BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MY ASSHOLE

18911131427

Comments

  • eh, si lucy itu siapa lagi ??
  • eh, si lucy itu siapa lagi ??
  • @freeefujoushi liat ajha

    @Otho_WNata92 :D

    @Pradipta24 tak serumit itu kok.

    @harya_kei Part next moga bisa lebih panjng..

    @JimaeVian_Fujo hidup Erwin yg rumit

    @DM_0607 ;)
  • ada masalah apa bara dg erwin?
  • @arieat liat part next ;)
  • Hehe iya deh mbak @yeniariani . Saya ingin melihat hal yang baik untuk Erwin dan Zion....hehehe
  • makin nambah konfliknya.
  • erwin hidupnya keren :D
    cinta, musuh, sahabat...semoga yang terbaik untuknya...
    next part mention lagi ya @yeniariani
  • blm ketemu benang mereah nya
  • ada ben...
    ada lucy....
    ada bara.....

    masih menunggu
  • @yeniariani iya hidup erwin yg rumit sih tp dia bawa2 orang gak bersalah hahaha
  • masih belum mengerti kenapa Erwin bersikap seperti itu ...
  • Hidup si Erwin rumit jga ya kak. lanjut updatenya ya kak @yeniarian
  • MA-6

    Aku menatapnya yang sedang sibuk mengolesi obat luka di wajahku. Seandainya saja mahluk ini milikku, aku akan sangat bahagia di hidupku yang menyedihkan ini. Sayangnya kenapa harus Arya yang berhasil meraih hatinya.

    Aku menatapnya tanpa berkedip sedangkan dia masih belum sadar juga menadapat tatapan intens dariku.

    “Jangan menatapku seperti itu, semua akan tahu kalau kamu mencintaiku.” Aku sedikit melotot mendengarnya tapi tak berapa lama dia langsung terbahak membuat aku semakin melotot kearahnya. Aku mendengus sedikit kecewa karena ternyata ia hanya bercanda.

    “Terimaksih.” Aku berucap tulus padanya yang sudah selesai dengan lukaku, dia mengangguk dan mengambil tempat duduk di sisiku.

    “Kamu memang suka membuat masalah.”

    “Bukan aku yang duluan.” Aku sewot mencoba membela diri.

    “Tapi kamu bisa menghentikannya sebelum semuanya menjadi lebih parah. Kamu bisa tidak mendatanginya dan juga bisa sedikit menjaga emosimu.” Dia menjawab cepat membuat aku hanya bisa menunduk dan jelas memang aku yang selalu emosi jika menghadapi mahluk bernama Bara.

    “Aku hanya tidak suka,”

    “Jangan ladenin dia lagi, aku tidak suka kamu terluka.” Aku menatapnya berharap ucapannya memiliki arti yang berbeda tapi aku hanyalah seorang sahabat baginya tak akan pernah menjadi lebih.

    “Akan ku coba.” Ucapku akhirnya.

    “Kamu selalu begitu.” Dia memiringkan wajahnya dan tersenyum membuat rasa hangat tiba-tiba merajaiku. Aku mencintainya, siapapun tolong bilang padanya kalau aku mencintai pemuda yang sekarang sedang memegang rambutku ini.

    “Siapa yang menjemput?” Aku bertanya saat tangannnya tak juga beralih dari rambutku.

    “Arya.” Rasanya aku ingin berdecak kesal. kenapa harus selalu cowok itu.

    “Baiklah. Ayo ku antar kamu ke parkiran!” Tawarku. dia mengangguk dan kami berjalan kea rah parkiran.

    Kami sampai parkiran tepat saat mobil mazda milik Arya tiba di parkiran kampus. Dengan luwesnya dia keluar dan menatap kearahku dengan mimic yang tentu saja terkejut.

    “Kamu tidak apa-apa?” Tanyanya mendekatiku dan memegang wajahku yang terluka membuat aku meringis kesakitan.

    “Bagian itu sakit.” Ucapku kesal dan sukses membuat dia merasa bersalah.

    “Maaf-maaf.” Tatapan Zion berada di antara kami berdua, aku tahu Arya terlalu berlebihan sekarang hingga membuat Zion menatap kami dengan tatapan curiga. Aku memundurkan tubuhku hingga membuat jarak yang cukup jauh dengan Arya.

    “Hati-hati di jalan,” Ucapku cepat agar Arya bisa sedikit sadar kalau Zion sedang bersama kami.

    Arya menatap Zion yang ada di belakangnya dan terlihat baru ngeh kalau ternyata kekasihnya sedang menatapnya. Aku hanya bisa tersenyum samar.

    “Oke Beb, kita pulang.” Arya berucap pada Zion dan Zion mengangguk. Semoga dia tak memikirkan hal ini nanti.

    “Kamu tidak ikut Win?” Tanya Zion saat melihat aku masih mematung di tempatku dengan pikiran yang entah sedang bergerilia dimana.

