It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hehe tenang aja klo habis kelar baca kasih komen yah kritik jg bolehh @haha5
BATAS!
Mereka menyerang tepat tengah malam. Berrj’ terkapar di sudut halaman. Namun tangannya masih mempu menembakkan beberapa proyektil lagi sebelum matanya meredup. Benteng kami hancur. Puluhan prajurit negara ini merelakan nyawanya untuk lenyap begitu cepatnya demi sesuatu yang tak kupahami. Nyaris tanpa jeritan. Kegelapan itu membuka mataku. Apa yang kami hadapi ini sebenarnya? Sebuah ketakutan? Atau sebuah ragu dalam langkah?
Mendadak aku memahami kegilaan para filsuf Danzrouz itu. Menuliskan khayalan dalam tembok realita. Tak ada gunanya menurutku. Percuma bila kamu meneteskan setitik air murni pada segelas kopi. Pahitnya tak berubah.
Namun perlahan aku melihatnya. Bukan tentang setitik air maksud para filsuf itu. Bukan pula tentang sekeruh apapun kopi yang telah tertuang dalam gelasmu. Mereka berbicara tentang arti sebuah perlawanan. Mereka mengungkap arti dari sebuah pendirian. Tak pernah jadi masalah kalaulah setitik air tak memaniskan pahitnya kopi. Tapi akan tercatat dengan jelas untuk selama manusia dapat mengingat, bahwa kita pernah menjadi setetes air murni yang tak ragu membunuh segelas air keruh.
Mereka terus berjuang. Berlari, saling mendorong agar tak ada yang tersayat tembakan musuh. Seakan tak peduli dengan angka, seakan tak peduli dengan jumlah. Seakan tak peduli dengan hari esok.
Aku hanya mematung, terdiam dalam kegilaanku melihat semua ini. Bara api besar terlihat seperti jamur api di kejauhan. Aku tahu......semua yang ada di kota ini terbakar oleh sebuah kekuatan yang kubenci. AMBISI MANUSIA MENJADI TUHAN!
Tanpa sumber tenaga tambahan, jamming yang dipasang oleh Berrj’ tak mampu bertahan lama. Dalam waktu singkat filter sinyal terbuka. Droid dengan mudahnya mengetahui lokasi kami. Kami bagai terlentang dalam lapangan rumput yang luas. Terekspos tanpa halang.
Sial.....kenapa aku jadi sok berfilosofi ketika hujan laser tepat di hadapan kami? Seperti kukatakan sebelumnya....kurasa kegilaan telah menguasaiku.
Sebuah ledakan besar tepat di depan mataku. Namun yang kulihat hanyalah indahnya planet Aemestry. Langit cerahnya di malam hari. Taburan bintang yang terpampang indah. Taman hijau di depan rumahku. Pohon grizzle...oh aku kangen bergelantungan di dahan besarnya....dan...dan....senyum ayahku.
Brak!!
Sesuatu yang besar menubrukku. Aku terjatuh. Samar kulihat Dimas menelungkup di atasku. Muka itu panik..dia berteriak...tapi aku tak dapat mendengar. Tuhan.....apakah Engkau nyata? Benar Engkau nyata! Ayahku tak pernah mempercayaiMu, sebagaimana ayah tak pernah menyebutkanMu padaku. Tapi aku tahu Engkau ada hanya entah dimana. Tak mungkin Engkau hanya sebuah nama untuk menakuti anak kecil sedang Engkau menciptakan senyum untuk Dimas. Senyum yang indah.
“Mika!.....Woy! Mika!” tepukan telapak tangan pada wajahku sedikit membuatku sadar. “Tahan, Mik! Bangun!”
Telapak tangan itu berubah merah. Aku panik....Dimas terluka?
Tidak....dia tidak kesakitan. Kuayunkan tanganku mengusap kepalaku. Perih. Itu darahku. Itu lukaku.
Beberapa saat yang lalu saat aku masih meraih kesadaranku, aku melihat kami terpojok. Lima droid cukup untuk menghancurkan kami. Sekalipun bantun datang, puluhan tentara bersenjata lengkap, membantu kami menghujamkan ratusan bahkan ribuan peluru ke arah mereka, tidak.....senjata-senjata itu tak berarti apa-apa bagi mereka.
Sistem pertahanan droid cukup kuat. Teknologi kami begitu mengerikan......jauh di atas pengetahuan manusia-manusia bumi ini. Hanya peluru kaliber super besar dan weissfer yang mampu melumpuhkan mereka dalam sekejab. Tapi weissfer tak banyak tersisa di sini.
