It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Gak mau dilanjutkah?
Turut mengundang,
@lulu_75 @3ll0 @harya_kei @Unprince @Ndraa @Adiie @balaka @RegieAllvano @moccaking @Adi_Suseno10 @SteveAnggara @4ndh0 @Otho_WNata92 @Bun @Sho_Lee @NanNan @nawancio @Hon3y @happyday @BangBeki @Rifal_RMR @meandmyself @chioazura @dirpr @dimasalf9
@bianagustine @zeva_21 @obay @abong @ardavaa @boy @boybrownis @putrafebri25 @shuda2001@Asu12345 @yeniariani
Bagian dua
Ia lahir ke permukaan, kalaku temui jalan buntu. Gundah, seperti anak remaja yang baru dewasa kemarin. Butuh pelukan untuk meredam letupan emosi.
Kami saling mengenal melalui sentuhan pori-pori jemari, melepas rindu setelah sekian lama tak bersua meski sejatinya tak pernah berjumpa. Ia menamai dirinya Galih, atau begitulah mereka memanggilnya. Si tampan milik kampung kesayangan, yang sudah mengikatkan diri dalam ikrar.
Banyak mata melirik ke parasnya yang tak biasa, berharap cemas akan senyumnya yang menggoda. Aku, salah seorang di antaranya. Hal itu kusadari sejak pertemuan pertama kami. Bagaimana degup mengirimkan sinyal dan saraf menyalurkan impuls, terbukalah mataku dan tersadar. Ia telah menjatuhkanku dalam kubangan rasa yang sewajarnya tak kurasa. Namun ada sepasang tangan lain di sana, terkalung di pinggangnya dengan tubuh bersandar ke dirinya. Ia siapa? Semua orang tahu. Dan aku cukup tahu diri untuk menemukan bahwa tak akan ada celah. Baik untukku, maupun untuk mereka yang menantikannya.
Semua emosi yang kini berkutat dalamku, dengan lembut kusalurkan melalui ketikan jemariku. Menuangkannya ke kertas yang dulunya perawan, dalam aksara yang hanya aku bisa rasa. Mungkin kali ini aku bisa menghasilkan satu karya yang pantas. Tulisan hasil curahan rasa yang tulus kulahiri. Menjadi awal bagiku, untuk memulai dunia tanpa lelaki yang dulunya ada.
Dunia yang tercipta oleh independenku, dunia yang cukup aku saja mengerti.
** ** **
Dengan perlahan aku menuruni jalanan terjal yang mengarah langsung ke lahan persawahan. Berbekalkan sandal jepit dan rantang makanan di tangan kananku, aku menyusuri jalan menuju sawah milik kakek. Mereka, kakek dan nenekku, memang memiliki sawah yang panen setiap 3 bulan. Tetapi bukan mereka yang merawatnya, melainkan orang kampung yang dipekerjakan kakek. Kata kakek biar pengangguran di kampung semakin berkurang. Meskipun begitu, kakek tetap mendatangi sawahnya secara berkala dan tidak mengabaikannya.
Hari ini, adalah salah satu dari hari kunjungan kakek ke sawah miliknya. Alasannya adalah masa panen yang semakin dekat. Ia pergi di akhir pagi dan seperti biasanya nenek membuatkan bekal untuk makan siangnya. Nenek pernah bilang bahwa, makan di sawah akan menambah cita rasa dari makanan itu sendiri, yang akhirnya menarik minatku untuk mencobanya sesekali.
“Aku akan mengantarkannya nek.” Tukasku antusias setelahnya.
Nenek tersenyum, “Kalau begitu akan nenek buatkan bekal untuk 4 orang. 1 buatmu, 1 buat kakek, dan 2 buat para pekerja.”
“Siap nek!”