    “ Aku bawa motor. Arya, jaga temanku ya?” Ucapku pada Arya yang sudah berdiri di sisi mobil.

    Arya mengangguk dan menatapku dengan tatapan yang entah berarti apa.

    ***

    Gedung itu menjulang tinggi di hadapanku. Ragu-ragu aku melangkahkan kakiku memasuki gedung tersebut. Bagaimana kalau dugaanku salah? Bagimana kalau bukan dia yang member tahu? Tapi aku harus mencobanya jika memang aku ingin tahu. akhirnya aku memantapka niatku untuk menemuinya.

    Setelah sibuk berdesakan dengan penghuni lift akhirnya aku bisa terbebas juga dan di sinilah aku sekarang sedang berjalan ke ruang di direktur.

    Aku melihat wanita dengan rambut hitam panjangnya dan baju kantor merahnya. Dia selalu berpenampilan cerah dan aku selalu suka dengan gayanya.

    “Mba Nanda, abang Ben ada?” Tanyaku sedikit membuat diriku ceria, Nanda mengangkat wajahnya dan sedikit terkejut mendapati lebam di wajahku. Dia keluar dari ruang kerjanya.

    “Erwin, kamu tidak apa-apa?” Aku hanya menggaruk tengkuk ku, sedikit tak suka dengan sikap berlebihan seperti ini.

    “Aku baik kok Mba,” Jawabku seadanya.

    “Sungguh?”

    “Iyaaa Mba,” Aku menimpali memegang kedua lengannya.

    “Syukur deh.” ucapnya tapi masih sibuk meneliti wajahku dengan rasa cemas yang masih tersirat di wajahnya.

    “Tadi aku tanya Abang Ben ada?” Aku mengulang pertanyaanku yang tadi belum sempat di jawab oleh sekertaris Ben ini karena terlalu khawatir dengan luka di wajahku.

    “Dia ada di dalam. Mau ku antar?” Dia menawarkan dan aku menggeleng.

    “Kakiku masih kuat kok buat jalan sendiri.” Kata-kata yang ku lontarkan membuat dia tertawa dan aku mengusap bahunya, berlalu meninggalkannya.

    Tanpa mengetuk pintu aku langsung nyelonong begitu saja, ku dapati Ben sedang duduk membelakangi arah pintu. Terlalu sibuk mungkin hingga ia tak berbalik.

    Aku hanya bisa mematung di tempatku, tak tahu harus berkata apa. Takut rasanya mengganggunya.

    “Hemm” Aku memutuskan untuk berdehem dan itu membuat dia langsung berbalik dan dengan resfon yang sama dengan Mba Nanda, terkejut. Mandapati wajahku tak semulus yang selalu ia lihat.

    “Kamu gila, mau bikin aku serangan jantung lihat keadaan kamu ini?” Dia menukas tajam membuat aku kembali mendengus sebal. Aku tidak suka dia meresfon seperti itu.

    “Aku baik-baik saja. Kamu sibuk?” Tanyaku yang sudah duduk di sofa coklatnya. dia datang menghampiriku dan terus menatap wajahku yang lebam membuat aku risih.

    “Siapa yang melakukannya?” Tanyanya yang sudah duduk di dekatku.

    “Hanya insiden kecil.” Jawabku seadanya. Aku melepaskan ranselku dan kuletakkan di atas meja kaca yang ada di depanku. Dia terlihat mengikuti gerakan tanganku. Tadi kulihat dia sangat sibuk sekarang malah santai saja.

    “Aku tanya, kau sibuk?” Aku mengulangi pertanyaanku membuat ia mendelik ke arahku.

    “Tadi sih sibuk tapi karena kamu di sini jadi gak lagi.” Dia nyengir.

    “Dasar.” Aku meninju lengannya yang di balut dengan setelan kemeja coklat tuanya dan ya dengan lengan baju yang selalu di gulung, itu sudah menjadi ciri khasnya.

    “Apa yang membawamu ke sini?” Akhirnya dia bertanya juga.

    “Kamu yang memberitahunya tentang gedung kampusku?” aku mulai bertanya tanpa mau berbasa basi.

    “Siapa?” Dia mengerutkan kening.

    “Kamu tahu yang ku maksud,” Ku tatap ia intens dan berharap ia cepat mengerti tanpa perlu membuat aku berbicara panjang lebar.

    “Lucy?” Dia menebak dan ku harap itu memang tebakan kebetulan karena aku tak ingin ia berkata kalau memang dialah yang membawanya.

    “Siapa lagi kalau bukan dia.” Aku menatapnya berharap mendapat jawaban yang jujur sekarang.

    “Bukan aku, bertemu dengannya saja tidak pernah. Sungguh aku masih ingat ancamanmu dulu. Kalau memberi tahunya sama saja dengan tak mengenalmu lagi. Aku takut tak bisa mengenalmu lagi jadi tentu bukan aku yang memberitahunya.” Aku tahu dia jujur dan aku hanya bisa mengangguk tak tahu harus menjawab apa.