Berrj’ tumbang...dia masih hidup....masih berusaha untuk bertahan dan terus menyerang seadanya, namun ia nyaris tak lagi berdaya dihantam pukulan besi tepat di tubuhnya. Hershire tengah kehilanan napas. Weissfernya sudah entah dia lempar kemana karena toh tenaga pengisinya sudah habis.
Para prajurit tangguh itu kuakui memang sangat luar biasa. Hershire akan mengalungkan puluhan penghargaan bagi mereka seandainya bisa. Mereka tak takut mati. Namun seberapa besar pun perlawanan mereka, hanya sedikit saja menunda para droid mengepung kami.
Hujan laser kedua meluluhkan perlawanan kami sepenuhnya. Aku kehilangan kewarasanku, dan yang lain...entahlah aku tak mau melihat yang lain....tak tega aku melihatnya.
Saat itulah ketika Dimas mendorong dan menyelamatkanku dari sebuah tembakan...awalnya aku tak percaya karena Dimas hanyalah anak bumi seperti pada umumnya. Harusnya dia sudah kabur terbirit-birit, atau ketakutan setengah mati....lebih heran lagi...dia masih hidup setelah kami dihajar dua hujan laser tadi. Mungkin Tuhan memang ada. Sekali lagi mungkin.
Profesor terbaring tak berdaya sekarat di dalam ruangan utama. Kedua orang tua Dimas pingsan tertimpa puing. Ro’, Verklasr dan Hershire yang tersisa. Tapi mereka menghabiskan terlalu banyak tenaga tanpa asupan inhaler selama berjam-jam. Dan aku? Terbaring nyaris gila kalau Dimas tidak menyadarkanku.
Seakan akhir cerita terasa kelam bagi kami, Ini saatnya. Aku menangis dan memeluk Dimas erat. Tak peduli lagi dengan detik berikut yang akan terjadi. Dimas mengerti. Ia balas memelukku lagi. Dua orang remaja tengah tak peduli dengan apa yang terjadi. Saat itu kami menemukan arti sesungguhnya dari waktu dan kesia-siaan. Kami hanya tidak mau terperangkap oleh waktu dan membuangnya dengan sia-sia.
Aku terbaring menengadah. Dari sela bahu Dimas aku menatap langit yang penuh dengan bintang. Aemestry ada di dekat salah satu bintang itu...mungkin...aku tak tahu. Pecahan bagian pesawat tempur sedikit mengganggu bayanganku tentang Aemestry. Tapi seperti hujan meteor, kehancuran pesawat-pesawat tempur pemerintah itu turut mewarnai indahnya langit...meskipun dengan cara yang kelam.
Sebuah ledakan!
Ledakan lagi!
Aku tak mau melihat. Aku hanya ingin merasakan hangatnya Dimas di saat terakhir kami.
Tapi itu tidak terjadi.
Ledakan lagi!
Lagi....dan lagi.....kemudian kudengar samar sorak sorai itu. Apakah kami telah sampai ke elysium? Surga dengan istilah kalian?
Sebuah tangan terulur di depan mukaku.
“Sudah selesai Mika!” aku mendengar suara itu. Aku melihat wajah itu. Familier walau kini banyak kerutan.
“A...Ayah!” pekikku.
***
to be continued
Pertempuran aneh ini berakhir dengan cara yang sama sekali aku pernah aku pikirkan. Satu hal yang pasti aku kaget dengan keberanian yang tiba-tiba muncul. Aku takut.....tapi mendadak ngerasa gak peduli. Gak peduliku itu jadi keberanian buat aku.
Aku pasti mati. Kami semua pasti mati. Di sini. Mika udah berubah jadi gak waras. Mukanya pucat. Pandangannya kosong dan ngelantur kemana-mana. Yo wes lah......syok pasti. Harusnya aku juga syok, tapi gak tau kenapa aku pengin jaga Mika selagi aku masih bisa.
Saat itu pesawat alien lain muncul. Mika ga sadar. Tapi aku melihat dengan jelas pesawat itu. Satu persatu robot yang mengepung kami meledak. Puluhan orang dari dalam pesawat itu mengeluarkan senjata cangih yang seketika bisa ngelumpuhin para robot itu. Jancuk! Another Alien....pikirku.
Tapi ternyata tamu baru ini bantuin kami. Mereka bukan robot....justru kelihatan seperti manusia Bumi. Tapi jelas mereka alien....pakaian mereka, senjata mereka, bahasa pertama yang keluar dari mulut mereka sama sekali bukan sesuatu yang aku tahu berasal dari bangsa manapun di Bumi.
Aku menoleh melihat ke bawah.....ke arah kota yang beberapa saat lalu luluh lantak kena ledakan besar. Ada pesawat berbeda lagi yang terbang di sekitar sana. Pesawat alien yang menyerang kami dengan robot-robot itu berhasil dilumpuhkan. Aku ngelihat masih banyak pesawat lainnya dari tamu tak dikenal ini terlihat mendarat di beberapa tempat. Jumlahnya puluhan.
