It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sepertinye ini adalah suatu skenario yang sudah di rancang seseorang.
HUFTTTTTTTTTTT.. MAAF KEBWA SUASANA.. EMOSI BNGTTTTTTTTTTTTTTT
CETARRRRRRRRRRRRRR KAPN LNJUT? KEEP MENTION YA??????????/ PLEASE BUAT BRIAN BAHAGIA............. AKU GAK TEGA....... KLO LANJUT KEEP MENTION YA?? @yeniariani
Semua riuh memberikan tepuk tangan untuknya tapi hatinya seolah menyerukan kesedihan yang begitu hebat melanda dirinya. Bagaimana tidak, ketika dengan mesra orang yang ia cintai di rangkul mesra oleh gadis yang di jodohkan dengannya.
Kini kehancuran itu semakin di depan mata, mungkin mati lebih baik daripada Ia harus terus merasakan kehancuran itu melindas hatinya.
Pemuda bermata kucing itu turun dari panggung tanpa mau sibuk menoleh ke orang-orang yang tengah sibuk mengagumi kehebatannya dengan piano yang baru saja selesai ia mainkan.
Dengan langkah cepat pria bermata kucing itu meninggalkan acara pesta dan melangkah dengan kaki jenjangnya kearah lobi. Belum langkah itu semakin menghentak ke lantai, tangannya sudah lebih dulu di tarik oleh seseorang hingga tubuhnya berputar menatap pemilik tangan yang dengan lancangnya menghentikan langkahnya.
“Berhenti marah sama kakak, kakak tidak ada maksud membuatmu sakit hati. Kakak ngelakuin semua itu hanya agar papa sadar kalau wanita itu bukan wanita yang baik untuk papa. Sungguh kakak tidak mencintainya, sama sekali tidak ada perasaan dengan wanita seperti dia.” Sungguh jika pemuda bermata grey itu tahu, bukan wanita itu yang membuat ia sesakit ini tapi lebih kepada cinta yang tak mungkin bersatu, karena secinta apapun dia pada pria yang sekarang sedang menatap sendu padanya tetap saja kenyataan kerap kali menamparnya kalau mereka saudara bahkan saudara kandung.
“Aku tidak pernah marah padamu Kak.” Ucapannya itu di selingin dengan isakan pilu yang timbul tenggelam di mata sang pemuda bermata biru kucing.
“Lantas apa yang membuatmu menjauhiku?” Tentu dia sadar adiknya mencintai dirinya seperti ia juga sangat mencintai sang adik lebih dari kata wajar, hanya yang tak ia mengerti kenapa adiknya tak pernah sadar kalau dirinya mampu melakukan apapun demi cinta yang terlanjur membuat dadanya berdebar.
“Kita tidak mungkin menjalin hubungan layaknya seorang adik dan kakak, tidakkah selama ini kakak sadar aku memiliki perasaan yang melenceng pada kakak?”
“Sangat tahu karena kakak juga merasakannya.” Jawaban itu langsung keluar dengan tegas dari mulut Zac, tanpa adanya keraguan sama sekali.
Ucapan yang di lontarkan oleh pria berbibir ranum itu membuat mata biru kucing menatap tak percaya, mungkin jika ini mimipi akan menjadi daftar mimpi terindah yang ia miliki. Seolah sekarang semua beban itu terangkat dari pundaknya tapi tidak semudah ia berpikir karena bayang-bayang kekekcewaan sang ayah nampak jelas di wajah pemuda itu.
“Tidak akan semudah itu Kak, cinta yang kita miliki adalah cinta terlarang dan akan sangat menyakitkan buat Papa kalau sampai mengetahui itu semua.” Brian menggeleng seolah menghilangkan kesenangan yang ia rasakan sesaat yang tadi.
“Mungkin Papa akan kecewa tapi itu hanya sementara dan aku yakin dia akan mengerti.” Zac masih tetap mempertahankan pendapatnya dan sekarang tangannya sudah menggenggam kedua pergelangan tangan Brian membuat Brian tak bisa berkutik lagi.
