It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@bianagustine @zeva_21 @obay @abong @ardavaa @boy @boybrownis @putrafebri25 @shuda2001@Asu12345 @yeniariani
Bagian Tiga
Aku duduk menempel pada dirinya, menghalau jarak yang sebelumnya ada menjadi sirna. Kulit kami bergesekan, saling mengirimkan hawa di antara kami. Aku dengan semu merah di pipi, tersenyum berseri di sebelahnya. Sedang dia, dengan ekspresi kalem namun menggoda, menatap kamera dengan konstan. Perpaduan kulit kami yang berbeda menambah tingkat estetikanya, dengan latar belakang sawah yang hijau asri. Kami berpose dalam satu potret, yang menjadikanku merasa ada. Bukan hanya bayang, yang kabur dan terlupa.
Jemariku dengan lihat mengekspresikan potret itu. Menguraikan rasa yang membuncah di dalamnya bersama dengan hasrat yang tak bisa dikekang lagi. Menjelaskan segalanya di atas kertas putih, menyatakan ada makna dalam tiap aksaranya. Dan hatiku ikut menggumami tiap katanya, pelan namun pasti, membentuk untaian kata berwajahkan keceriaan.
** ** **
Ponselku berdering dengan nyaring, menelusuk gendang telingaku dan memaksaku terjaga. Kelopak mataku membuka dengan tubuh masih berbaring lemas di atas ranjang. Tak ingin lekas bangun dan menikmati hari. Aku memandang langit-langit dengan tatapan kosong, diiringi dering ponselku yang kian membabi buta. Namun tanganku masih enggan untuk meraihnya, belum ada reaksi dalam tubuhku.
Jadi kubiarkan bisingan itu memenuhi seluruh penjuru kamarku, dengan aku yang masih membeku belum sudi bergerak. Tak bisa disalahkan ragaku yang kelelahan akibat perjalanan ke sawah kemarin. Aku terlalu banyak menguras energi sehingga tak ada lagi yang tersisa dalam tubuh lunglaiku ini. Yang kubutuhkan kini adalah tidur, dan mengisi ulang persediaan energiku.
Ditambah dengan keceriaanku yang berlebihan kemarin membuat diriku sulit tertidur malamnya. Jadilah aku tidur larut malam akibatnya, dan kekurangan porsi istirahat kini. Semuanya lengkap menguras dayaku.
Dering itu berhenti, akhirnya. Aku menghela nafas dan perlahan menutup kelopak mataku. Namun belum sampai semenit, aku sudah terjaga lagi akibat dering ponsel yang kembali memecah pagi indahku. Seolah ia menuntut untuk diangkat dan diterima, takkan berhenti hingga kumengambil aksi.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengalah dan menempelkan ponsel itu ke telingaku, tanpa melihat lagi siapa yang menghubungi.
“Siapa?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Akhirnya kamu angkat juga.” Terdengar suara lelaki yang kukenal dekat dari seberang, “Ini aku, Doli.”
Doli, teman terdekatku selama di kota. Lelaki tampan yang selalu menjadi sandaranku.
“Ya Li?”
“Kamu ada dimana Sca?” Tanyanya cemas, “Kamu kira aku tidak khawatir di sini?”
“Lagi di kampung kakek nenek, mencari udara segar. Maafin aku yang enggak kasih kabar. Pulsaku habis dan aku belum ada niat isi ulang.”
“Ya, seperti kebiasaanmu. Kamu ada masalah namun malah lari. Tidak menghadapinya karena terlalu takut jatuh. Kapan dewasanya?”
“Aku tak mau menghadapi yang ini bukan karena takut Li. Aku malas saja. Tidak penting lagi soalnya.”
“Lalu mau kau buat mengambang terus? Begitu? Terus berakhirnya kapan?”
Aku menghela napas,”Akan berhenti dengan sendirinya kok Li. Lagian aku yakin Bhaja sekarang paling sedang asyik dengan gebetan barunya.”
“Terus kamu juga begitu? Asyik dengan gebetan barumu?”
