It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Aku ingin pergi.” Tiga kata itu membuat Alex sedikit terhenyak, setelah beberapa bulan lamanya putra sulungnya yang sekarang menjadi putra tunggalnya bicara padanya tapi ucapannya tak serta merta membuat ia bahagia malah kecewa yang ia rasakan. Bagimana tidak, dengan tegas sang putra berucap ingin meninggalkannya.
Hembusan nafas itu terdengar laun dari seorang Alex. Tak pernah menyangka kalau dampaknya bisa sampai berbulan-bulan seperti ini bahkan sebentar lagi akan menjadi tahun dan putranya selalu mengurung diri di kamar tanpa mau melakukan apapun.
“Mau kemana?” Tanya itu yang keluar dari mulutnya berharap jawaban baik yang ia dapat.
“Yang pasti jauh dari sini.” Mata grey itu berbicara tapi tak menatap mata lawan bicaranya malah lebih melihat ke arah dinding yang seakan adalah objek terbaik di matanya sekarang.
“Kamu ingin meninggalkan Papa?” Masih mencoba mempertahankan putranya membuat Alex berbicara seperti itu. Di tatapnya sang putra yang sekarang terlihat lebih kurus dan mata cekungnya, tentu dia tak pernah nyenyak dalam tidurnya. Seperti apa tersiksanya dia? Alex memegang dadanya seolah ikut merasakan sakit yang di derita sang putra.
“Aku hanya memberitahumu.” Kenapa ucapannya tak pernah panjang, malaskah ia berbicra? Malaskah ia menyebut Alex dengan sebutan Papa.
“Aku akan membiarkanmu pergi tapi Papa harus tahu tempat yang akan kamu tuju. Itu akan bisa lebih membuat Papa tenang.”
“Aku juga tidak tahu mau kemana, jadi aku tidak bisa memberitahumu.” Lagi-lagi nafas lelah keluar dari hidung Alex, menandakan lawan bicaranya bukanlah orang yang mudah di ajak bicara.
“Papa memiliki hotel yang lumayan jauh dari sini dan Papa ingin kamu menanganinya. ada yang akan membantumu di sana, Papa harap kamu mau dan juga bawa Dimitri atau Moses bersamamu.” Tak ada sahutan malah Alex mendapati dirinya seorang diri di ruang kerjanya. Putranya pergi begitu saja tanpa mau pamit lebih dulu ataupun menjawab ucapan yang ia lontarkan.
Sebenci apakah putranya pada dirinya? Lebih sakit lagi kalau nyatanya ia memang pantas mendapatkan kebencian itu.
***
Tatapannya kembali sendu saat tangannya mengusap pusara dengan nama sang adik yang ia cintai. Sebagaimana tuhan begitu kejam mengambil adiknya kenapa tuhan juga tak mengambil dirinya. Tidakkah ini sangat tak adil bagi adiknya karena hanya dia yang mendapatkan derita sedangkan dia sendiri malah sehat saja.
Andai Moses tak pernah berbicara seperti itu dulu mungkin ia sudah dari dulu menyusul sang adik tapi entahlah seolah ucapan Moses memiliki arti yang tak biasa karena jika di lihat lagi pengawal itu cukup dekat dengan sang adik.
Zac melepas kacamata hitamnya hanya untuk sekedar menampakkan mata greynya yang sudah cukup lelah di dera dengan airmata setiap malamnya, hadirnya yang cukup tiba-tiba kenapa malah berbekas cukup dalam buat hidupnya.
“Aku akan pergi.” Dia membuka suara, berbicara pada pusara yang sudah tentu hanya akan mendengar tanpa bisa ikut menimpali. “Entahlah, Papa ingin aku mengurus salah satu hotelnya di tempat yang cukup jauh dari sini. Jujur, aku tidak ingin meninggalkanmu tapi aku takut jika terus berada di tempat di mana kamu pernah ada bersamaku akan membuatku mati secara perlahan karena kamu tahu sendiri kamu begitu berbekas di hati kakak.” Lagi suara itu parau.
“Kakak janji akan mengunjungimu, kakak ingin menyusulmu tapi pengawal kesayanganmu pernah berbicara pada kakak kalau kamu tak menginginkan kakak menyusulmu. Kamu tahu, arti kata itu seolah memiliki mantra yang cukup berpengaruh hingga membuat kakak tak mengakhiri hidup kakak seperti yang sudah kakak rencanakan dan menunggu alasan apa yang membuatmu meninggalkan kakak. Kakak sangat yakin kamu memiliki alasan yang kuat hingga harus meninggalkan kakak.”
“Tuan sudah terlalu sore, saatnya kita kembali.” Suara Dimitri membuat Zac mengangguk.