“Apa yang kalian bicarakan!” Suara menggelegar terdengar di lorong bersamaan dengan kehadiran sang ayah dan beberapa pengawalnya. Brian menggigil, seolah es di kutub utara sudah di letakkan di tubuhnya.
Zac yang menyadari keadaan sang adik langsung mendorongnya berdiri di belakangnya dan dengan sigap menantang mata sang ayah yang menatapnya dengan silatan penuh amarah.
“Kami saling mencintai Pa.” pemuda bermata grey itu menatap dengan tenang, sifatnya yang dingin memang mampu menguasai keadaan.
“Kalian sudah gila! Kalian ingin mempermalukan Papa?” Suara mendesis keluar dari mulut Alex dengan geraham yang bergemalatuk.
“Cinta tidak pernah gila Pa.” Masih dengan tatapan tenangnya Zac menjawab.
“Tidak puas kamu berselingkuh dengan ibu tirimu sendiri dan sekarang kamu mau merusak adikmu? Sebagai bentuk kekecewaanmu pada Papa. Kamu boleh menghancurkan Papa tapi jangan hancurin masa depan adikmu.”
“Itu tidak benar Pa? Aku dengan sadar mencintai kakakku tanpa adanya rayuan atau segala yang papa tuduhkan padanya. Papa mungkin tidak akan mengerti dengan cinta yang kami miliki tapi aku mohon jangan membenci kakak hanya karena telah membalas cintaku.” Kali ini pemuda berambut spike itu angkat bicara, tak ingin kakaknya di pojokkan dia memberanikan diri membuka suara dan dengan cepat sang ayah menatap putra bungsu dengan tatapan tak terbaca.
“Kalian benar-benar membenci Papa.”
“Kami sama sekali tak memebencimu Pa.” Zac dan Brian menjawab dengan cepat.
“Jika kalian tidak membenci Papa, kenapa kalian sangat tega melakukan semua ini sama Papa. Kalian tidak sadar dampaknya seperti apa?” Alex kembali naik pitam dengan menunjuk kedua putranya.
“kami tidak butuh Papa mengerti ataupun merestui hubungan kami. Kami hanya ingin papa tahu dan lagipula jika papa juga tak ingin menganggap kami anak papa lagi, kami sangat tak keberatan.” Suara Zac membuat Brian dan Alex menganga.
“Kak, jangan seperti ini.” Brian berbicara pada Zac yang sedang menatap tajam kearah sang ayah. Tentu cinta itu terlalu menguasai seorang Zac hingga membuat kata-kata itu keluar dari bibir ranumnya dan membuat sang adik gelisah.
“Kamu berani berbicara seperti itu pada Papamu?!” Amarah Alex sudah mencapai ubun-ubun hingga ada kilatan marah di matanya.
“Papa Pikir..”
“Kak!” Brian menginterupsi. “Kakak pikir aku suka dengan kata-kata kakak? Menjijikan tahu gak?” Brian pergi meninggalkan Zac yang langsung tertunduk mendengar hal menyedihkan dari suara adiknya, tapi tak lama Zac kembali mengangkat wajahnya dan mengejar adiknya yang sudah terlampui jauh berlari meninggalkan gedung itu.
***
Secinta apapun dia pada sosok sang kakak, tak ada sedikitpun terbesit di hatinya kalau sang kakak akan melawan ayahnya hanya demi cinta terlarang mereka yang memang sudah seharusnya tak ada dalam hati mereka.
Seharusnya ia tak hadir dalam keluarga ini agar masalah sialan ini tak pernah ada. Berlari adalah satu-satunya cara agar dia bisa menghindari orang lain menatap aneh kearahnya dan menutupi bagaimana mata biru kucing itu begitu menderita dengan airmata kesedihan, tentu ibunya juga membencinya sekarang.