Lidahku kelu, enggan menjawab.
“Bukannya jadinya kalian sama saja? Mengabaikan masalah yang seharusnya diselesaikan. Seenggaknya kamu mengakhirinya untuk memberi kejelasan, bukan menggantungkannya tanpa peduli.”
Aku hanya menggangguk dan bergumam,”He-eh”
“Aku serius Tosca. Aku ingin kamu dewasa. Jangan kayak anak kecil lagi, yang lari dan tidak mau mencari solusi atas masalahnya.”
“Jadi aku harus menghubunginya sekarang dan memutuskan hubungan kami?”
“Bukan menghubungi, tetapi menghampiri.” Tekannya.
“Li, tanpa melakukan itu pun hubungan kami sudah berakhir. Kamu yang belum dewasa karena membatasi hubungan antara jadian dan putus. Hubungan itu tak bisa dibatasi oleh keduanya. Kalau memang berakhir ya berakhir, tak perlu pernyataan putus seperti anak remaja baru gede.”
Aku mendengar dia menghela napas,”Aku tidak membatasi hubungan dengan kedua hal itu. Hubungan memang tak punya batasan tertentu, namun yang perlu kamu tahu adalah bahwa hubungan memerlukan kejelasan. Tidak dibiarkan begitu saja. Kalau kamu berpikir seperti itu, bukankah hubungan antara kita atau antara kamu dengan Bhaja menjadi ambigu? Mengapa? Karena kamu tidak melabelinya dengan kejelasan.”
Aku merunut dalam hati dan mengiyakan bahwa dia benar, bahkan hubungan sesingkat apapun memerlukan kejelasan.
“Jadi hadapi dia. Aku hanya ingin yang terbaik bagimu.”
“Iya Doli. Aku akan menghadapinya, tapi tidak sekarang. Aku masih perlu waktu.”
Dan panggilan singkat itu pun berakhir dalam satu jentikan jemari disusul bunyi “Bip, bip, bip”
Tubuhku kini benar-benar mampus, dan aku terlelap kembali.
** ** **
“Selamat pagi Tosca.” Sapa nenekku tepat ketika aku menuruni tangga.
“Selamat pagi nek.” Jawabku sembari menguap sekali.
Aku segera duduk di sofa ruang tengah dan meregangkan otot-ototku dengan nenek yang berlalu menuju dapur. Aku masih butuh tidur ternyata. Namun ini sudah jam 9, bagaimana kalau Galih tiba-tiba datang? Ah sudahlah, bahkan mungkin dia sudah lupa tentang jalan-jalan kami.
“Ini. Makanlah.” Ucap nenek sembari meletakkan sepiring bubur kacang di atas meja.”Nenek memasaknya tadi untuk kakek kamu. Nenek lebihkan, siapa tahu kamu mau juga.”
Mataku membuka seketika,”Wah Bubur kacang buatan nenek. Sudah lama aku tidak mencicipinya. Terima kasih nek.”
“Kamu ini, kayak anak kecil saja. Cuma bubur tapi bisa seriang ini.”
Aku hanya menggumam senang sambil melahap bubur dengan semangat. Mungkin bukanlah hal special, namun bubur buatan nenek sudah menjadi salah satu makanan favoritku di dunia ini. Rasanya beda dengan kebanyakan bubur di luar sana. Yang satu ini lain, istimewa dan tak tergantikan. Jadi jangan heran jika aku menjadi seriang ini hanya gegara sepiring bubur yang di simpang lima pun dijual murah.
“Jadi bagaimana?”
“Apanya nek?”
“Katanya mau jalan bareng Galih? Jadi tidak?”
Aku mengangkat kedua bahuku,”Entahlah nek, aku takut dia sudah lupa. Dia kan sibuk kerja.”
“Masa iya? Terus siapa yang jam 7 pagi tadi datang ke sini minta izin ke kakekmu buat ngajak kamu jalan?”
Seketika aku berhenti mengunyah,”Dia tadi sudah datang ke sini?”
