It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Blaaaarrrrrrrr!!!
Mall Olympic Garden yang begitu dibanggakan hancur lebih dari separuh bagian atasnya. Dengan segera aku masuk ke dalam mobil hitam sambil melindungi wajahku dari serpihan puing dan debu.
“Awaaasss!!!” kudengar lirih seseorang berteriak.
Braaakk! Mobil hitam lain di depan kami tertimpa papan iklan besar Inul Vizta tepat di bagian kap mesin. Kulihat asap hitam mengepul dari mobil di depanku. Seluruh penumpang di dalamnya yang semuanya bule CIA itu berhamburan keluar sambil menembakkan senapan.
“Dimas awas!” aku menoleh. Christoper meraih tanganku dan seketika kulihat sebuah kilatan besar laser menghujam dari arah depan. Sebuah ledakan menghempaskan kami. Sempat kulihat bule yang tadi berhamburan tewas satu persatu terkena imbas ledakan. Aku terpelanting mengikuti hempasan mobil kami. Christoper menelungkup di atas tubuhku, melindungiku dari sebuah serpihan pecahan kaca yang menusuk punggung Christoper. Tapi kulihat dia tidak kesakitan sedikit pun.
“Christ....!” pekikku.
Dia segera bangkit. Tanpa mengucapkan apa-apa dia memapah Om Johan yang mengerang kesakitan, berjalan keluar dari mobil. Papa berada di belakangku berusaha melindungi mama dari debu dan pecahan material lainnya.
Kami....aku, Christ, Om Johan, papa dan mama berjalan perlahan menunduk dengan dipandu dua orang agen BIN. Hanya kami yang selamat dari seluruh rombongan CIA. Bule-bule itu tewas seluruhnya.
Kami berbaring menelungkup menghindari hempasan Sukhoi yang terbang rendah. Itu SU-30 milik TNI AU. Aku pernah melihatnya di situs online. Pesawat tempur itu mengeluarkan suara menggelegar nyaris menghancurkan gendang telinga. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Ratusan proyektil terlihat berkilat kena pantulan cahaya, menyembur dari pesawat itu. Manuvernya diikuti oleh tiga sukhoi yang lain.
Christ berteriak menyuruh kami bangun dan segera berlari kembali. Aku buru-buru membantunya memapah Om Johan. Sesaat ketika kuraih tangan kiri Om Johan aku teringat apa yang telah dilakukannya dengan papaku tadi di kafe. Namun kutepis bayangan itu jauh-jauh. Menyelamatkan diri secepat mungkin! Itu yang harus aku pikirkan! Segera cari tempat yang aman untuk berlindung. Kami tengah berada di pusat pertempuran saat ini.
Ingin rasanya aku menangis saking takutnya. Aku tidak pernah merasakan kengerian seperti ini. Aku tidak mau mati.
Perlahan kami bergerak menjauhi tempat itu. Masih jelas terdengar puluhan ledakan di belakang kami. Pasukan gabungan yang didominasi oleh TNI AD sepertinya berhasil menahan laju robot-robot aneh itu.
Seorang agen intelijen BIN berjalan paling depan, memandu kami keluar dari daerah itu. Papa berjalan kedua dari belakang, mengawasi keselamatan kami. Seorang anggota BIN lainnya tampak bersiaga dengan senapan besar berjalan di belakang papa.
Aku tidak tahu siapa Christ ini sebenarnya. Dia tampak seusiaku, tapi jelas terlihat dia banyak memberikan instruksi. Gak takut sedikitpun. Gak ada kelihatan ngeri-ngerinya nih anak.
Agen BIN yang ada di depan terlihat berbicara cepat dengan seorang tentara AD yang membawa sebuah sebuah SUV. Seketika ia melambaikan tangannya pada kami, menyuruh untuk segera masuk ke dalam mobil. Om Johan merintih....tapi aku yakin dia tidak pada kondisi sadar saat ini.
