It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi....
Tes...tes..
Tidak hujan kok tanganku basah....aku...aku juga menangis kah?
“Ka...kamu....jatuhin ini waktu itu....waktu kamu marah sama aku...” dia terbata-bata. Tiap nafasnya menahan air mata yang setiap saat bisa saja jatuh. Tapi mau bagaimana lagi...toh bahkan aku air mataku ini saja sudah mulai jatuh.
“Pa..paling enggak...paling enggak...kamu simpan ini yah.” Dia mengulurkan gelang kuning yang dibelikannya untukku hampir sebulan yang lalu. Aku ingat aku tidak sadar menjatuhkan gelang itu waktu menepis tangannya yang tiba-tiba menggandengku pagi itu. Hari dimana aku galau luar biasa.
Aku terdiam. Mematung seperti orang bego di halaman rumahku.
Sedikit kilatan cahaya pertanda air mata Mika mulai jatuh. Aku kejam sekali....
Buru-buru aku berjalan mendekatinya. Kupeluk Mika erat-erat. Aku yakin mama pasti bengong melihat ini semua dari balik tirai jendela di belakangku. Aku tak peduli kalaupun mama mengusirku setelah ini...eh...peduli sih tapi...tapi...ah pikir nanti lah....aku juga sedang gak bisa berpikir . Cuma Mika yang ada di otakku saat ini.
Agak lama kami berpelukan. Hangat. Aku suka aroma tubuhnya.
Aku mendengar suara batuk yang sangat artifisial. “Kok enggak diajak masuk sih, Dimas.”
Deg......jantungku berdenyut agak over. Mukaku memerah. Seketika kulepas badan Mika dari pelukanku. Aku menoleh ke belakang. Mama tersenyum berdiri di belakangku.
Agak gugup kutarik tangan Mika mengikutiku berjalan masuk ke ruang tamu. Mika hanya menurut....berjalan dalam diam. Entah apa yang dipikirkannya.
Kami duduk tanpa suara untuk beberapa saat di sofa ruang tamu. Kesunyian itu baru pecah ketika mama membawakan kami masing-masing segelas cokelat panas. Aku melirik Mika. Ia mengucapkan terima kasih dengan ramah ketika mama menyuguhkan minuman itu padanya. Namun saat berikutnya ia terlihat bengong, memandang minuman itu dengan tajam, terlihat seperti anak yang sudah siap belajar biologi semalaman tanpa sadar kalau ujian berikutnya yang dihadapi ternyata soal fisika. Dulu reaksi lebay pada mi goreng....sekarang bengong liat cokelat panas...jangan bilang kamu tidak pernah minum ini juga.
“Kamu suka cokelat panas Mika?” tanya mama sambil duduk di sebelahku.
“Ehmm...aku...eh saya..belum pernah coba tante.” Jawab Mika polos. Nah loh....bener kan! Aku mulai agak curiga. Jerman sedang krisis cokelat? Anak kecil mana di belahan dunia barat belum pernah coba cokelat panas?
Kemudian kulihat raut wajah Mika berseri setelah ia menyeruput minuman panas. Itu. “Enak tante....!” katanya...lagi-lagi polos.
Tak sengaja aku dan mama saling berpandangan. Saling melihat raut muka berbentuk tanda tanya raksasa pada wajah masing-masing. Namun kami tak lagi membahas tentang cokelat panas.
“Jadi ini toh yang namanya Mika......yang hampir tiap hari diceritakan Dimas ke Tante.” Kata mamaku berusaha mencairkan suasana.
Mika hanya tersenyum, sedangkan aku menginjak kaki mama.
“Dimas cerita katanya ada anak baru di sekolah....aaahh...uhhh..!” Mama merintih ketika kakinya kuinjak sekali lagi. Mama menatapku tajam.
“I...iya tante....” jawab Mika tak sadar adegan injak-injakan yang kami lakukan.
“Ya sudah......Tante senang kamu berkunjung kemari. Ini Dimas udah tiga hari bolos sekolah ga keluar kamar....oh iya....ditanya guru enggak?” kata mama lagi yang dijawab Mika dengan sebuah gelengan.
