It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Post 1
"Ayo siapa yang kuat duduk bersebelahan sama dia sampe pelajaran Bahasa Indonesia kelar bakal gue traktir di kantin istirahat ntar."
"Ogah banget dah, mending kalo loe bisa nyerna makanan abis duduk ama dia" balas seorang remaja lain dengan sengitnya. Dengan mendengarnya saja orang akan mengetahui bahwa dia sama sekali tidak sudi untuk berdekatan dengannya. Apalagi ditantang untuk duduk dengan dia yang menjadi bahan lelucon saat ini.
Dia, remaja pria baru aqil baligh tersebut hanya bisa menundukkan muka dan mencoba menahan tangis yang dengan derasnya mencoba untuk keluar. Apapun dia coba lakukan untuk mengenyahkan rasa nyeri yang tiba-tiba muncul di dadanya, juga untuk menghentikan air mata yang tetap saja ingin merembes keluar. Dia menggenggam tangannya dan meremasnya pelan, dia juga mencoba menancapkan sugesti bahwa yang sedang mereka bully bukanlah dia melainkan orang lain, dia juga mencoba untuk menerka-nerka apa yang Ibu terkasihnya masak untuk lauk makan siangnya sepulang sekolah nanti, sekedar untuk mengalihkan perhatiannya. Tapi semua yang telah ia coba lakukan percuma tiada hasil. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk menarik nafas sedalam yang ia mampu dan menghembuskannya dengan perlahan. Rasa sakit yang tadi muncul di dadanya memang sedikit teratasi, tapi lain dengan pikirannya yang mulai mempertanyakan mengapa dia begini, mengapa dia beda, mengapa dia tidak seperti teman-temannya yang selalu memasang senyum ceria, khas remaja yang baru saja menanggalkan seragam sekolah dasar.
"Ahh loe aja yang nyali siput, gitu aja udah mengkeret."
Remaja berbadan besar dan berisi tersebut tanpa sungkan berjalan mendekati anak laki-laki yang sedang duduk di bangku belakang paling pojok. Dia duduk sendirian karena tidak ada satupun temannya yang bersedia menghabiskan satu tahun penuh berdekatan dengan dia. Tak ayal, badannya tiba-tiba menegang dengan kepala yang semakin menduduk kebawah di saat menyadari temannya yang bernama Adit tersebut mencoba mendekatinya dan duduk di bangku tak berpenghuni di sebelahnya. Keringat dingin sebesar biji jagung mulai mengotori dahi putihnya. Entah kenapa dia merasakan bahwa suhu di dalam kelasnya selama dua bulan ini mulai terasa pengap dan panas, padahal dia duduk di bangku yang bersebelahan langsung dengan jendela besar yang terbuka lebar, menampakkan lapangan basket yang luas di seberang sana. Ia memejamkan matanya dan berharap bahwa temannya tersebut membatalkan niatnya untuk duduk di sebelahnya.
Semua yang ia takutkan sirna sudah di saat guru perempuan yang dia tahu adalah guru Bahasa Indonesianya memberikan salam dan berjalan menuju meja guru yang terletak di bagian paling depan ruangan kelas. Perasaan lega langsung menyelimutinya. Namun, perasaan nyeri di dadanya tersebut kembali menghampirinya di saat dia mengangkat kembali kepalanya dan melihat dua teman perempuannya melemparkan pandangan jijik sebelum duduk di bangku tepat di depannya. Dia yang memang selalu bersemangat menerima pelajaran apapun yang diberikan guru-gurunya, kini hanya bisa menunduk kembali dan meratapi keadaannya yang tidak diterima oleh siapapun di kelasnya, setidaknya itu yang ia pikir.
Hingga di sini lah dia berada, di salah satu sekolah menengah pertama negeri ternama yang mempunyai segudang prestasi dan menjadi langganan pertukaran pelajar ke Jepang dan Australia. Betapa bangga kedua orangtuanya di saat mengetahui anaknya menduduki peringkat empat dari 322 siswa yang di terima di sekolah tersebut. Semua tau bahwa seleksi masuk sekolah tersebut cukup sulit, terlebih lagi biayanya yang mahalnya bukan main.