Tentara itu segera mengemudikan mobil menjauh dari lokasi. Aku merasa sedikit lega karena ada agen BIN, tentara dan...Christ bersama kami. Entah gak tau kenapa aku ngerasa agak aman kalau ada Christ sekarang.
Aku menengok ke belakang. Kelihatan salah satu pesawat alien itu mulai berasap. Terbangnya sedikit oleng. Pasukan TNI AU yang kini telah bergabung dengan pesawat tempur negara lain berhasil menumbangkan salah satu pesawat mereka.
“Profesor....Profesor......!” teriak Christ. “Dim...tolong pegangin ini.” Katanya sambil meletakkan telapak tanganku di atas luka Om Johan.
“Christ! Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku reflek sambil menahan luka Om Johan. Aku sempat melirik, papa berusaha menenangkan mama di pelukannya.
“Namaku bukan Christoper. Aku Berrj’. Nanti akan kujelasin semuanya kalau sudah sampai di tempat aman.” Katanya.
Namun aku belum puas. “Mereka siapa Christ eh...Beeej...Berrj’? kenapa mereka menyerang Malang?”
Berrj’ menatapku. “Mereka...mereka nggak dari Bumi. Mereka ngincar Mika.”
“Mika?” aku melotot.
***
Kami sampai di tempat yang tinggi. Aku gak nyangka kalau ada bangunan di tempat seperti ini. Aku juga gak tau di mana ini? Hari sudah gelap. Dan aku gak sempat lihat arah perjalanan kami sejak menghindari lokasi pertempuran tadi.
Mama terlihat sangat syok. Dia jadi pendiam dan sudah beberapa lama ini dia hanya dekapin kedua tanganya aja. Tanpa suara. Tapi jelas wajahnya pucat. Tapi mama masih sempat menepis tangan papa saat papa berusaha memeluknya. Mama masih marah....mungkin bingung dengan apa yang kami lihat di kafe..plus serangan tiba-tiba yang baru saja terjadi.
Aku tidak berani mendekati mereka. Mama terlihat mulai marah. Aku hanya berdiam diri di tepi bukit itu. Memandang jauh ke bawah sana dan melihat banyak kilatan sinar di malam yang gelap. Kota Malang lumpuh seluruhnya. Seluruh listrik dan alat komunikasi tumbang. Yang terlihat ya Cuma kilatan tembakan dan suara ledakan yang makin lama makin kencang.
Kulirik Berrj. Ia masih datar tanpa ekspresi. Tapi dari gerak geriknya aku tahu ia panik. Berkali-kali ia berbicara melalui earphonenya dan melihat ke sebuah alat elektronik yang digenggamnya. Sedang tentara dan orang BIN tampak bersiaga mengamati situasi.
Kulihat Berrj’ membanting peralatan yang digenggamnya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak kukenal.
Aku berdiri dan mendekatinya. “Dimana Mika?”
“Gak tau! Aku juga menunggunya. Harusnya dia sudah di sini dari tadi!” jawabnya membuatku panik.
***
SEMENTARA ITU...........................
Agen CIA yang mengemudikan mobil membanting setir ke kiri. Sebuah guncangan keras membuat puluhan pohon di samping kanan kami tumbang. Kulihat retakan besar muncul menghancurkan jalanan di depan kami.
Aku berteriak. Mobil kami berguncang dan terlontar ke jurang pendek di sebelah kiri. Kurasakan tubuhku terpelanting tidak karuan. Untung Hershire mendekapku erat. Pundaknya menghantam pintu samping mobil.
Secara tak sengaja pintu kanan terbuka membuat Tuan Argo terhempas keluar. Mobil yang kami tumpangi masih meluncur deras terbolak balik menuruni daerah yang sangat curam.
Mobil baru berhenti terguling setelah tertahan sebuah pohon yang sangat besar. Agen CIA yang duduk di depan terluka cukup parah di kepala. Hershire masih mendekapku. Ia baik-baik saja. Verklasr dan Ro’ membantu kami keluar dari dalam mobil. Mereka telah menenteng senjata yang sangat besar.