“Sekarang kakak harus pergi, kamu tidak apa-apa kan kalau kakak pergi? Aku harap jawabannya iya.” Itu ucapan perpisahan untuk adiknya dan ia beranjak pergi, mengenakan kembali kacamatanya.
“Dimitri, besok kita berangkat ke hotel yang ada di dekat kota ini. Aku akan mengelola hotel itu. Semoga pekerjaan bisa sedikit mengalihkan diriku.” Ucapan panjang dari majikannya membuat pengawal itu tersenyum sumringah. Seolah ia juga memiliki harapan baru untuk dirinya sendiri.
“Saya akan siapkan mobil untuk tuan besok.”
***
Kini dunia baru seolah menghampirinya, dia memasuki gedung dengan baju putih dan denim hitam. Kacamata masih asik bertengger di matanya, menyembunyikan betapa indahnya mata grey itu. Semua menyambut dengan suka cita, memiliki bos baru dengan usia yang masih sangat muda dan juga memiliki senyum yang menawan walau tak pernah ada yang tahu senyum itu palsu adanya, hanya sebagai bentuk basa-basi saja.
Langkah indah bagai model, membuat mata para hawa memburu, berharap bisa menjadi pendamping buat sang anak tunggal orang terkaya di kota ini tapi nyatanya itu hanyalah hayalan belaka. Sang pemuda bukanlah orang yang yang mudah untuk di tahklukan dan mungkin juga tak mungkin.
“Bos ini adalah Kendrick mueler, dia orang kepercayaan Papa anda dan dia yang memegang kendali di hotel ini.” Dimitri memperkenalkan pemuda yang masih terlalu muda untuk di berikan hotel untuk di kelola.
“Senang bertemu dengan anda.” Ucap Ken dengan senyum semanis mungkin.
“Papaku terlalu percaya pada orang yang masih muda.” Jelas itu adalah sindiran tapi Zac menjabat tangan pemuda itu yang membuat Ken tersenyum lebar walau nyatanya di awal perjumpaan ia sudah mendapat keritikan yang amat pedas.
“Dimitri, biar saya yang menggantikanmu menemani Bos kita untuk berkeliling.” Tawar Ken. Dimitri menatap Tuan mudanya dan mendapati anggukan.
“Mari kita lihat cara kerjamu Ken,” Senyum itu kembali mengembang di bibir Ken, mendengar namanya di sebut dengan dingin tapi ia tak peduli karena sedingin apapun Zac sekarang, dia adalah atasannya yang harus ia hormati.
“Mari!” Mereka berjalan beriringan dan berbicara tentang hal yang harus di bicarakan antara bos dan pegawainya.
Hotel itu sungguh hotel berbintang lima, dengan fasilitas yang cukup memadai. gedung dengan lantai bertingkat-tingkat dan pelayan yang tak sedikit. Mungkin pikirannya akan benar-benar teralihkan jika ia mampu bekerja dengan baik di sini.
Zac menatap kolam renang persegi yang ada di belakang hotel denga kursi tidur yang ada di sekeliling kolam dan juga pohon-pohon kecil mengelilinginya, sungguh memanjakan mata. Ruang kafetaria juga tak kalah mewahnya, sangat cocok sebagai tempat mengadakan pesta.
Semua sungguh lengkap dengan dinding berwarna gold, warna kesukaan ayahnya. Dan juga dia dapat merasakan hawa dadanya yang terasa sejuk.
“Ini kamarmu Bos,” Ucap Ken saat mereka sudah sampai di lantai 20 dan membuka kamar yang besar dengan ranjang besar, ada televise, kulkas dan lemari dengan ukiran uniknya. Inti dari semuanya adalah dia mendapati isi kamarnya sungguh lengkap.
“Terimakasih Ken, Aku akan senang berkerja sama denganmu.” Ucap Zac dan masuk ke kamarnya setelah lebih dulu melihat karyawan ayahnya berpamit pergi. Zac langsung membaringkan tubuhnya di ranjang empuknya, menatap langit-langit kamarnya seolah adiknya sedang tersenyum di sana membuat hatinya miris.
***
Ternyata tak semudah yang ia kira, sebanyak apapun ia mencoba menghilangkan sosok sang adik dari pikirannya, malah mata biru kucing itu semakin menguasainya. Dan ia hanya akan bisa bengong dengan tampang mengenaskannya.
Tak sedikit yang memujanya walau dengan tampang yang biasa saja karena memang tak ada niatnya sama sekali untuk mengurus dirinya sendiri. Hidup dengan tak sehat adalah salah satu tujuannya agar adiknya mau mengajaknya ikut bersama, sungguh memang pikiran yang amat bodoh tapi bukankah cinta memang melakukan hal yang selalu keluar dari nalar.