Di sekolah bonafide ini lah cerita hidupnya di mulai, di sekolah bonafide ini lah dia mulai menemukan jati dirinya, di sekolah bonafide ini lah pribadinya yang tangguh di tempa, dan di sekolah bonafide ini lah dia mulai dibentuk menjadi seseorang yang akrab dengan neraka paling menyiksa, kesendirian.
My Life 1
General PoV
"Lihat tuh, tuh anak cengo banget dari tadi toleh kanan-kiri kayak monyet kehilangan ibunya haha."
"Iya, udah sejaman dia berdiri terus di situ. Dia anak kelas berapa sih?."
"Kelas tujuh kayaknya, baru kali ini aku lihat dia. Manis juga tuh anaknya tapi kok dia berdiri sendirian terus ya? Masak gak ada temannya?."
"Mulai deh homonya kambuh haha. Deketin gih sapa tau aja dia mau ama elo."
"Hahaha najis gila. Gue masih suka cewek ya. Tapi kasian juga tuh kalo gak ada yang ngajakin ngobrol."
"Dia teman sekelasku kok bang."
"Ehh sini dek, nih abang lo homonya kambuh. Masa abang lo bilang anak yang beridiri di bawah pohon itu manis haha."
"hehehe tapi dulu emang banyak yang suka kok kak Bimo. Bisa dibilang dia yang paling menarik perhatian temen-temen cewek sekelas. Itu kak Intan juga naksir kayaknya ma dia."
"Wahh mantan lu tuh Dam haha. Tapi kalo emang gitu kenapa dia malah sendirian gitu dek? Kayak gak ada yang mau temenan ama dia."
"Ya gak tau lahh kak. Eh Kak Andre, Kak Bimo udah pada makan belum? Laper nih abis LBB. Gila tegas banget tau si bapak tentaranya."
"Udah biasa dek, bentar lagi kan juga ada lomba gerak jalan juga buat agustusan. Tadi udah ke kantin sih ama abang lu, si Adam ini tapi cuma beli air mineral doang."
"Kamu mau makan dek? Ayok dah sekalian ngadem di kantin. Keburu waktu istirahat habis, jam satu ntar LBB lagi."
"Ayok dah. Cus "mereka berempat berdiri dan membersihkan celana biru bagian belakang yang digunakan untuk duduk lesehan di pinggiran lapangan basket yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi nan rindang.
"Bentar dek, namanya dia siapa?."
"Siapa bang?."
"Itu temen kamu yang dari tadi berdiri sendirian di bawah pohon itu" tunjuknya pada anak laki-laki yang sedang berdiri di bawah pohon rindang di dekat mereka.
"Dia Ken bang, dia juga temenku waktu SD kok."
"Ken!! Namamu Ken kan?."
Orang yang baru saja dipanggilnya sedikit kaget karena tidak menyangka ada orang yang mau berbicara dengannya meski sekedar memanggil namanya setelah sejam dia diam membisu tidak ada lawan bicara.
Hanya anggukan yang bisa dia berikan kepada Adam, ada suatu yang berbeda di wajahnya sekarang. Tadi wajahnya begitu dingin, kaku, tidak ada ekspresi. Sekarang entah ekspresi apa yang tergambar di wajahnya, yang pasti kekakuan dan ekspresi dingin yang ada di wajahnya samar-samar tergantikan dengan ekspresi lain yang membatnya sedikit lebih enak dipandang.
"Kamu mau ikut ke kantin bareng kita? Ayok" balas Adam dengan senyum tulus mengajak.
Dengan sekejap, wajah Ken dipenuhi warna yang dengan sekejap saja melunturkan kesan kaku yang berada di wajahnya tadi. Namun secepat itu jugalah wajahnya kembali kelam. Entah apa yang membuatnya demikian.