Hershire mendongak. Mencoba mencari Tuan Argo. Kami terdiam setelah melihatnya tergeletak lemas tertimpa dahan pohon yang amat besar. Ro’ berlari menyusul Tuan Argo. Ia tampak melihat kondisinya sejenak dan menggeleng ke arah Hershire. Aku merasakan tangan Hershire bergetar. Ia marah. Namun kami kembali dikejutkan oleh suara berdesir dari kejauhan. Dengan segera Hershire yang sudah tua namun kurasakan tenaganya masih sangat kuat itu menyeretku berlari menjauh. Ro’ dan Verklasr mengikuti kami dari belakang.
Sebuah kilatan cahaya nyaris mengenai wajahku. Aku berhenti berlari dan menoleh ke belakang. Hershire mengambil senjata dari balik punggungnya dan berlari ke belakang sambil menembakkan weissfer ke ranting-ranting pohon di belakang diikuti oleh yang lain yang juga turut menembakkan senjatanya. Aku melihat droid hitam itu terjatuh. Sebuah tembakan dari Hershire tepat mengenai kepalanya membuatnya meledak.
“Ro’, Verklasr! Lindungi Mika!” teriak Hershire dalam bahasa Aemestry. Ia berjalan maju sambil menembakkan weissfer di tangannya.
Seorang agen CIA tertembak. Ia tewas seketika. Hershire menarik tangan agen CIA yang lain dan menyuruhnya berlari. Ro’ dengan segera menyeretku. Verklasr terlihat masih membantu Hershire menembakkan senjatanya.
Kami terus berlari. Verklasr mengikuti dari paling belakang, melindungi Hershire.
Medan yang kami lalui luar biasa sulit. Tampaknya kami berada di sebuah bukit lagi....memang ada jalanan di situ tapi sudah tidak jelas bentuknya. Penuh retakan dan sebagian besar hancur.
Hari beranjak gelap. Sulit bagi kami melihat dengan jelas. Kami tidak membawa penerangan apapun. Keuntungan bagi droid karena aku yakin mereka pasti memiliki teknologi untuk keadaan ini.
Kulihat Hershire melemparkan sesuatu. Seketika kudengarkan bunyi nging keras. Bom sinyal. Hershire membawanya. Bom itu tidak akan meledak tapi cukup kuat untuk merusak sensor dan sinyal droid. Memberi cukup waktu bagi kami untuk melarikan diri.
Kami berlari terasa sudah berjam-jam. Medan yang luar biasa sulit ini benar-benar bikin senewen. Kondisi kami tidak cukup baik. Aku sudah menghabiskan tabung asma terakhirku beberapa saat yang lalu. Agen CIA yang menemani kami berlari dengan menahan luka yan cukup parah di kepalanya. Hershire sudah tidak muda lagi, dia tampak sangat kelelahan. Ro’ dan Verklasr membantunya untuk terus berlari.
“Tidak...tidak....Mika!....Mika misinya....bukan aku!” kata Hershire terengah engah. Ia menyuruh Ro’ dan Verklasr untuk mengawasiku, mengingatkan bahwa akulah target utama mereka.
Saat itulah aku melihat bayangan di kejauhan. Sebuah bangunan di sebuah tempat yang agak lebih tinggi dari tempat kami berada.
“Over there!” kata agen CIA itu sambil menunjuk bangunan itu.
Kami bejalan sempoyongan mendaki bukit curam. Hershire nyaris kehabisan tenaganya. Ia tidak membawa inhaler tambahan, membuat nafasnya jadi terdengar sesak. Ro’ dan Verklasr juga tapi mereka terbiasa dengan situasi darurat seperti ini.
Terengah engah aku mendaki jalanan itu. Saat aku terpeleset dan hampir jatuh sebuah tangan menopangku dan menariknya. Kulihat seorang tentara bersenjata lengkap berdiri di situ meraih tangan kananku.
“Kalian lama sekali!” kudengar Berrj’ berkata.