Nenekku hanya mengangkat kedua alisnya sebagai jawaban.
“Yah kenapa tidak dibanguni?” Rengekku.
“Dia bilang gak usah dibanguni kalau kamu masih asyik tidur. Katanya dia merasa tidak enak.”
“Hah? Malah aku yang sekarang merasa tidak enak ditambah kecewa ditambah menyesal keenakan tidur. Jadinya batal, kan?”
Nenekku hanya tertawa melihat aku yang perlahan frustrasi.
“Sudahlah lagian dia bilang bakal balik entar kok.” Ucap nenekku menenangkan.
“Benarkah?” Lonjakku,”Jam berapa?”
Nenek melirik ke jam dinding yang menggantung damai, “Paling entar lagi.”
“Kalau begitu buburnya disimpan dulu. Aku harus siap-siap.”
Tanpa menunggu lama lagi, aku segera menaiki tangga dan menerjang kamar mandi. Sudah saatnya berpakaian.
** ** **
Dia datang sebelum jam 10, tepat seperti perkiraan nenek yang sekarang Cuma senyam senyum melihatku.
“Hai.” Sapanya.
Hari ini dia lebih rapi dari biasanya. Dengan kaos bersih dan celana Jean membalut kulitnya, beserta sandal yang sepertinya jarang ia pakai. Ia semakin tampan dan gagah di mataku.
“Hai.” Balasku,”Kalau begitu, aku keluar dulu ya nek.”
“Iya. Hati-hati. Jaga cucuku yang manja ini ya nak Galih.”
Dengan sumringah ia tersenyum,”Tenang saja nek. Dia bakal aman kalau sama saya.”
Lebih tepatnya nyaman Lih. Denganmu aku lebih merasa nyaman.
“Kita naik apa?” Tanyaku mengingat kami yang terus saja berjalan sedari tadi.
“Kita jalan kaki. Kalau di kampung seperti ini, lebih enak jalan kaki. Lagian aku hanya punya sepeda di rumah. Motor sih ada, tapi di rumah ibu sama bapak.” Jawabnya santai.
“Oh” Gumamku, antara bingung harus kecewa atau kasihan.”Kalau gitu kita naik mobil aku saja.”
“Tidak perlu. Kalau Cuma jalan jalan dekat seperti ini, ya gak perlu pakai mobil. Yang ada nanti kita madatin jalan sempit ini. Memangnya kamu tidak biasa jalan kaki seperti ini?”
Aku menggeleng,”Biasa naik kendaraan praktis.”
“Ya sudah, sekalian dibiasakan. Kamu tidak mungkin kemana-mana di kampung ini kalau pakai mobil terus. Ribet.”
Aku hanya mengiyakan dalam hati, tidak ingin menyinggung perasaannya dengan berdebat.
“Tapi kira-kira kita jauh gak jalan kakinya? Soalnya pegal kaki gara-gara kemarin ke sawah belum hilang.” Tanyaku kemudian.
Ia menggeleng,”Bagi saya tidak jauh. Tapi nanti kalau kamu capek, saya bisa gendong kok.”
Pipiku tiba-tiba memerah,”Gendong? Kayak anak kecil saja. Lagian kita berdua kan cowok.”
Dia malah tertawa, renyah dan berat. “Memangnya kenapa? Kamu malu?”
“Ya. Masa cowok gendong cowok.” Ucapku meski hatiku menyangkal.
“Tidak apa toh. Memangnya kita sudah ngapain? Cuma gendong. Bukan dosa.”
Bagi kamu tidak apa, tapi bagaimana dengan aku yang jantung saja mau pecah pas duduk berdempetan dengan kamu? Bagaimana jadinya kalau aku digendong kamu? Mungkin aku sudah koma.
“Sudah. Tidak usah dipikirkan. Nikmati saja dulu, jangan khawatir berlebihan. Kita kan jalan buat senang senang, bukan menambah ruwet pikiran kita.”
“Memangnya kita mau kemana?”
“Lihat saja nanti.”