Dan sekarang di sinilah aku, berjalan kaki sejauh beratus meter dengan petunjuk jalan yang sudah dideskripsikan oleh nenek. Aku tak mengeluh setelah tahu jauhnya akan seperti ini, namun hanya saja matahari tak mau mengerti dengan diriku sekarang ini. Ia terlampau terik dan suhu lingkungan lebih panas dari biasanya. Menjadikanku gerah dan cepat kelelahan.
Namun tempat yang diincar pun akhirnya kelihatan di ujung jalan. Lahan padi berwajah hijau cokelat itu sudah akan terbentang di depan mata. Kakiku melanjutkan langkah dengan lega, menuju pondok yang sudah ada kakek di sana.
“Kakek!” Seruku.
Ia menoleh dan melambai bersama dengan kedua pekerja yang sedang beristirahat. Ia, entah bagaimana, ada di sana. Bukan, dia tidak lewat dan kebetulan menghampiri pondok kakek. Ia, lelaki itu, adalah salah satu dari kedua pekerja itu. Dengan singlet melekat pada tubuhnya dan celana jins dilipat selutut pada bagian bawahnya. Keringatnya bercucuran dari keningnya dan mata tajamnya itu kini mengarah ke arahku. Membuatku merasa sesak dan hendak berlari girang.
“Hai kek, aku membawakan makan siang.” Sapaku setelah berhenti di pondokan. “Untuk kakek, untukku, dan untuk mereka juga.”
“Terima kasih Tosca, tapi kenapa bukan nenek yang membawakan ke sini? Kamu tidak capek toh?” Tanya kakek perhatian.
“Tidak apa kek. Lagian aku yang menawari diri. Aku juga belum pernah ke sawah punya kakek. Jadi sekalian saja berkunjung.”
“Oh ya sudah. Kamu duduk di sini. Galih, Pak Darto, ayo makan dulu. Sudah ada bekal yang dibawakan cucuku.”
Pak Darto dan Galih beranjak dan ikut duduk di pondokan.
“Ini toh cucumu yang kamu ceritakan itu? Rupawan sekali.” Puji Pak Darto.
“Iya pak. Dia dari kota dan berkujung ke sini.”
“Pasti pintar seperti bapaknya dulu.”
“Iya toh pak, tidak mungkin buah jatuh dari pohonnya.”
Aku hanya diam dan senyum ala kadarnya atas pujian Pak Darto. Galih juga diam-diam saja mendengarkan. Memang, setelah perkenalan kami semalam, tak ada lagi percakapan di antara kami. Dia sibuk mengobrol dengan bapak-bapak yang lain dan aku sibuk dengan diriku sendiri. Kini, rasanya canggung ada dia di sebelahku.
Kakek mulai membuka rantang dan membagi-bagikan makanan kepada kami. Makan siang perdana di sawah pun kualami hari itu. Untuk pertama kalinya, aku makan di sawah. Dan seperti yang nenek bilang, entah bagaimana rasanya memang semakin nikmat. Entah karena sudah dirantangi atau karena suasana sawah yang begitu asri, makanan ini menjadi semakin memanjakan lidahku. Sampai ke butir nasi yang terakhir, rasanya tiada berubah dan konstan membelai indera perasaku.
“Seperti biasanya, makanan buatan nenekmu memang yang paling mantap.” Puji kakek dengan dua jempol melayang.
“Ya, kalau nenek tidak usah diragukan lagi.” Timpalku.
“Kalau kamu sendiri, pintar memasak tidak?” Tiba-tiba dia bertanya.
Aku menoleh dan cengengesan,”Aku Cuma bisa memasak dapur, kalau makanan tidak bisa.”
Dia tertawa dan suaranya yang berat berirama membuatku bergidik kembali.
“Oh ya, aku baru tau kamu kerja untuk kakek.” Ucapku.
“Tentu, kita kan baru kenalan semalam.” Jawabnya.
Aku mengangguk dan diam lagi kemudian, bingung harus membicarakan apa lagi.
“Kalau begitu saya melanjutkan kerja dulu.” Ucap Pak Darto sembari turun dari pondokan.
