It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@jacksmile relakanlah
jd kepaksa pake ID nih x_x
@boybrownis hahaha, ntar update kok.. aku kn orgx rajin update
Mobil hitam itu berhenti di sebuah bangunan bertingkat dua dan terkesan kumuh, rasanya tak pantas mahluk seindah dia tinggal di tempat seperti ini, begitu pikiran pemuda bermata grey itu. Dia terus menatap gedung itu dengan pikiran yang mengembara entah kemana tanpa ia sadari kalau cowok bermata kucing itu terus gelisah di dekatnya, antara harus turun atau menunggu di usir terlebih dahulu.
Jantungnya terus bersorak-sorak memintanya untuk mau menatap pemuda bermata grey itu tapi nyalinya tak cukup kuat untuk menuruti keinginan hatinya.
“Sungguh kamu tinggal di sana?” Tunjuk Zac pada bangunan itu dengan nada seolah tak percaya.
“Iya Tuan,” Balasnya dengan nada gugup, kali ini ucapannya berhasil membuat si mata grey menatap kearahnya. Jelas ia mendapat tatapan tak suka.
“Sudahkah ku tegaskan padamu untuk memanggil namaku? Kalau memang belum haruskah ku katakan sekarang?” Benar saja, dia kembali mendengar suara dingin dari si mata grey.
“Maaf Zac, hanya saja terlalu canggung untuk memanggilmu dengan nama.” Untuk sebuah keberanian, ia memang pantas di acungi sebuah jempol.
“Baik panggil aku kakak.”
“Apa?” Kaget, tentu saja.
“Kamu tidak mungkin memanggilku adik karena usiaku sudah tentu lebih dewasa darimu. Di lihat dari tampangmu saja sudah tentu aku yang lebih pantas jadi kakaknya dan juga kamu tidak mungkin memanggilku paman karena aku belum setua itu untuk mendapatkan panggilan semacam itu.” Jelas Zac panjang lebar, entahlah jika dengan mahluk ini ia merasa tak akan pernah sia-sia mengeluarkan suaranya.
“Baiklah.” Jawabnya akhirnya. Zac tersenyum, entah itu senyum dengan artian apa. yang pasti dia hanya ingin tersenyum sekarang lebih tepatnya hatinya menginginkan senyum itu.
“Kalau begitu ayo kita turun, aku ingin melihat tempat tinggalmu.” Belum sempat Justin menjawab Zac sudah lebih dulu keluar dari mobilnya dan Justin menyusul dengan cepat.
“Zac, sebaiknya kamu pulang sekarang, ini sudah terlalu malam untuk berkunjung.” Tentu itu sebuah pengusiran. Zac menatap Justin yang sedang tertunduk.
“Kamu tak ingin aku masuk?”
“Bukan begitu, tapi aku tidak mau kamu kemalaman di jalan jadi,,” Justin tak memiliki alasan lebih.
“Alasan.”
“Sungguh, aku hanya,,”
“Sudahlah kalau begitu aku sebaiknya pulang.” Dengan cepat Zac memasuki mobilnya dan melajukannya meninggalkan Justin yang masih mematung dan memegang dadanya berusaha menenangkan gejolak di jantungnya.
***
Justin membuka pintu kontrakannya dan masuk, menaruh tas di atas satu-satunya meja yang ada di ruangan sempit itu. Dia mendekati kaca yang ada di dinding di dekat ranjangnya dan mematung di sana menatap dirinya yang terasa berbeda akhir-akhir ini.
Tangan putih itu menelusuri setiap inci wajahnya, dan diam saat tangan itu sudah ada di matanya. Memperhatikan mata birunya yang memancarkan aura keanehan di dirinya. Senyum itu tiba-tiba tersungging saat dengan serta merta mata biru itu mengalirkan airmata.
“Tidak cukupkah cobaan untukku tuhan? Apa lagi yang akan kamu lakukan padaku? Aku sudah kehilangan semuanya sekarang jadi jangan atur hidupku dengan hal yang aneh-aneh lagi. Aku sudah culkup muak hidup di dunia ini jadi jangan buat aku melawan takdirku dengan mengakhiri nyawaku sendiri.” Ucapannya lirih.
Dia membuka kemeja lusuhnya dan menggantinya dengan kaos oblong tipis, penampilan yang biasa saja tapi tak dapat menyembunyikan betapa indahnya dia walau nyatanya ia hidup hanya karena tuhannya masih menginginkan ia di dunia walau tujuan hidup yang ia miliki tak pernah ada semenjak kejadian mengerikan menimpa dirinya.