"Terimkasih ajakannya kak, tapi aku gak laper balas Ken dengan senyuman yang tak kalah tulus."
"Kamu yakin? Dari tadi aku lihat kamu cuma berdiri aja loh. Sekalipun belum lihat kamu ngemil."
"hehehe aku sudah cukup kenyang dengan minum air putih ini kak. Terimakasih ajakannya" balas Ken dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya.
"Bang ayo, adek udah laper banget nih."
"iya iya bawel. Ken, kita ke kantin duluan ya."
"Ck abang apa-apaan sih pake sok akrab gitu ama dia."
"hahaha kan udah gue bilang tadi kalo penyakit homonya abang lo ini kambuh."
"Kagak lucu tau gak Bim. Gue kasihan aja ke dia kek gak ada temen gitu. Lo tau sendiri dari tadi dia Cuma ngeliatin orang lalu lalang aja, ngeliatin gerombolan anak-anak yang lagi duduk lesehan juga kek kita."
"Iya sih, tapi elo bener juga Dam, itu anak manis juga. Gue iri banget ama senyumnya dia."
"Nah kan sekarang elo yang homo."
"Semprul lu Ndre, masa gitu doang gue dibilang homo."
“Eh by the way, Panji lo tadi bilang kalo Ken temen lo kan?.
"Iya kak, dia anaknya baik banget tapi gak tau kenapa temen-temen malah jauhin dia."
"Dia anaknya orang miskin kali? Apa dia anak begok yang beruntung bisa masuk sini?."
"Kak Bimo ini, tetep aja kalo omong sesuka jidat. Dia anaknya pengusaha kak, dia juga langganan juara waktu SD. Kemarin test masuk pun dia peringkat empat."
"Tuh malu sendiri kan lo, lo bilang dia begok malah malu sendiri kan sekarang."
"Haha tau aja dia peringkat paling bawah kayak gue Dam. Kan gue agak sedikit legaan gitu."
"Mukanya Ken aja gak ada tampang-tampang begoknya Bim. Beda jauh ama elo. Orang sekali lihat aja udah tau kalo elo begok."
"Hahaha beneran deh kalo kak Andre ini. Sekali omong selalu bikin nyentil pas di hati."
My life 2
Ken PoV
Hampir satu jam sudah aku berdiri di sini, di bawah pohon rindang yang aku tahu bernama pohon akasia ini. Begitu rindang dan sejuk sehingga banyak teman-teman seangkatanku dan kakak kelas memilih duduk di bawahnya setelah berlatih LBB dari pagi tadi. Dua pohon yang tinggi menjulang ini tertanam pada ujung lapangan basket sekolahku, dahan-dahannya yang bercabang banyak dan panjang mampu meneduhkan hinggap separuh lapangan. Jangkauan yang cukup lebar sehingga menciptakan banyak spot nyaman untuk diduduki sekedar melepas lelah.
Aku edarkan pandanganku ke sekeliling dan menemukan dua gerombolan yang terdiri dari teman-teman sekelasku. But here I am, alone, yang terkadang memainkan handphoneku agar terlihat sibuk. Jujur saja aku merasa malu, rishi dan minder di saat menangkap beberapa pasang mata yang memperhatikanku dan sedikit mencibirku yang aku yakin pasti membicarakan kesendirianku ini. Hingga aku bisa mendengar suatu suara yang cukup keras dan ternyata berjarak cukup dekat denganku, lima meter mungkin.
"Lihat tuh, tuh anak cengo banget dari tadi toleh kanan-kiri kayak monyet kehilangan ibunya haha."
"Iya, udah sejaman dia berdiri terus di situ...."
"Dia Ken bang, dia juga temenku waktu SD kok."
