It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku berjalan dengan cepat kearah parkiran kampus, langkahku sedikit tergesa. Sangat bodoh aku meninggalkan berkas laporankanku di jok motor. Sesekali aku menyisir rambutku yang mulai terlihat panjang dan harus mendapatkan pencukuran. Mataku menatap lurus ke depan membuat mata sayuku terlihat indah, menurutku.
Langkahku terhenti saat aku mendapati seorang wanita berdiri di sana dengan baju hijau mudanya dan tentu saja ponsel di tangannya. Aku menyunggingkan senyum memuakkan. Mau apalagi wanita sialan itu.
Sebenarnya aku sangat ingin kembali tapi dia sudah terlanjur melihatku dan dengan sok baiknya melambaikan tangan. Dengan enggan aku akhirnya menghampirinya.
“Aku mencarimu dari tadi.” Dia berucap dengan antusias. Di cari olehnya adalah sesuatu hal yang tak kuharapkan dalam kamus hidupku. Aku terdiam tak ada niat untuk menyahut ucapannya.
“Kamu masih marah?” Dia bertanya dengan naifnya. Tanpa bertanyapun dia akan tahu jawabannya.
“Belum puas menjadi benalu di hidupku?” Aku menukas tajam ke arahnya dan mendapati ia menunduk. Aku hanya menyeringai dia pikir aku akan kasihan padanya setelah apa yang telah ia lakukan pada hidupku. Sialan kalau saja dia bukan wanita sudah ku berikan ia hadiah pukulan telak tepat di wajahnya yang sok kecantikan itu.
“Aku hanya mencoba baik padamu. Kamu tidak pernah mau mengerti bagaimana rasanya menjadi diriku,”
“Aku tidak pernah mau menjadi dirimu.” Aku menyela ucapannya dan membuang pandanganku dari wajahnya. Sesuatu yang ku benci dari wanita adalah kecengengannya dan ya sekarang ia sudah menangis. Airmata buayanya tak mempan padaku.
“Aku minta maaf.” Dia berucap lirih.
“Pergilah!” Aku meminta baik-baik tapi dia masih diam di tempatnya.
Dia menggeleng.
“Aku bilang pergi!” Kali ini aku berteriak padanya. Aku melihat semua anak yang berjalan di dekat kami menatap dengan tatapan penuh tanya tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin wanita ini enyah dari hadapanku. Melihatnya membuatku tak tenang.
“Win, kenapa harus membentaknya?” Zion datang dengan memegang bahu kiriku. Dia menatap wanita sialan itu dengan tatapan kasihan. Aku ingin membawa Zion pergi dari sini.
“Aku sudah bicara baik-baik tapi dia tak mendengarkan. Dia terlalu percaya diri.” Aku berucap menatap lurus kearah pohon rindang yang berdiri tak jauh dari kami.
“Dia hanya meminta maaf Win,” Zion memberikan sapu tangan pada wanita itu tapi si sialan malah menggeleng. Tak tahu terimakasih.
“Kamu baik?” Tanya Zion sedikit mendekat kearah wanita itu. Dan si sialan mengangguk. Zion menatapku dengan tatapan tak suka.
“Harus ya kamu bela dia terus?” Aku bertanya dengan membalas tatapannya dan dia semakin memperlihatkan tak sukanya lewat mata coklatnya.
“Aku benci kamu seperti ini padanya.”
“Kamu hanya tak tahu bagaimana sialannya dia.” Aku menunjuk kearah wanita itu membuat Zion menggeleng.
“Aku tidak bisa-“ Ucapan Zion tertahan saat wanita itu berlari menjauh dari kami. “Lucy berhenti!” Zion berlari mengejarnya tapi aku sudah lebih dulu memegang pergelangan tangannya menghentika dia mengejar wanita yang tak pantas untuk di kejarnya.
“Cukup, dia sudah jauh.”
“Lepasin!” Dia menarik tangannya dengan kasar membuat gamang menyelimutiku. Dan ya dia marah sekarang. Aku benci saat dia marah padaku.
“Berhenti Zi, masak kamu marah Cuma gara-gara dia?” Aku bertanya mengejarnya yang sudah berjalan meninggalkan aku. Tapi dia tetap tak menoleh, aku mempercepat langkahku dan berdiri di depannya memblokir langkahnya.
“Aku mau lewat minggir!” Nadanya dingin,
“Tapi Zi?”