    “Apa yang dia katakan?”

    “Selalu dengan perkataan yang sama dan perkataan yang memuakkan. Aku benci orang meminta maaf tapi tak menyembuhkan luka.” aku merebahkah tubuhku di sofa dan menidurkan kepalaku di pangkuan Ben. Kepalaku rasanya pusing jika mengingat wanita bangsat itu.

    “Kurasa tante yang menyuruhnya datang.” Ben memegang tanganku berusaha menghiburku seperti yang sering ia lakukan dulu.

    “Siapapun yang menyuruh, aku tak peduli. Dia tetaplah bangsat buatku.” Aku selalu sentiment jika sudah mengenai wanita itu.

    “Kamu selalu seperti ini. Jika di pikir-pikir semuanya bukanlah salah dia.”

    “Ben!” Aku benci orang berkata seperti itu tentangnya.

    “Ya ya. Sudah lupakan dia.”

    “Mau sex denganku?” Aku membuka mata menatap matanya yang tertunduk membalas tatapanku. Dan wajahnya terus turun kearah wajahku. Aku siap memejamkan mata dan menyambut kedatangan bibirnya yang menggoda.

    “Kamu sungguh maniak sex.” Aku membuka mata melihat dia yang masih menatapku dengan senyumannya.

    “Kamu tidak ingin?”

    “Aku sepupumu.” Dia berkelit membuat tawaku keluar. Ternyata dia masih ingat kalau dirinya memiliki hubungan darah denganku. Aku bangun dari pangkuannya masih dengan senyum lucu.

    “Aku sungguh ingin meneriakan hal itu padamu saat dulu kau bilang kau mencintaiku.” Aku berucap di sela tawaku.

    “Kamu benar-benar.” Dia kesal padaku dan itu membuat tawaku semakin memenuhi ruang kerjanya sedangkan dia hanya bisa menatap jengkel ke arahku.

    “Oke, aku harus pulang sepupu.” Aku berkedip kearahnya.

    “Oh ayolah secepat itu kamu akan meninggalkan aku?”

    “Aku butuh sex sekarang dan kamu malah mencampakkan aku. Yang benar saja kamu menyuruhku berlama-lama di sini hanya untuk menderita karena tolakanmu?” Aku berucap dengan tangan yang ku letakkan di wajahku, menderamatisir keadaan lebih tepatnya.

    “Itu hanya alasan.” Aku kembalI terbahak.

    “Baik Bang, aku pergi.” aku mengecup bibirnya dan berjalan meninggalkannya.

    “Awas aja kalau kamu sampai sex bebas!” Dia berteriak dan aku hanya bisa melambaikan tangan berlalu dari ruang kerjanya.

    ***

    Suara ketukan di pintu kosanku membuat aku menghentikan kegiatanku mengenakan baju dan aku melempar bajuku kea rah ranjang. Masih dengan berlilitkan handuk di pinggangku, aku berjalan membuka pintu dan ku dapati Arya sudah berdiri di sana dengan tampang semerawutan.

    Tanpa menunggu aku mempersilahkan ia masuk, ia sudah lebih dulu mendorong pintuku dan memasukkan dirinya. Aku menutup pintu dan menguncinya.

    “Kamu tidak tahu seberapa khawatirnya aku?” Aku mematung di dekat pintu, ternyata dia sedang kesal denganku. Aku menatapnya dalam diam.

    “Aku tadi sudah telpon kamu berkali-kali dan juga aku kirim pesan tapi kamu malah gak resfon. Kamu bisa gak sih gak bikin aku resah mikirin kamu. Apalagi ngeliat kamu terluka seperti itu, kamu malah bikin aku tambah khawatir. Aku-“ Tanpa menunggu dia berucap dengan kata-kata yang tak penting lagi aku langsung melangkah dan membungkam mulutnya dengan bibirku.

    Ku lumat bibirnya dengan kasar, hasratku sudah tak bisa di bendung lagi. Aku terus meremas kepala bagian belakangnya. Mendorong kepalanya agar memperdalam ciuman kami. Aku tahu dia terengah mendapat serangan mendadak dariku tapi aku tak ingin berhenti. Aku terus melumat bibir itu.

    Ku raba setiap inci tubuhnya, membuat aku bisa mendengarkan erangan halusnya. Nafas kami terdengar tak teratur.

    Aku menuntun ia berjalan ke ranjangku dan merebahkan tubuh kami di sana tanpa melepaskan bibir kami yang terpaut layaknya magnet.

    Aku melepaskan bibirku di bibirnya dan sebagai gantinya aku menjilat lehernya dengan beringas dan meninggalkan bekas kemerahan di sana. Entah sudah sejak kapan tubuhku telanjang, aku tak menyadarinya.

    ***
Sign In or Register to comment.