Entah bagaimana bisa tiba-tiba telingaku menangkap ucapan tersebut padahal tadi lagi asyik tenggelam dalam pikiranmu sendiri. Perasaan lega dan senang menyeruak di dadaku dengan tiba-tiba. Setelah sekian lama aku bersekolah di sini, baru kali ini aku mendengar seseorang mengakui sebagai temannya lagi. Ya, lagi, karena terakhir kali yang aku ingat ketiga temanku yang aku kenal waktu MOS tiba-tiba saja menjauhiku dan Eka teman sebangkuku tidak mau lagi duduk bersamaku. Parahnya lagi, mereka tidak lagi mau berdekatan denganku.
Panji, temanku waktu SD yang suka berkumpul dengan teman-temanku yang dikenal sangat beringas. Jujur saja aku tidak menyangka Panji bisa masuk ke sekolah bonafide ini. Dia dulu dikenal sebagai anak pemalas, tidak pernah mengerjakan tugas, suka membuat onar di kelas dan hanya bagus di saat pelajaran olahraga. Yang lebih mengejutkanku lagi bahwa dia adalah adik dari Kak Adam, anggota OSIS sekolahku yang aku anggap paling rupawan di antara anggota OSIS lain. Memang sih bukan Kak Adam yang menerima coklat pemberian terbanyak waktu acara penutupan MOS. Tapi kak Andre ,temannya, yang mendapat coklat terbanyak tahun ini tidak membuatku tertarik sedikit pun. Oppss iya, aku lupa bilang kalau aku ini penyuka sesama jenis, entah sejak kapan tapi yang pasti orang pertama yang menarik perhatianku setelah mimpi basah cuma Kak Adam.
Diriku dibuat kaget dan deg-degan setengah mati di saat Kak Adam menawariku untuk makan siang bersamanya dan temannya, juga Panji. Tanpa bisa dicegah lagi kupu-kupu mulai berterbangan di dalam perutku. I was happy as hell hingga aku tersadar dan kembali pada diriku yang bukan diriku selama dua bulan berada di bangku SMP ini. Jujur saja aku ingin sekali menerima ajakannya, mengajaknya bicara, menanyakan banyak hal padanya, melihat wajahnya dari dekat, melihat senyumnya yang bisa membuatku salah tingkah seperti tadi. Tapi mimpi tetaplah mimpi. Aku tidak ingin Kak Adam menjauhiku juga. Aku takut kalau aku menerima ajakannya dan duduk bersebelahan maupun berhadapan dengannya bisa membuatnya ill feel dan menjauhiku seperti teman-temanku yang lain. Begini saja cukup, pikirku. Aku sudah cukup bahagia kak Adam mau menyapaku, tidak mengacuhkanku seperti teman-temanku.
Mungkin kalian bertanya-tanya apa yang membuatku seperti ini, kehilangan percaya diri karena teman-temanku menjauhiku. Jujur saja, alasan mereka menjauhiku juga karena aku sendiri. Bukan karena sifatku bukan, bukan karena cara bicaraku bukan, bukan karena harta juga bukan. Semua ini karena penyakitku, penyakit yang menyiksaku setiap hari. Penyakit yang dengan lancangnya hinggap dan merenggut kebahagiaanku. Penyakit yang tidak hanya menyiksaku tetapi juga menyiksa orang yang berada di sekitarku.
liat responnya tante2 sekalian begindang XD
segala bentuk respon dan tanggapan bener2 aku hargai
dan untuk abang Jay, sori tarik2 kemari. ikke emang silent reader selama ini tapi ngikutin banget dari agung sampel regha. sampe2 bisa bakar semangat buat muntahin uneg2 disini.
Thx Thx Thx
Pd bagian General pov yg pertama, banyak sekali dialog, tapi gak dijelaskan siapa yg ngomong. mending di kasih sedikit naratif. semisal...
"Liat. tuh anak cengo banget," celetuk Adam.
"Dia teman sekelasku kok bang," jelas Bima
gitu..
jd gak cmn dialog tanpa diketahui siapa yg ngomong. nanti pasti akan terkesan lebih luwes.
dan yg kedua....
kok rasanya tema dan dialog diatas terlalu dewasa yak untuk ukuran anak SMP/kelas 7. Gmn kalo dibikin anak SMA aja?