Suara decitan ban mobil membuat si pemuda bermata biru kucing itu menatap kesumber suara tapi sebelum matanya berhasil menangkap sosok yang menciptakan suara itu , tubuhnya sudah lebih dulu terkena hantaman keras hingga ia merasakan kalau tubuhnya terlempar jauh dan mendarat dengan kepala terbentur sesuatu.
“BRIAN!!!!!” Teriakan mengerikan keluar dari mulut pemuda bermata grey itu dengan secepat kilat ia sudah berhasil memeluk tubuh ringkih dengan lumuran darah itu. Suasana mencekam terasa menghampiri setiap orang yang melihat tabrakan tak terhindari di jalan raya depan gedung.
“Bangun, Kumohon bangun. Maafkan aku membuatmu marah, jangan menghukumku seperti ini. Aku tidak akan sanggup hidup tanpamu.” Tubuh yang terkulai lemas itu sudah di aliri dengan tetesan mata dari seseorang yang ia cintai. Semua mata yang melihat ikut merasakan kesedihan yang tercipta di hati Zac, sakit seolah separuh jiwanya juga ikut pergi.
“Panggil ambulans, Cepat!” Suara teriakan Alex menggema di sana tapi ia tak berani mendekati tubuh sang putra bungsu, terlalu bersalah mungkin adalah alasan yang tepat untuknya saat ini.
“Toloooongg jaangan bawa dia pergi tuhan!” Raungan Zac membuat semua bergidik ngeri tapi tak ada yang berani bersuara semua diam dengan kemirisan mereka masing-masing.
“Briaaannnn! Briiiaaannn! Kembali jan gan pergi!” Lagi-lagi raungan kehampaan terdengar di mulut Zac dengan bibir bergetar dan airmata yang menganak sungai. Tubuhnya ikut terkena darah sang adik seolah ia ikut berdarah untuk adik tercinta.
“Tuan. Ambulans sudah datang.” Entah suara siapa itu, tapi suara itu mampu membuat semua orang mulai memberi jalan. Beberapa orang hendak mengambil Brian dari tangan Zac tapi pemuda berahang tegas itu menahan.
“Biar aku yang membawanya.” Suaranya dingin dan dengan cepat langsung membopong tubuh sang adik tanpa peduli berat tubuh adiknya.
Kini mereka sudah menuju rumah sakit terdekat dengan perasaan was-was. Mata grey itu terus menatap lurus kearah pembaringan di mana tempat pemuda yang sangat ia cintai sedang terlelap mungkin untuk selamanya. Semua sibuk memberikan bantuan tapi entah kenapa pemuda bermata grey itu seolah lebih tahu dari mereka kalau sekarang adiknya sudah dengan kejamnya telah meninggalkannya.
Alex menatap putra bungsunya dengan tatapan terluka, bahkan rasa sesak di dadanya membuat ia beberapi kali memukul dadanya hanya sekedar untuk menghilangkan sesak yang kian lama kian mendera dengan ganasnya. Sesakit apapun ia sekarang tapi lebih sakit lagi putra sulungnya yang sekarang hanya diam menatap sang adik yang berbaring dengan damainya walau darahnya sudah memenuhi seluruh tubuhnya.
Setelah perjalanan beberapa menit mereka sampai juga di rumah sakit terdekat dengan gedung tempat mereka mengadakan pestanya. Dengan cepat perawat sudah menyambut kedatangan mereka dan membawa Brian keruang gawat darurat, Alex sempat ingin ikut masuk tapi di halangi oleh salah satu perawat.
Mereka menunggu dan menunggu, Alex mondar mandir tak tenang beberapa kali menatap sang putra sulung dengan lelehan airmata yang masih saja keluar dari mata greynya tapi entahlah dia seolah sudah pasrah dengan semuanya atau malah ia frustasi sekarang?
Dokter keluar membuat Alex menghampiri dan beberapa pengawal yang menatap dengan tatapan ingin tahu.
