It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
prof nya banyak rahasia, makin seru. prof johan temennya bapak dimas kan?
prof juga kenapa tuh. dia kenal dimas? siapa dimas? apakah...?
terima kasih bagi teman2 yg suka sama cerita ini n mohon maaf kalau kualitas ide n gaya penceritaannya kurang memuaskan...maklum newbie..hehe
“Uuuaanjrriiiiit! Sakti tenan koen Mik!” celoteh Joko dari kerumunan paling belakang.
“Ya ampun kamu pinter banget ya.....” kali ini suara Lia.
“Taek!” entah suara siapa itu.
“Iki tenanan ta Rek?” entah suara siapa itu juga yang jelas masih dari barisan paling belakang.
“Mika aku naksir kamu!!!” entah suara siapa yang jelas cewek sih.
“Aku juga!” kali ini suara cowok.
Aku menunggu Dimas berkomentar. Namun dia masih diam walau masih terbelalak.
Hari ini guru membagikan nilai ujian kami. Entah ujian apa ini ujian tengah semester atau apa lah gak paham aku. Aku suka pelajaran di sini tapi ga mau tahu dengan sistemnya. Guru bilang ujian ya sudah ujian, guru bilang KP....pikir cepat....kalau ada yang kenal Pak Prayogo pasti tahu istilah ini........ya sudah ikutan KP aja. Semacam tes matematika yang soalnya dibacakan oleh guru dan kita harus segera menghitung jawabannya secepat mungkin sebelum guru membacakan soal berikutnya. Kalau telat ngitung...ya lewat sudah satu nomor soal.....kecuali temen sebelah berbaik hati ngasih contekan.
“Kamu...” mulailah Dimas bersuara. Dia mengambil kertas-kertas jawaban yang dibagikan kepadaku. Terlihat jelas nilai yang dituliskan di bagian pojok kanan atas. “Fisika 100, biologi 100, matematika 100, IPS 100, Bahasa Indonesia 100, Bahasa Inggris 100, Agama 55. Ini serius?”
“Ya..itu aku ga seberapa paham agama dan baru kali ini sih belajar soal agama jadi.....” Dimas menggeleng dan segera memotong kata-kataku.
“....bukan..bukan...bukan soal agamanya....tapi ini..” Dimas mengangkat hasil-hasil ujian yang bernilai 100. Aku Cuma bengong.
Keriuhan kami dibuyarkan oleh seseorang yang memanggilku dari depan pintu kelas.
“Mika....coba ikut Ibu ke ruang kepala sekolah.” Kata Bu Maimunah, guru Bimbingan Konseling kami. Penuh dengan kebingungan aku beranjak dari kursiku dan berjalan mengikuti Bu Maimunah menuju ruang kepala sekolah. Lirih kudengar teman-teman bergumam macam-macam.
“Jenius kali yah?”
“Nyontek kali.”
“Klo iya nyontek sangar arek iku cara nyontekke. Opo ngrepek yo?”
“Taek......ngerti ngono wingi takok Mika aku Rek! Tiwas sebelahan. Lha wajahnya gak ketok pinter sih. Gak meyakinkan.”
Entah siapa saja yang bergumam itu. Tapi aku melirik sedikit ke arah Dimas yang mengamatiku dengan wajah khawatir.
Kami masuk ke ruang Kepala Sekolah. Aku terkejut Profesor Johan sudah berada di sana, berbincang ringan dengan Kepala Sekolah. Ada juga Pak Helmi, guru elektro dan Bu Suyati Wali Kelasku. Ada apa ini? Apa aku melakukan pelanggaran berat sampai mereka memanggil Prof Johan sebagai Waliku?
“Ah Mika......duduk sini, Nak.” Kata Pak Burhan, kepala sekolah kami, menyuruhku duduk di sofa tamu bersebelahan dengan Profesor Johan.
“Mungkin kamu bingung kenapa kok dipanggil kemari ya? Sampai-sampai wali murid, Pak Johan ini juga ada di sini?” tanya Pak Burhan yang kujawab dengan sebuah anggukan kecil.
“Apakah....maaf Pak...apakah saya berbuat kesalahan?” tanyakku gugup.
Hampir semua yang ada di ruangan itu tertawa.
“Tidak...tidak Mika. Kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa. Malah justru.....” Kepala Sekolah melirik ke arah Bu Suyati.
“Gini Mika...beberapa waktu belakangan ini kami mengamati hasil akademikmu secara lebih intens. Kami mencoba melihat bagaimana progres kamu dalam kegiatan belajar di kelas....menilai hasil-hasil ujian kamu...dan...” Bu Suyati terdiam sejenak. “Kami merasa kemampuan akademismu terutama untuk bidang sains sangat menonjol.”
Suasana hening sejenak.
“Diam-diam kami juga memasukkan soal yang berbeda khusus untuk beberapa mata ujian punyamu. Soal itu biasa untuk tes masuk kelas akselarasi. Dan kamu bisa menjawab soal-soal itu dengan lancar. Sama sekali tidak kesulitan.” Lanjut Bu Suyati.
Profesor Johan yang sedari tadi terlihat menahan bicara, tiba-tiba bersuara. “Lalu Pak...Bu...boleh kita langsung ke inti pembicaraannya? Ini arahnya bagaimana ini?” tanyanya tidak sabar.
“Sabar Pak Johan...Gini pak....melihat kemampuan akademis Mika ini, saya dan guru-guru yang lain berdiskusi. Kami merasa sayang kalau Mika menjalani kegiatan belajar di kelas reguler.” Kata Kepala Sekolah. “Awalnya kami pikir untuk mengusulkan ke kelas akselerasi....tapi setelah saya coba tanya-tanya ke dinas, ternyata memungkinkan untuk lompat jenjang lebih jauh.”