“Aku bilang minggir!” Mata coklatnya menatap tajam membuat aku bergidik, bergidik takut kalau marahnya kali ini akan lama.
Aku menyingkirkan diriku dan dia pergi begitu saja tanpa mau menoleh lagi ke arahku. Aku hanya bisa mengacak rambutku dengan kesal. Aku tahu wanita itu akan selalu berhasil menghancurkan diriku.
***
Aku berjalan kearah bangkuku dan dengan kesalnya mendapati tulisan `Pelacur` di sana. Aku meremas udara kosong. Dadaku terasa panas sekarang. Aku akan menghancurkan siapapun yang melakukan ini.
“Itu kerjaan Bara. Kamu pasti tahu tanpa di kasih tahu.” Aku menatap Haikal yang masih sibuk dengan tugasnya. Dia berbicara tanpa mau menoleh ke arahku, kebiasaan yang selalu ku benci pada temanku yang kutu buku itu.
“Terimaksih Kal, Harus ada yang membunuh bangsat itu.” Aku melangkah pergi.
“Ingat jangan berantem lagi, kalian sudah di cap berandalan oleh semua orang.” Haikal mengingatkan masih dengan tidak menatapku. Aku mendecak, aku lupa.
“Aku akan menahan emosi sebisa mungkin.” Aku menyahutnya dan kembali melangkahkan kakiku menuju ruangan yang ada di tingkat 3. Sudah pasti dia di sana.
Aku menggebrak mejanya, sukses membuat beberapa pasang mata menatap ke arahku dan dia sedang asiknya berbincang dengan teman-temannya. Dia menatap tajam ke arahku dan aku membalas tak kalah tajamnya.
“Kamu sudah gila?” Dia berteriak membuat beberapa pasang mata menatap takut kearah kami.
“Aku apa kamu yang gila? Kamu tidak ada kerjaan menulis namamu di mejaku?” Aku menyeringai membuat ia terkekeh.
“Aku hanya mencoba menulis namamu dengan benar.” Doni yang ada di belakangnya tertawa mengejek, aku menatap marah pada kacung Bara.
“Kamu mulut ikan diam.” Aku menunjuk padanya dan tanganku sukses di tepis oleh tangan Bara dengan kasar, aku yang tak terima maju dan meraih bajunya. Semua histeris termasuk Rani dan Seina teriak histeris mendapati Bara yang sudah tersungkur ke lantai.
Emosi bukanlah hal yang mudah untuk ku tahan.
Aku yang tak lihat Doni malah ikut kena tonjokkan dan sukses dua orang itu menyerbuku. Wajahku paling terasa berdenyut. Oh ayolah aku sedang tak ingin masuk rumah sakit sekarang . Siapapun singkirkan dua bangsat ini. Aku terus melindungi diriku dari tonjokan yang membabi butaku.
“Berhenti! Lihat dia sudah berdarah.” Aku Tahu itu suara Seina dan benar saja dia sudah menyingkirkan Bara dariku. Aku meringis kesakitan. Memegang perutku yang terasa sakit. Wajahku juga tak kalah berdenyut.
“Dia pantas mendapatkannya!” Bara menunjuk ke arahku yang masih terlentang di lantai, Aku terkekeh walau rasanya sakit tapi tertawa adalah ejekan yang baik buatnya. Bara kembali melangkah ingin menonjokku tapi Seina dengan sigap berdiri di depan Bara menghalangi pemuda itu untuk kembali melakaukan serangan ke arahku.
“Aku tidak suka kamu seperti ini!”
“Kenapa kamu selalu menghalangiku untuk menghajar bangsat ini.” Tatapan sengit terjadi di antara mereka. Aku hanya bisa muak melihat mereka.
“Aku pacarmu, aku tidak ingin kamu dapat masalah karena ini.” Senyum muakku kembali muncul.
“Tapi kamu selalu-“
“Erwin!” Aku melihat Zion sudah berjalan ke arahku dan aku hanya bisa memejamkan mata merasa malu di lihat seperti ini olehnya.
***
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima @Andre_patiatama @hendra_bastian @akina_kenji @harya_kei @NanNan @boy @BangBeki @arieat @Asu123456 @boybrownis @DM_0607 @littlemark04 @dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho @jacksmile @kristal_air @Pradipta24 @abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo @panji @Hiruma