Robot-robot itu seketika tak berdaya. Pendatang baru ini membawa peralatan canggih, mereka juga menang jumlah. Entah aku harus berterima kasih atau tetap menyalahkan mereka atas semua ini. Aku yakin mereka pasti ada hubungannya.
Kepalaku medongak. Badanku masih tertelungkup melindungi Mika. Sesaat kurasakan tubuhnya bergetar. Ia menangis dan memelukku erat. Aku membalasnya....tak mau melepaskannya.
Menangislah....menangislah sekeras-kerasnya.
Seiring tumbangnya musuh kami, semua yang ada di situ bersorak. Tapi Mika masih memelukku dalam diam. Matanya terpejam.
Kulihat seseorang dari pasukan alien itu mendekat. Kulitnya putih, matanya berwarna biru terang seperti Mika. Banyak guratan kasar di wajahnya menandakan usia yang tidak lagi muda. Ia tersenyum, menepukku punggungku. Kulihat uluran tangannya pada Mika.
“A....ayah....!” pekik Mika tertahan.
Ayah? Apakah benar yang kudengar ini?
Mika bangkit. Terpaksa aku melepaskan pelukannya. Segera ia menghampiri orang asing itu.
Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kukenal. Tampak kelegaan luar biasa pada wajahnya sekalipun berulang kali ia memukul orang yang dipanggilnya ayah itu.
Benar itu ayahnya? Aku bingung? Aku tahu pasti orang-orang tak dikenal ini alien tapi..... Mika memanggilnya ayah? Just get real!
Kami duduk bersama dalam ruangan itu beberapa waktu kemudian. Sisa pasukan yang ada membersihkan potongan-potongan kecil pertempuran di luar. Tinggalah kami, aku, kedua orang tuaku, Om Johan yang kini dapat duduk dengan sadar walau kadang merintih kesakitan....namun lukanya tampak sudah lebih baik, Mika, seseorang yang dipanggilnya ayah, seorang alien lagi yang bertubuh besar serta tiga orang asing yang tadi datang bersama Mika sesaat sebelum droid menyerang kami di sini. Ya droid....Berrj’ berulang kali menyebutkan istilah itu untuk robot-robot yang menyerang kami. Berrj’ juga ada di sana, namun ia tampak terluka parah. Ia hanya berbaring di ujung ruangan tapi sama sekali tidak kelihatan kesakitan. Sakti nih anak.
Aku bingung. Mereka tampak saling berbicara dengan persoalan masing-masing. Para Alien terlihat sangat gembira...mereka berulang kali berpelukan. Mama duduk di sebelah Om Johan, mencoba merawatnya dengan ayah berulang kali berusaha berbicara pada mama. Mereka berada di sudut lain ruangan itu, cukup jauh untuk tidak terdengar oleh yang lain. Aku memilih berjalan mendekati mereka.
Berulang kali aku melirik.....melihat Mika. Dia tampak sangat senang. Tamu baru kami ini sepertinya sangat berarti bagi dia. Aku melihatnya berulang-ulang di sela sudut mataku. Tak berani secara langsung menatap mereka. Sesekali kulihat air matanya...ya Mika anak cengeng...terselip di antara kebahagiaan dan kelegaan luar biasa yang jelas dapat kurasakan dari ekspresi wajahnya.
Aku juga bahagia. Aku juga lega semua pertempuran melelahkan ini akhirnya berakhir. Terlepas dari kehancuran besar yang melanda tanah kami.....aku bahagia. Tapi....entah....kehadiran tamu-tamu asing yang mendadak menjadi juru selamat misterius ini seakan memberi pertanda buruk. Jantungku kembali berdebar kencang saat aku mulai memikirkannya.
Aku takut....ya aku takut.....entah kenapa logika otakku selalu berjalan kepada bayangan itu. Kebersamaanku dengan Mika akan segera berakhir. Aku tidak tahu kenapa aku berpikir seperti itu...hanya saja...aku merasakannya...
Hembusan nafas berat terasa di belakang telingaku. Sebuah tangan besar menepuk pundakku.
“Lupakan Mika.” Kata suara itu di belakangku. Aku terkejut. Seketika aku menoleh. Kulihat Om Johan berdiri sedikit membungkuk di belakangku. Tangannya menahan perutnya. Tapi tak ada luka lagi yang terlihat merembes di sana.
Aku menatap Om Johan...bengong.
“Om tahu apa yang kamu rasakan.” Kudengar Om Johan berbicara. “Kamu dan Mika.....”