Pd bagian General pov yg pertama, banyak sekali dialog, tapi gak dijelaskan siapa yg ngomong. mending di kasih sedikit naratif. semisal...
"Liat. tuh anak cengo banget," celetuk Adam.
"Dia teman sekelasku kok bang," jelas Bima
gitu..
jd gak cmn dialog tanpa diketahui siapa yg ngomong. nanti pasti akan terkesan lebih luwes.
dan yg kedua....
kok rasanya tema dan dialog diatas terlalu dewasa yak untuk ukuran anak SMP/kelas 7. Gmn kalo dibikin anak SMA aja?
thx atas concern-nya bang. Dialognya Panji, Adam dll gak begitu signifikan sih sebenarnya. tapi ook dah bentar lagi aku revise.
Untuk tema dan dialog maunya aku buat cepat bang, fokus di SMA sama Kuliah. di SMP cuma pengenalan masalah ama karakter doang.
Sini ken temenan sama gw aja...
ditunggu ya
penasaran sama penyakitnya.. apa penyakit gay kah?
kasian kasian kasian
Ini merupakan semester keduaku bersekolah di sekolah ini. Hari-hariku yang dipenuhi olokan, bully-an, dan dijauhi teman-teman membuatku tidak pernah lagi merasakan semangat yang menggebu-gebu dalam menuntut ilmu. Mental breakdown issue lah yang aku alami saat itu. Bagaimana tidak, hampir setiap waktu teman-temanku semakin berani mengolok-ngolokku tanpa memperdulikan bagaimana perasaanku. Tapi untung saja aku tidak pernah berpikiran untuk membolos meskipun hari-hariku ku habiskan di kelas, di bangku paling belakang kelas, dan juga perpustakaan. Menyakitkan memang di saat melihat teman-temanku bisa bercanda bersama, ke kantin bersama, dan pulang pun masih bisa menyempatkan diri untuk jalan bersama. Sedangkan aku? Selalu melakukan aktivitasku sendiri, dan tak pernah ada yang peduli akan hal itu.
"hemmmm bau Lapindo nih" ujar salah satu temanku entah dari bangku sebelah mana.
"emmfff iya, baunya kok masih bisa masuk ya padahal pintu kelas tertutup" balas temanku yang lain, kali ini cewek.
"Iya laah orang lapindonya ada di kelas kita" balas temanku yang lain tanpa memperdulikan bahwa masih ada guru Fisika di dalam kelas.
Mungkin bagi mereka yang mendengarkan kata-kata tersebut akan menanggapinya hanya dalam detik itu juga. Beranggapan kata hanyalah kata tanpa berpikiran bahwa kata tersebut telah menyayat hati seseorang yang turut mendengarnya. Layaknya seseorang yang mengalami kecelakaan di jalan, orang-orang yang melintas hanya akan melihatnya dan beranggapan mereka akan selamat karena sudah ada polisi di sana. Bahkan tak sedikit dari mereka berujar Wah mati tu orang tanpa berani mendekat dan melihat keadaan korban. Bahkan mempunyai niatan menolong pun tidak. Mereka tidak tau rasa sakit yang sedang ditanggung korban, mereka tidak pernah ingin tahu dan mencoba untuk tahu. Begitulah kondisiku di saat teman-temanku mengolok-olokku karena kekuranganku. Mencoba menahan rasa nyeri yang menyayat hati berkali-kali tanpa seorang pun mencoba bertanya apa aku baik-baik saja.
Jujur aku akui memang dulu ada beberapa teman yang terang-terangan suka kepadaku. Eka yang sempat duduk bersamaku pernah menggoda salah satu teman sekelasku berujar bahwa dia menyukaiku, dan benar saja Siska yang tadinya duduk di bangku seberangku tiba-tiba berdiri dan keluar kelas dengan muka memerah dan menahan senyum malu. Begitu juga Dita, Desi, Hanum, Tyas dan entah siapa lagi. Karena hanya mereka lah yang terang-terangan berani meminta nomor handphoneku. Tak sedikit juga cewek-cewek kelas lain mencoba berkenalan denganku. Jujur saja saat itu aku merasa populer dan sangat bangga hingga berangsur-angsur mereka menjauhiku.