“Droid.....droid di belakang kami......” kata Ro’ terengah.
Berrj’ mengulurkan beberapa inhaler dan segera membantu kami berlari masuk ke dalam bangunan.
“Aku berhasil memasang jammer. Tapi tidak akan tahan lama. Aku gak nemu sumber tenaga di sini.” Kata Berrj’ padaku setibanya kami di luar gedung.
“Mika!” kulihat Dimas berlari dan langsung memelukku. “Kamu gak papa kan?” tanyanya panik. Aku melihat kebingungan di wajahnya. “Apa sih ini Mik?”
Belum sempat aku menjawab, Berrj’ menyuruh kami masuk ke dalam gedung.
***
to be continued
kalau emang cukup banyak peminat ane bakal coba bikin cerita dengan genre lain yang mudah-mudahan bisa mengakomodir segala masukan teman-teman biar bisa bikin cerita yang lebih baik...
tengkyuuuu
klo ada tata penulisan yang juga kurang tepat yah ane cm berusaha bikin pop art yg seenak mungkin buat dibaca walau ane ga berusaha buat mendekati teenlit
kalau ada fakta yang meleset ane dah coba buat bikin alur selogik mungkin dengan browsing2 fakta dan sejarah yang ada, bisa aja ada kesalahan pemahaman ane soal fakta sejaran dah...terkait pencatutan nama serta kharakter...well...yah it's a fiction guyz
ketika mereka sdh tak menjabat, cerita tak seperti kenyataannya.
makanya cerita fiksi umumnya menyebut nama presiden yg fiktif juga. cek aja film-film hollywood.
hanya bualan di tengah kepenatan
@adacerita @andi_andee @nakashima @gravitation @majesty @Pleiades @senjahari @arieat @keposeliro @Adiie @3ll0 @Hon3y @Rikadza @am_rz @haha5 @rasdidin @q_noy @Tsunami @MALAMBIRU @balaka @Tsu_no_YanYan @jamesfernand084 @lulu_75 @Asu12345 @SteveAnggara @zakrie @kiki_h_n @dafaZartin @nakashima @rio_san @Bun @RenoF @4ndh0 @harya_kei @octavfelix @dhina26 @Bun @JNong @abong @zeva_21 @ardavaa
SenyawaDiorama
Aku memandang lama ke layar laptopku. Tersenyum. Cerita Mika ini telah sampai pada chapter terakhir. Bagian dimana aku membuka semua. Mungkin kalian bahkan sudah menebak akhirnya...atau belum...entahlah....biar aku merasakan keegoisan itu untuk sejenak.
Namaku Diorama. Hmm...bukan nama sebenarnya juga. Tapi aku mempersiapkan nama Diorama untuk anakku kelak. Tentu bila dia terlahir laki-laki. Lucu sebenarnya karena belum tentu Diorama benar-benar lahir sebagai darah dagingku mengingat....ya I’m gay and I’m proud to born that way. And I think i was born that way.
See? Dengan kondisiku ini aku belum yakin bakal menuruti budaya menikah di keluargaku. Bimbang...karena aku mencintai seorang laki-laki. Namun menjadi anak satu-satunya dalam keluarga, tanpa sedikitpun dosa orang tua padaku.....aku ragu. Akankah deklarasi terhadap apa yang kurasakan ini berbuah menjadi sebuah kedurhakaan.
Aku memilih Diorama untuk menjadi nama penerusku. Malaikat kecilku. Namun aku telah membuka jalan nama itu sedari awal. Meminjamnya untuk menjadi identitas palsuku. Aku ingin menyatakan sebuah perasaan dalam wujud tulisan. Tak sempurna memang, tapi....adakah dari dalam diri kita yang benar-benar sempurna? Tuhan mengatakan Ia menciptakan kita dalam bentuknya yang sempurna. Keindahan kata-kata Tuhan melahirkan jutaan penafsiran. Aku memilih memahaminya sebagai sebuah kesempurnaan yang tercipta karena kita tidak seutuhnya sempurna. Bukankah karena banyak ketidaksempurnaan itu mereka menyebutnya manusiawi? Perfect imperfection! Well......aku tercipta sebagai manusia dan sepenuhnya ingin bersikap layaknya manusia. Tak seorang pun sanggup menjadi Tuhan. Karena memang tidak perlu menurutku.