“Bos, bos! Anda tidak mendengar saya?” Zac mengerjap beberapa kali, baru sadar kalau ia masih duduk anteng di ruang rapat dengan beberapa pegawainya.
“Maaf.” Ucapnya berdehem. Semua yang ada memaklumi karena sudah sering ia melakukan itu dan juga tak ada yang mempermasalahkannya karena ada Ken yang menggantikannya.
“Bagaimana menurut Bos soal pembahasan yang tadi?” Tanya Ken lagi.
Mendengar pertanyaan dari mulut pegawainya membuat Zac hanya bisa mengerutkan keningnya karena memang ia tak tahu apa pembahasanya.
“Aku setuju saja denganmu dan aku permisi dulu.” ucapnya bangun dan beranjak ke pintu tapi saat pintu terbuka Zac kembali menatap semua pegawainya. “Aku rasa panggilanku bisa dengan nama saja, tanpa ada kata Bos atau semacamnya. Bisa?” Pintanya, membuat pegawainya saling menatap canggung.
“Baik!” Ucap mereka bersamaan akhirnya.
Zac pergi meninggalkan ruang rapat dan melangkah menuju ruang kerja pengawal pribadinya. Dan di sanalah sang pengawal sedang sibuk dengan lembaran-lembaran di tangannya.
“Hemm, boleh aku mengganggu?” Suara tuannya membuat Dimitri bangkit dari duduknya.
“Tentu tuan,”
“Temani aku makan!”
Dengan senyum Dimitri mengikuti langkah tuannya, dengan tatapan berapa pasang mata, mereka menuju kafetaria hotel dan sudah duduk tenang di sana.
“bagaimana Ken menurutmu?” Pertanyaan di lontarkan Zac di sela-sela makan siang mereka.
“Kerjanya bagus. Saya tidak akan pernah meragukan pilihan tuan besar pada pegawainya dan saya juga harap anda seperti itu.” Zac mengangguk-angguk mendapati jawaban pengawal pribadinya.
“Kamu memang benar, Dia sungguh bisa di andalkan.” Membenarkan ucapan sang pengawal.
“Jadi bagaimana dengan kamarmu?” Pertanyaan sang pengawal membuat Zac menaikkan satu alisnya, merasa sedikit bingung karena pengawalnya membahas sesuatu yang tak terlalu penting menurutnya.
“ Kenapa dengan kamarku?”
“Aku mendengar ada OB baru yang membersihkan kamarmu. Mungkin kamu tidak cocok dengan caranya membersihkan dan kamu memintanya di ganti.” Sang pengawal menjelaskan.
“Sama saja.” Hanya itu dan mereka kembali melanjutkan makannya.
***
Ada ketukan di pintu kamarnya membuat Zac bangkit dari tidur yang baru ia sadari kalau ia tertidur di sofa. Dia beranjak dari pintu dan mendapati seorang wanita sudah berdiri di sana dengan nampan di tangannya. Tentu dia adalah seorang karyawan di sini, melihat seragamnya.
“Sarapan anda tuan!” Ucapan sang wanita dengan wajah penuh make-upnya.
“Taruh saja di meja itu.” Ucap Zac menunjuk meja yang ada di ruang tengahnya. wanita itu berjalan menuju meja dan menaruhnya di sana, dengan cepat ia kembali kea rah pintu.
“Siapa namamu?” Tanya Zac membuat langkah wanita itu terhenti dan dengan serta merta si wanita berbalik dengan sedikit gugup.
“Rosse Tuan.”
“Ya Rosse, aku Zac dan bisa tolong beritahukan kalau aku tidak bisa masuk hari ini. aku kurang sehat.” Ucapnya membuat wanita bernama Rosse itu mengangguk dan berlalu pergi.
***
Gumaman tidak jelas keluar dari bibir ranumnya itu, tubuhnya terasa di bakar. tentu demam sedang melandanya, mengingat ia tak pernah benar menjaga kesehatannya. Kini tubuhnya terasa terguncang, di saat seperti ini ia sangat butuh seseorang untuk merawatnya tapi tak ada yang lebih di butuhkan dari pada adiknya hanya untuki sekedar memegang dahinya.
“Briiaaannn,” Suaranya menggigil mendapati dirinya seorang diri dengan keadaan mengenaskan. Hanya nama itu yang terus di sebutnya, hanya nama itu yang ia butuhkan.
Tiba-tiba ada sebuah tangan yang memegang wajahnya, memastikan suhu tubuhnya. Zac sangat ingin membuka matanya tapi seolah mata itu terkunci, terkunci hingga bagaimanapun ia ingin membukanya tetap saja gagal.
