku kembali memerah. Dimas sialan....
Dimas berbicara sejenak kepada penjaga toko itu untuk membayar gelang yang ia berikan untukku. Aku melihat kembali ke dalam etalase saat kemudian aku melihat gelang yang bentuknya identik dengan yang aku pakai. Dan...warnanya kuning. Aku meminta gelang itu kepada penjaga toko yang lain dan segera membayarnya. Buru-buru aku sembunyikan gelang itu di dalam saku celanaku tepat saat Dimas berbalik dan berjalan ke arahku. Dia tidak melihat apa yang baru saja aku lakukan.
“Tuh kan cocok sama kamu.” Kata Dimas sambil nyengir. Kemudian ia mengajakku berjalan meninggalkan keramaian jalanan menuju sebuah tempat yang sedikit lebih tinggi. Tampak seperti sebuah perumahan sepi tapi masih satu kompleks dengan jalanan tadi.
Dimas berjalan cepat meninggalkan aku yang terengah-engah berjalan di jalanan yang makin menanjak.
“Sini cepat” teriak Dimas.
Akhirnya kami sampai. Tempat yang dituju Dimas berada di daerah yang agak tinggi. Dari situ aku dapat melihat sebuah bukit kecil dengan sungai yang mengalir di bawahnya. Tempat itu semacam taman kecil yang berada di sebuah kompleks perumahan. Tapi di sana sepi. Hanya ada kami berdua yang duduk di salah satu sandaran batu yang banyak terpasang di sana.
Angin bertiup sepoi...udara terasa sejuk. Tidak lagi sepanas siang tadi. Aku memandang jauh. Bukit kecil bersanding dengan pemandangan kota dari kejauhan. Kurasakan Dimas terus menatapku.
“Kenapa sih....ada yang salah sama mukaku?” tanyaku serius.
Dimas tertawa.
Kami terdiam agak lama. Aku duduk bersebelahan dengannya.
Perlahan kuambil gelang kuning yang tadi kubeli dari dalam sakuku. Dimas kaget melihatnya.
“Sini...mana tanganmu!” kataku sambil kuraih tangan kiri Dimas. Ia tidak memakai Jam tangan jadi kupakaikan gelang itu di tangan kirinya. “Warnanya kuning....karena pertama aku melihatmu, aku melihat sweater kuning yang kamu pakai itu.” Kami saling mengulurkan tangan. Tangan kananku dengan gelang merah muda bersanding dengan tangan kiri Dimas dan gelang kuningnya.
Dimas terdiam. Akupun ikut terdiam.
Kami kembali tanpa suara...hanya duduk di tempat itu cukup lama. Hanya senyum kami berdua yang sedikit menghiasi sunyinya sore itu.
Jam tanganku berbunyi pelan. Kulihat pendar merah menyala.
“Aku harus pulang sekarang....” kataku ragu. Kami saling berpandangan. Saat berikutnya kami berjalan menuruni tempat itu kembali ke jalanan ramai tadi. Toh hal yang terasa menyenangkan ada akhirnya juga.
***
Ehh btw meskipun mika makhluk luar tetep punya kelamin kan? Wkwk #plakk
udah saling memberikan gelang persahabatan nih..