Diorama adalah sebuah miniatur. Kelak malaikat kecil pemilik nama itu kuharapkan menjadi sebuah miniatur kehidupan kami. Aku dan my lovely future husband. Tak sedikitpun aku menuntutnya sempurna. Aku hanya ingin ia menjadi manusia......menunjukkan sikap manusiawi. Itulah kesempurnaan miniatur hidupku. Kesempurnaan seorang Diorama kecilku.
Dan tiap geraknya, tiap senyumnya, tiap tangisnya, tingkah lucunya, nakalnya, jalan hidupnya, masa depannya.....adalah sebuah sari dari kehidupan. Gambaran utuh terhadap apa itu manusia sebenarnya. Sebuah senyawa.
Tiap kata, tiap hentak yang kudengar saat aku menuliskan sesuatu yang nyata jelas terlihat dalam layar laptop kecilku ini...adalah sebuah senyawa dari dioama kehidupanku. Sedikit bertafsir akan keinginanku, dan sedikit lainnya gambaran masa laluku.
Kadang aku lelah dalam imajinasiku. Namun kudapati semangat tak terkira dalam tiap khayalan itu. Aku menyukai tiap detik yang kulewati dalam bayangan fatamorgana bawah sadarku. Menikmati tiap suka dan duka atas imajinasi liarku. Aku menikmatinya. Seperti berjalan pada sebuah kebebasan.
Begitu burukkah dunia hingga aku memilih terdiam dalam khayalan? Entahlah kalian yang menilai sendiri. Tapi dalam sebuah khayal, aku tak harus tunduk pada sebuah pola. Aku menciptakan duniaku sendiri. Menciptakan pola untukku sendiri. Tidak seindah rencana Tuhan memang, tapi kenapa kita harus takut untuk berkhayal. Yang kutakutkan justru kenyataan itu sendiri. Saat ketika aku harus bangun dan tersadar. Sedikit bagian diriku sengaja mengikatkan diri pada ranting besar dunia imajinasiku. Membuatku tidak benar-benar hidup dalam alam nyata.
Tapi toh semua tidak terlalu berarti. Aku kembali tersadar dan membaca sebuah tulisan yang bila kalian pahami berbunyi sangat nyaring. Sebuah jeritan. Tangis tanpa suara. Hanya bila kalian memahami.
Mika adalah salah satu.......satu dari banyak pengharapanku. Gambaran dari sosok yang terlintas di kepalaku. Sebuah cerita yang membuatku tersenyum.
Kamu memikirkannya.
Kamu membayangkannya.
Pikiran akan rusak.
Bayangan akan hilang.
Kenapa tidak coba menuliskannya? Membuat Mika hidup dalam sebuah kenyataan khayalan. Membuat senyumku atas sosoknya tersimpan untuk waktu yang lebih lama. Membuat kisah yang terlintas sebagai bayangan berubah menjadi realita yang tak beraturan. Ia muncul seketika. Lahir dalam kerinduanku pada my lovely husband. Bayangan yang tampak berkedip....tak begitu jelas tercerna dalam otakku, membuat kisahnya juga jadi tak beraturan. Seakan sebuah ketergesaan untuk sedapat mungkin menghiasnya dalam bingkai kaca agar tidak cepat lenyap. Agar aku bisa tersenyum saat mengingat dia...my lovely husband.
Kisahku adalah hidupku.
Guratan kata adalah lukisan duniaku.
Diorama adalah imajiku. Cerita yang tertulis adalah penggalan khayalanku. Semua adalah kenyataan dalam kepalsuan eksistensiku. Namaku Diorama. Dan ini adalah Senyawaku.........