Tangan itu lagi-lagi mendarat di dahinya, hawa dingin dari tangan itu seolah membuat ia tenang, tenang dalam artian kalau jantungnya berdetak dengan gila, seolah ia ada hubungan erat dengan pemilik tangan itu.
“Briiaannn” Kembali gumaman itu terdengar, kembali ia berusaha membuka matanya, kali ini ia berhasil dan jantungnya seolah berhenti, mata biru kucing itu menatapnya dengan tatapan teduhnya, ia tak mimpi mata itu memang mata adiknya tak ada yang memiliki mata seteduh itu, mata greynya tak mungkin berbohong padanya.
“Minumlah!” Dia meminum obat seperti yang di ucapkan sang mata biru kucing. Tapi kenapa reaksi obat itu sangat cepat hingga ia merasakan ngantuk yang tiada tara dan dengan cepat pula mata gery itu terpejam.
Matanya nyalang menatap seisi kamarnya, keadaannya gelap. Dia dengan cepat menyalakan lampu dan terang sudah tapi tak di dapati seseorang yang ia cari. Dia mencari keseluruh sudut kamar tapi nihil, tak ada orang di kamar itu. Bodoh kenapa dia sangat mudah terpengaruh dengan obat.
Tunggu! Hal yang ia rasakan memang nyata adanya, tangan di dahinya, bekas komperesan di nakasnya dan juga obat yang di berikan padanya juga ada di sana, tentu memang itu nyata bukan mimpi lagi dan matanya masih sangat baik hanya untuk mengetahui kalau dia memang benar-benar melihat mata biru kucing itu.
Dia berlari, berlari hingga tak mungkin lagi berhenti. Seluruh sudut hotel ia jelajahi. Masuk lift hingga beberapa kali, layaknya orang gila yang mencari sesuatu yang tak mungkin ia temui. Tak ia hiraukan pusing di kepalanya.
“Briaaannn! Briiannn!” Kini ia berteriak semakin membenarkan kegilaannya hingga dirinya mengundang tatap tanya dari sejumlah orang yang lalu lalang di lobi hotel.
“Brian ku mohon Brian!” Ia semakin menggila.
“Tuan apa yang terjadi?” Pertanyaan langsung membuat Zac menatapnya dan dengan cepat memeluk pengawal pribadinya, lelehan airmata kembali membanjiri mata grey itu. Dia sungguh tersiksa, kali ini biarkan ia menyusul adiknya.
“Dia disini, Brian tadi di sini. Dia kemari. Di kamarku. Aku sungguh melihatnya.” Zac meracau seolah tak mau berhenti sampai mata biru kucing itu ada.
“Apa yang tejadi Dimitri?” Suara Ken membuat Dimitri mendongak karena ia sudah dari tadi terduduk karena menjaga berat tubuh majikannya yang tiba-tiba lemas dan merosot. Dia menggeleng tanda tak mengerti.
“Anda yakin dia di sini?” Tak sedikit yang menatap mereka sekarang membuat Ken dan Dimitri mulai terlihat resah.
“Tentu saja, dia merawat ku tadi, Aku masih melihat bekas kompres ku dan juga obat di sana. Aku tidak mungkin Berkhayal. Bukankah selama kepergiannya aku tidak pernah mengkhayalkan yang aneh-aneh tentangnya dan tidak mungkin juga sekarang saat aku sudah jauh darinya.” Ucapan terpanjang yang di lontarkan oleh tuan mudanya membuat Dimitri mau tidak mau harus percaya.
“Ken! aku ingin semua pegawai di hotel ini di kumpulkan tanpa terkecuali. Pasti ada yang masuk ke kamarnya dan aku ingin tahu siapa itu.” Perintah Dimitri yang langsung mendapat anggukan dari Ken dan berlalu meninggalkan mereka.
“Baiklah mari kita lihat siapa yang merawat anda!” Ajak Dimitri yang berdiri di ikuti oleh Zac.
“Itu pasti dia.” Ucapnya yakin.
***
@zeva_21 @Bun @3ll0
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@SteveAnggara @hendra_bastian
@harya_kei
@fauzhan @NanNan @boy
@BangBeki @arieat @Asu12345
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04 @4ndho
@kristal_air @Pradipta24
@_abdulrojak @ardavaa @abong
@dafaZartin
@zeva_21 @Bun @3ll0
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@SteveAnggara @hendra_bastian
@harya_kei
@fauzhan @NanNan @boy
@BangBeki @arieat @Asu12345
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04 @4ndho
@kristal_air @Pradipta24
@_abdulrojak @ardavaa @abong
@dafaZartin
@hendra_bastian lihatlah ntar
@harya_kei hehe emg ini cerita horor apa, ampe bangkit" sgala
jadi bkn cerita incest kah skrg wkwkw
wah ane kira incest jadi batal deh
masa ada brian ke 2....hehe