Suara dering ponsel menyadarkan ia dari lamunannya, si mata biru kucing menghapus airmatanya dan beranjak kearah meja mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya.
“Hallo?”
“….”
“Separah itukah?” Nada terkejut terdengar di suaranya, jelas ia mendapat berita buruk melihat matanya yang terus menatap gusar.
“….”
“Baik suster saya akan segera kesana.” Dengan cepat ia melesat memakai tasnya dan berlari keluar kontarakan dan jelas tujuannya adalah rumah sakit.
***
Dia menguap, tadi malam adalah malam pertamanya tidur dengan lelap tanpa ada mimpi yang mengganggunya atau sesak menghampirinya. Semua seolah meninggalkannya. Mata grey itu terlihat masih di dera kantuk tapi pekerjaan menunggunya jadi dia juga tak bisa bermalas-malasan.
Setelah ia rapi dengan setelan kemejanya yang di padukan dengan blazer, akhirnya pemuda tinggi itu keluar dari kamarnya dan sedikit bingung karena tak mendapati tukang bersih-bersihnya tak ada di kamarnya, seharusnya ia sudah datang 2 jam yang lalu. Apa dia terlambat?
Zac meninggalkan kamarnya menuju ke ruangan Ken, ada yang harus mereka bicarakan soal pekerjaan.
“Senang melihatmu di sini Nak?” Suara itu membuat Zac agak tertegun mendapati sang ayah sudah ada di lobi hotel dengan beberapa pengawal setianya dan juga ada mama trinya yang setia menemani sang ayah.
“Papa kapan datang?” Dia menghampiri sang ayah yang terlihat gembira melihat dirinya sudah bisa bicara dengan normal dengan ayahnya walau masih ada sedikit nada kaku di suaranya.
“Baru saja Nak, baru sampai. Bagaimana kabarmu?” Sang ayah tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya.
“Seperti yang Papa lihat, aku baik. Ayo sebaiknya kita duduk!” Zac memanggil beberapa pegawai mengantar ayah dan ibunya ke meja yang sudah di sediakan Ken untuk mereka.
“Nanti kita bicara.” Ken hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan bos mudanya. Sementara Zac berjalan mengikuti ayah dan ibunya yang sudah lebih dulu berlalu pergi.
“Ada angin apa yang membawa kalian ke sini. Pasti bukan tanpa alasan kalian di sini.” Jelas putranya tak akan pernah berubah, tak pernah suka dengan basa-basi dan selalu ke inti masalah. Membuat senyum di bibir Alex kembali tersungging dan dengan kepala yang di angguk-anggukan.
“Kami mau mengundangmu makan siang besok. Soalnya Martin mau datang ke rumah bersama putra-putranya dan papa agak malu menyambutnya jika kamu tak ikut. Karena Martin pasti mengira kamu masih marah sama papa gara-gara kejadian itu.” Raut sedih itu terlihat di wajah tua Alex.
“Seharus itukah aku ikut?” Pertanyaan itu adalah penolakan halus.
“Hanya besok saja sayang dan kamu boleh kembali lagi ke sini. Lagipula sudah lama kamu tidak ke makam adikmu. Kamu tidak merindukannya?” Ibu trinya tahu kelemahannya dan sudah tentu Zac mengerutkan kening berpikir antara membenarkan perkataan ibu tirinya atau tetap mempertahankan keenganannya untuk pergi.
“Aku akan memikirkannya.”
“Moses selalu menyempatkan diri ke makam Brian. Mama sangat tidak mengerti dengannya karena ia juga memiliki rasa kehilangan yang terbilang cukup berat.” Lagi sang ibu tiri membahas adiknya, seakan ia sengaja membuat dirinya merasakan cemburu walau jika di akui sang ibu tiri memang berhasil dengan tak-tiknya itu.
“Baiklah, aku akan datang.” Hanya kata itu dan Zac meninggalkan kedua orangtuanyan dengan perasaan panas yang memang sengaja di panas-panaskan.
“Kamu hebat sayang.” Komentar Alex pada istrinya.
“Ya, walau nyata itu benar adanya. Aku sedih Pa, sampai kapan Zac akan terus terpaku pada cintanya. Aku harap dia bisa segera menemukan penggantinya.”
“Aku juga berhrap begitu.”
“Walau penggantinya nanti seorang pria?” Tanya Selena pada suaminya yang agak tak siap dengan pertanyaan itu.
“Aku sudah kehilangan satu anakku dan aku juga tak mau kehilangan untuk kedua kalinya.” Selena tersenyum mendengar ucapan suaminya. Pelukan ia berikan untuk suaminya.