“Aku dan Mika kenapa Om!” tanpa kusadari nada tinggi keluar dari mulutku. Aku merasakan seperti tersambar petir. Mama melihatku sedih. Papa menghindari pandangan mataku.
“Dim...” Om Johan menghela napas berusaha menurunkan emosi kami.
Tak sadar aku memundurkan langkahku. Menjauhi Om Johan serta kedua orang tuaku.
“Ma...” aku memandang mamaku. Berharap persetujuan untuk menyudahi pembicaraan tentang aku dan Mika. Mereka telah menyadari apa yang terjadi di antara kami. Tapi mama yang kukira telah memberikan pemahamannya tentang perasaanku, yang kukira mengerti jalan pikiranku, mama hanya menggeleng pelan padaku. Seakan melemparkan sebuah traktor besi tepat ke mukaku.
“Ma!” aku setengah berteriak. Kaki kananku bergerak mundur selangkah dan tak sengaja menginjak sesuatu...membuat benda itu mengeluarkan bunyi seperti pecah.
Seketika semua yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah yang sama. Kami mendengar suara bip kencang.
Reflek aku melihat kakiku. Aku tak sadar ketika seseorang berteriak kepadaku. Aku hanya terdiam di tempatku.
Kulihat sebuah nyala merah terang berkedip tertutup puing-puing yang berserakan di dekat kakiku. Pendarnya berasal dari sebuah benda kecil bulat. Aku sempat melirik ke orang-orang yang berlari berusaha meraihku. Beberapa berteriak menyuruhku menghindar.
Dalam sepersekian detik aku merasakan tubuhku diterjang seseorang dari samping kananku. Aku terhempas. Terjatuh ke arah berlawanan tepat sebelum bunyi bip itu berhenti dan berubah menjadi sebuah nyala terang yang terasa membakar. Masih bisa kudengar betapa kencang suara ledakannya.
Blarrrrrr!
Bom....benda bulat itu adalah sebuah bom. Meledak beberapa meter di depanku. Kekuatannya kecil tapi kaki kiriku serasa perih terbakar. Terlambat beberapa saat saja mungkin aku harus mengucapkan selamat tingal bagi kakiku ini...mungkin untuk nyawaku.
Aku melihat banyak orang mengerumuniku. Tapi aku tak dapat menyadari dengan jelas apa yang mereka katakan. Semua hanya wajah panik.
Tubuh bagian bawahku seperti tertindih sesuatu.... Mika...tidak! Mika tergeletak di sana tidak bergerak. Reflek aku berusaha bangkit, berusaha melihatnya....tapi pandanganku makin samar....gelap.
***
mika mati..
Kukedipkan mataku beberapa kali sampai kurasakan pandanganku yang semula kabur kini sudah kembali jelas. Dinding lusuh....setengah hancur.. aku ingat. Aku masih di bangunan tua itu.
Kulihat mama duduk di dekatku. Menatapku yang terbaring panik setengah kesakitan. Mama seketika memelukku. Kurasakan air matanya basah di pipiku.
“Syukurlah......sedikit saja....sedikit saja terlambat...kamu...”
Aku ingat. Bom.......bom kecil yang meledak......aku selamat....kakiku sedikit terbakar tapi aku selamat....aku selamat karena Mika mendorongku. Ya! Mika....dia menyelamatkanku..tapi dia terkena dampak ledakan itu.
“Mika! Ma....Mika mana..dia...dia baik-baik aja kan...” teriakku tak mempedulikan kegelisahan mama.
“Dimas...Mama mohon.....”mama memperlihatkan wajah memelas padaku.
“Ma....!” kataku keras.
Kurasakan lagi jantungku berdegup kencang. Pintu ruangan terbuka. Kulihat papa masuk diiringi Om Johan di belakangnya. Mereka berjalan mendekatiku.
Kurasakan tangan besar papa membelai wajahku. “Syukurlah kamu baik-baik saja.”
Kugenggam tangan papa erat. Aku menatapnya dengan pandangan memohon.
“Pa....” lirihku.
Papa saling berpandangan dengan mama sejenak. Om Johan mengangguk.
“Papa tau apa yang...maksud papa antara kamu sama..Mika.” kulihat papa menoleh kepada Om Johan sebelum kembali melanjutkan kata-katanya. “Kamu juga tau..papa...” Kulihat papa kembali berpandangan dengan mama...seakan meminta persetujuan. “...papa juga...pernah mengalami apa yang kamu rasakan sekarang....tapi.......”
“Aku tahu apa terjadi antara Papa sama Om Johan! Dan kalau papa tahu apa yang aku rasain...harusnya Papa....”
“Kamu masih kecil Dimas! Dengarkan Papa dulu.” Kata papa memotong kalimatku.
Om Johan mendekatkan tempat duduknya di dekatku.