“Ya udah tante ke belakang dulu ya...kalian ngobrol dulu aja.” Kata mama sambil beranjak dari sofa dan berjalan menuju ruangan di belakang rumah.
Jadilah kami berdua di ruang tamu kecil itu, ditemani dua gelas cokelat hangat yang tampak terlalu asing bagi Mika. Lai-lagi kami terdiam. Agak lama.
“Kamu marah sama aku?” setelah beberapa menit akhirnya Mika bersuara.
Aku menggeleng pelan.
“Terus? Kenapa kamu bolos? Dan.....aku telepon....”
“Maafin aku!” aku memotong kata-kata Mika.
“Kamu masih mau temenan kan?” tanya Mika datar membuatku merasa mulas luar biasa.
Teman? Berteman denganmu Mika? Hell yes of course! You really have no idea what i’ve been feeling all this time to you!!! I felt in love with you Mika! Damn!
Namun aku hanya bisa diam. Aku geregetan! Geregetan karena bingung! Asuuu!
Mika tertunduk melihatku yang hanya diam tanpa jawaban. Ia terlihat sedih. Sudah kubilang dia aktor yang buruk......ekspresinya terlalu mudah ditangkap.
“Aku....aku suka sama kamu Mika. Entahlah suka kayak apa...tapi aku.....”
“Aku juga suka kamu Dimas!” Mika ganti memotong suara yang keluar dari mulutku.
“Aku suka duduk di sebelah kamu. Aku senang kamu ajak aku jalan-jalan hampir setiap hari. Aku senang kamu tarik tanganku waktu cewek-cewek di kelas udah menuhin ruangan nanya macem-macem yang bikin aku sesak napas. Kamu udah kayak Berrj’, selalu lindungin aku, bantuin aku, jagain aku, bikin aku senyum...aku aku...”
“Be...Bejo?” tanyaku memotong kata-kata Mika. Aku mendengar ia sempat menyebutkan sebuah nama....Bejo? orang Jerman mana yang namanya Bejo?
“Berrj’!” jawab Mika membetulkan. Namun ia mengatakan dalam logat yang sangat aneh.
“Bejo..beje..beeeej?” kataku mencoba mengulang nama itu.
“Berrj’!” jawab Mika lagi.
“Beeeeejju..?” kataku lagi masih kurang paham.
“Beeeeeerrrrrrrrjjjjjjj’!” jawab Mika lagi mulai kesal. “Intinya aku juga suka sama kamu.”
Aku senang Mika mengatakan dia juga menyukaiku. Aku tahu dia jujur. Tapi fokusku beralih pada nama yang disebutkannya.
“Itu siapa?” tanyaku.
“Siapa? Berrj’? eh...dia dia..” mendadak Mika jadi panik. Wajah putihnya menjadi merah padam.
“Dia.....saudaraku....eh...anak angkat ayahku....eh...yah semacam itulah!” napas Mika tersendat. Ia panik. Hal itu membuat nafasnya jadi sesak. Buru-buru ia merogoh saku celana pendeknya. Karena saking-buru-burunya tabung asma miliknya terjatuh dan menggelinding di dekat kakiku. Reflek aku mengambil tabung itu dan beralih duduk di sebelah Mika. Aku memakaikan tabung kecil itu di mulutnya sambil tanganku membelai dadanya. Ketika ia sudah mulai tenang dan mampu memegang sendiri tabung itu, tanganku yang semula memegangi tabung untuknya beralih membelai bagian belakang kepalanya.
“Tenang....tenang.....” bisikku pelan.
Nafas Mika berangsur lancar. Ia sudah tampak tenang. Tidak lagi terengah engah. Mukanya juga sudah mulai normal kembali.
“Maafin aku.” Bisikku pelan.
Sebenarnya banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Semua makin terlihat aneh.... tapi satu hal yang membuatku lega. Aku mulai mengerti keadaan yang kualami saat ini. Biar pertanyaan-pertanyaan itu terjawab sendiri pada waktunya.