“Kakek juga akan melihat-lihat sawah sebentar. Kamu tunggu di sini saja. Kalau bingung harus apa, ajak saja Galih ngobrol.”
Kakek dengan segera pun meninggalkan kami berdua di pondokan.
“Kenapa tidak kerja?” Tanyaku sesegera mungkin untuk memecah keheningan di antara kami.
“Bagianku sudah selesai dan Pak Darto tak sudi dibantu.”
“Tak sudi bagaimana?”
“Dia tidak ingin aku membantunya mengerjakan bagiannya bila pada akhirnya nanti dia yang memperoleh upah atas itu. Dia ingin kami bekerja secara adil.”
“Oh. Lalu kamu mau pulang?”
Ia menoleh ke arahku dengan pandangan heran.
“Kamu tidak dengar yang barusan kakek kamu bilang? Dia ingin aku menemanimu disini.”
“Hah? Buat apa? Aku tidak masalah kok kalau sendiri di sini. Aku tidak enak kalau membebanimu begini.”
“Terus kamu mau apa setelah ini? Mau ngobrol sama siapa? Atau kamu mau mati kebosanan di sini? Lagian itu adalah perintah kakekmu.”
Keningku berkerut, apa maksudnya berkata seperti itu. Perintah kakek?
“Memangnya mengapa kalau ini perintah kakek?” Tanyaku bingung sekaligus penasaran.
“Kalau ini perintah kakekmu, berarti aku tak boleh membantahnya.”
“Tunggu dulu, maksud kamu perintah kakekku adalah sesuatu yang mutlak dan tidak terbantahkan? Jangan membuat dirinya tampak jelek di mataku, Lih.”
Ia menghela napas,”Cuma bagiku kok Sca. Cuma aku yang menganggapnya demikian.”
Keningku semakin berkerut, semakin bingung dengan jawabannya yang tak hanya ambigu namun pula tidak jelas arahnya.
“Ia dan nenekmu, semacam malaikat penolong bagiku Sca. Kamu tentu belum tau masalah apa saja yang sudah kulalui di usiaku yang masih muda ini, namun aku mampu melaluinya dan tertolong karena mereka berdua. Merekalah yang menyodorkanku tangan untuk digenggam dan menyediakan dasar untuk berpijak. Aku takkan bisa begini kalau bukan karena mereka. Karena itu, aku tak pernah ingin mengecewakan mereka. Bagiku, perintah dan keinginan mereka adalah mutlak meski tidak begitu pikir mereka. Karena aku ingin membalas budi mereka atasku dan membuat mereka bangga bahwa tak sia-sia mereka pernah menolongku dari keterpurukanku.”
Untuk sesaat hatiku tersentuh mendengar tuturnya yang begitu lembut dan dalam. Aku memang belum tahu masalah apa saja yang sudah menimpanya atau bantuan apa saja yang sudah diberikan oleh kakek nenekku padanya, namun mendengar bagaimana dia berbicara dan bagaimana air mukanya berekspresi, aku menjadi luluh karenanya dan ingin merengkuh sisi lemahnya kini. Namun logikaku belum kalah oleh rasaku, pada kenyataannya aku tetap dia di tempat dan tak jua memberinya pelukan kasih. Aku masih punya rasa takut dan enggan. Takut dia akan menjauhiku, dan enggan karena kami belum benar-benar mengenal satu sama lain.
“Jadi, jangan heran jika sekarang aku tetap di sini dan menemanimu.” Lanjutnya.
Aku hanya mengangguk,”Aku mengerti. Mungkin aku juga akan mengambil langkah sepertimu jika saja aku mengalami hal yang kau alami.”
Ia tersenyum,”Oh ya, kudengar kau seorang penulis.”
“Ya, aku menulis beberapa buku. Mungkin kau belum pernah membaca atau melihat bukuku, namun aku cukup bangga atas tulisanku.”