“Sek sek...bentar....Bapak bicara sama Dinas? Ada yang tahu kalau Bapak mengusulkan Mika untuk..” Prof. Johan menatap tajam kepala sekolah.
“Oh...enggak pak....orang-orang dinas belum tahu detailnya. Saya Cuma menanyakan ada tidaknya jalur untuk itu karena saya melihat potensi luar biasa Mika. Saya masih ingat kok pesan Bapak waktu masukin Mika ke sini. Saya tidak menyebut nama waktu konsultasi ke dinas.” Jawab kepala sekolah buru-buru.
Pesan? Prof. Johan berpesan apa pada mereka? Apakah ini terkait kerahasiaan identitasku?
Profesor Johan menatapku. Dia tidak berkomentar apa-apa lagi. Sepertinya dia menyerahkan keputusan akhir pada jawabanku. Profesor Johan telah berusaha sekuatnya memberikan identitas normal padaku, namun aku tahu bila aku harus tinggal di Bumi untuk selamanya, aku harus memulai mengumpulkan bekal sebaik mungkin untuk kelak. Dan hal ini...tawaran ini...adalah bekal akademis yang baik untuk itu. Tapi....ada satu hal yang membuatku berpikir ulang.
“Jadi bagaimana Mika? Kamu mau coba buat lompat kelas?” tanya Bu Maimunah.
Aku terdiam agak lama. Menimbang satu pikiran yang kurasakan.
“Saya......boleh saya ikut kelas reguler saja Pak...Bu?” kulihat sedikit kekecewaan pada raut muka para guru. “Ehm...saya berterima kasih atas kesempatan ini...tapi....saya merasa lebih baik untuk jalan secara reguler.”
“Tapi kenapa Mika? Ini.....” Aku segera memotong kata-kata Bu Suyati.
“Maaf Bu...tapi saya sudah beberapa kali pindah sekolah. Di luar negeri saya sering pindah sekolah karena orang tua saya. Ketika saya sudah mulai betah, punya teman, punya lingkungan yang saya sukai, orang tua saya meninggal. Dan sekarang saya pindah ke sini.......Prof. Johan merawat saya udah kayak anak sendiri. Saya betah dengan lingkungan di sini. Saya punya teman yang baik...seru.....asyik....bisa saja saya akan punya teman baru nanti kalau harus loncat kelas. Mungkin secara akademik lebih baik untuk saya...tapi...sampai kapan saya punya teman dan lingkungan yang hanya saya kenal dengan sesaat. Saya ingin dekat dengan mereka......dan saat ini teman-teman benar-benar menerima saya dengan baik. Saya...saya....” aku terdiam.
Suasana jadi hening. Entah darimana drama yang kukatakan barusan tapi semua keluar begitu saja dari mulutku. Banyak nonton sinetron nemenin Prof Johan ternyata berguna juga. Padahal satu-satunya yang kupikirkan tadi aku Cuma ingin bersama Dimas lebih lama lagi.
“Hmm..baiklah kalau begitu. Bagaimanapun kamu yang akan menjalani dan saya rasa apa yang menurut kamu baik....ya kita fasilitasi aja.” Kata kepala sekolah menutup pembicaraan.
Aku dan Prof. Johan terang-terangan menghela nafas panjang. Lega. Pak Helmi terlihat melirik kami dengan raut bingung.
“Baik kalau gitu......tapi seandainya kamu berubah pikiran kamu bisa menghubungi Bu Maimunah di ruang Bimbingan Konseling ya.....tapi ya pertahankan dong nilai kamu.” Pak Burhan tersenyum. Dia mempersilakanku untuk kembali ke kelas. Aku segera berdiri, diikuti Prof. Johan.
“Saya kira saya juga balik dulu ya Pak, Bu....udah jelas kan ini.....” Kata Prof. Johan.
Para guru dan kepala sekolah berdiri dan bersalaman kepada Profesor. Aku mengangguk sopan pada mereka dan berjalan keluar ruangan dengan Profesor mengikuti tepat di belakangku.
“Kamu layak dapat Oscar!” kata profesor sambil terkekeh.
Aku terpaksa berjalan sendiri menuju kelasku karena mendadak Profesok diajak berbincang oleh Bu Maimunah dan Pak Helmi. Sepertinya mereka belum puas dengan keputusan itu dan terlihat agak kecewa. Tapi aku tahu apa yang akan dikatakan profesor pada mereka. Aku tersenyum.
Buru-buru aku duduk kembali di kursiku, bersebelahan dengan Dimas. Saat ini mata pelajaran Bahasa Inggris dan guru terlihat sedang menjelaskan tentang Tenses.
“Jadi kalau Present Tense ya begini ini.....pakai verb 1” kudengar guru menjelaskan.
Aku tersenyum, perlahan kuraih tangan kanan Dimas dan kugenggam erat di bawah meja.
“I Love You.” Kataku setengah berbisik.
Dimas tersenyum.....”Only for present time?”
“Now...and forever.” Jawabku singkat.
Typo Dimas seharurnya Mika.
“Tidak...tidak Dimas. Kamu
tidak melakukan kesalahan
apa-apa. Malah justru.....”
Kepala Sekolah melirik ke
arah Bu Suyati.
@3ll0 eh iya hahahaha makasi koreksinya
Mika sama Dimas makin romantis aja nih..