Kami masih ada di ruang tamu itu cukup lama, berbincang ringan cenderung tidak penting. Tapi suasana hati kami membaik secara signifikan. Kami kembali dekat walau masih menyisakan ketidakjelasan yang mengikat semua fakta. Apakah ini hubungan pertemanan? Atau...
Terserahlah....aku tak peduli. Aku tohgak terlalu mikir banget soal itu.
Jam besar penghias ruangan berdentang sembilan kali. Dari kecil aku sudah takut sama jam itu, pernah coba kulempar batu sampai pecah kaca yang melapisinya, hasilnya.....jam masih saja berdentang ditambah kicauan ampun-ampun yang keluar dari mulutku merasakan merahnya telingaku dijewer papa.
“Aku pulang dulu ya.....Prof..maksudku orang di rumah pasti bingung kalau aku jam segini masih keluyuran.” Kata Mika kemudian.
Aku mengangguk pelan. Segera kupangggil mama. Mika berpamitan denan sopan. Kami sempat mengawasinya sampai dia berjalan agak jauh dari halaman rumah.
“Hmm......” kata mama bercanda sambil mencubit pipiku seraya menyeret masuk ke dalam rumah.
Kami, aku dan mama duduk di ruang tengah. Suara TV terdengar pelan.
“Ma...” panggilku sedikit kekanak-kanakan. Di pikiranku tengah penuh rasa takut apa yang akan dikatakan mama setelah melihat fakta malam ini.
Tapi mama tetap diam. Mama malah menatapku datar. Tanpa suara.
Aku pindah duduk di sebelah mama. Kepalaku menyandar pada tubuhnya. Jadi anak satu-satunya, sebenarnya aku tumbuh dengan sifat yang cukup mandiri, berusaha melakukan segala sesuatu sendiri, setengah mati menghindar dari anggapan manja. Tapi mama tahu betul sifatku. kalau sudah seperti ini....manjalah aku sejadi jadinya. Apalagi aku tahu besar kemungkinan mama bakal marah. Well you know why.
“Mama marah?” tanyaku. Belaian tangan mama di kepalaku terasa sangat nyaman.
“Enggak....” jawab mama singkat.
“Tapi...tapi...” kataku sedikit bingung.
“Mama tahu apa yang lagi kamu rasain. Wes to...kamu ndak usah sok-sok rahasia segala.....sok sok galau kayak anak alay.” Katanya sambil menyentil hidungku.
Aku terdiam.
“Mama Cuma melihat kalian....masih muda....ngerasain banyak hal baru yang....opo yo...yo kadang terlihat ndak biasa.” Kata mama masih membelai lembut kepalaku. “Coba kamu pikirkan baik-baik.....rasakan lebih dalam...apapun jawabannya, kamu tetep malaikat kecil Mama. Sampai kapanpun itu.” Aku merasakan kecupan Mama di kepalaku.
Aku melirik wajah mamaku sedikit. Ia tersenyum. “Janji Ma?”
“Kita pikirkan sama-sama, kita hadapin sama-sama.” Mama mengulurkan jari kelingkingnya padaku. Aku menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingku juga. Sebuah ritual perjanjian yang selalu kami lakukan sejak aku masih kecil.
“Hmm...emang sejak kapan kamu kok...hmm..bisa suka sama Mika...” canda Mama menyentilku.
“Ah..Mama!” aku tersipu malu.
“Eh eh......tapi cakep kok.....paling gak selera kamu oke lah..” Mama tertawa meledek.
Malam itu sangat melegakan bagiku. Kami berbincang hingga nyaris tengah malam. Puluhan tanya, canda, tawa, semua menghiasi perasaanku, perlahan menyelamatkanku dari ketakutan.
cuma dikit lagi......
yang banyak dong.....
ngancemlagiakibatceritanyaseru.......
hehehe
cuma dikit lagi......
yang banyak dong.....
ngancemlagiakibatceritanyaseru.......
hehehe
tp mamanya nerima keadaan Dimas ya..
jadi bikin hati Dimas tenang tuh karena udh dpt restu mamanya..
adakah di dunia real ini?
adakah di dunia real ini?