“Om Johan pernah merasakan apa yang kamu rasakan sekarang. Om tahu.....papamu juga tahu....mamamu juga. Kami sudah membicarakan ini beberapa saat yang lalu.” Kata Om Johan.
Aku memandang Mama...meminta agar dia membantuku. Menyudahi semua ini dan membiarkanku menemui Mika.
Sebuah tangan menggenggamku erat. Tangan mama. Tetap erat mengiringi suara papa yang bercerita banyak hal. Semuanya. Mulai dengan pertemuan papa dan Om Johan dulu.....jauh sebelum aku lahir...jauh sebelum papa menikahi mama....bahkan jauh ketika bahkan papa masih seusiaku sekarang.
Papa masih kecil....masih menginjak usia remaja saat itu. Om Johan tengah menapaki jalan sukses dalam bidang sains dan teknologi. Om Johan menyayangi papa....tidak..... Om Johan lebih seperti mencintai papa dari sekedar menyayanginya. Kedua orang tua papa menitipkan papa kecil kepada kerabatnya dan entah pergi kemana. Papa tidak lagi pernah bertemu dengan mereka. Kerabat papa juga bukanlah berasal dari keluarga yang mampu saat itu. Mereka hidup pas-pasan...bisa dibilang sering kekurangan.
Kebutuhan hidup yang mendesak, membuat papa harus turut bekerja sekedar untuk membayar uang sekolah dan keperluan lainnya. Menyemir sepatu, loper koran, banyak hal sudah dijalani papa untuk mencari sedikit uang. Saat itulah papa bertemu Om Johan. Papa membantunya membawakan barang bawaan di stasiun sekaligus mencarikan rumah tinggal sementara bagi Om Johan yang baru saja tiba dari Jakarta. Mereka bertemu beberapa kali pada hari-hari berikutnya. Om Johan merasakan sebuah ketertarikan pada papa. Entah karena kasihan atau hal lain. Ya mereka banyak berbincang dalam-pertemuan-pertemuan mereka. Papa bercerita banyak hal salah satunya tentang kehidupannya. Mungkin hal itu membuat Om Johan tersentuh. Namun kemudian Om Johan menyadari ketertarikannya bukan hanya sekedar karena perasaan itu. Ada hal lain yang Om Johan rasakan, terlebih Om Johan sadar bahwa ia memang seorang gay.
Kucuran rupiah sedikit demi sedikit dikeluarkan Om Johan untuk papa. Mulanya atas jasanya membantu membawakan barang, upah membersihkan tempat tinggalnya setiap minggu, sampai kemudian perlahan Om Johan memberikan lebih untuk tambahan uang saku papa.
“Perhatian Om Johan bikin papa....” papa menghentikan ceritanya. Ia menghela napas sejenak. “....perlahan papa kepikiran. Papa tidak pernah merasakan perhatian seperti itu. Papa merasa nyaman dan....”
“Aku menawarkannya tempat tinggal.” Kata Om Johan melanjutkan. “Ya....aku merasa karirku cukup baik. Kondisi finansialku lebih dari cukup untuk merawat Bagas..papamu. jadi papa menawarkan papamu untuk tinggal bersamaku.”
Aku tercengang. Bengong dengan cerita ini.
“Papa menerima tawaran Om Johan. Papa menikmati semua perhatiannya.....sampai akhirnya perasaan itu datang....menghantui papa.” Kata papa
Papa perlahan mulai mencintai Om Johan. Tanpa disadari mereka menjalin sebuah hubungan tak lazim terlebih lagi saat itu hubungan sesama jenis menjadi hal yang masih sangat tabu. mereka menikmati rasa kasih sayang itu sampai kemudian papa mulai beranjak dewasa.
Orang tua Om Johan yang tinggal di Amerika menghubungi Om Johan pada suatu hari dan memintanya kembali ke Amerika. Kondisi orang tuanya memburuk dan membutuhkan perhatian lebih dari Om Johan. Saat itulah Om Johan mengalami kegelisahan. Orang tua Om Johan telah mengetahui orientasi seksualnya dan tidak pernah setuju akan pilihan hidup Om Johan. Namun bagaimanapun juga mereka tetap orang tua Om Johan. Dan saat itu mereka benar-benar membutuhkan perhatian anaknya. Jadilah Om Johan dengan sangat terpaksa meninggalkan papa untuk kembali ke Amerika.
“Papa sangat terpukul dengan keputusan Om Johan. Papa marah. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa.” Kata papa kemudian. “Om Johan telah mengubah hidup papa. Dan tiba-tiba saja memutuskan semua ini tanpa memikirkan perasaan papa. Namun...yah...papa hanya bisa terus jalan. Mencoba mencari kehidupan untuk papa sendiri.”