***
Mobil hitam itu terus melaju bagi kesetanan di jalan raya, tak peduli beberapa kali ia hampir menabrak mobil lainnya, pikirannya sedang menggila sekarang. Tak ada rasa takut di mata greynya. Keadaan sungguh menyiksanya, dimana baru saja ia mendengar pengawal pribadi sang adik sering mengunjungi makam adiknya seolah ada hubungan yang pernah terjalin di sana dan juga luka itu di tambah dengan tak hadirnya seseorang yang sempat membuat semangatnya menggebu malah menghilang begitu saja.
Kini mobil itu terparkir di depan bangunan tua, tempat yang tadi malam ia datangi untuk mengantar si mata biru kucing.
Dia membuka pintu mobil dan melangkah dengan cepat menuju kontarakan yang ada di sana. Ia mendapati pria tua sedang berdiri di bibir pintu kontarakan.
“Maaf pak saya boleh bertanya?” Ucapnya pada pria tua
“Ada apa Nak?”
“Saya mencari seorang cowok yang kontrak di sini, namanya Justin?”
“Ohh anak manis itu. Maaf nak, dari tadi malam ia pergi dengan tergesa dan sampai sekarang ia belum kembali.”
“Siapa Pak?” Tanya suara wanita dari dalam rumah, Si pria tua menengok.
“Ada yang mencari Justin Bu,” Si ibu keluar dengan nampan di tangannya.
“Justin tadi pagi-pagi buta datang ke sini, dia bilang untuk beberapa hari ini mungkin tidak akan datang dulu ke kontrakan soalnya ada masalah keluarga katanya.” Beritahu si ibu.
“Dia datang sama siapa?” Entah kenapa pertanyaan itu yang keluar di bibir ranumnya.
“Saya tidak melihat dengan siapanya tapi yang saya lihat dia menaiki mobil.” Zac sedikit terkejut, bagaimana bisa Justin pergi dengan mobil?
“Baiklah pak, Bu. Saya permisi. Terimakasih atas pemberitahuannya.” Ucap mata grey itu pamit.
“Sama-sama.” Ucap mereka serempak dengan senyuman.
***
“Darimana kamu mendapatkan anak itu?” Zac bertanya dengan perasaan gusarnya.
“Anak siapa?” Ken bingung melihat bos mudanya yang tiba-tiba muncul dan menanyakan hal yang tak ia mengerti.
“Anak bermata biru itu?”
“Justin ya, Seorang teman menyuruhku memberinya pekerjaan.” Ucap Ken tenang.
“Siapa temanmu?” sungguh si mata grey sedang tak bisa berpikir tenang sekarang karena pemuda bermata biru itu terlalu menariik emosinya.
“Anda tidak akan mengenalnya, dia teman jauh saya.” Zac pergi karena tak mendapat jawaban yang dia inginkan, dia pergi dengan membawa emosinya.
***
Barang-barang itu sudah hancur berantakan, si mata grey melampiaskan amarahnya pada kamarnya hingga isi kamar tak ada yang berdiri di tempatnya bahkan televisinya sudah tak terbentuk karena mendapat hantaman dari gelas yang di lempar oleh Zac.
Meja kaca itu juga tak bernasib lebih baik karena dialah tempat pertama Zac melemparkan amukannya.
Dimitri masuk dengan kaget, melihat tuan mudanya menghancurkan semua barangnya dan juga sekarang si tuan muda sedang terduduk di sofa tunggalnya dengan berpangku pada kedua tangannya dan mata itu basah sudah, hatinya sungguh tak kuasa menenagkan dirinya. Dia juga tak sadar apa yang membuat ia seperti itu. Adiknya kah atau orang yang matanya mirip dengan adiknya dan bisa jadi malah keduanya.
“Tuan baik-baik saja?” Tanya pengawal itu mendekati sang tuan muda yang masih tertunduk dengan keadaan yang berantakan.
“Kamu lihat sendiri Dimitri, semua tak baik.” Jawabnya dengan nada seraknya.
“Apa yang terjadi?”
“Apa mama dan papaku sudah pergi?” Jelas si mata grey sedang tak ingin membahas apa yang menimpa dirinya.
“Sudah tuan.”
“Aku ingin kamarku di ganti. Besok aku akan pergi kerumah papa. Kamu menemaniku!” Si mata grey berlalu ke arah ranjangnya dan menidurkan tubuhnya membelakangi si pengawal yang hanya bisa menatap bingung kearahnya.
***
Entah kenapa ia menjadi pendiam, mengabaikan seluruh yang ada di sekelilingnya dan juga mengabaikan pengawalnya yang dari tadi terus mencoba mengajaknya untuk bicara.