"Van, kamu tahu cowok yang lagi ngangkat kursi itu gak?" ujar salah satu cewek manis berkacamata dengan rambut sepinggang.
"Ohh itu Ken, kenapa?."
Mengetahui namaku disebut, aku langsung menolehkan kepala dan melihat ke seberang kelas, melihat segerombolan anak yang sedang duduk santai di bawah pohon keres (cherry jawa?).
"Manis banget tuh cowok. Kamu tau namanya dari siapa Van?."
"Orang dia teman sekelasku kok, kamu naksir ya?."
Aku yang tadi menolehkan muka dan melihat langsung wajah mereka, kini berbalik arah menghadap kaca kelas dan membersihkannya dengan cairan pembersih kaca. Saat ini murid-murid memang sedang melakukan kerja bakti membersihkan kelas karena sekolahku ditunjuk menjadi perwakilan dalam lomba UKS se-Jawa Timur.
"Iya, manis banget tuh cowok. Tapi kayaknya udah punya cewek ya?."
"Sumpah kamu suka dia? Jijik banget dah, orang dia baunya kayak Lapindo."
Jlebbb.
Tanganku yang tadi dengan semangatnya bergerak membersihkan kotoran di kaca kelasku tiba-tiba saja kehilangan tenaganya dan mulai bergerak lambat. Entah bagaimana bisa temanku berujar seperti itu kepada teman yang berbeda kelas. Entah bagaimana teman sekelasku dengan ringannya membuka aib teman sekelasnya sendiri tanpa memikirkan konsekuensinya.
Tiga tahun penuh aku lewati tetap dengan olokkan yang terus saja keluar dari mulut teman-temanku. Jangan kira aku memang sudah kesepian dari awal, karena dengan berani aku akan menyebutkan nama teman-temanku dengan sangat percaya diri. Waktu pertama menempati rumah baru juga aku sering dipakai rebutan oleh anak-anak kampungku. Mereka seperti tidak ingin membiarkan aku untuk bermain dengan kelompok lain selain kelompoknya seorang. Di saat kenaikan sekolah dasar juga aku selalu jadi bahan rebutan oleh teman-temanku yang memintaku untuk duduk bersamanya. Waktu ada pekerjaan rumah juga mereka tanpa sungkan datang ke rumahku dan mengajakku mengerjakan PR bersama-sama, dan setelahnya pasti kami habiskan untuk bermain-main di sungai maupun di sawah samping rumah.
Perbedaan yang sangat berarti itulah yang membuatku benar-benar merasa kesepian selama aku bersekolah di SMP ini. Terlebih sindiran teman-temanku yang tak pernah peduli tentang perasaanku. Banyak hal sudah aku coba untuk mengembalikan pamorku seperti saat SD dulu, dari meminum jamu, mandi setiap selesai beraktivitas, memakan daun kemangi yang katanya bisa membuat bau badan lebih enak, memakai deodorant dan parfum hingga mengoleskan pasta gigi mint pada kedua ketiakku sebelum aku mandi. Tapi tetap tiada hasil, malah semakin hari aku semakin kehilangan indra penciumanku.
Dua hal menyedihkan yang paling aku ingat adalah disaat aku menginjak kelas Delapan dan Sembilan. Teman-temanku tidak lagi menggunakan kata-kata saja untuk menyayati hatiku, mereka juga berani melukaiku secara verbal. Tetapi untungnya aku masih memiliki beberapa teman yang masih mau berbicara dan bercanda denganku meski terkadang mereka akan menjauh dikala bau ----yang entah datang dari bagian mana dalam tubuhku-- mulai merebak. Dengan otomatis aku akan diam, menjauh dan juga melakukan aktivitasku sendiri. Aku juga ingin menjaga perasaan mereka.