Gelengan, itu yang mereka dapatkan bahkan gelengan itu sudah mampu memberitahukan kenyataan pahit yang sungguh tak mereka inginkan.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tuhan berkehendak lain. Putra anda sudah pergi.” Hanya kata itu membuat Alex terpaku seolah ribuan paku menancap di tubuhnya. kini matanya terarah ke putra sulung yang masih duduk di kursi di dekat dinding, tatapannya seolah kosong, dia menjadi manusia tanpa pegangan. Tak ada lagi raungan ataupun teriakan memohon tapi juga tak ada keikhlasan di dirinya.
***
Ketukan lagi-lagi terden gar di pintu kamar pemuda bermata grey tapi masih dengan tanggapan yang sama, yaitu tak ada tanggapan ataupun sahutan. Jika ada yang paling merasa bersalah tentulah sang ayah orangnya, jika saja ia menerima hubungan mereka dengan lapang dada dan jika saja ia tak marah dan berbicara baik-baik pada mereka tentu kejadian tak akan seperti ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dia kehilangan sang putra bungsu dan sekarang putra sulungnya tak menganggap ia ada.
“Sayang, sudahlah. Sebentar lagi juga dia keluar. Dia tidak mungkin melewati penguburan adiknya sendiri. Dia hanya sedang berduka sekarang jadi biarkan dia sembuh dengan sendirinya.” Suara Selena menenangkan sang suami walau sekarang ia juga sama sedihnya, mengingat kalau anak bermata biru itu baru beberapa bulan bersama mereka.
“Diana pasti sangat marah padaku. Aku memang bukan ayah yang baik, seharusnya aku biarkan Martin yang merawatnya. Pasti sekarang dia masih hidup.” Suara Alex penuh dengan ketersiksaan.
“Ini semua sudah takdir kita tidak mungkin lagi berkata kemungkinan-kemungkinan yang tidak mungkin. Sebaiknya kamu tegarkan dirimu sekarang dan sambutlah tamu-tamu yang ikut berkabung karena tadi aku juga melihat Martin sudah datang.” Ucapan Selena mampu membuat rasa takut Alex bangkit, bagaimana ia harus menghadapi sosok Martin, ia takut mendapat murka dari pria sang ayah tiri putranya dan ia juga merasa malu karena membiarkan putra yang telah ia dapatkan dengan susah payah malah pergi karena keegoisannya.
“Bagaimana aku harus menghadapinya Sel?” Tentu yang sekarang berdiri di depannya bukanlah sosok Alexander Prion yang tak pernah takut atau gentar dengan apapun tapi yang sedang berdiri di depannya sekarang hanyalah seorang ayah yang telah kehilangan putranya bahkan sebelum ia mampu membuat sang putra bahagia.
“Aku rasa suami Diana bukanlah orang seperti yang ada di dalam pikiranmu, Kamu tahu sendiri kan, kalau Diana tidak mungkin salah memilih pria sebagai pengganti ayah dari putranya dan kamu juga tahu sendiri kan, kalau Brian sangat mencintai ayah tirinya dan dari itu semua dapat di simpulkan kalau Martin tak akan mungkin menyalahkanmu atas takdir yang menimpa putra kalian. Sekarang pergilah temui dia dan katakan hal yang memang harus kamu katakan.” Tentu sekarang dapat di ketahui kenapa Diana sangat setuju kalau sahabatnyalah yang pantas menjadi pengganti dirinya untuk mengasuh anak sulungnya karena Selena memang wanita yang selalu tulus dalam segala hal.
“Baiklah.” Alex mendekap istrinya dan berlalu dari hadapan pintu sang putra sulung yang tak kunjung keluar dari kamarnya
Alex mendapati Martin sedang berdiri di depan bingkai foto cowok bermata biru kucing dengan senyum khasnya. Martin tersenyum miris karena ia baru bertemu dengan putra kesayangannya minggu yang lalu tapi sekarang dengan kejamnya ia mendapat kabar kalau sang putra telah tiada dengan cerita yang mengenaskan.