Matanya terus tertuju kearah jalan raya yang di lewati mobilnya, tak ada gairah untuk melakukan apapun.
Hanya diam yang ia lakukan walau mobilnya sekarang sudah sampai di depan rumah sang ayah yang sudah menunggunya di ambang pintu dengan seorang pria yang seumuruan ayahnya. Dia turun menghampiri ayahnya yang memberinya senyum tapi wajahnya datar, dia memang tak pernah bisa berpura-pura di depan ayahnya.
“Bagaimana kabarmu Nak?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Martin.
“Saya baik Om, Om sendiri?” Pertanyaan balik yang di lontarkan, dia sedang berusaha melakukan bas-basinya.
“Om juga baik.”
“Maaf tuan, Nyonya menyuruh semua untuk kumpul di meja makan. Saatnya makan siang.” Moses datang menyela percakapan mereka. Zac menatap pria plontos itu dengan tatapan tak sukanya.
“Baiklah mari kita lihat apa yang bisa kita makan hari ini.” Martin tertawa menanggapi lelucon dari mantan suami istrinya itu. Zac mengikuti.
Mereka berkumpul di ruang makan, Zac menatap kursi yang ada di sebelahnya, kursi yang dulu sering di tempati oleh adiknya tapi sekarang kursi itu kosong.
“Zac, papa ingin kamu mengenal Joy dan juga Derel. Dia saudara Brian.” Kenapa masih saja terlalu dalam arti dari nama itu yang dengan biasa saja di sebut oleh papanya tapi tak urung Zac menyalami dua bersaudara itu.
“Senang bertemu kalian.” Ucap Zac.
“Kami juga.” Ucap mereka serempak.
“Pa bisa aku pergi sekarang?”
“Mau kemana sayang?” Tanya Selena melihat perubahan pada putra tirinya.
“Aku ingin ke pemakaman.” Ucapannya lirih.
“Tap,,”
“Pergilah.” Martin menyela ucapan Alex, berusaha memberitahu Alex kalau ia tak boleh mencegah ke inginan putranya itu dan Alex yang mengerti akhirnya mengangguk.
***
Di sanalah dia sedang duduk dengan tangan yang terus meraba pusara yang kini terlihat rapi dengan rumput hijaunya. Dia terus menatap pusara itu, berharap akan menemukan sosok sang adik walau hanya di hayalannya.
“Kakak merindukanmu, apa kamu juga begitu? kakak harap iya.” Bicara sendiri, hal yang dulu sering ia lakukan.
“Kakak menemukan seseorang yang matanya mirip denganmu dan kakak menganggap dia adalah kamu. Kamu tidak cemburu kan kalau kakak menyamakan kalian?” Kini ia tersenyum miris. “Tentu kamu akan cemburu dan mungkin jika kamu di sana, kamu pasti akan menampar kakak. Atau malah kamu akan mendorong kakak saat mau menciummu, seperti yang kamu lakukan dulu. Padahal dulu saat kamu melihat kakak berciuman dengan Amber, itu bukanlah sebuah ciuman. Kakak waktu itu hanya mendekatkan wajah kakak kearahnya, hanya untuk mengatakan kalau kakak tak mencintainya dan kakak hanya mencintai satu orang.” Kini senyum miris itu di sertai dengan airmata.
“kakak merindukan, sangat merindukanmu. Kenapa tuhan tega sekali sama kakak? Padahal kakak baru saja menemukanmu dan juga mencintaimu walau cinta yang kita miliki di anggap terlarang tapi kenapa tuhan tak memberikan kita hidup bersama agak lama. Kenapa dia cepat sekali mengambilmu.” Suara itu terus di selingi dengan isakan ke piluan.
“Kakak harap tuhan punya tujuan yang pantas untuk kesakitan yang kakak alami sekarang dan juga kakak harap dia tidak menyiksa kakak lagi hanya dengan menghadirkan orang yang mirip denganmu jika pada kenyataannya dia menghilangkannya.”
“Maaf kakak selalu menangis saat bicara denganmu, kakak hanya tak pernah bisa membendung apa yang mengganjal di dada kakak.” Pemuda bermata grey itu tertidur di pusara adiknya, seolah ia memeluk sang adik.
***
@zeva_21 @Bun @3ll0
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@SteveAnggara @hendra_bastian
@harya_kei
@fauzhan @NanNan @boy
@BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@4ndho @jacksmile
@kristal_air @Pradipta24
@_abdulrojak @ardavaa @abong
@dafaZartin @cute_inuyasha
" JB - JUSTIN BRIAN "