Dan aku hanya mengangguk, mengikuti langkahnya.
** ** **
Dan sekarang di sinilah aku. Duduk bersebelahan dengan galih di stadion kecil, menonton pertandingan sepak bola antar kampung. Letaknya, jauh dari kampung. Butuh satu jam perjalanan untuk mencapainya, yang bagi Galih tidak jauh. Namun bagiku yang jalan sekilo pun jarang, ini merupakan penderitaan. Betisku sudah berdenyut-denyut kesakitan, belum lagi harus balik lagi nanti. Bisa mati di tengah jalan aku.
Namun lelahku, entah kenapa, sedikit terobati melihat dirinya kini dengan antusias menonton pertandingan yang memang cukup sengit. Sudah jalan setengah pertandingan namun ke dua gawang masih belum bisa di bobol barang satu bola pun. Ia tampak begitu semangat dan sesekali menyoraki tim sepak bola andalannya. Dia kelihatan seperti anak muda yang masih menikmati masa mudanya dengan hal-hal sewajarnya, bukannya mencangkul di sawah. Itu membuatku merasa lega dan terhibur.
Ia, Galih, tampak benar-benar hidup sekarang.
“Kamu suka?” Tiba-tiba dia bertanya dengan posisi wajah yang cukup dekat dengan wajahku.
Aku hanya mengangguk gugup, merasa gagu dengan jarak wajah kami yang cukup dekat.
“Kamu haus atau lapar tidak?”
Ya, aku merasa haus, mengingat sedari tadi aku belum meneguk setetes air pun setelah berjalan jauh. Aku mengangguk.
“Dek, kesini.” Panggilnya ke penjual asongan yang nongkrong di pagar.
Dia membeli dua air mineral dengan sebungkus roti isi.
“Ini, makan dan minum ini dulu. Setelah ini kita baru ke rumah makan.” Ucapnya sembari menyodorkan sebotol air mineral beserta roti isi.
“Makasih Lih.”
Aku membuka bungkus roti itu dan merobeknya menjadi dua, aku merasa tidak enak kalau Cuma sendiri yang makan. Aku mencoleknya yang sudah fokus ke pertandingan itu lagi.
“Hah?”
“Ini. Makan juga.” Ucapku dengan setengah roti isi tersodor ke arahnya.
“Tidak perlu. Aku belum lapar kok. Kamu makan saja semua. Takutnya kamu maag.”
“Tapi masa Cuma aku saja yang makan? Lagian kamu yang beli.”
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Kamu lebih butuh.” Ia mendorong tanganku yang tersodor ke arahku,”Kamu sudah lapar,kan?”
Aku tak tau harus menjawab apa lagi. Ketulusannya tak dapat kubantah lagi. Pada akhirnya aku sendirian yang makan roti isi itu meski tidak tega terhadapnya. Namun melihat kebaikan hatinya, aku merasa tenang dan nyaman.
Tiba-tiba dia bersorak dengan begitu menggebu-gebu diikuti orang-orang di sekitar kami. Aku melongo ke lapangan dan melihat apa yang baru saja terjadi. Ternyata tim yang ia dukung baru saja mencetak gol. Pantas dia bersorak tambah semangat begitu.
“Mereka mencetak gol,Sca. Mereka mencetak gol.” Serunya antusias.
Aku hanya mengangguk melihat kepolosannya kini. Aku baru sadar kalau dia bisa sekanak-kanak ini rupanya.
** ** **
“Aku puas sekali.” Serunya setelah pertandingan selesai.
“Ya, aku juga puas.” Ucapku meski kepuasanku lebih karena bisa melihat wajah cerianya sepanjang pertandingan.
“Tadi mereka main dengan bagus sekali. Mereka meningkat dengan pesat.”
“Memangnya dulu mereka bagaimana?”
“Bagus tapi dulu mereka masih sering lengah beberapa gol. Tapi hari ini mereka membuktikan kalau mereka pantas untuk dipuja.”
“Kamu sepertinya begitu mendukung mereka.”