“Bagaimana tuhan mengambilmu dengan kejamnya sayang? Kamu sungguh anak yang baik tapi kenapa harus mati di usia semuda ini dan juga ayah sangat menyayangkan kenapa kamu harus mencintai kakakmu sendiri bukankah kamu dulu pernah lihat bagaimana marahnya ibumu setelah tahu kenyataan tentang dirimu? Tapi kenapa kamu malah, mengulanginya dengan mengetes kemarahan Papamu yang tentu saja tak menginginkan anaknya seperti itu.” Suara lirih Martin mampu membuat Alex kembali merasakan betapa jahatnya dirinya, bahkan martin sebagai ayah tirinya saja mampu menerima semua kekurangan sang putra tapi kenapa ia tega dengan jahatnya membentak putranya dan sekelebat ketakutan di mata biru kucing putranya kembali terputar di otaknya.
“Maafkan aku.” Suara Alex penuh penyesalan yang kini sudah berdiri di dekat Martin.
“Kenapa harus meminta maaf?”
“Aku bodoh, aku tak pantas menjadi ayah buatnya. Akulah yang menyebabkan kematian atas dirinya. Aku sangat menyesal karena sikapku dia berakhir seperti ini. Aku sungguh tak tahu harus seperti apa. Aku telah di hukum oleh tuhan dengan hukuman yang begitu menyiksaku.” Bahu Alex bergetar dan dengan serta merta pria tua itu kembali menangis dengan sigap martin memeluk tubuh Alex hanya sekedar untuk menenangkannya.
“Ini sudah suratan takdir, jadi jangan salahkan dirimu karena kita semua tak ada yang menginginkan semua ini.” Ucap Martin memukul pelan bahu Alex. Ternyata Selena benar.
“Diana memang tak salah pilih.”
***
Kini tubuh itu telah kembali ke peristirahatan terakhirnya dengan luka dalam yang ia tinggalkan. Bagaimana semua orang begitu kentara menahan kesedihannya saat peti tempat ia di taruh di tutup dengan tanah hingga tak ada yang bersisa.
Taburan bunga semakin membuat pria berkacamata hitam itu berkecamuk di balik kacamatanya tentu mata greynya sudah basah oleh air mata yang terus menetes dengan kesakitan di dadanya. Semua orang tahu dari banyaknya orang yang bersedih hanya dialah yang paling kehilangan, hanya dialah yang paling tak mengikhlaskan, hanya dialah yang paling membenci tuhan atas takdir yang telah di berikan pada hidup adiknya.
Satu-persatu semua orang telah beranjak dari makam itu hingga Alex juga pergi karena paksaan dari Martin dan yang tersisa kini hanyalah Zac bersama pengawal pribadi sang adik.
“Aku akan menyusulmu dengan segera, tunggu aku.” Suara lirihnya sudah terlalu pelan ia rasa hingga tak akan ada yang mendengar tapi Moses bukanlah orang terlalu tuli untuk tak mendengar semua ucapan sang majikan.
“Bagimana kalau ia tak menginginkan anda menyusulnya?” Pertanyaan dari pengawal itu mampu membuat Zac menghentikan aktifitasnya di atas pusara adiknya.
“Apa maksudmu?” Suara dingin penuh penekanan itu keluar.
“Saya rasa tuan muda saya punya alasan tersendiri kenapa dia bisa pergi dan alasannya bukanlah untuk membuat kalian menyatu di alam abadi tapi ada alasan yang lebih dari itu semua.”
“Aku tidak mengerti dengan ucapanmu Moses?” Kali ini Zac menatap Moses dengan tatapan penuh ingin tahu.
“Anda cukup menunggu dan bersabar.” Hanya kata itu dan ia pergi meninggalkan Zac dengan tanda tanya yang tak mudah untuk ia pecahkan bahkan juga tak mungkin untuk di pecahkan. Ia kembali menatap pusara sang adik.
“Apa kamu akan kembali?”
***
@zeva_21 @Bun @3ll0
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@SteveAnggara @hendra_bastian
@harya_kei
@fauzhan @NanNan @boy
@BangBeki @arieat @Asu12345
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@kristal_air
@_abdulrojak @ardavaa @abong
@dafaZartin