“Aku memang belum membacanya, namun aku pernah melihat bukumu di rak buku milik kakekmu.”
“Benarkah? Dia menyimpan bukuku?” Hatiku memekar seketika.
“Ya, dia bahkan merekomendasikannya untuk kubaca. Namun, kau taulah, aku tidak terlalu berminat membaca tulisan-tulisan setebal dan sebanyak itu. Bisa-bisa aku sudah teler duluan sebelum memulainya.”
Aku tertawa mendengarnya dan ada rasa sejuk tersendiri yang kurasa.
“Tapi aku berharap kau akan membacanya, meski hanya satu di antaranya.” Ucapku tulus.
“Jangan berharap terlalu banyak, mungkin tunggu aku menua dulu.” Seringainya melebar dan kemudian terkikik.
Aku ikut tertawa bersamanya, hingga terlintas di pikiranku untuk meminta nomor hp-nya.
“Oh ya, kamu punya ponsel tidak?” Tanyaku.
Ia menggeleng,”Aku tidak butuh benda seperti itu. Lagi pula, apa gunanya bagiku?”
“Yah siapa tahu saja, kamu membutuhkannya suatu kali.”
Ia menggeleng lagi,”Mungkin tapi untuk sekarang aku belum memerlukannya. Lebih baik aku menggunakan uangnya untuk membiayai hidup.”
Aku hanya mengangguk kecewa mendengarnya. Apalagi setelah menyadari, jika ponsel saja dia tidak punya apalagi akun media sosial. Lalu bagaimana bisa aku melihat-lihat fotonya jika rindu untuk melihatnya mulai menyiksaku?
“Oh ya, besok kamu ngapain?” Tanyanya lagi tiba-tiba.
“Aku? Mungkin tiduran atau menonton atau melamunkan hidup.”
Matanya bersinar,”Kalau begitu, besok mau jalan-jalan bareng aku tidak? Sudah lama aku tidak jalan dengan teman sebayaku.”
Jalan? Dia mengajakku jalan? Hatiku bisa meletus karenanya.
Namun dengan jaim aku berucap,”Mengapa harus aku?”
“Lalu aku mau ngajak siapa lagi hah? Pak Darto?”
“Memangnya kamu tidak kerja?”
“Paling minta izin sama kakek kamu. Dia pasti kasih izin kalau tahu aku mengajakmu jalan. Bagaimana?” Tanyanya antusias.
“Memangnya kita mau kemana?” Tanyaku, masih dengan lagak jaim.
“Kemana kaki menuntun dan angin membawa.” Kikiknya.
Aku kemudian mengangguk dengan tenang, meski hatiku bersorak bahagia karenanya,” Oke deh kalau begitu.”
Ia kelihatan senang dan wajahnya bersinar ceria.
Tidak lama, sekelompok anak muda menghampiri persawahan dan mulai membantu bekerja. Dari umur mereka, sepertinya mereka masih mahasiswa dan sedang liburan. Dari sini, aku bisa melihat betapa semangatnya mereka berpartisipasi membantu meringankan kerja bapak ibu itu. Namun belum lama bekerja, mereka sudah tertawa-tawa dan main lempar lumpur. Bukannya membantu, kini mereka malah asyik dengan permainan mereka sendiri.
“Lihatlah mereka, masih muda dan begitu semangatnya.” Ucap Galih sembari menghunjuk anak-anak muda itu.
“Lalu kamu pikir kita tidak muda? Memangnya kita sudah keriput tua renta hah?”
“Bagimu masa muda belum berakhir, namun bagiku sudah. Aku takkan bisa melakukan hal-hal bebas seperti itu lagi.”
Mendengarnya aku teringat bahwa dia memang sudah terikat kini. Ia sudah beristri dan sudah menjadi tulang punggung keluarganya kini. Ya, masa mudanya mungkin sudah berakhir.
“Kalau begitu, kamu mau gabung bersama mereka?” Tanyaku.