Jadilah Om Johan meninggalkan papa sendiri. Namun Om Johan telah menyiapkan semua yang dibutuhkan oleh papa. Om Johan telah menyiapkan tabungan dan aset yang cukup dan memberikannya pada papa untuk melanjutkan kembali hidupnya...tanpa Om Johan.
Waktu pun berlalu. Papa tumbuh menjadi seseorang yang tegar dan mampu melewati waktu tanpa Om Johan. Namun masih sering papa kepikiran juga sama Om Johan. Nekat...papa memutuskan mengambil kuliah S2 di Amerika. Berusaha untuk kembali menemui Om Johan sekali lagi.
Namun apa yang dibayangkan papa tidak berjalan dengan mulus. Mereka memang kembali bertemu. Om Johan bahkan turut mengajar di kampus tempat papa belajar. Tapi sekali lagi Om Johan meminta papa untuk melupakan semua.
“Aku...merasa bingung saat itu.” Om Johan melirik ke arah mama. “Jujur...aku masih mencintai Bagas. Tapi ada hal yang membuatku tidak bisa lagi bersama papamu. Aku telah berjanji pada orang tuaku...aku...” mama mengusap punggung Om Johan.
“Papa menyerah....dan memutuskan pulang setelah menyelesaikan studi di sana. Hati papa hancur. Tapi papa sudah memutuskan....melanjutkan hidup.” Kata papa. “Saat itulah papa bertemu Nadia....dan..yah...aku sangat mencintaimu Nad...aku juga mencintai Dimas...tapi...kadang aku...” papa menatap mama denan penuh kesedihan. “Maafkan aku Nad. Tapi aku benar-benar mencintai kalian. Itu semua adalah masa laluku....”
Kulihat Mama mengangguk. “Aku tahu, Gas...”
“Harusnya papa tahu apa yang aku rasain sekarang...papa...” belum sempat aku melanjutkan, papa memotongku.
“...Papa tahu, Dim! Tapi papa mohon. Kali ini dengarkan papa. Kamu tidak akan mungkin bersama Mika...” kata papa.
“Kenapa Pa? Karena kami sama-sama cowok? Papa pernah mencintai Om Johan...Papa tahu.... “
“Bukan....Bukan itu Dimas...Mika....berasal dari dunia..” aku tak sabar segera memotong kata-kata papa.
“Alien? Itu maksud Papa? Karena dia bukan manusia Bumi gitu?” teriakku.
Papa berpandangan dengan mama.
“Dimas.....Mama paham. Mama dan Papa tidak pernah ingin bikin kamu sedih..tapi tolong dengerin Mama kali ini ya sayang...” kata Mama lembut.
Aku tidak paham. Aku bingung.
Sesaat pintu ruangan kembali terbuka. Alien yang disebut ayah oleh Mika masuk dan menhampiri kami.
“Di-mas..ada harus kamu tahu tentang kami....dan..Mika. Maukah kalian ikut saya...ke..dalam pesawat kami?” kata orang itu sedikit terbata.
Kami beranjak dari ruangan dalam bangunan tua itu. Kakiku masih sakit. Ada sedikit luka bakar yang belum kering benar. Tapi tidak terlalu parah untungnya. Papa membantuku berjalan perlahan menuju pesawat alien itu.
Aku takjub dengan pesawat ini. Terlihat kokoh....desainnya sangat berbeda dengan pesawat kami....makhluk Bumi. Bentuknya sedikit lonjong. Sangat besar. Nyaris sebesar lapangan bola mungkin. Ada tangga yang berbentuk aneh terjulur keluar. Tangga itu menjadi pintu masuk kami. Aku berjalan masuk dengan sedikit ragu. Tapi aku tahu Mika ada di dalam dan aku ingin menemuinya.
Bagian luar pesawat sudah cukup membuatku tercengang. Namun bagian dalam jauh lebih luar biasa. Interior pesawat dipenuhi oleh panel-panel hologram bercahaya. Rasanya seperti masuk ke dalam pesawat yang ada di dalam film Startrek. Tapi jauh lebih mengagumkan.
Kami berjalan melalui lorong terang di dalam pesawat itu. Menuju sebuah ruangan besar tepat di tengah. Sepertinya itu adalah ruang kontrol utamanya. Banyak orang yang berada di sana menganalisa banyak hal. Di salah satu sudutnya terdapat ruang kaca besar. Aku berjalan mendekati ruang kaca itu dan kulihat Mika berada di dalamnya. Terbaring tak bergerak dikelilingi beberapa orang yang sibuk melakukan banyak hal pada Mika. Dapat kulihat sebagian besar tubuhnya ditutupi luka bakar yan sangat parah.
“Mika....apakah Mika baik-baik saja?” tanyaku.