“Ya. Aku harus.”
Jawabannya ambigu. Baru saja aku mau lanjut bertanya ketika seorang lelaki menghampiri kami. Dari seragamnya, aku bisa tau kalau dia adalah salah satu dari pemain bola tim dukungan Galih.
“Hey Lih. Sudah lama tidak kelihatan.” Sapa lelaki itu yang lalu memandang penuh tanya ke arahku.
“Ya, aku sibuk. Oh ya, ini Tosca temanku dari kota. Tosca, ini Agung teman dekatku.”
“Tosca.” Ucapku ramah seraya menyalami tangannya.
“Agung.” Balasnya.
“Tadi kalian bermain dengan bagus sekali. Aku takjub melihat perkembangan kalian.”
“Ya, sudah harus itu. Sejak kamu keluar, kami harus berlatih lebih giat lagi. Kami sangat merindukanmu Lih.” Ucap Agung.
Galih malah tertawa, namun kali ini ada kegetiran dalam tawanya.
“Jangan bercanda. Untuk apa merindukanku? Kalian sudah main sebagus ini kok.”
“Iya tapi kami masih tetap merasa kehilangan pemain terbaik kami. Kamu gak ada pikiran untuk balik lagi?”
“Enggaklah. Aku sudah punya tanggung jawab yang lebih besar sekarang Gung. Aku tidak boleh menghabiskan waktuku untuk bermain bola seperti dulu. Aku harus kerja. Tapi aku tetap akan mendukung kalian kok. Aku berdoa kalian bisa sampai ke tingkat nasional.” Jawab Galih mencoba santai, meski aku bisa menangkap ada nada kesedihan dalam suaranya.
“Baiklah kalau begitu. Aku hanya bisa mengharapkan yang terbaik untukmu Bro. Aku harus pergi sekarang kalau begitu. Senang bertemu denganmu. Dan senang berkenalan denganmu Tosca.”
Agung pun segera berlalu meninggalkan kami. Kini aku perlahan mengetahui alasan mengapa Galih begitu mendukung tim itu. Karena dulunya ia adalah bagian dari mereka. Mengapa dia keluar? Aku rasa aku tak selancang itu untuk bertanya, bahkan sepertinya aku sudah tahu mengapa.
“Kalau begitu kita jalan sekarang. Kita ke rumah makan dulu, sudah siang.”
Aku hanya mengangguk mengikuti, enggan mengusik Galih yang perlahan membiru.
** ** **
Ternyata setelah makan, kami tidak langsung balik ke kampung. Ia masih mengajakku ke pasar malam yang akan di adakan di kampung sebelah, yang jaraknya sekitar sejam perjalanan lagi. Katanya sekalian saja karena sudah sore.
Aku tidak bisa menolak, meski aku sudah merasa kelelahan. Lagi pula aku belum mengambil satu gambar pun dengan dirinya. Aku butuh kenang-kenangan untuk hari ini.
“Kamu sudah capek?” Tanyanya kemudian.
“Aku masih kuat kok. Masih cukuplah untuk sampai ke kampung sebelah.” Jawabku bohong, padahal betisku sudah menegang kelelahan.
“Benarkah? Kamu kelihatan letih soalnya. Aku tidak masalah kalau harus menggendong kamu.”
“Tidak perlu Lih. Lagi pula aku berat. Kamu gak bakal kuat angkat aku.”
“Jangan salah, aku tidak selemah perkiraanmu Sca. Sini aku gendong, aku iba melihatmu.”
“Tidak usah. Memangnya kamu tidak capek?”
Ia menggeleng mantap,”Kalau yang seperti ini sih masih terlalu gampang buat aku. Aku bahkan pernah berjalan kaki lima jam penuh.”
“Lima jam? Gila. Kamu enggak mati?”
“Akunya sih enggak, teman seperjalananku yang sekarat.”
Ia lalu tertawa renyah dan berat seperti biasanya diikuti aku yang juga tertawa mendengar candaannya yang aku tidak tahu benar apa tidak.