Ia menggeleng,”Tidak. Aku hanya senang melihat bagaimana mereka menikmati hidup. Senang bukan berarti harus berkecimpung di dalamnya, bukan?”
Aku mengangguk,”Aku mengerti bos.”
Namun bukannya memperhatikan anak-anak muda itu, aku malah memperhatikan wajahnya yang begitu berseri. Senyumnya yang menekuk senang melihat para pemuda itu. Dengan perlahan aku mengambil ponsel dari kantongku dan memotret dirinya. Aku tak ingin kehilangan momen ini, momen keindahan dirinya.
“Kamu barusan ngapain?” Tanyanya setelah sadar lampu kamera yang barusan menangkap gambar dirinya.
Aku tersenyum bodoh, mengutuki diri yang baru sadar pula kalau lampu kameraku belum kumatikan.
“Memotretmu.” Akuku malu. Takut dia marah.
“Untuk apa?”
Aku tersenyum,”Untuk mengabadikan bahwa aku pernah mengenalmu.”
Ia melihatku heran sejenak lalu tanpa kuduga dia berucap,”Mengapa tidak memotret kita berdua saja kalau begitu?”
“Hah? Kita berdua?” Aku menggagu.
“Ya, bukankah kamu perlu bukti juga kalau kamu sudah pernah berfoto dengan seseorang yang pernah kamu kenal?”
Hatiku tersenyum, dibarengi dengan senyum di bibirku. Aku dengan segera mendekatkan diri padanya lalu mengambil satu gambar berharga. Gambar yang tidak hanya ada dia atau aku di dalamnya. Namun gambar dimana ada aku di sisinya, sedang tersenyum dan merasa bahagia karenanya.
Gambar yang akan kusimpan, setidaknya hingga ku benar-benar melupakannya.
** ** **
“Bagaimana rasanya?” Tanya nenekku setelah kupulang dari sawah.
“Apanya nek?”
“Makan di sawahnya bagaimana? Menyenangkan bukan?”
Aku tersenyum girang,”Iya nek. Aku senang sekali.”
Nenekku ikut tersenyum,”Bertemu dengan dia lagi,kan?”
Keningku berkerut,”Maksud nenek?”
“Sudahlah Tosca. Jangan bohong sama nenek. Kamu tidak hanya bahagia karena makan di sawah,kan?” Godanya.
“Nenek apa-apaan sih?” Pipiku merona malu.
“Kamu memang kelihatan banget senang maksimalnya. Tapi nenek senang kamu senang. Setidaknya bisa membuatmu merasa ringan atas masalahmu.”
“Jadi nenek sudah tahu aku akan bahagia begini? Nenek sudah merencanakannya?”
Nenek mengangguk,”Iya, karena nenek tahu kamu bakal girang sekali jika bertemu dengannya lagi.”
Aku segera saja memeluk nenekku,” Makasih nek. Kalau bukan karena nenek, mungkin aku takkan dapat kesempatan berfoto berdua bersamanya.”
“Jadi sudah dapat gambarnya?” Nenekku terlihat antusias.
“Iya, bahkan dia mengajak aku jalan besok.” Jawabku girang.
“Nenek senang mendengarnya. Tapi kamu juga tidak boleh terbawa suasana dan terbawa perasaan. Bagaimanapun dia sudah beristri. Nenek melakukan ini untukmu hanya agar kamu punya teman dekat di sini. Ingat, nenek tidak mau kamu sakit hati lagi.”
Aku tersenyum,”Iya nek. Makasih atas perhatiannya.”
Sekali lagi, hatiku memekar dan sejuk sesejuk sejuknya.
** To be continue **
emang enak sih klu makan di sawah,apalagi sama orang yg kita suka..nikmat bangeeeett..hehehe...
memang benar makan disawah tu nikmat banget walau cuman ama lauk sayur asem n ikan asin doang.
Tapi jangan lama-lama kali