Alien yang mengajak kami tadi mendekatiku. Ia mengusap kepalaku lembut sambil menatapku dengan penuh senyum. “Dia baik-baik saja.”
Orang itu memandang sekitar dan meminta staf yang ada di sana untuk meninggalkan ruangan, meninggalkan kami dan beberapa orang yang merawat Mika di dalam ruang kaca itu.
Seseorang lain lagi masuk ke dalam ruangan. Tubuhnya tinggi besar dan sorot matanya sangat tajam.
Ayah Mika...eh..alien yang sepertinya ayah Mika itu tampak berbicara sebentar dengan orang tinggi besar yang baru masuk itu. Namun mereka berbicara dalam bahasa mereka. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan.
“Perkenalkan.....ini adalah Jenderal Moc-Rul. Panglima angkatan perang Aemestry. sedangkan aku...namaku Rey Ritterz. Dalam istilah kalian....benar...kami adalah alien. Kami tidak berasal dari Bumi. Kami berasal dari Planet di luar tata surya Bumi....bahkan lebih jauh lagi dari itu....di luar tata galaksi kalian. Kami berasal dari sebuah planet bernama Aemestry.” kata orang yang bernama Rey itu.
Aku tahu mereka alien. Namun fakta yang disebutkan itu masih membuat perutku terasa mual.
“Kami yang bertanggung jawab atas droid...robot-robot yang telah merusak planet kalian. Dan kami kemari dalam perdamaian untuk membenahi apa yang telah menjadi tanggung jawab kami. Orang tua yang....mungkin kalian sudah bertemu dengannya......saat ini dia sedang berada bersama para pemimpin kalian untuk mendiskusikan dan menjelaskan situasi yang terjadi. Dia adalah Jo Orael....Hershire...ehm...presiden dalam istilah kalian....pemimpin Aemestry. Aku juga sangat terkejut ketika melihatnya berada di sini karena....” Rey melirik ke arah Jenderal Moc-rul sejenak. “...karena kami mengira Hershire telah tewas puluhan tahun yang lalu.”
Kami terkejut mendengar penjelasan Rey. Jauh lebih hanyut dalam ketidakpercayaan saat mendengar ceritanya lebih jauh lagi. Rey menceritakan apa yang telah terjadi di Aemestry. pembunuhan Hershire, perang, Droid, teknologi canggih...dan Mika.
“Mika.....tidak seperti yang kalian kira sebelumnya.” Kata Rey kemudian. “Puluhan tahun yang lalu jauh sebelum perang terjadi, aku menciptakan sebuah robot dengan lompatan teknologi yang .... bisa dikatakan sedikit lebih maju dari teknologi kami pada umumnya saat itu. Aku menamai robot itu Berrj’. Kalian mungkin mengenalnya.”
Aku tersentak. Begitu juga Om Johan.
“Ya...Berrj’ adalah sebuah robot. Namun bukan teknologi itu yang sebenarnya menjadi tujuanku. Aku menginginkan sebuah teknologi yang nyaris mustahil. Aku membuat perjanjian rahasia dengan Hershire untuk membuat megaproyek dengan kode Penciptaan Tuhan.”
Suasana mendadak jadi hening.
Rey melanjutkan penjelasannya. “Itu adalah sebuah proyek terlarang yang bahkan Hershire tidak pernah setuju. Namun aku berhasil meyakinkannya.” Rey menghela napas sejenak. “Selama ini kami mengira ada kekuatan luar biasa yang menciptakan kehidupan. Kekuatan Tuhan. Dan kehidupan menjadi pengetahuan yang berada di luar jangkauan manusia....menjadi rahasia milik Tuhan. Namun...bagaimana bila manusia dapat menciptakannya? Bagaimana bila manusia dapat mengungkap rahasia penciptaan dan mengaplikasikannya dalam teknologi? Tujuan utama proyek ini adalah menciptakan kehidupan. Menciptakan manusia. Membuat seolah olah manusia menjadi Tuhan....menciptakan manusia lainnya dari sebuah senyawa mati menjadi oranisme hidup.”
“Maksudmu kloning?” tanya Om Johan.
Rey berpikir sejenak? Ia terlihat berusaha memahami istilah yang digunakan oleh Om Johan. “Tidak....bukan rekayasa genetik dan duplikasi seperti itu. Tapi kami merekonstruksi manusia dari awal. Membuat tubuh, jiwa, dan kehidupan yang benar-benar baru.”
“Tapi itu mustahil!” kata Om Johan.