“Jadi mau digendong tidak? Atau kamu mau sekarat kayak teman-teman seperjalananku?”
“Enggak deh Lih. Aku masih enggan. Tapi sepertinya aku butuh istirahat. Kita ke pondok itu bentar deh.”
“Yaudah. Ayo.”
Kami akhirnya beristirahat di pondok kosong yang berdiri di samping jalan. Aku berbaring lemas, membiarkan tubuhku rileks.
“Capek banget ya?”
Aku melirik ke arahnya,”Enggak terlalu sih.”
“Mau aku beliin minum tidak?” Tawarnya.
“Mau beli dimana? Enggak ada warung dekat sini.”
“Aku coba cari di depan sana. Siapa tahu ada.”
“Enggak usah deh Lih. Aku gak mau ngerepotin kamu.”
Ia pun mengangguk dan ikut berbaring di sebelahku. Kali ini, jantungku tetap berdegup semakin kencang meski tubuhku kelelahan.
“Kau tahu, aku dulunya ada di tim itu.” Ucapnya tiba-tiba.
“Hah?”
“Aku dulunya adalah anggota di tim sepak bola yang aku dukung tadi.”
“Oh.” Aku baru mengerti kemana arah pembicaraannya.
“Tapi aku keluar kemudian. Kau tentu tahulah mengapa. Semuanya karena ikrar yang kubuat.”
Nada getir itu kembali terdengar darinya.
“Ya, aku tahu semuanya karena kesalahanku. Semuanya karena kelalaianku. Namun aku tidak menyangka saja, akibatnya bisa mempengaruhi seluruh hidupku. Hal itu menghantamku dengan kerasnya. Membuatku tidak sadar sejenak. Menyakitkan namun itulah yang terjadi. Aku tak dapat melakukan apa-apa.”
Aku ingin memeluknya dalam keadaan seperti ini, melihat betapa lemahnya dia seperti di sawah kemarin. Aku ingin merengkuhnya dan mengatakan bahwa ia tak perlu khawatir. Semuanya sudah berlalu. Namun aku tidak berani, hanya tanganku yang mampu bergerak mengelus kepalanya.
“Kamu menyesal?” Aku mendengar diriku bertanya.
Ia melirik ke arahku,”Kau takkan bisa mengukurnya dengan penyesalan.”
“Kalau begitu, jangan pikirkan lagi. Biarlah itu menjadi masa lalu dan pembelajaran bagimu. Aku tidak mau melihatmu terjebak di lubang yang sama berulang kali.”
“Tidak semudah mengucapkannya aku bisa melakukan hal itu Sca. Berat asal kamu tahu.”
“Kalau begitu ringankan saja. Lagian itu sudah berlalu. Jangan mengungkit luka di masa lalu lagi. Dan ingat, bukan kamu saja yang pernah jatuh dan tersakiti. Jangan egois begini.”
Ia menatapku nanar, terkejut mendengar apa yang baru saja kuucapkan. Aku tidak tau dia bakal apa, aku hanya menunggu. Namun ia malah memelukku, erat.
“Terima kasih untuk kata-katanya Sca. Aku merasa senang sudah jalan denganmu. Baru kamu yang mengucapkan hal seperti itu kepadaku.”
“Ya.” Aku gugup dan kutahu kini jantungku berdegup semakin kencang.
Bingung harus apa dengan dia memelukku, tiba-tiba aku melepas diri dalam kegugupanku.
“Kurasa waktu istirahatnya sudah selesai.”
Ia manetapku heran lalu beucap, “Ya. Kau benar. Ayo kalau begitu.”
Ia segera beranjak disusul olehku. Dan kami memulai langkah kami lagi, dengan jantungku yang tak mau berhenti berdegup kencang.
** To Be Continue **
Makasih @abece telah di mention. Dengan sabar nunggu kelanjutannya dan tetap di mention ya...
sempet mikir galih harus dukung tim itu karena ada yg disuka tp ternyata karena dia mantan anggota tim itu.
ttp mention yee