Rey tersenyum. “Sebagian dari kami juga berpikir demikian. Tapi aku menemukan sebuah pola unik di alam semesta. Menginspirasiku untuk membuat sesuatu. kami telah memiliki teknologi untuk membuat bagian-bagian tubuh manusia secara sintesis. Yang perlu kami lakukan adalah mencari cara untuk membuatnya benar-benar hidup. Bukan sebuah kecerdasan buatan...tapi kecerdasan alami yang terus tumbuh dan terus belajar. Memiliki siklus organik dan batas emosional yang alamiah. Jadi aku mulai menghitung. Ambisiku ini ternyata membutuhkan sebuah mesin yang sangat kuat. Yang mampu menahan proses sintesis yang dapat menghasilkan ledakan yang sangat besar....setara ledakan ratusan nuklir dalam satu waktu pada titik yang sama. Dengan cara itu aku dapat mempercepat proses evolusi jutaan tahun hanya dalam waktu singkat.”
“Jadi itu gunanya mesin yang ada di bawah tanah Aemestry itu?” tiba Jenderal Moc-Rul berbicara.
Rey menangguk. “Aku membuat sebuah mesin raksasa yang sangat rumit. Keseluruhannya terbuat dari logam Vestro, material terkuat di Planet kami...mungkin salah satu yang terkuat di alam semesta. Melalui proses yang rumit dan sangat melelahkan aku berhasil menciptakan makhluk buatan pertama dan satu-satunya yang sama sekali tak bisa kukendalikan....dia hidup, berpikir, bergerak secara bebas....makhluk yang mengendalikan dirinya sendiri. Aku berhasil menciptakan seorang anak yang terus tumbuh dan berkembang seiring waktu....dan kini....dia terbaring lemah di balik ruang kaca itu.”
Aku tercengang. Semua yang ada di situ juga. Bahkan Jenderal Moc-Rul sedikit syok. “Mika?”
“Ya...Mika adalah organisme hidup buatan yang berhasil kuciptakan. Berisi DNA alamiah buatan yang sangat rumit. Saat itulah aku mengira kami...manusia...akhirnya berhasil menciptakan kehidupan lainnya. Menjadi Tuhan.” Kata Rey tertunduk.
Seisi ruangan bergumam.
“Hershire takjub akan keberhasilanku....sekalius takut. Ia melihat potensi yang dapat terjadi di masa depan. Dan apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi. Rahasia proyek ini bocor dan jatuh di tangan pengkhianat Dewan Pertahanan Amestry yang berusaha sekuat tenaga menggunakan penemuan ini menjadi sebuah senjata. Bayangkan......Dewan Aemestry menjadi Tuhan dan mengendalikan tidak hanya Aemestry...tapi mungkin hingga sampai ke alam semesta. Karena itulah mereka mati-matian mengejar Mika untuk mengetahui rahasia penciptaannya hingga akhirnya semua ini terjadi.”
“Jadi Mika...” aku masih syok.
“Benar Dimas.....kali ini dengarkan orang tuamu. Aku juga tahu kedekatanmu dengan Mika. Tapi.....aku terpaksa.....Mika adalah sebuah perwujudan lain dari manusia. Aku masih belum memahami sepenuhnya bagaimana perkembangannya nanti....aku tidak dapat memastikan efek yang munkin timbul...dan oleh karena itu...aku..kami....harus membawa Mika kembali ke Aemestry. Demi kebaikan Mika sendiri....mengawasi keselamatannya. Aku mohon kamu mengerti.” Kata rey sambil menatapku dengan pandangan penuh harap.
Aku merasakan sepertinya aku berubah jadi agak cengeng sekarang. Air mata lagi-lagi jatuh ke pipiku. Apa yang kutakutkan memang benar terjadi. Mika harus pergi....
Rey menghampiriku. Ia membungkukkan badannya dan memelukku lembut. “Mika bercerita banyak tentangmu. Aku tidak pernah melihat emosi bahagia sebesar itu sebelumnya. Terima kasih karena kamu memberikan perhatian yang Mika butuhkan.”
Rey masih memelukku. Seseorang dari dalam bilik kaca keluar dan menghampiri Jenderal Moc-Rul dan membisikkan sesuatu. Jenderal Moc-Rul segera menghampiri kami.
“Kondisi Mika sudah jauh lebih baik. Dia sudah sadar. Kamu mau menemuinya?” kata Jenderal Moc-Rul padaku.
Aku mengangguk.
Aku berjalan perlahan memasuki bilik kaca itu. Bingung......takut....senang.....aku gak tahu apa yang ada di pikiranku sekarang.
Kulihat Mika terbaring di sana. Masih lemah. Tapi ia tersenyum senang saat melihatku berjalan mendekatinya.
“Hai.....” sapanya pelan.
“Hai...” jawabku.
Lama kami diam. Aku menatap matanya tajam. Tak sadar aku sudah memeluknya erat. Enggan untuk melepaskannya.
***